lima
Pemandangan yang Kivia lihat ketika keluar dari kamar adalah Kiev yang sedang menyugar rambutnya. Cowok itu habis keramas. Berbeda dengan penampilan mereka tadi, Kiev dan Kivia jauh terlihat lebih segar. Kiev mengenakan kaos hitam polos sama seperti Kivia. Berbeda dengan kaos Kiev yang tampak pas di badan, pada tubuh Kivia kaos hitam polos itu jadi oversized.
"Bunda nunggu di ruang keluarga. Yuk," ajak Kiev.
Kivia berjalan mengekori Kiev. Dewi duduk di ruang keluarga dengan berbagai makanan ringan yang ada di meja. Juga dua mug coklat hangat yang masih beruap.
"Silakan duduk, Nak." Dewi mempersilakan Kivia duduk. Sementara Kiev langsung mengikuti duduk di sebelahnya.
"Minum dulu. Sambil makan juga nggak apa-apa." Dewi tersenyum sambil menyilangkan kaki.
Kiev mengambil sandwich dan menggigit dengan lahap. Sedangkan Kivia menyesap coklat hangat. Kivia melirik Kiev sejenak, Kiev mengangguk pelan. Setelah itu Kivia memberanikan diri untuk menjelaskan tentang apa yang terjadi sejujur-jujurnya.
Dewi adalah seorang pendengar yang baik. Tak seperti sosoknya yang meledak-ledak di depan Kiev tadi, Dewi begitu tenang menyimak penjelasan Kivia sekaligus permintaan maaf dan terimakasihnya yang tak pernah ketinggalan. Kiev juga sesekali memberi pendapat dari sudut pandangnya.
Meskipun beberapa kali agak kaget dengan fakta yang kedua remaja itu alami malam ini, Dewi tidak menghakimi Kivia maupun Kiev. Bagaimanapun, itu sudah terjadi dan syukurnya mereka berdua tidak kenapa-napa.
"Nak, bunda setuju, kamu adalah manusia yang punya hak memilih dan tidak selalu harus mematuhi apa yang orang tua kamu inginkan. Apalagi ini berhubungan dengan masa depan kamu juga seseorang yang akan bersama kamu seumur hidup. Orang tua kamu tidak bisa merampas kebebasan kamu. Belum lagi kamu masih di bawah umur," ujar Dewi setelah mendengar penjelasan Kivia tentang usaha perjodohan secara paksa yang dialaminya.
Kivia menatap Bunda Kiev kagum. Kiev bilang Bunda Kiev adalah pengacara di salah satu law firm terbaik di Jakarta.
"Namun, Bunda juga nggak bisa membenarkan tindakan kamu, sayang. Kamu bisa membuat orang tua kamu khawatir."
Kivia mengangguk pelan, memahami bahwa tindakan nekat yang ia lakukan juga keliru dan berbahaya. Beruntung ia bertemu Kiev dan Bunda. Bagaimana kalau sialnya ia jadi luntang-lantung di jalan dan malah bertemu dengan orang jahat?
"Maaf, Bunda. Kivia ngerasa udah hopeless banget. Aku nggak bisa berkomunikasi dengan baik dengan Ayah. Ayah terlalu keras kepala dan otoriter. Pendapat aku nggak berpengaruh apa-apa bagi Ayah."
"Kalau menurut mama kamu gimana?" tanya Dewi kemudian. Kivia tidak pernah menyebutkan tentang mama-nya. Hanya sosok ayah yang selalu ia sebutkan.
"Mama udah nggak ada saat kamu berumur 6 tahun, Bun."
Dewi terkesiap dan langsung merasa bersalah. "Maaf, sayang."
Kivia tersenyum tipis. "Nggak apa-apa kok, Bun. Kivia baik-baik aja."
"Oke, Bunda udah tau permasalahan sebenarnya. Jadi, habis ini kalian tidur, istirahat. Bunda akan bantu cari solusi yang terbaik. Besok kita rundingkan lagi ya?" putus Dewi akhirnya.
"Terimakasih banyak, Bunda... Sekali lagi Kivia minta maaf...."
"It's okay, Bunda ngerti. So, sekarang kamu tidur yang nyenyak ya, istirahat."
Kivia mengangguk patuh. Kiev dan Kivia berdiri dan menuju kamar. Sebelum masuk kamarnya, Kiev berdiri di ambang pintu kamar tamu yang digunakan oleh Kivia.
"Lo nggak takut kan tidur sendiri?" tanya Kiev iseng.
"Nggak, lah!" Kivia menjawab cepat. "Cepet sana, istirahat."
"Iya-iya. Lampunya matiin apa nggak nih?"
Kivia menggeleng. "Nggak usah, gue susah tidur kalau terlalu gelap."
"Oke, sleep well, Ya."
"Thank you, Kiev. You too."
Kiev tersenyum dan menutup pelan pintu kamar itu. Kivia naik ke atas kasur dan terkejut kala Kiev kembali membuka pintu dan melongokkan kepalanya.
"See you in the morning," ujar Kiev sambil menyengir.
Kivia mendengkus. "Iyaaa."
"Jangan banyak pikiran. Langsung tidur lo."
"Iya ah, bawel," gerutu Kivia tetapi akhirnya tawa mereka sama-sama berderai.
"Gue ke kamar dulu."
"Iya, sana cepet!"
"Hehe." Kiev terkekeh dan kembali menutup pintu. Kali ini sepertinya cowok itu benar-benar meninggalkan kamar yang Kivia tempati karena Kivia suara derap langkahnya yang menjauh.
Kivia tersenyum mengingat tingkah Kiev, ia menarik selimut dan perlahan memejamkan mata. Ah, ia sangat lelah dan ingin terlelap dalam waktu yang cukup. Sebelum menghadapi hal apa lagi yang tidak bisa ia tebak esok hari. Kivia bahkan tidak bermimpi saking nyenyaknya.
***
Pada keesokan harinya, Kivia bersyukur Tante Wiwi mengangkat telepon darinya. Tante Wiwi merupakan mantan pegawai di rumahnya. Selain Bu Mia, Tante Wiwi adalah pegawai yang paling akrab dengan Kivia tetapi beliau memilih berhenti setelah memiliki anak. Tetapi ia dan Kivia tetap berhubungan baik meski hanya melalui surat dan telepon rumah.
"Pengawal itu udah pergi. Tapi Tante nggak jamin mereka masih mengawasi rumah tante. Kamu sendiri yakin baik-baik aja di rumah teman kamu itu?" tanya Tante Wiwi cemas.
"Iya, Tante. Temen aku dan Bundanya baik banget. Tapi aku nggak enak ngerepotin mereka. Apalagi Tante tau ayah gimana, aku nggak mau mereka terlibat masalah karena aku."
"Tante nggak mungkin menjemput kamu dan membiarkan para pengawal berkonfrontasi. Gimana kalau ... Tante minta bantuan Bu Kinar?
"Maksud Tante, sekretaris Ayah?"
"Bu Kinar itu baik, Kivia. Dia peduli sama kamu dan satu-satunya perempuan yang bisa bicara langsung dengan ayah kamu. Meski hubungan mereka hanya sebatas hubungan profesional tapi ayah kamu mengandalkan dia. Siapa tau kalau Bu Kinar yang handle kamu dan ayah kamu nggak perlu adu urat."
"Hm, ... iya, Tan. Biar Bu Kinar yang jemput aku. Kalau perlu ayah nggak perlu ke sini."
"Iya, nanti Tante bicarakan. Kamu yang sabar ya."
"Iya, Tante. Terimakasih banyak...."
"Gimana?" tanya Kiev sambil menggigit buah apel di tangannya.
"Kata Tante Wiwi mungkin sekretaris ayah bisa bantu."
Kiev mengangguk. "Bagus deh, kalau begitu. Nanti Bunda bantuin ngomong."
"Makasih ya, Kiev."
"Sebelum lo dijemput, lo mau melakukan apa? Gue temenin. Tapi kita nggak bisa keluar, kan? Padahal gue mau ngajak lo jalan-jalan."
Kivia meringis sedih. "Iya, gue takut kita dikejar-kejar lagi."
Kiev tersenyum simpul dan mengacak-ngacak rambut Kivia. "Masih banyak kok yang bisa kita lakuin walaupun di rumah aja."
Dewi juga telah mengetahui tentang rencana Kivia yang akan dijemput oleh sekretaris sang ayah. Selagi Kivia belum pergi, dua remaja itu tampak merencanakan hal-hal yang akan mereka lakukan. Dewi memotret diam-diam Kiev dan Kivia yang membuat list hal apa yang ingin mereka lakukan meskipun di rumah aja.
Setelah sarapan, Kivia memaksa untuk mencuci piring dan tak membiarkan Bi Pipin, asisten rumah tangga Kiev melakukannya. Kiev ikut membantu dan mereka tampak asik di depan bak cuci piring.
Selepas itu, mereka ke taman belakang rumah Kiev. Bunda banyak menanam berbagai jenis bunga dan sayur di sana. Kivia yang menyirami tanaman, melirik Kiev yang sedang melakukan stretching.
"Ya, gue masuk bentar ya, tunggu di sini."
"Hm? Oke." Kivia mengiyakan dan Kiev langsung ngibrit ke dalam rumah.
"Kivia!"
Kivia menoleh dan ... mendapati Kiev sedang memotretnya dengan kamera polaroid. Kiev mengipas-ngipaskan kertas foto yang keluar dan memandang hasil jepretannya dengan puas.
Manis juga.
"Lumayan, lah. Bisa buat ngusir tikus di dapur."
Kivia mendelik. "Mana coba? Liat!"
Napas Kiev tertahan sepersekian sekon ketika tiba-tiba saja Kivia mendekat. Cewek itu fokus dengan foto polaroid yang ada di tangan Kiev. Kivia menengadah dan tersenyum cerah. Membuat Kiev kalang kabut karena jarak mereka yang terlampau dekat.
Kiev berdeham dan mencoba menguasai diri. "Ayo foto lagi. Kenang-kenangan."
Kivia berpose kaku, berjongkok di antara tumbuhan sayur-mayur. Membuat selang dan alat penyiram bunga sebagai properti foto. Salah satu yang paling Kiev favoritkan adalah Kivia yang tertawa lepas dengan susunan bunga daisy yang Kiev susun pada rambut gadis itu.
Bunda datang dan bergabung untuk berfoto bersama Kivia. Mereka berfoto dengan berbagai macam pose dan yang paling membuat Kivia terharu adalah ketika Bunda memeluknya dari samping.
Mungkin kalau mama masih ada, beginilah perasaannya ketika bersama mama, pikir Kivia. Kala berbincang dengan mama atau berbagi pelukan dan menerima curahan perhatiannya.
Kivia terkesiap tatkala Bunda meminta mereka berfoto bertiga, Pak Jarwo membantu untuk memotret. Bunda berada di antara Kiev dan Kivia.
Selepas itu, Kiev dan Kivia eyeh-leyeh di depan TV menonton Big Hero. Kiev memperkenalkan sosok baymax pada Kivia. Oke, Kivia bahkan menitikkan air mata saat Tadashi tiada dan tentu saja ketika sesuatu terjadi pada Baymax.
"Sorry, gue cengeng banget emang." Kivia tertawa kecil sambil menyambut tisu yang Kiev ulurkan.
"Gue pertama kali nonton juga mau nangis. Tenang aja, masih kencengan Bunda kok nangisnya daripada lo."
Kiev dan Kivia tergelak saat Bunda memprotes dari arah belakang.
***
"Ajukan gugatan pada Kiev Bhagaskara dan Dewi Laksita Bhagaskara karena turut membantu pelarian Kivia dan menyembunyikannya."
Kinar mengerutkan dahi mendengar perkataan atasannya itu. Laki-laki berumur 45 tahun itu menatapnya dingin.
"Mereka tidak bermaksud menyembunyikan Kivia. Mereka menolongnya," tukas Kinar. Tak seperti pegawai lainnya yang tak bisa menatap Kumara Nararya berlama-lama. Kinar mampu menatap atasannya yang terkenal dingin itu tepat di manik mata tanpa rasa takut.
"Menolongnya? Mereka menyembunyikan putriku," sahut Kumara tak habis pikir. Ia beranjak melihat pemandangan malam dari ruangannya yang berada di lantai tertinggi.
Kinar berdecak. "Jadi, yang kamu inginkan, Kivia berkeliaran di jalanan atau lebih baik lagi terluka sehingga kamu bisa menyalahkan kalau sesuatu terjadi padanya akibat tindakannya melarikan diri?"
Kumara hanya terdiam dan menghela napas panjang.
"Cobalah sedikit lebih ramah, aku mengerti kamu mengkhawatirkan masa depannya. Namun, bisakah kamu menjaganya dengan cara yang tepat? Sikap posesifmu pada putrimu sendiri itu sudah keterlaluan. Dan bagaimana kau yakin laki-laki pilihanmu itu adalah yang terbaik dan bisa membahagiakannya?" cerocos Kinar panjang lebar.
"Aku punya alasan."
"Demi Tuhan, dia masih tujuh belas tahun."
"Sepupunya yang lain sudah bertunangan dan bahkan sudah ada yang menikah."
"Demi hubungan antar perusahaan? For Godness's sake, berikan dia sedikit kebebasan. Kivia butuh bernapas, Mr. Kumara Nararya yang terhormat."
"Aku bisa memberi segalanya untuknya jika anak itu bersedia bertemu dengan orang yang kupilihkan."
"Kamu tidak bisa menjamin perjodohan itu, apalagi yang dipaksakan, akan berbuah manis."
"Buktinya aku dan Kaia bisa berhasil."
"Kivia bisa mencari teman atau pasangan hidupnya sendiri."
"Tidak, anak itu tidak bisa menghadapi dunia sendiri."
"Itu karena kamu selalu mengurungnya. Coba berikan Kivia kesempatan dan kepercayaan. Biarkan semua berjalan sealami mungkin dan berhenti terlalu mengatur hidupnya," Kinar menatap Kumara tajam, "atau kejadian seperti ini akan terulang kembali."
Kumara melonggarkan dasinya. "Berhenti menasehatiku."
"Kalau Kaia ada di sini, ia pasti memberimu pelajaran karena membuat putrinya menderita," desis Kinar yang membuat mata Kumara membesar mendengar almarhum istrinya disebut-sebut.
"Kivia juga putriku," sahutnya cepat.
"Maka berhentilah membuatnya menderita."
Kumara tertegun dengan apa yang dikatakan Kinar. Semenjak istrinya meninggal dunia, hubungannya dengan Kivia semakin jauh. Kumara tak bisa menunjukkan kasih sayangnya secara lugas. Ia pribadi yang kaku dan Kaia yang sering menjadi penghubung antara dirinya dan Kivia. Kumara begitu mencintai Kaia, meskipun anak laki-laki mereka, putra yang ia idam-idamkan akan menjadi pewaris perusahaannya, Kevin Bintang Nararya, meninggal saat masih bayi, Kumara selalu setia mendampingi Kaia.
Dua tahun kemudian, Rembulan Kivianisya Nararya lahir ke dunia. Putri cantiknya itu begitu mirip dengan istrinya. Keluarga itu baik-baik saja. Kumara sebagai ayah yang sering meninggalkan rumah dan bekerja siang dan malam. Sedangkan Kaia memutuskan untuk pensiun dari dunia balet dan menjadi ibu rumah tangga secara penuh. Hingga ketika Kivia menginjak umur 6 tahun, sesuatu terjadi. Nyawa Kaia melayang. Seseorang menembak Kaia tepat di depan matanya.
"Tunjukkan kasih sayangmu dengan benar, Kivia selalu mengira kau benci padanya."
Kivia mengingatkannya pada Kaia. Mereka begitu mirip. Entah kenapa ... bukannya menunjukkan kasih sayangnya yang hangat, Kumara malah terkesan menjauhi Kivia. Mengurung Kivia di rumah bersama puluhan pelayan. Melindunginya dan tak teraih oleh dunia luar. Mengabaikan Kivia yang merasa kesepian.
"Aku akan menjemput Kivia, berminat ikut?"
Kumara menggeleng ragu.
Kinar berhenti di ambang pintu. "Oh ya, jangan diam-diam mengirim pengawalmu yang aneh itu. Kamu tau Kivia sangat membenci mereka."
"Kinar," panggil Kumara saat Kinar sudah akan menutup pintu.
"Apalagi?" tanya Kinar heran.
"Terimakasih."
Kinar mengangkat alis, lalu mengangguk sebelum meninggalkan ruangan itu.
***
"Maaf saya membutuhkan waktu untuk kemari dan menjemput Kivia. Maaf telah banyak merepotkan Anda," jelas Kinar ketika berhadapan dengan Dewi Laksita Bhagaskara, ibu dari Kiev Bhagaskara.
Sebelum ke sini, Kinar sudah mempelajari latar belakang Kiev Bhagaskara dan Dewi Laksita Bhagaskara. Dewi dan Kiev adalah istri dan anak dari Almarhum Abyan Bhagaskara, seorang aktor era 80an dan memiliki bisnis di berbagai bidang khususnya properti. Dewi adalah seorang pengacara yang bekerja di firma hukum terkemuka dan memiliki butik sepatu hasil desainnya sendiri.
Keluarga Bhagaskara terpandang dan dihormati.
Sementara profil Kiev Bhagaskara yang Kinar temukan lebih mengejutkan lagi, bagaimana bisa Nona Kivia terdampar bersama keluarga seorang idola remaja seperti Kiev Bhagaskara. Kiev meniti karir sejak kecil sebagai bintang iklan dan membintangi film sebagai aktor kanak-kanak, beranjak remaja ia berkecimpung di bidang tarik suara dan masih wara-wiri di industri perfilman. Kiev Bhagaskara pernah tersandung kasus narkoba bernilai fantastis, tetapi hal itu terbukti tidak benar dan berbuntut pada penculikan Kiev yang didalangi mafia narkoba kasusnya itu.
Hidup Kiev Bhagaskara cukup ... complicated.
"Tak apa, Kivia anak yang sopan dan manis," sahut Dewi. Dewi tersenyum ramah, menatap sosok wanita elegan di depannya. Tatapannya tegas namun lembut sekaligus. Penampilannya seperti wanita karier pada umumnya, blouse dan pencil skirt. Rambutnya digelung sederhana dan riasannya pun tipis tidak berlebihan. Namun, Dewi bisa melihat apa yang dikenakan oleh Kinar Freananda from head to toe adalah barang-barang high class.
"Apa Kivia bercerita tentang masalah dengan ayahnya?" tanya Kinar, memperkirakan seberapa jauh wanita di depannya ini mengetahui permasalahan keluarga Nararya.
"Ya, Kivia menceritakan tentang itu. Saya harap Bu Kinar bisa membantu masalah Kivia dengan ayahnya."
"Tentu, saya sudah bicara dan ayah Kivia memang sulit diajak bernegosiasi. Saya akan berusaha yang terbaik. Bu Dewi tenang saja, saya ada di pihak Kivia." Kinar mengulas senyum menenangkan.
Dewi mengangguk. "Syukurlah kalau begitu."
Di sisi lain, Kiev menoleh ketika kamar itu terbuka. Kivia mengenakan midi dress yang ia pakai tadi malam. Thank to Bi Hani yang sudah mencucikan dress ini atas perintah Bunda Kiev.
"Salamin terima kasih gue ke Bi Hani ya, Kiev."
"Siap. Oh iya, ini foto-foto kita. Disimpen ya, Ya. Jangan sampai ilang."
Kivia terpekur menatap lembaran foto polaroid itu. Mata Kivia memanas. Ia benar-benar senang bisa bertemu dengan Kiev dan Bunda. "Terimakasih banyak ya, Kiev."
"Ini email gue. Lo harus ngehubungin gue. Jangan sampai lupa." Kiev menyodorkan sebuah notes kecil. Halaman pertama bertuliskan kontak email Kiev.
"Oke, Kiev. Gue akan langsung hubungin lo. " Kivia tersenyum, menahan air matanya mati-matian.
"Lo ... benar-benar harus pulang?" tanya Kiev. Nada suaranya lembut, seperti sorot matanya.
Kivia mengangguk dan menghapus cepat tetes air mata yang mengalir di pipinya. "Gue minta maaf atas semuanya, Kiev."
"Jangan minta maaf ke gue, Ya. Lo nggak salah apa-apa...." Kiev mengusap lembut puncak kepala Kivia.
"Gue janji, kita bakal ketemu lagi," kata Kiev yang mencoba untuk tersenyum. Senyum yang tergambar sangat tulus, namun getir di saat yang bersamaan.
Pertahanan Kivia runtuh. Kivia terisak dan Kiev tak bisa menahan diri untuk menarik gadis itu dalam pelukannya yang bersahabat. Tidak begitu erat, namun menenangkan. Kiev lalu mengurai pelukannya dan merunduk, mengambil sepasang high heels Kivia dan meletakkannya di depan kaki gadis itu.
"Pakai ini, Ya. Semoga sepatu ini nantinya akan menunjukkan jalan kita bisa ketemu lagi."
Kivia pun mengenakan sepatu itu dan memandanginya. Air matanya jatuh lagi. Ia lalu menatap Kiev lekat. Keduanya berjabat tangan cukup lama. Perlahan dan terasa menyakitkan saat tautan jemari mereka teurai hingga lepas sepenuhnya.
"Gue janji kita akan ketemu lagi. Gue janji."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top