tiga
Kivia merasa sangat bahagia bisa hadir di tempat ini. Entah berapa kali tawanya lepas begitu saja. Mengamati interaksi teman-teman Kiev yang kebanyakan punya bakat jadi pelawak dan segala rangkaian acara yang sedang berlangsung. Tiba-tiba lampu di ruangan itu mati, di sambut jeritan kaget semua orang. Begitu juga Kivia yang refleks menggapai lengan Kiev yang duduk di sebelahnya.
"Kenapa sih ini, Kiev?" tanya Kivia parno.
"Nggak usah takut, Ya. Bentar lagi nyala," ujar Kiev menenangkan.
Benar kata Kiev, gelap gulita itu digantikan dengan cahaya remang dan muncullah seorang cowok dengan gitar akustik.
"Kiev, bukannya itu yang tadi namanya Dion, ya?" tanya Kivia. Tadi mereka sempat berkenalan. Cowok itu mulai bernyanyi. Suaranya begitu merdu berpadu dengan petikan gitarnya.
Setiap manusia ... di dunia
Pasti punya kesalahan
Tapi hanya yang pemberani
Yang mau mengakui
"Iya, itu Dion." Telunjuk Kiev mengarah ke sisi lain. "Dan itu ... Gina."
"Ah, i see. Cewek gingsul tadi."
Kedua retina Kivia tak lepas dari pemandangan di depannya. Gina yang muncul dari sisi panggung, berjalan perlahan menghampiri Dion sembari bernyanyi. Suaranya manis, seperti sosoknya.
Setiap manusia di dunia
Pasti pernah sakit hati
Hanya yang berjiwa ksatria
Yang mau memaafkan
Musik yang sesungguhnya mulai berdentam. Lampu dinyalakan dan balon-balon turun dari atas. Dion melepaskan gitar akustiknya dan menggenggam tangan Gina. Mereka turun dari panggung dan bergabung bersama teman-teman yang lain. Semua orang menari dengan kompaknya.
Kivia tertegun. "Flash mob?"
Tidak menjawab, Kiev hanya tersenyum dan menarik tangan Kivia. Tanpa Kivia bisa berpikir lebih lanjut, Kiev sudah membawanya masuk dalam pusat kehebohan. Lagu Persahabatan dari film Petualangan Sherina itu terus bertalu dengan serunya.
Betapa ... bahagianya
Punya banyak teman
Betapa senangnya
"Ayo, lompat aja, Ya. Nggak usah di tahan-tahan." Kiev sudah melompat-lompat mengikuti irama. Kivia menggigit bawah bibirnya, ia merasa sangat kikuk di situasi ini. Gadis itu menatap sekeliling. Semua ekspresi dipenuhi dengan kebahagiaan.
"Ayo, Kivia gabuuung." Kivia tersentak saat Gina menggenggam tangan kirinya.
Sementara itu, tangan kanannya digenggam oleh Kiev. Mereka membentuk lingkaran besar bersama yang lainnya dan berputar-putar sambil bernyanyi.
Kivia mengarahkan tubuhnya untuk condong ke arah Gina. "Nggak apa-apa gue gabung, Na? Gue kan bukan murid sekolah sini...."
Gina tersenyum hingga gigi gingsulnya terpampang dengan nyata. Gadis itu semakin menggenggam erat tangan Kivia. "Kivia, teman Kiev berarti teman kita juga. Jangan mikir kayak gitu lagi, okidoki?"
Mendengar jawaban Gina, hati Kivia sungguh terasa hangat. Kivia kemudian larut dalam suka cita. Menikmati euforia masa putih abu-abu yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
Betapa bahagianya
Punya banyak teman
Betapa senangnya
Karena pusing terus berputar-putar, lingkaran besar itu bubar jalan. Kivia tertawa lagi dan lagi. Masing-masing individu menari dengan gaya bebas. Ada yang koprol, break dance, popping, shuffle. Ada juga yang jaipongan, goyang dua jari kayak anak tiktok, goyang caesar, Udin yang setia goyang gergaji sedangkan Dion dan Gina kompak duet ala-ala tari saman.
Sementara Kiev dan Kivia?
Mereka sadar tak sadar kini saling merangkul. Tersenyum dan tertawa bersama, mengamati berbagai jogetan absurd yang teman-teman mereka persembahkan. Oke, sebenarnya tadi mereka saling rangkul dengan teman-teman yang lain juga. Seperti kesebelasan sepak bola. Namun, kini yang tersisa hanya mereka berdua.
Betapa bahagianya dapat saling menyayangi....
Tepuk tangan pun bergemuruh ketika lagu itu benar-benar selesai. Membuat Kiev dan Kivia tersadar posisi mereka yang benar-benar membuat iri dengki para sobat jomblo di luar sana. Kivia melepaskan tangannya di pinggang Kiev, dan Kiev menarik lengannya yang tadi merangkul pundak Kivia.
Keduanya langsung salah tingkah.
Namun, tak berlangsung lama ketika Dion-Gina dan teman-teman datang menghujani mereka berdua dengan high five bersahabat. Kemudian, Kiev mengangkat tangannya di depan Kivia. Oh, ya. Jangan lupa senyum Kiev yang paripurna.
"Nice to meet you, Kivia."
Kivia ikut mengangkat telapak tangannya. "Nice to meet you, Kiev."
"Tos." Bukannya terlepas, high five itu berlanjut dengan tautan jemari layaknya capres dan cawapres. Berharap keberhasilan dan kebahagiaan menyertai.
***
Mobil Kiev mulai keluar dari lingkungan SMA Atmawijaya. Kivia menatap sendu gedung yang di dalamnya masih berisi keriuhan itu. Ia kembali merasa menyesal. Karena dirinya, Kiev ta k bisa mengikuti prom hingga selesai. Jujur saja, Kivia juga berat berpamitan dengan teman-teman Kiev yang padahal ... baru saja dikenalnya.
Kivia benar-benar bersyukur. Bersama Kiev, ia dapat datang ke acara prom sekolah yang bahkan tak pernah terbayangkan sebelumnya. Berinteraksi dengan teman-teman Kiev. Bahkan tertawa lepas, melupakan problematika hidupnya. Setidaknya untuk sementara.
"Leher lo entar kecengklak nengok ke belakang terus." Jail, Kiev menaruh jari telunjuknya tepat di atas bahu Kivia. Tepat, ketika gadis itu menoleh ke arahnya telunjuk Kiev otomatis 'menusuk' pipi mochi Kivia.
"Kieeev." Kivia hampir menampar mulutnya sendiri mendengar rengekan manja itu. Kiev tertawa dan menarik tangannya kembali, berfokus pada kemudi.
"Sekali lagi gue minta maaf, Kiev. Lo nggak bisa ikut prom sampai selesai." Gadis itu menunduk dan menghela napas berat.
Kiev tersenyum geli. "Minta maaf mulu lo, Ya. Lebaran masih lama."
"Ya gimana dong gue kan nggak enak."
"Kalau lo enak bisa dimakan, dong."
Kivia mencebik. "Apa sih, Kiev."
"Makanya, nggak apa-apa gue bilang. Anggap aja gue sohib baru lo."
"Sohib?" Alis Kivia malah terkerut.
"Iya, sahabat, best friend." Kiev memainkan alisnya naik turun.
Kivia dibuat tertawa, lagi dan lagi. "Okedeh."
"Jadi resmi ya kita bukan stranger lagi, tapi sohib." Kiev mengulurkan kepalan tangan.
Kivia menubruk pelan kepalan tangan Kiev dengan kepalan tangannya.
"Balalala...." Kiev membuka kepalan tangannya dan membuat gerakan lucu.
Alis Kivia terlipat. "Gimana-gimana?"
Kiev mengulang tos kepalan tangan disertai 'balalala'.
"Biar kayak Baymax."
"Baymax?" tanya Kivia lagi.
Kiev terkekeh. "Nanti ya gue kenalin siapa Baymax."
"Haha. Oke-oke." Kivia lalu mengamati pemandangan di luar jendela. Jalanan cukup lengang sehingga mobil Kiev dapat melaju tanpa hambatan yang berarti. "Dari sini masih jauh, Kiev?"
"Lumayan." Kiev mengangsurkan selimut tartan miliknya. "Pake, nih. Dingin. Kalau mau tidur nggak apa-apa. Nanti gue bangunin."
Kivia menggelar selimut yang tidak terlalu lebar itu hingga menutupi lehernya. "Gue nggak ngantuk, Kiev. Udah numpang gini, seenggaknya gue nemenin lo nyetir."
"Tapi kalau nanti ngantuk, ya tidur. Gue nggak bakal jual ginjal lo. Sumfeh ane zuzur," ledek Kiev. Cowok itu tertawa dengan puas.
Kivia mengerucutkan bibirnya. "Iya-iya, percaya."
"Mau denger lagu?" tawar Kiev. "Mau deh pasti."
Kiev menyalakan musik di mobilnya. Begitu lagu terputar, Kivia kontan berkomentar, "Lagu siapa? Instrumennya aja udah enak."
"Banda Neira, judulnya Rindu."
Kemudian hening, dengan mata yang sibuk menatap jalanan dan telinga yang menanti lirik-lirik yang akan teruntai.
Rumah kosong
Sudah lama ingin di huni
Adalah teman bicara
Siapa saja atau apa
Siapa saja atau apa
Jendela, kunci atau bunga di meja
Jendela, kunci atau bunga di meja
Sunyi
Menyayat seperti belati
Mata Kivia mulai terpejam menikmati setiap bait yang mengalun lembut dalam lagu ini. "Lagunya bagus, gue suka."
Kiev tersenyum tipis memandangi Kivia. "Iya, gue juga suka."
Kembali senyap. Sebab lalu lintas yang lancar dan kecepatan mobil Kiev yang stabil menit demi menit terus berjalan, hingga kemudian mereka mulai memasuki daerah tujuan Kivia.
"Yang mana rumahnya? Di pinggir jalan aja?"
"Iya, di pinggir jalan aja. Nggak masuk gang." Kivia menatap kertas kecil berisikan alamat lengkap tempat tujuannya. "Bener kan kita?"
"Iya bener, nih. Nomor rumahnya udah urut," kata Kiev sambil melihat nomor-nomor rumah yang dilewatinya. Kiev tampak terkesima dengan rumah-rumah besar yang ada di kanan-kiri jalan. Bukan hanya besar, tapi arsitektur deretan rumah itu juga begitu indah.
"Kiev-Kiev-Kiev, stop." Kivia panik bukan kepalang. Beberapa meter di depan mereka, ada 3 buah van yang dikenalnya di luar kepala.
"Kiev, kayaknya kita harus putar balik. Tempat tujuan gue udah ketahuan." Kivia mencengkram bahu Kiev. Tangannya sampai gemetar karena rasa takut.
"Oke-oke." Tanpa protes, Kiev dengan tanggap menjalankan mobilnya untuk putar arah dan keluar dari area itu.
Celakanya, salah satu mata tajam pasukan Tirex melihat mobil Kiev, dan ia tahu persis plat nomor mobil itu adalah mobil yang sama dengan mobil mencurigakan yang ada di lampu merah. Pria botak nan kekar itu lantas memerintahkan anak buahnya untuk melakukan pengejaran.
"Kalian tunggu di sini. Awasi wanita ini." Tunjuknya pada seorang wanita tua yang terus meronta dalam sekapan anak buahnya. Kemudian ia bersama puluhan jongos-jongosnya itu keluar dan melompat dalam van yang langsung melesat dengan gila.
Di sisi lain, Kivia menggigit bibir dengan perasaan sangat cemas. Berapa kali dia menoleh ke arah belakang. "Perasaan gue nggak enak, Kiev."
"Tenang, Ya. Tenang. Tarik napas, keluarkan. Tarik napas ... keluarkaaan." Kiev berusaha menenangkan Kivia sekaligus dirinya sendiri.
Waktu-waktu darurat pun tiba, Kiev dan Kivia dapat melihat dua buah van di belakang mereka. "Kita diikutin."
"Aduuuh. Mati gueee, Kieeev. Matiii!" jerit Kivia histeris.
Kiev menggeleng kuat. "Belum, lo belum mati, Yaaa!"
"Hwaaa, maafin gue, Kiev. Gue nggak tau bakal begini akhirnyaaa!" racau Kivia yang panik tingkat nasional.
Kiev menambah laju mobilnya. Baru kali ini ia menjelma sebagai pembalap di jalanan. "Buseeet, gue bisa ikutan casting Fast Furious kalau gini ceritanyaaa!"
"Apaan tuuuh?!" tanya Kivia dengan nada frustrasi. Tangannya kini menggenggam kuat bagian tepi jok yang ia duduki.
"Nggak bisa jelasin sekarang, Yaaaa. Intinya film balapaaan!" seru Kiev sambil menghapus keringat dingin yang melintas di jidatnya.
Perasaan keduanya campur aduk. Bunyi dua mobil besar di belakang itu benar-benar membuat nyali mereka ciut.
"Sekarang lo bisa jelasin siapa merekaaa? Selain pasukan tireeex? Mereka orang jahat yang sesungguhnya mau jual ginjal lo apa gimana, Yaaa?!"
Kivia mengacak rambutnya. "Mereka itu anak buah bokap gueee. Tapi gue nggak mauuu sama mereka!"
"Kenapa woooy?!" tanya Kiev tidak santai.
"Gue baru aja kabur dari perjodohan gue yang ke 12!"
Kiev langsung terbatuk, keduanya membelalak. "Whaaat? Seriuuus lo?!"
"Iyaaaa. Basi banget kan? Gue masih tujuh belas tahun dan ini bukan zaman Siti Nurbaya lagiii. Tapi bokap gue entah kenapa nafsu banget jodohin gueee. Gue nggak mau nikah sekarang, Kiev. Gue nggak mauuu! Gye nggak bisa bayangin gue jadi istri om-om kayak Datuk Maringgih!" seru Kivia, hampir menangis dia.
Kiev mencoba mencerna permasalahan yang ada. "Lo nggak bisa nolak dengan baik-baik gitu ke bokap lo?!"
"Ya kalau bisa nolak dengan damai aman sentosa mah gue nggak pakai acara kabur-kaburan dan dikejar-kejar kayak gini, Kiev Bhagaskaraaa!"
"Ya iya bener juga yaaak!"
Karena panik beribu panik, keduanya dari tadi bicara dengan nada ngegas. Berseru sampai menjerit.
Tensi semakin meningkat ketika ternyata satu dari mobil besar itu berhasil membalap Kiev dan Kivia. Makian terdengar dari luar menodai telinga keduanya. Kiev semakin terhimpit ketika mobil kompolotan yang lainnya itu bermain-main menabrak bagian belakang mobilnya.
"Yaa, siap-siap. Berdoa yang banyaaak!" Kiev memberi aba-aba.
Belum sempat dan mungkin tidak akan pernah siap, jantung Kivia makin berpacu cepat ketika Kiev membelokkan mobilnya keluar dari badan jalan dan meluncur tak terkendali ke daerah ilalang-ilalang yang menjulang.
Kedua remaja itu berteriak histeris seiring gerak mobil yang membelah belukar ilalang ini. Sungguh, kedatangan Rembulan Kivianisya mengaktifkan genre action dalam kehidupan Kiev Bhagaskara.
Kiev menginjak rem kuat-kuat, menimbulkan bunyi decitan dan berhenti tepat di pinggir aliran sung ai landai yang dipenuhi bebatuan besar. Kedua insan di dalam mobil itu menghela napas bersamaan dan buru-buru keluar. Kivia langsung duduk bertumpu lutut dan muntah habis-habisan. Sebagai sohib (baru) siaga, Kiev langsung merapikan rambut Kivia ke arah belakang dan memijat tengkuk gadis itu.
"Gimana, Ya? Udah mendingan?" Kiev mengulurkan botol air mineral pada Kivia yang langsung berkumur-kumur.
Kiev lalu membantu Kivia berdiri. Gadis itu menyandarkan tubuh pada bagian depan mobil. "Thanks, Kiev."
"Lo masih kuat lari?" tanya Kiev memastikan.
Gadis di depannya itu langsung mengangguk. "Gue kuat kok, tapi mobil lo gimana?"
"Nanti bisa diurus belakangan." Dengan gerakan tergesa Kiev melepas jasnya dan menyampirkan jas berwarna biru dongker itu pada bahu Kivia. "Pake ini, dress lo nggak mendukung buat lari-larian."
Kivia menuruti permintaan Kiev dengan segera mengenakan jas itu dan mengaitkan satu kancingnya. Rambut Kivia yang menggantung di bawah leher ikut sembunyi dalam balutan jas milik Kiev.
Tak menunggu waktu lagi, Kiev lantas meraih jemari Kivia, meninggalkan padang ilalang itu dan mereka berdua lari di sepanjang tepian sungai.
Kiev menyipitkan mata, hanya cahaya bulan yang menyinari langkah kaki mereka saat ini. Matanya menangkap sebuah tempat yang bisa dijadikan markas persembunyian. "Kita naik ke sana."
Suara derap-derap langkah kaki yang terdengar brutal jauh dari belakang sana membuat Kiev dan Kivia dilanda rasa panik berlebih. Pasukan tirex memang benar-benar ahli dalam urusan seperti ini. Sosok mereka belum terlihat saja sudah berhasil membuat target terintimidasi. Apalagi jika sosok-sosok menakutkan itu menampakkan diri.
Kivia terpaksa melepas high heels pemberian Kiev dan menentengnya di satu tangan. Mereka kembali berlari sekuat tenaga. Kedua remaja itu jatuh bangun berlari, bergantian menopang satu sama lain. Medan yang tak terduga, kadang menurun kadang menanjak, berbatu dan rumput-rumput liar yang menerpa permukaan kulit.
"Ayo, Ya. Naik." Kiev yang sudah lebih dulu ada di atas mengulurkan tangannya.
Kivia menyambut tangan Kiev dan naik ke atas jalan beraspal meski tak ada lampu yang menerangi jalanan. Tenaga mereka hampir terkuras habis. Kivia merasa lututnya tak mampu lagi bertahan.
Tak jauh di depan mereka, terdapat sebuah bangunan kecil dari bata yang menjulang, mirip benteng pertahanan zaman dulu. Tersamarkan dengan pohon besar dan tanaman merambat. Tanpa banyak pikir, Kiev dan Kivia memutuskan untuk bersembunyi di sana. Keduanya meluruh, duduk berselonjor dengan punggung yang tersandar pada tembok kusam itu.
Napas mereka tersengal. Keringat yang tercucur berlebihan dan jantung yang perlu dikendalikan agar kembali berdetak secara normal.
Kiev merasa menyesal ia tak bisa menjadi tameng untuk Kivia. Ia juga tak bisa menghajar puluhan pria-pria menyeramkan itu seperti di film-film. Suatu hal pahit yang kembali mengingatkan Kiev tentang rasa ini.
Perasaan bersalah karena tak bisa melindungi orang yang ... sepertinya terlalu cepat untuk menyebutkan bahwa Kivia termasuk orang-orang yang ia sayangi. Kiev tak tahu sebutan yang tepat untuk rasa ini, yang jelas ia begitu memedulikan Kivia dan ingin melindunginya.
"Thanks banget, Kiev. Gue nggak tau harus gimana lagi ngungkapin rasa maaf dan terima kasih buat lo untuk hari ini."
"Gue juga. Seharusnya gue nggak ajak lo ke prom. Gue salah, Ya. Maafin gue," tutur Kiev dengan rasa menyesal yang teramat sangat.
Kivia menggelengkan kepalanya. "Nggak, Kiev. Lo nggak salah. Itu acara lo. Gue seneng bisa datang ke prom dan ketemu teman-teman lo. Itu salah satu hal bahagia yang bisa gue kenang ke depannya."
"Ya...."
Di bawah taburan bintang, Kivia menghadap ke arah Kiev dan tak bisa menahan air matanya yang luruh. Melihat tangis Kivia, hati Kiev serasa dipatahkan menjadi dua.
"Lo orang baik, Kiev. I'm so lucky to meet you."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top