limapuluh tiga

Memandang sosok Kivia sekali lagi, Kiev menepikan keraguannya jauh-jauh. Apa pun yang terjadi ke depannya, Kiev serius akan niatnya ini.

"Tetap aja, aku nggak akan mundur. Aku nggak akan menyerah atas kita," ujar Kiev lembut tapi penuh keyakinan.

Kivia terdiam sebentar. "Aku nggak mau kamu nunggu, Kiev."

Kiev terpaku mendengar perkataan Kivia.

Maksud Kivia apa? Jangan-jangan....

"Aku nggak mau ... aku nggak bisa pisah sama kamu, Ya," kata Kiev yang melesak membawa Kivia dalam dekapannya.

Detik demi detik berlalu, tangan Kivia bergerak untuk mengusap-usap pundak Kiev.

"Siapa yang mau pisah sama kamu?"

Sedikit mengurai pelukannya, Kiev memandang Kivia tepat di manik mata. "Maksud kamu?"

"Mana cincinnya?" tanya Kivia lembut.

Mata Kiev mengerjap-ngerjap. "Ha?"

Senyum manis Kivia mengembang. "Aku mau, Kiev. Ayo kita menikah."

"Kamu ... serius?" tanya Kiev lagi masih tak percaya dengan apa yang ia dengar.

"Serius. Aku nggak mau kamu nunggu lebih lama lagi. Aku bersedia, Kiev Bhagaskara. Let's get married."

Melihat jemari Kivia yang terulur di depannya sejak tadi, Kiev akhirnya mulai bergerak. Dengan sedikit gemetar namun pasti, Kiev memasangkan cincin berlian itu ke jari manis Kivia. Senyuman keduanya merekah dengan perasaan yang campur aduk. Senang dan gugup yang paling mendominasi. Mata mereka juga basah oleh air mata haru.

"Kamu yakin?" tanya Kiev lagi.

Kivia mengangguk yakin. "Aku percaya sama kamu. Dan selama kamu percaya aku, aku juga percaya sama diri aku sendiri. Apalagi mengingat semua tentang kamu. Aku rasa aku nggak akan terpikir apa atau siapa pun lagi tentang pernikahan selain kamu. Aku juga sering kepikiran kamu akhir-akhir ini sampai aku rasa aku pengin liat kamu sesering mungkin ada di sisi aku."

Kiev mengecup tangan Kivia. "Aku percaya kita bisa, Ya. Aku nggak akan bikin kamu menyesal. Kita lewati step mendebarkan ini sama-sama, ya?"

Kivia mengangguk. "Sekarang, aku dan kamu, kita adalah dua orang yang bersepakat buat menikah. Bukan karena desakan apa pun, tapi karena kita aware tentang pernikahan juga mau belajar lebih untuk mengarunginya."

Mendengar itu, kedua tangan Kiev terulur dan meraih Kivia dalam pelukannya. Mengecup kening dan puncak kepala gadis itu bergantian sebelum kembali memeluknya lagi.

"Terimakasih, Ya."

"Aku yang banyak berterimakasih sama kamu. Kasih sayang kamu emang pantas mendapatkan balasan tak terhingga," jawab Kivia menyandarkan wajahnya di atas pundak Kiev.

Jemari Kiev bergerak membelai rambut Kivia. "Ke depannya mungkin nggak akan selalu mulus. Aku nggak bisa janji apa-apa tapi aku akan melakukan yang terbaik untuk kita berdua."

Kivia mengangguk dengan senyuman manisnya. "Begitu juga dengan aku."

Mentari pagi yang hangat juga tenangnya debur ombak menjadi saksi kedua insan yang tenggelam dalam suasana luar biasa haru. Menatap cincin yang ada di jemari sang puan, Kiev benar-benar tak menyangka bahwa ini bukanlah mimpi belaka.

Terlebih saat mereka benar-benar membahas pemikiran keduanya sejujur-jujurnya. Mereka yang berusaha untuk menjadi lebih terbuka dan komunikasi terbaik adalah saling mengetahui pendapat masing-masing. Kivia dan Kiev bukan cenayang yang bisa menebak jalan pikiran.

Kiev juga merasa sangat beruntung saat Kivia memintanya untuk mengutarakan pemikirannya dan gadis itu menghormati setiap pendapatnya. Mereka akan berusaha mencari jalan tengah di setiap perbedaan pendapat yang terjadi. Mungkin karena mereka sama-sama punya penyelesaian diam dan saat sesuatu terjadi. Mereka hampir tidak pernah terlibat dalam pertengkaran pasangan seperti beradu argumen dengan tegangan tinggi. Akan tetapi, mereka akan benar-benar membicarakannya setelah itu.

Kivia pun dengan hati senang menerima lamaran Kiev. Ia dan Kiev saling mengasihi. Bukannya rasa takut akan pernikahan itu lenyap begitu saja selibas mata secara ajaib, akan tetapi Kivia memilih untuk lebih berani.

"Sejak sama kamu, aku jauh lebih bahagia. Aku menemukan ketenangan. Jujur, aku masih diserang ketakutan-ketakutan itu. Tapi sama sekali, aku nggak ada keraguan menerima lamaran kamu. Aku yakin sama perasaan ini," ujar Kivia.

"Thank you, darl," sahut Kiev sembari mengusap pipi Kivia. "Kita akan berusaha sebaik mungkin dan berdoa agar Tuhan melindungi pernikahan kita."

Kivia mengangguk sembari memamerkan senyuman manisnya. Mengaminkan dengan sungguh perkataan Kiev.

***

Para orang tua menyambut baik kabar gembira itu. Sebenarnya Kiev sudah jauh-jauh hari memberitahu niatannya untuk melamar Kivia pada Kumara Nararya sebelum lamaran di tepi pantai nan indah itu dilaksanakan. Karena ia sudah mengenal dan tahu betapa laki-laki muda itu begitu mencintai putri semata wayangnya dan memperlakukannya dengan baik, Kumara pun memberikan restu sepenuhnya.

Dalam lubuk hati terdalam, Kumara berharap Kiev dapat meyakinkan Kivia. Akan sangat menenangkan baginya jika gadis kecilnya itu bersama dengan pendamping hidup yang bisa menjaga dan menyayanginya. Mengingat dirinya sudah berumur dan tidak bisa selamanya berada di sisi putrinya. Akan ada suatu masa ia menyusul istri yang ia cintai ke pangkuan-Nya. Ia ingin memastikan Kivia hidup bahagia dan tidak lagi sendirian.

Bunda Kiev juga sangat antusias ketika Kiev mengutarakan niatnya. Kiev yakin Kivia menerima lamarannya pun adalah berkat dari doa sang bunda.

Setelah perjalanan mereka dari Kalimantan, tanpa menunggu waktu lebih lama, bersama sang Bunda, Kiev datang secara resmi untuk melamar Kivia. Istilah dalam suku Banjar, yakni Badatang, di mana laki-laki mendatangi kediaman sang perempuan bersama keluarganya dan mengutarakan lamaran.

Mereka juga membahas  segala yang berkenaan dengan pernikahan juga resepsi. Dari tanggal baik, lokasi dan adat pernikahan yang akan digunakan. Dalam case Kiev dn Kivia mereka juga membahas prenuptial agreement atau perjanjian pranikah.

Prenup atau perjanjian pranikah kadang disalahartikan dengan mempersiapkan perceraian. Padahal sebaliknya, prenup dapat memperkukuh hubungan dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Perjanjian disepakati oleh kedua belah pihak dengan terbuka. Mengenai hak dan kewajiban suami istri juga pemisahan harta sebelum pernikahan akan dilakukan.

Meski dilanda kegugupan seperti calon pengantin lainnya, Kiev dan Kivia bersepakat untuk menikmati dengan hati tenang dan bahagia mengenai persiapan pernikahan mereka.

Toh, mereka tidak sedang didesak deadline atau apa pun. Mereka tidak akan terburu-buru tapi tentu juga tidak akan menunda-nunda.

"Prenup akan kita diskusikan lebih lanjut dengan pengacara. Aku menyetujui draft yang kalian ajukan, sepertinya kalian sudah membicarakan ini dengan baik," kata Kumara Nararya.

"Terimakasih, Om," ujar Kiev.

Kumara menggeleng. "Kamu bisa mengubah panggilanmu padaku. Panggil aku Ayah."

Meski ayah Kivia mengatakan itu dengan datar dan ekspresi seperti yang biasa orang tua itu tunjukkan, jantung Kiev tetap saja berdebar gugup. "Baik, Ayah."

"Kapan kalian akan melakukan pemeriksaan kesehatan?" tanya Bunda Kiev.

"Besok, Bun," sahut Kivia. Mereka akan melakukan pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh.

"Okay," kata Bunda Kiev. Pandangannya kemudian beralih pada Ayah Kivia. "Ah ya, sebenarnya paman Kiev ingin menemani kami siang ini kemari sebagai wali ayah Kiev, tapi dia masih berada di Denmark dan Kiev sudah tak bisa menunggu." Bunda Kiev tersenyum simpul pada sang putra.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top