limapuluh enam
Apa plan B yang harus dilakukan jika tidak menikah?
Pertanyaan itu cukup umum dilontarkan dan Kivia dulu mungkin termasuk dalam orang-orang yang menyatakan diri bahwa sebenarnya pernikahan adalah plan B.
Dulu Kivia memiliki keputusan bulat untuk tidak menikah. Karena ia tidak percaya ada seseorang yang bisa membawanya ke dalam ikatan sakral itu. Sempat sangsi bahwa akan ada laki-laki yang dikirim Tuhan untuk membersamainya.
Dulu Kivia berpikir ia hanya perlu bekerja keras untuk menyambung hidupnya. Mewujudkan impian untuk bermanfaat pada sekitar setidaknya sekecil apa pun bisa membawa dampak dan perubahan baik. Punya tempat bernaung dan tabungan yang cukup untuk menikmati hari tua. Juga akses untuk menengok ayahnya secara diam-diam. Memastikan orang tua itu baik-baik saja dari kejauhan, dan denial untuk berharap sang ayah akan memintanya kembali. Meski dalam hatinya ingin sekali memohon untuk Tuhan lantas membuat mereka sama-sama melupakan masalah-masalah di antara keduanya.
Hingga akhirnya Kivia berada dalam fase mengikhlaskan dan pasrah atas ketentuan-Nya. Jauh dalam hati kecilnya ia meminta yang terbaik untuk kehidupannya. Rizki, jodoh maupun ajal. Kivia menengok ke belakang dan ia tau kendati banyak ujian yang harus ia hadapi, jalan yang telah tertulis untuknya jauh lebih baik daripada yang ia sendiri perkirakan. Di mana masalah seharusnya dihadapi bukan dihindari. Atau mungkin tidak perlu terselesaikan tapi hanya untuk dilewati.
Bahwa definisi selesai dengan solusi cepat bisa jadi mungkin jawabannya hanya perlu waktu. Karena yang harus diyakini adalah ia tidak akan menerima ujian melampaui batas kemampuannya.
Kivia tersenyum memandang ayahnya yang berada di ruang tv, hal yang ia angan-angankan beberapa tahun yang lalu untuk berada di sisi sang ayah sedekat ini. Sesuatu yang sangat ia syukuri bisa berdamai dengan alasan mengapa ia harus hidup. Kini alasannya bukan hanya untuk sekadar hidup, tapi alasan untuk ia hidup bahagia. Karena seperti ayah bilang, sekarang kebahagiaannya adalah yang utama. Dan bagi Kivia kebahagiaan sang ayah juga menjadi yang utama.
"Belum tidur?" tanya Kumara memandang Kivia yang berdiri memandangnya menggunakan piyama panjang berwarna biru.
Putrinya itu berjalan mengenakan sendal bulu-bulu dan rambut yang diikat sembarang. Lucu, Kumara seperti melihat Kivia kecil yang manis dan menggemaskan. Beda sekali dengan penampilannya saat menghadiri pesta beberapa jam yang lalu.
"Ayah sendiri kenapa belum tidur?" tanya Kivia sambil mencomot keripik kentang di minibar untuk dibawa ke ruang tengah.
"Tidak apa-apa," komentar Kumara singkat sambil menggenggam remote TV dan mengubah channel dengan bosan.
Kivia melirik tumpukan kaset lama di bawah meja. "Sudah minum multivitamin?"
"Hm, sudah."
Kivia duduk mengempaskan tubuh di samping sang ayah. "Mau nonton video mama bersamaku?"
Kumara terdiam dan gerakannya memindah-mindah channel TV lantas terhenti.
"Aku tau ayah suka menontonnya sendirian," kata Kivia tersenyum tipis dan membawa kaset-kaset lama di bawah meja itu ke pangkuannya.
Kumara hanya berdeham cuek.
"Ayah bisa ceritakan kalian sedang apa dan di mana, saat belum ada aku juga nggak masalah."
"Ingin nonton yang mana dulu?" tanya Kumara akhirnya.
"Hm ... mungkin rekaman dengan tanggal terlama?" kata Kivia sembari menunjukkan salah satu kaset di tahun 80-an itu.
Kivia berjalan dan memasukkan kaset itu ke dalam disk player khusus. Kualitas gambar pada layar TV itu memang memiliki kesan jaman dulu yang kuat. Tidak buram hanya saja tone warna dalam video agak sedikit kecoklatan. Cukup jernih dan Kivia bisa melihat dengan jelas betapa cantiknya sang mama waktu itu.
"Ini kapan, Yah?" tanya Kivia kembali duduk di samping Kumara. Bersandar dengan nyaman sambil memeluk bantal.
"Kami hanya berjalan-jalan."
"Ayah sudah punya cam recorder?"
"Ayah pinjam punya kakek."
"Kalian luar bisa saat masih muda."
"Kami pasangan yang serasi."
Kivia tertawa kecil mendengar nada datar dari komentar ayahnya itu.
"Ini kalian sudah menikah?"
Kumara mengangguk. "Sudah ada kamu."
"Kok aku nggak diajak jalan-jalan?"
"Kamu masih dalam perut mamamu."
"Ohhhhh." Kita ber-oh panjang. "Yang sebelum ini rekamannya nggak ada? Pertama kali ayah sama mama ketemu atau waktu kalian nikah?"
"Kasetnya di rumah Kota Baru."
"Aku nggak pernah diajak nonton," gerutu Kivia.
"Cerewet."
Mata Kivia membulat mendengar kata-kata singkat sang ayah. "Aku nggak cerewet, ayah."
"Nonton yang ada dulu."
"Hng, iya...."
Senyum Kivia perlahan mengembang, fokus menonton tayangan momen orang tuanya pada puluhan tahun yang lalu itu.
Di sana tampak Kaia tersenyum manis sambil meletakkan kamera di suatu tempat.
"Si jarang senyum," kata perempuan itu sambil menunjuk suaminya yang hanya mengarahkan pandangan lurus ke arah danau.
Kaia terlihat sangat manis dengan gaun putih tulang yang panjang selutut. Kaia membenahi rambut panjangnya yang berterbangan dibawa angin sepoi-sepoi. Sembari terus melangkah kecil ke arah suaminya.
"Hati-hati," ujar Kumara segera menjangkau sang istri yang tengah hamil muda itu.
Kaia tersenyum saat Kumara mendekap bahunya dan menuntunnya ke tepian danau. Sesampainya di sana, ia menyandarkan kepalanya pada bahu Kumara.
Banyak yang mereka bicarakan, tentang betapa bersyukurnya mereka saat ini. Tentang betapa beratnya melepas kepergian putra mereka Kevin Bintang Nararya yang baru berumur hitungan hari. Tentang bagaimana Kumara harus memakamkan putra yang telah mereka nantikan padahal Kaia bahkan belum keluar dari rumah sakit.
Hingga mereka kembali dipercayai untuk diberikan amanah ini. Banyak ketakutan yang mereka simpan. Namun, keduanya yakin untuk saling menjaga. Kumara mengecup puncak kepala Kaia dan mengusap sayang bahu istrinya itu.
"Ih, sweet banget sih," komentar Kivia. "Kalian ngomongin apa, Yah? Nggak kedengeran."
"Rahasia," jawab Kumara sambil menyuapkan keripik kentang pada Kivia.
Kivia mendengus tapi lanjut mengunyah keripik kentang rasa kesukaannya itu.
Pandangan Kumara menerawang jauh pada sosok istrinya yang begitu ia rindukan. Di balik remangnya lampu ruang tengah yang sudah dipadamkan dan hanya TV dan lampu duduk yang menjadi sumber penerangan, Kivia bisa menilik mata sang ayah yang berkaca-kaca saat ini.
Kivia melingkarkan lengannya pada sang ayah dan menyandarkan kepalanya pada bahu pria tua di sampingnya. Mereka terhanyut pada momen-momen seorang perempuan bernama Kaia Nararya yang mendominasi rekaman video itu. Bagaimana perempuan itu tersenyum, tertawa, bergerak dan bicara. Saat mata indah itu menatap ke arah kamera, Kumara dan Kivia seolah merasa sedang saling menatap dengannya.
Malam kian larut dan Kivia jatuh tertidur membaringkan kepalanya lpada bantal di pangkuan sang ayah.
"Kaia, kamu pasti sangat kecewa karena aku tidak memperlakukan putri kita dengan baik sebelumnya. Aku menyayanginya dengan cara yang salah dan sangat mengekangnya," ujar Kumara dalam hati sambil mengatur rambut Kivia ke belakang telinga.
"Dia tumbuh dengan baik dan aku menyesal tidak membersamainya bertahun-tahun dan hanya berani mengawasinya dari kejauhan."
"Sebentar lagi, putri kita bukan milikku lagi. Putri kita sudah dewasa dan dia bertemu dengan laki-laki hebat dan kamu pasti tau calon menantu kita adalah seseorang yang baik. Ia memuliakan putri kita dan aku berharap takdir baik selalu menyertai keduanya."
Kumara menghela napas dan tersenyum tipis menatap foto Kaia pada frame yang terpajang di dinding ruangan.
"Aku sangat menantikan waktu kita bertemu kembali...."
"Jika sudah waktuku habis di dunia, aku tak lagi takut akan kematian itu. Namun, jika bisa berharap ... aku ingin menggendong cucu kita, hingga aku bisa bercerita padamu tentang itu juga padamu nanti, sayangku."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top