limapuluh satu
Setelah kegiatan di sekolah, Kiev dan Kivia juga mengelilingi desa bersama Bu Murniah. Mereka dijamu oleh beberapa ibu-ibu yang sedang 'bemasakan' atau masak bersama. Kiev dan Kivia awalnya ingin menolak karena sungkan, tapi melihat antusias warga, Kiev dan Kivia pun menghormati dengan makan bersama-sama warga di sana. Warga di sini begitu ramah. Mereka diperlakukan seperti keluarga lama yang baru saja pulang.
Setelah ashar, Kiev dan Kivia berpamitan pada masyarakat.
"Bulik wahini kah? Nah, jaka bemalam aja," kata pembakal alias kepala desa. (Pulang sekarang? menginap aja)
"Inggih, Pak. Lain hari nanti kami akan kembali lagi ke sini," ujar Kiev.
"Jangan jara lah," pesan Bu Murniah. (jangan jera ya)
Kivia tersenyum. "Inggih kada jara, Bu. Makasih banyak semuanya." (nggak jera)
Di atas jukung, Kiev dan Kivia membalas lambaian tangan pada anak-anak dan masyarakat yang mengantarkan mereka ke dermaga. Mata Kivia berkaca-kaca. Terharu atas kehangatan masyarakat desa ini.
Cahaya jingga akhirnya menerpa ketika mereka sudah melewati hutanan yang rimbun. Indah sekali. Kiev segera mengabadikan momen tersebut. Kivia tersenyum manis ke arahnya.
Setelah tiba di daratan, Kiev bersiap melanjutkan perjalanan mereka ke menggunakan Jeep yang Kiev kemudikan sendiri. Di sampingnya, Kivia melakukan video call bersama sang ayah yang terkejut dengan cerita Kivia tentang kegiatan mereka hari ini. Kumara bilang ia akan menjadi salah satu donatur utama yang akan membantu Kivia dalam mengelola desa tertinggal.
Kivia tertawa kecil dan berterimakasih pada sang ayah.
Sebelum Kiev menyalakan mobil, Kumara meminta Kivia bahwa ia ingin bicara pada Kiev. Kivia pun mengubah posisi duduknya dan mengarahkan ponselnya pada Kiev dan menipiskan jarak mereka.
"Kiev, hati-hati mengemudi dan titip putriku ya?"
"Siap," Kiev tersenyum dan mengacungkan jempolnya.
"Ayah...." tegur Kivia.
"Oh iya, jangan lupa makan."
"Ayah juga," sahut Kivia.
"Terimakasih, Om."
"Sudah, ayah harus rapat," kata Kumara yang sedang berada di Swedia.
"Jaga kesehatan ya, Ayah."
"Hm, kalau mengantuk jangan melanjutkan perjalanan."
"Iya, Om. Sip."
"Aku juga izin jadi donatur ya?" kata Kiev setelah video call dengan ayah Kivia selesai.
Kivia tersenyum sumringah. "Boleh, makasih, ya...."
"Kok kamu nggak menjalin kerjasama sama yayasan lain, Ya?" tanya Kiev penasaran.
"Aku bingung mulainya bagaimana. Awalnya aku cuma donasi ke beberapa yayasan, tapi ada satu yayasan yang tersandung kasus dan bikin aku punya trust issue. Ibaratnya sayang kan kalau bantuan nggak sampai pada masyarakat yang membutuhkan? Jadi selain Badan Amil Zakat, aku coba menjangkau sendiri yang belum terjangkau, terutama di wilayah yang terdekat sama aku.
Bahwa selama aku mampu, aku mau bantu mereka sekecil apa pun semoga bisa jadi manfaat. Nggak bisa dipungkiri, walau aku nggak punya dana unlimited saat masih hidup sama ayah. Makanya tawaran sebagai aktris itu aku terima karena aku butuh dana yang cukup untuk pembangunan desa," jelas Kivia.
Kiev tersenyum. "Nanti kita coba reach ke lembaga pemerintah juga ya?"
Kivia mengangguk. "Semoga pendidikan dan kesejahteraan di negeri ini bisa merata."
"Sekarang kamu nggak sendirian, Ya," ujar Kiev sembari mengusap rambut Kivia lembut.
"Makasih, Kiev. Nanti apa kita rekrut relawan untuk melakukan pengabdian, ya?"
"Boleh. Makin banyak yang bantu kan makin bagus."
Sepanjang perjalanan mereka melakukan diskusi. Selama ini Kivia memang cuma mengandalkan diri sendiri. Maka dari itu, jika mereka bisa bekerja sama dengan pihak-pihak yang bisa dipercaya dan ahli di bidangnya mereka dapat bergotong royong untuk membantu masyarakat yang membutuhkan. Tentunya dengan program yang berkelanjutan. Entah itu dalam aspek kesehatan, pendidikan, lingkungan dan lainnya.
Diskusi berlanjut ke perbincangan yang lebih santai. Tentang lagu-lagu yang terputar di playlist mobil atau pekerjaan Kiev dan Kivia di perusahaan. Proses penggarapan album Kiev serta projek Kivia terdekat atau pembicaraan receh tentang beberapa objek yang mereka lihat di jalan.
Sekitar pukul 9 malam, mereka sudah tidak berada di jalan raya lagi. Dari pinggir jalan saja Kiev dan Kivia mulai bisa mendengar debur ombak. Kivia sedikit menurunkan jendela mobil dan angin pantai pun segera membelai kulit.
"Yay vitaminsea!" kata Kivia ceria sebelum kembali menaikkan jendela mobil.
Mereka tiba di sebuah hotel di dekat pantai. Kiev dan Kivia turun dari mobil dan akan melakukan check in. Berjalan ke front desk, mereka menerima dua kartu akses. Setelah mengucapkan terimakasih pada resepsionis yang terkesima dengan keberadaan mereka berdua, Kiev dan Kivia pun melenggang menuju kamar mereka masing-masing. Di belakang mereka ada petugas hotel yang membantu membawakan koper.
Beberapa menit kemudian, mereka sudah berada di dalam kamar masing-masing. Kamar yang begitu nyaman untuk melepas penat. Kamar itu menyajikan pemandangan bentangan pasir putih dan pantai berwarna biru.
Sebuah notifikasi masuk ke ponsel Kivia setelah selesai mandi dan mengganti pakaian.
❤ : Kamu udah tidur?
Kivia: Belum
Suara ketukan terdengar. Kivia lalu berjalan untuk membukakan pintu. Kiev tampak segar dengan kaos dan celana pendek.
"Mau turun buat makan?" tanya Kiev kemudian melihat arloji di pergelangan tangannya.
"Yuk. Bentar, aku ambil jaket dulu." Kivia memakai jaketnya dengan cepat dan berjalan bersama Kiev.
"Kamu nggak apa-apa makan lagi jam segini?" tanya Kiev. Terakhir mereka makan ya sore tadi. Mereka juga sudah terus mengunyah makan sepanjang perjalanan, amunisi yang mereka siapkan saat mampir di sebuah minimarket.
"Nggak apa-apa. Aku laper lagi ini," ujar Kivia terkekeh.
***
"Besok abis shubuh jadi mau lihat matahari terbit?" tanya Kiev sambil mengelap sudut bibirnya. Isi piringnya sudah pindah ke perut.
Pertanyaan Kiev membuat Kivia yang tadi seperti kehilangan gairah untuk kembali menyendokkan makanannya ke mulut menjadi lebih bersemangat. "Jadiiii dong."
"Kenapa?"
"Aku kekenyangan," kata Kivia sambil mengerucutkan bibir.
"Katanya tadi laper lagi," goda Kiev.
"Porsinya kebanyakan."
"Yaudah biar aku yang habisin."
"Beneran?" tanya Kivia. Maksudnya, ini makanan sisaan dia lho. Namun, Kiev terlihat begitu santai.
"Iya, sayang nggak habis."
"Aku suapin ya?" kata Kivia.
Kiev yang agak terkejut mengangguk dan membuka mulut menerima suapan dari Kivia.
"Kamu nggak malu nyuapin aku?" tanya Kiev.
Kivia mengangkat alis. "Malu sama siapa? Sepi gini hehe."
"Kamu yang nggak apa-apa makan sisaan aku?" tanya Kivia balik.
Kiev tertawa kecil. "Nggak apa-apa, lah. Udah sering jadi penampungan. Bunda tuh yang sering nggak habis. Daripada mubazir."
Kivia mengangguk-angguk dan begitu saja membersihkan sudut bibir Kiev menggunakan tisu. "Moga kita nggak kesiangan besok."
"Uhm, nanti aku telfon," kata Kiev mencoba untuk menahan diri agar tidak salah tingkah.
Setelah bekerja sama melakukan gerakan tumpuk di tengah, mereka berdua beranjak dan dengan tangan bertaut berjalan menuju kamar mereka. Mungkin karena sudah cukup larut, hotel ini menjadi begitu sepi. Berbeda dengan suasana saat mereka tiba tadi yang masih terdapat beberapa orang berkeliaran. Di dalam lift, Kivia menyandarkan kepalanya ke bahu Kiev.
Lift berdenting. Keduanya berjalan santai dan malam ini harus mengakhiri untuk kebersamaan mereka.
"Good night," kata Kiev sembari mengusap rambut Kivia.
Meski wajahnya terlihat menahan kantuk, Kivia tetap tersenyum begitu cerah. "Night-night, ganteng."
Kiev menusuk pipi Kivia yang tersenyum begitu menggemaskan sebelum mereka melambaikan tangan dan memasuki kamar masing-masing.
Tidak sabar untuk menunggu datangnya pagi.
***
bersambung
semoga kita juga bisa yaaa kayak Kiev dan Kivia whehehehe. Kita juga bisa kok, walau nggak sefantastis Kiev dan Kivia. Sekecil apa pun itu, asal niatnya baik. InsyaAllah membawa manfaat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top