limabelas

Pegunungan berhawa sejuk dan pohon-pohon besar di kanan-kiri jalan menjadi pemandangan indah yang bisa mereka nikmati. Tubuh mereka yang terguncang-guncang juga jalan yang kadang menanjak, kadang juga menurun. Kemudian berbelok, jalan berganti tak lagi aspal. Melainkan tanah berbatu yang tak jarang berlubang.

Setibanya di mess, setelah sedikit berkenalan dengan pekerja lainnya dan menemui Julak Ibung yang bernama asli Siti Maimunah. Beliau adalah seseorang yang bertugas sebagai koki di kantin mess ini, yang berarti beliau adalah atasan dari Kiev. Kiev lalu dibimbing oleh Pi'i membawa kopernya menuju kamar. Kamar mereka kebetulan bersebelahan. Mereka pun beristirahat dan akan mulai bekerja esok hari.

Keesokan harinya, Kivia kembali mendapatkan shift pagi. Sedangkan pagi hari Kiev mendapatkan bimbingan belajar musik panting secara eksklusif dari pioneer Kahada Taduh yaitu Ahmad Rafi'i as known as Pi'i.

Pada waktu setelah shalat shubuh, sebelum makan siang dan pada malam hari, Kiev akan berkutat di dapur. Membantu Julak Ibung menyiapkan asupan para pekerja di mess ini. Asisten Julak Ibung sebelumnya harus pulang ke kampung halaman karena sang anak yang sedang sakit.

Jujur saja Kiev sempat mengalami culture shock. Ya, kalau disuruh memasak saja Kiev mungkin tidak masalah. Namun, menjadi pegawai kantin yang super tanggap ia awalnya cukup kewalahan. Menjadi selebriti sejak kecil, Kiev terbiasa dilayani. Ada manajer pribadi yang selalu memenuhi kebutuhannya. Ada yang akan mengipasinya, atau mengangsurkan minum untuknya. Ia seolah diperlakukan sebagai seorang pangeran.

Di tempat ini, Kiev mencuci panci-panci besar, mengangkat galon bahkan naik ke atas tong air raksasa. Meski penglihatan Julak Ibung sudah sedikit rabun, beliau mengetahui secara jelas bahwa Kiev mempunyai paras setengah dewa. Hidungnya mancung, apalagi kulitnya yang putih bersih terawat seperti pakaian di hari yang suci.

Lagipula, mana Julak Ibung tahu Kiev merupakan CEO K-Entertainment dan selebriti multitalent yang menyabet penghargaan bergensi setiap tahunnya. Yang beliau tahu, Kiev telah komitmen bekerja sebagai seorang asisten dapur alias bawahannya (yang tak Julak Ibung ketahui bahwa dalam kasus ini alasan Kiev dibalik ini semua adalah untuk bisa terus belajar alat musik panting dengan Pi'i dan selalu berada di sisi Kivia).

Malam kelima Kiev di tempat ini, ia dan Kivia cs berkumpul di pelataran kantin setelah makan malam. Mereka membuat api unggun kecil sebagai penghangat. Setiap orang menggenggam cangkir kopi masing-masing yang masih beruap.

“Rokok, Kiev?” tawar Bang Juned mengeluarkan sebatang rokok dari kotaknya.

Kiev menolak dengan sopan. “Udah berenti, Bang.”

Bang Juned menaikkan kedua alisnya. “Okelah kalau begitu.”

Abang-abang bertubuh kurus tinggi itu menyelipkan rokok itu di antara bibir. Menyalakan pemantik dan tembakau dalam gulungan rokok itu perlahan terbakar. Beraroma kuat dan tentu menghasilkan asap. Perhatian Kiev kemudian teralih pada Pi'i yang menyerahkan alat musik panting kepadanya.

“Oke, lagu pertama. Ampar-ampar pisang,” kata Pi'i dengan senyum ekstra lebar. Kiev pun memetik senar panting, memeriksa hasil belajar beberapa hari ini dan mulai bernyanyi.

Ampar-ampar pisang
Pisangku balum masak
Masak sabigi dihurung bari-bari
Masak sabigi dihurung bari-bari

Pada bait berikutnya semua mulai bernyanyi bersama-sama. Tangan mereka bertepuk berirama. Duduk di sekitar api unggun, seperti anak sekolah yang sedang berkemah.

Manggarepak-manggarepok
Patah kayu bengkok
Bengkok dimakan api
Apinya cangcurupan
Bengkok dimakan api
Apinya cangcurupan
Nang mana batis kutung dikitip bidawang
Nang mana batis kutung dikitip bidawang

“Yeaaaay! Guud guuud.” Pi'i mengacungkan kedua jempolnya. Sementara Kivia tersenyum, suara Kiev begitu merdu. Rasanya ia ingin selalu mendengar suara itu berulang-ulang.

“Satu lagi Kiev, yang lagu satunyaaa, Kiev,” pinta Pi'i seperti bocah minta belikan kinderjoy. Sebagai murid tahu diri, Kiev kembali mematuhi request tutor musik pantingnya itu.

Sabujurannya handak kusampaiakan
Hati ini karindangan lawan pian
Amun kaya apa cara menyampaiakan
Aduh supan membari supan karindangan... karindangan

(Sebenarnya mau kusampaikan,
hati ini rindu sama kamu
Kayak gimana cara menyampaikan
Aduh malu, rindu.)

Lawas sudah mancari kasampatan
Kada paham kah pian lawan isyarat
Amun pian dasar bahati batu
Aduh uma aduh abah
Karindangan

(Sudah lama mencari kesempatan
Nggak paham kah kamu sama isyarat?
Kalau kamu emang berhati batu?
Aduh mama aduh ayah
Rindu)

Karindangan... karindangan
Karindangan supan bapadah
Saban guring siang tabangun
Saban guring malam...
tamimpi pian

(Rindu... rindu
Rindu, malu bilangnya
Tiap tidur siang kebangun
Tiap tidur malam... mimpiin kamu)

Semua orang seolah terhipnotis dengan penampilan Kiev. Cowok itu bahkan tidak mengenakan pakaian panggung dengan brand ternama. Tidak memakai microphone-nya yang berharga ratusan juta. Tidak didukung oleh paduan lighting mempesona.

Cukup seperti ini, di bawah bulan, sedikit bintang dan cahaya api unggun. Senyum manis, suara lembut dan tatapan mata Kiev bisa dikategorikan salah satu keindahan dunia. Kian indah, ketika mengingat sikap baik laki-laki itu pada sekitarnya.

Sebab itu, Kivia dirundung rasa takut. Takut, Kiev akan meruntuhkan keputusannya untuk tidak jatuh dengan rasa bernama cinta.



(*Karindangan dalam Bahasa Banjar diartikan dengan Rindu. Ada juga yang mengartikan seperti kesasayangan alias terlalu sayang hingga membuat uring-uringan.)

***



Pakde Bambang dan Bang Juned didapuk menjadi penyanyi berikutnya. Kedua bapak-bapak itu bahkan menggunakan sapu ijuk sebagai microphone. Sementara Pi'i mengiringi dengan gitarnya.

Kivia tersentak saat Kiev perlahan duduk di sampingnya. Keduanya saling diam, hanya mendengarkan lagu Mungkinkah dari Stinky yang dinyanyikan Pakde Bambang dan Bang Juned. Lagu lama yang begitu hits saat Andre Taulani masih menjadi vokalis. Teristimewa untuk istri mereka di rumah.

Tetes air mata basahi pipimu
Di saat kita kan berpisah
Terucapkan janji padamu kasihku
Takkan kulupakan dirimu

Begitu beratnya.... kau lepas diriku
Sebut namaku jika kau rindukan aku
Aku akan datang

Mungkinkah kita kan selalu bersama
Walau terbentang jarak antara kita
Biarkan kupeluk erat bayangmu
Tuk melepaskan semua kerinduanku

“Aku rasa tempat ini penuh dengan rasa rindu,” ujar Kiev sembari mendekatkan tangannya pada api unggun.

Kivia mengangguk-angguk tanda setuju. “Iya, keliatanlah semua laki-laki di tempat kerja ini. Eh, Bu Maemunah juga deh. Kalau ada waktu bebas, mereka selalu manfaatin hal itu untuk komunikasi sama keluarga.”

“Gimana kalau kamu, Ya?” Kiev menatap Kivia dengan intens.

Kivia mengalihkan pandangan. “Hm, aku? Apa yang gimana?”

“Kamu nggak kangen sama keluarga kamu?”

Pertanyaan Kiev membuat Kivia gelisah. Hatinya, ada gemuruh di sana.

“Di sini keluargaku, Kiev.”

Kiev terdiam cukup lama. Kemudian pertanyaan kembali terlontar dari mulutnya.
“Alasannya sama dengan waktu kamu kabur sepuluh tahun yang lalu?”

Kivia menggeleng pelan. “Lebih dari itu.”

Kau kusayang, selalu kujaga
Takkan kulepas selamanya
Hilangkanlah keraguanmu
Pada diriku di saat kujauh darimu

Di antara euforia rekan-rekan mereka yang bernyanyi ria. Kiev dan Kivia bercakap dengan melibatkan perasaan cukup dalam. Salah satu dari mereka atau mungkin keduanya, sedang mencoba meredam kuat-kuat. Agar pembicaraan ini tak memercikkan banyak luka yang tersimpan.

“Aku tau kita nggak sedekat itu, tapi boleh aku tanya tentang ini?”

Aku mau lebih tau apa pun tentang kamu, Ya,” batin Kiev menambahkan.

Kivia tersenyum. Senyum itu ... sebuah senyuman yang sulit untuk dijelaskan. “Kamu tau aku sepuluh tahun yang lalu, Kiev. Menurut kamu? Apa yang terjadi sama aku sekarang?”

Alasan Kivia saat kabur dan berakhir masuk secara random ke mobilnya adalah menolak gagasan ayahnya untuk dijodohkan. Lalu apa yang terjadi saat ini? Pasti masalah itu lebih complicated hingga Kivia harus mengambil jalan mengasingkan diri di tempat ini selama bertahun-tahun lamanya. Ada sesuatu yang menahannya untuk kembali ke rumah.

Tunggu, Kiev butuh waktu untuk berpikir.

“Kamu ... kabur dari rumah?”

Kemungkinan besar begitu, entah apa alasannya.

“Nggak, Kiev. Kamu salah.” Kivia menghela napas. Senyumnya semakin getir. “Aku nggak kabur dari rumah.”

Kiev tertegun memandang mata Kivia yang saat ini menggambarkan rasa rindu, marah, letih, sepi, dan ... detik selanjutnya, hampa.

“Aku ... aku diusir dari rumah.”

***

Kiev duduk di bagian belakang, ia mengenakan topi keselamatan dan rompi. Begitupula Pakde Bambang yang sedang mengemudikan Strada berwarna biru toska. Di samping Pakde, ada Bang Juned yang masih sibuk mengunyah kuaci.

Mobil besar itu memasuki area pertambangan. Tak ada lagi pemandangan rimbun pohon-pohon yang ada di sekitaran mess, sepanjang mata memandang hanyalah hamparan tanah yang luas dan berbagai jenis truk besar yang lalu lalang. Ada juga beberapa alat berat yang beroperasi.

Dari kejauhan, Kiev melihat Kivia yang menaiki tangga salah satu truk raksasa yang ada di sana. Kiev tak bisa menutup mulutnya dalam beberapa detik. Rasanya seperti mimpi melihat Kivia benar-benar mengoperasikan truk serupa monster itu.

Roda truk itu saja jauh lebih tinggi dari pada Strada yang ia tumpangi. Pakde Bambang terlihat berkomunikasi dengan walkie talkie yang terpasang di mobil. Pakde dan Bang Juned bertugas sebagai pengawas. Radio komunikasi berupa walkie talkie atau handy talkie di lokasi kerja hanya digunakan untuk kepentingan pekerjaan atau segala hal yang darurat di lapangan. Tidak untuk bicara ngalor-ngidul karena akan mengganggu jaringan radio komunikasi pekerja lainnya.

Zero accident. Itulah target mereka bersama.

Mata Kiev tertuju pada haul truck Kivia yang mondar-mandir mengangkut batu bara. Sebagai bahan bakar penghasil listrik dan kegiatan industri, kebutuhan batu bara masih sangat tinggi di negara ini. Tidak heran jika pekerja lapangan pun mendapat gaji yang sesuai, diikuti dengan konsekuensi kerja yang mereka hadapi. Maka dari itu safety adalah hal yang selalu dikampanyekan dalam pekerjaan ini.

“Pakde masuk. Unit 0058 lampu keselamatan belum dinyalakan, ganti,” tegur Pakde Bambang melalui radio komunikasi.

Sang operator truk HD itupun langsung menyahut berterimakasih dan menyalakan lampu keselamatan. Semua orang harus mematuhi SOP kerja yang diberlakukan. Jika tidak, nyawa yang akan jadi taruhannya.

Riwayat kelam dunia pertambangan pernah mencatat tewasnya beberapa korban jiwa karena tergilas truk haul atau truk yang terbalik karena berjalan di permukaan yang licin. Maka dari itu, semua orang tidak ingin hal itu terulang kembali. Mereka ingin bekerja sebaik-baiknya dengan selamat demi menghidupi keluarga di rumah.

Kiev sadar semua pekerjaan memiliki konsekuensi masing-masing. Namun, bagi seorang Rembulan Kivianisya. Apakah pekerjaan ini tidak terlalu berat baginya? Kenapa Kivia harus bekerja sekeras ini?

Kamu salah, Kiev. Aku nggak kabur dari rumah. Aku ... aku diusir dari rumah.”

Maka dari itu, saat makan malam, Kiev duduk berhadapan dengan Kivia. Melihat Kiev yang hanya diam sejak tadi dan terus menatapnya dengan raut wajah yang sulit untuk dijelaskan. Kivia menengak habis kopi susu di gelasnya, gadis itu memiringkan kepala, kemudian melambaikan tangannya di depan wajah Kiev. “Kiev Bhagaskara, oi. Jangan ngelamun entar kesambet.”

Kiev menghela napas dan menegakkan posisi duduknya. Mata cowok itu malah semakin serius. “Kamu nyaman kerja di sini, Ya?”

Yang ditanya lantas mengangguk. “Yaaa ... kalau nggak nyaman aku nggak akan bertahan selama ini.”

“Kamu nggak capek kerja di sini?” tanya Kiev hati-hati, entah kenapa setelah melihat Kivia bekerja dengan truk super besar itu, sisi kekhawatiran Kiev langsung siaga satu.

“Nggak ngapa-ngapain juga capek, Kiev. Apalagi kerja, kan?”

“Tapi kamu perempuan, Ya. Ini kerjaan laki-laki.”

Kivia menghela napas dan tersenyum tipis. “Siapa bilang? Lagipula operator cewek bukan cuma aku kok.”

“Tapi di area ini cuma kamu satu-satunya, kan?” tanya Kiev lagi.

“Kalau cuman aku emangnya kenapa?”

Kiev terdiam cukup lama. “Aku khawatir sama kamu, Ya.”

“Kiev, bukan berarti aku bakal mati besok, kan? Setirnya my monster itu bahkan lebih ringan dari setir mobil mewah. Aku udah pengalaman bertahun-tahun. Aku nggak pernah terlibat accident apa pun. Dan aku cuma perlu hati-hati dan berdoa, terus menyerahkan semuanya kepada-Nya.”

Kembali senyap, Kiev bertanya dalam hati. Apakah ia sudah terlalu jauh?

Memangnya dia siapanya Kivia?

Lagipula selama ini Kiev benar-benar mendukung gender equality. Nggak ada yang benar-benar pekerjaan laki-laki atau pekerjaan perempuan. Kalau memang mampu dan punya komptensi di bidang itu, ya seharusnya tidak perlu dipertanyakan atau diragukan.

Toh di sini ia juga mengambil peran sebagai juru masak. Tidak ada yang aneh dengan itu walau pekerjaan memasak menurut steriotip adalah pekerjaan perempuan. Padahal bukan seperti itu nyatanya. Laki-laki juga tak masalah jika memasak atau melakukan pekerjaan rumah.

Jadi, mengapa Kiev berpikir seperti itu? Mengapa ia berpikiran sempit dan hadirnya double standard yang tentu tidak adil bagi Kivia.

I’m so sorry, Ya. Aku nggak bermaksud begitu. Sekali lagi aku minta maaf.”

Kali ini Kivia terkekeh, lucu melihat wajah polos Kiev yang begitu merasa bersalah.
“Santai, Kiev. Terimakasih sudah khawatir sama aku.”

Kiev akhirnya bisa tersenyum melihat wajah ceria Kivia. “Kembali kasih.”

“Gimana latihan pantingnya?” tanya Kivia sembari mengulurkan camilan akar pinang pada Kiev.

“Aman, aku juga udah mulai nulis lirik ini, belum selesai sih hehe.”

“Wui, jadi nggak sabar.” Kivia bertepuk tangan seperti anak kecil. Namun, tiba-tiba ia berhenti. Seperti menyadari sesuatu.

“Kalau udah selesai, berarti kamu bakalan pergi?”

Kiev masih diam, tawa Kivia pun terdengar. Meski begitu, matanya terlihat sendu. “Ya pastilah ya. Ngapain juga aku nanya.”

“Hng, aku....”

Sebelum Kiev berbicara lebih lanjut, ponsel jadul Kivia yang hanya punya fasilitas senter selain sms dan telepon, berbunyi. Kivia juga agak kaget karena ada yang menghubunginya dari ponsel itu setelah sekian lama.

Kivia beranjak, raut wajahnya dipenuhi dengan keantusiasan ketika melihat siapa yang menghubunginya. Sambil berjalan cepat, cewek itu menoleh berisyarat pada Kiev bahwa ia harus mengangkat telepon yang Kiev balas dengan anggukan. Kiev tersenyum memandang Kivia yang terlihat begitu bersemangat. Apakah itu telepon dari keluarganya yang telah Kivia nanti-nantikan?

Dari tempat ia duduk, Kiev dapat mendengar dengan samar Kivia berbicara dengan bahasa inggris dengan accent yang kental. Mungkinkah keluarganya itu sedang berada di luar negeri. Hm, apakah itu salah satu alasan ia tidak pulang?

Terlalu banyak pertanyaan. Kiev tahu, kunci jawabannya hanya pada Kivia.

Lagipula, Kiev berusaha keras untuk tidak seperti seorang polisi yang sedang menginterogasi seseorang. Kivia bisa bercerita jika ia mau, dan berhak diam jika tidak ingin berbagi pada siapa pun. Termasuk dirinya.

Namun, Kiev tak pernah menduga. Satu jawaban yang datang selanjutnya, berhasil menyita pikirannya hingga tak mampu untuk nyenyak dalam lelap.

“Telepon dari siapa, Ya? Seneng banget keliatannya.”

Kivia tersenyum begitu semringah. “Dari anak aku, katanya besok dia mulai masuk sekolah!”

Kiev membeku. Harusnya Kiev tahu, sembilan tahun itu waktu yang benar-benar lama.

****

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top