sepuluh
Sebetulnya, Rembulan Kivianisya lebih memilih menghabiskan waktu liburnya dengan istirahat seharian di mess. Melakukan hibernasi seperti beruang. Berleyeh-leyeh sesuka hati atau membaca buku-buku favoritnya sampai tuntas berulang kali. Tanpa menghiraukan pekerjaan yang sesungguhnya, cukup menguras tenaga.
Kivia merasa sedikit menyesal menuruti permintaan rekan-rekan kerjanya untuk keluar dari area pertambangan terpelosok ini menuju kota. Suasana tenang di kawasan pegunungan ini sudah seperti zona nyaman untuk Kivia. Sepi dan juga damai.
Bersama Kivia, Pakde Bambang, Pi'i, Mas Paijo dan Abang Juned yang sudah seperti boyband dengan perbedaan usia dan latar belakang asal daerah itu menuju Banjarmasin. Refreshing, walau sesungguhnya juga ada sedikit urusan pekerjaan di kantor cabang. Mereka menggunakan truk panjang dengan roda berjumlah dua belas buah.
Manusia yang setiap harinya ada di pelosok daerah pegunungan tanpa internet dan sinyal memadai itu tampak girang ketika sudah memasuki wilayah perkotaan. Kecuali Kivia yang tampak tidak seantusias rekan-rekannya. Entah berapa tahun sudah ia tidak menghirup udara perkotaan. Ia sudah lupa dengan nuansa ingar bingar kota.
Keramaian manusia. Lalu lintas yang padat serta apa saja yang telah berubah dari kota Banjarmasin. Perkembangan zaman yang membuat kota itu semakin modern juga gedung-gedung tinggi yang mulai dibangun.
Selama perjalanan, mereka menyetir bergantian, termasuk Kivia. Jarak area pertambangan tempat kerja mereka dengan Kota Banjarmasin ditempuh dalam kisaran 5-8 jam. Jangan khawatir, Kivia sudah memiliki SIM B. Surat ijin mengemudi untuk mobil besar sejenis truk. Sementara lisensi untuk mengoperasikan truk pengangkut tambang yang sudah seperti rumah dua tingkat itu ia dapatkan dengan melewati training ketat dan harus memperoleh sertifikat terlebih dahulu.
Rekan kerja Kivia memang kebanyakan laki-laki. Syukurnya, mereka bersikap dengan sangat sopan dan menghargainya sebagai seorang rekan kerja. Tidak ada hal-hal tidak nyaman atau bentuk pelecehan yang Kivia rasakan sebagai perempuan selama bekerja dalam bidang ini. Perusahaan tempat ia bekerja memiliki kode etik yang ketat dan siapa pun yang melanggar akan berurusan dengan atasan.
Sebelum memasuki perusahaan ini, Kivia sudah mencari tahu gambaran perusahaan ini. Direktur utamanya adalah pengusaha besar yang terkenal dermawan, religius dan dekat dengan masyarakat. Itulah salah satu hal yang membuat Kivia bertahan di perusahaan ini bertahun-tahun lamanya.
Hari pertama setelah tiba di Banjarmasin adalah mengurus pekerjaan di kantor cabang. Malamnya, ini benar-benar rencana Pi'i sebagai orang Banjar asli. Pi'i mengajak mereka ke suatu pesta rakyat atau yang disebut dengan Karasminan Banua di Taman Budaya Banjarmasin.
Sewaktu kuliah, Pi'i yang sebenarnya berlatar belakang Teknik Pertambangan, memiliki jiwa seni yang membuncah hingga ia ikut suatu organisasi kebudayaan di luar kampus. Pi'i menarik tangan Kivia untuk mengikutinya entah ke mana. Sementara Pakde Bambang, Mas Paijo dan Abang Juned sedang asik duduk di stand makanan khas Banjar.
“Coba liat, Kivia pakai pakaian adat gitu cantik banget, yo,” komentar Pakde Bambang melihat Kivia yang baru keluar dari booth pakaian-pakaian tradisional Kalimantan Selatan. Kivia mengenakan baju kurung selutut berwarna kuning dipadukan dengan rok hijau tua bertabur manik-manik. Gadis itu menyampirkan selendang panjang tipis berwarna merah ke atas rambut bergelombangnya yang terurai.
Mas Paijo langsung menimpali setelah sedikit terpesona dengan penampilan Kivia yang tak pernah ia lihat sebelumnya. “Iya, biasa pakai baju laki sih dia tuh. Padahal mubazir paras ayunya itu lho, kalau jadi Miss Indonesia juga cocok. Malah dia jadi supir truk kayak kita.”
“Padahal banyak yang suka, itu manajer baru kan ke lapangan tuh survey. Ada indikasi mau deketin Kivia, tapi Kivia nggak nanggepin,” kata Abang Juned tak kalah heboh.
“Apasih istilahnya? Itu ... independent woman. Mandiri banget, kalau kerja juga rajin, nggak ngeluh sama sekali.”
“Keliatannya dia sendiri mulu, ya? Selama ini libur di mess mulu, cuti aja nggak pernah.”
“Iya, bertahun-tahun dia nggak pernah pulang. Orang tuanya udah nggak ada?” tanya Mas Paijo penasaran.
“Nggak berani nyinggung-nyinggung masalah itu aku. Pakde yang lebih senior pernah nanya?” Abang Juned yang memang baru seumur jagung bekerja, mengoper pertanyaan kepada Pakde Bambang.
“Kalau ngomong tentang keluarga gitu selalu dialihkan sama dia. Seperti ada yang dia tutupi.”
Ketiganya lalu terdiam menatap Kivia. Gadis 27 tahun itu sudah seperti adik perempuan mereka.
***
Akhirnya Kiev menginjakkan kaki di Gedung Kesenian Balairung Sari Taman Budaya Banjarmasin. Tempat itu tampak ramai oleh jubelan penonton yang sedang menyaksikan pagelaran Karasminan Banua. Acara ini diisi oleh serangkaian pertunjukan tradisional Kalimantan Selatan, dari kesenian madihin, mamanda, tarian, teater, musik dan kesenian lainnya. info penting yang Kiev terima adalah, Kahada Taduh akan tampil dalam acara ini.
Kiev tampak begitu tampan mengenakan baju sasirangan lengan panjang. Baju sasirangan berwarna pelangi itu tampak sangat pas di tubuhnya. Banyak yang melihat ke arahnya tetapi mereka mungkin seperti yakin tak yakin mengenalinya sebagai Kiev Bhagaskara. Kiev berjalan sendiri seperti anak hilang. Namun, ia berusaha mengabaikan kesendiriannya dengan mengamati berbagai penampilan yang sedang dipertunjukkan. Membaur dengan para penonton yang lain.
Di sekitar panggung besar itu juga terdapat stand-stand yang teramat kental oleh kebudayaan suku Banjar. Dari pernak-pernik, pakaian, hingga makanan khas Banjar.
Sekarang sedang tampil seorang perempuan yang sedang menampilkan tarian selamat datang. Kalau tidak salah dengar, pembawa acara menyebutkan bahwa nama tarian ini adalah Tari Baksa Kambang. Penari itu bergerak begitu anggun dan gemulai.
Kiev tercenung saat pembawa acara kemudian mengumumkan bahwa Kahada Taduh akan segera tampil. Kiev dapat melihat beberapa orang laki-laki dan satu orang perempuan yang duduk bersimpuh di atas panggung. Instrumen musik panting mulai mengalun memanjakan telinga. Selain panting, terdapat alat pengiring lainnya yang terdiri dari alat musik babun, gong, biola, suling, ketipak dan tamburin. Suara merdu sang penyanyi pun membawakan lagu Ampat si Ampat Lima karya H. Anang Ardiansyah.
Ampat si ampat lima kaka ai kuriding patah
Patah sabilah patah sabilah di higa lawang
Ampat si ampat lima kaka ai kutanding sudah
Kada manyama kada manyama nang baju habang
(Empat si empat lima kaka, kuriding patah
Patah sebilah, patah sebila di samping pintu
Empat si empat lima kaka, ku tanding sudah
Tidaklah sama tidaklah sama yang baju merah)
Ampat si ampat lima kaka ai kuriding patah
Patah sabilah patah sabilah di higa tajau
Ampat si ampat lima kaka ai kutanding sudah
Kada manyama kada manyama nang baju hijau
(Empat si empat lima kaka, kuriding patah
Patah sebilah, patah sebila di samping pintu
Empat si empat lima kaka, ku tanding sudah
Tidaklah sama tidaklah sama yang baju hijau)
Kiev berjalan ke depan, untuk melihat lebih jelas. Tiba-tiba, sebuah kerudung berwarna merah terang, melayang ke arahnya dan menutupi wajahnya.
“Maaf,” kata seorang perempuan pemilik kerudung itu. Ia mengenakan pakaian adat Galuh Banjar. Tangan Kiev bergerak melepas kerudung tipis itu dari wajahnya, hal pertama yang ia lihat adalah sepatu yang dikenakan orang di hadapannya. Sepatu berwarna abu-abu berkilauan ini....
Kiev mengangkat kepala secara perlahan. Kedua manik mata itu kemudian bersitatap satu sama lainnya.
Banyak urang nang maantar tapih
Salambar-lambar kada bakain
Banyak sudah urang nang mamilih
Jodohnya ... kada ka lain
(banyak orang ya mengantar sarung
selembar saja tidak (punya) kain
banyak sudah orang yang memilih
jodohnya tidak ke lain)
"Kivia...."
Mata Kivia membulat. "Kiev?"
bersambung
Gehehehehehe akhirnya jumpa jugo mereka. Gimana ya setelah lama nggak bertemu. Masihkah ada rasa itu? Hehehheheh.
find me on instagram : inkinaoktari
Jangan lupa like, komen dan vote yaaa gwhehhe.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top