limapuluh dua
Pohon kelapa yang tinggi menjulang melenggok mengikuti semilir angin. Kivia mengenakan gaun berwarna putih tulang yang dilapisi dengan cardigan rajut. Sementara Kiev sendiri mengenakan kemeja longgar yang juga berwarna putih. Dipadukan dengan celana yang digulung hingga lutut.
Keduanya menerjang kabut pagi, melepaskan sendal dan merasakan tekstur dari pasir putih yang melingkupi kaki mereka. Sejauh mata memandang, hanya ada mereka berdua dalam private beach ini.
Sambil menunggu matahari menampakkan diri, Kiev dan Kivia bermain di tepian pantai. Mengambil beberapa foto walau langit masih terlihat abu-abu terang dan tidak lagi sekelam malam.
"Dingin?"
Kivia mengangguk dan Kiev mengeratkan rangkulannya.
"Mataharinya bentar lagi terbit," kata Kivia antusias menunjuk cahaya kemerahan dari ufuk timur.
"Kamu berdiri di sana, aku foto ya."
"Oke!"
Kiev mengambil beberapa foto Kivia. Gadis itu tampak ethereal menyatu dengan alam yang menawan. Senyum manisnya yang menawan. Helaian rambut panjangnya yang bergelombang, menari dibelai oleh angin.
"Sini gantian aku fotoin kamu," ujar Kivia menghampiri Kiev.
Kiev menggeleng. "Nggak usah, kamu aja."
"Udah, kapan lagi kamu aku fotoin?" kata Kivia kekeuh dan membuat Kiev akhirnya menyerah.
Kiev kemudian mengatur tripod dan meletakkan kamera di sana.
"Pakai tripod, kita foto berdua."
Kivia memeluk lengan Kiev mereka berfoto dengan formal atau foto-foto dengan pose gemas seperti Kiev yang mencium puncak kepala Kivia yang sedang tersenyum lebar sambil memejamkan mata.
Usai berfoto, Kivia menari-nari sembari tertawa. Diiringi lantunan suara alam seperti kicau burung dan debur ombak, Kiev mengulurkan tangan. Mereka berdansa dan bergerak ke kanan ke kiri dengan tangan bertaut. Sesekali Kivia berputar atau Kiev yang mengangkat pinggangnya begitu saja.
Kiev dan Kivia duduk bersisian di atas pasir putih, mengatur napas mereka. Senyuman terpancar pada raut wajah Kivia yang terpesona akan keelokan sang mentari. Semburat merah muda yang melukis awan, juga pancaran kuning keemasan dari kilauan sang surya. Memandangi detik-detik kemunculan matahari yang mulai meninggi, detik itu pula tanpa Kivia duga Kiev mengeluarkan sebuah kotak beludru dari dalam sakunya.
"Menikah sama aku, Rembulan Kivianisya." Sebaris kalimat yang Kiev utarakan dengan pelan tapi intens itu memecahkan keheningan.
Kivia otomatis menoleh ke arah Kiev yang sedang memandangnya lekat. Lidah Kivia seolah tercekat. Senyum tipis Kiev dan cincin berkilauan dalam kotak itu membuat Kivia menutup mulutnya sendiri dengan kedua tangan. Benar-benar tak menyangka. "Kiev...."
"Ya ... aku tau banget ini kesannya mendadak."
"T-tapi Kiev...." Kivia memejamkan mata dan terdiam cukup lama. Sebelum Kivia melanjutkan kata-katanya, Kiev sepertinya telah menyimpulkan sesuatu.
Senyuman masih terpancang pada wajah tampan Kiev, akan tetapi ada yang berbeda dalam senyuman itu. Menyiratkan makna.
Tanpa menutup kotak cincin itu, Kiev meletakkannya ke atas permukaan pasir. Kini tangan Kiev beralih untuk mengusap bahu Kivia lembut. "It's okay, Ya."
"No, it's not okay. Kamu nggak bisa begitu," kata Kivia menengadahkan kepalanya dan menggeleng.
Melihat respon Kivia, Kiev lantas dilanda kegusaran. Perasaannya tak nyaman menyeruak begitu saja. "Kivia ... aku minta maaf."
"Kenapa kamu harus minta maaf?" ujar Kivia pelan. Suaranya gemetar. Matanya juga berkaca-kaca.
"Kiev, kamu juga berhak kecewa atau marah sama aku, kamu berhak mengutarakan apa yang ada dalam pikiran kamu. Kamu nggak harus selalu pengertian dan membuat aku jadi pusat dalam hubungan ini. Kita harus coba cari jalan tengah untuk kita berdua, bukan kamu yang harus selalu mengalah dan memahami aku. Hubungan ini bukan tentang aku aja," lanjut Kivia dengan kristal yang menggenang di matanya.
Memang betul, sebagai perempuan Kivia senang dan merasa terhormat Kiev selalu mengutamakan perasaan dan keadaan dirinya. Selalu memenangkan keinginannya. Namun, bukan berarti Kiev harus memendam pemikirannya sendiri. Mengorbankan perasaannya. Kivia merasa bersalah akan itu. Ia merasa selalu menerima, menerima dan menerima.
Kiev terpana dengan kalimat yang dilontarkan oleh Kivia kepadanya. Ia tersadar. Ya, dari awal Kiev meminta Kivia untuk mencoba menjalani hubungan ini. Ia juga sempat mengalami penolakan. Dunia tau, mereka saling menyayangi. Keduanya satu frekuensi. Dari berbagai perbedaan yang ada, mereka merasa cocok. Kiev dan Kivia bagaikan kepingan puzzle yang begitu pas.
Hening melanda keduanya. Kiev termangu pada kotak beludru berisikan cincin yang akhir-akhir ini selalu ia hadiahi senyuman ketika memandangnya. Mengkhayalkan hal indah yang seakan-akan jadi kenyataan. Terlalu tinggi menjulang. Meski jauh di lubuk hatinya, Kiev merasa gentar. Resah jikalau ia melontarkan pinangan, akan berbuah penolakan. Karena ia begitu paham, gadis yang sekarang menggenggam tangannya ini sangsi akan pernikahan.
"Kiev, tell me, apa yang ada di pikiran kamu saat ini? Please, jangan menyimpulkan apa pun. Aku tadi cuman terlalu kaget," ujar Kivia, memohon.
Ekspresi Kiev melunak, tidak lagi segusar tadi. Mereka ... harus mengkomunikasikan ini dengan baik, kan? Namun, mengapa sesi deeptalk saat ini begitu menyesakkan?
"Aku ... nggak bisa mengenyahkan niatku untuk menyampaikan hal ini ke kamu. Aku mau meyakinkan kamu bahwa hubungan ini akan bermuara ke arah mana," kata Kiev dengan tetap lembut seperti biasanya tapi memiliki ketegasan di dalamnya.
"Kalau ... aku menolak?" tanya Kivia dengan sangat hati-hati.
Kiev tersenyum. Memasang wajah seolah ia baik-baik saja. "Aku akan nunggu kamu," jawabnya terdengar tenang.
"Sampai kapan kamu akan nunggu aku?" tanya Kivia lagi.
Kiev terdiam, lama. Berbagai jawaban seperti menyerang pikirannya.
Sampai nanti
Tak ada batas waktu, ia bersedia menunggu
Sampai ... sampai ....
Sampai kapan?
Adakah harapan untuk sesuatu yang tak pasti?
Bukan, bukan ia tidak yakin akan mampu menunggu Kivia. Bukan ia akan menyerah begitu saja jika Kivia belum bersedia.
Hanya saja, ketakutan menggerogoti pikiran Kiev. Tentang kata 'belum' yang mungkin saja menjadi 'tidak'. Tentang hubungan keduanya yang akan bermuara ke mana. Tentang adanya kemungkinan, tidak akan ke mana-mana.
bersambung
thats why gaes akhir-akhir ini gue mentok. kiev dan kivia juga bisa mentok!
nunggu tuh sampai kapan?
yakin kiev bisa bertahan? gimana kalau dia nyerah dan nyari yg bersedia jadi pasangan sehidup sesyurga
kumpul kebo? mereka masih mempertimbangkan orang tua dan bertentangan juga sama prinsip mereka
time heals. tapi yakin kivia mau nikah?
kiev emang orang yg tepat. tp pernikahan yg masih jd momok.
hehe maaf ya aku nakut-nakutin :p
komen yaaaa promosiin Kiev biar Kivia buka mata menerima pernikahan gaes.
kurang apa lagi sih Kiev akutuuu??? :D
kalo kivia gamau sama aku aja sih.
instagram aku: inkinaoktari/inkinayo
kalian bisa banget kirim pesan mau say hi atau ngingetin update atau curcolita masalah cerita-ceritaku juga sekitar dunia penulisan hehehe maaci!
Calange
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top