enampuluh tujuh

Perempuan itu menatap cerminnya dengan pandang angkuh. Beberapa gambar memenuhi dinding ruangan dan benang merah yang menghubungkan. Terdapat foto Kumara Nararya dalam berbagai sudut. Di sampingnya ada Kaia Nararya yang pada bagian wajah dicoret dengan lipstik merah juga beberapa lubang tusukan benda tajam pada foto tersebut. Di bawahnya terdapat Harya Danuatmaja yang juga terhubung dengan foto Sean Danuatmaja.

Di bagian tengah ada foto Kivia dalam berbagai ukuran. Dari Kivia bayi, balita, kanak-kanak, remaja hingga foto terbarunya saat menikah dengan Kiev Bhagaskara.

Perempuan itu menghapus air mata yang jatuh di pipinya dengan kasar. Tangannya menggenggam pisau yang menusuk meja kayu di depannya. Giginya gemeretak menahan rasa benci. Ia lalu melempar pisau itu sembarang dan menghempaskan semua barang yang ada di sekitarnya. Bunyi kaca pecah dan benda yang jatuh bergelimpangan membuat kepalanya kian mendidih.

Matanya menatap tajam foto-foto di depannya.

"Aku ... sama sekali tidak bisa bahagia, melihat kalian bahagia!"

***

Kivia menoleh sekali lagi ke belakang saat merasakan ada yang mencurigakan di belakangnya. Tapi, nihil. Tidak ada seorang pun di sana. Kivia lalu memasuki sebuah ruangan. Ia tersenyum saat mendapati Bu Kinar di dalam ruangan itu.

"Lho, ayah sama Om Harya mana?" tanya Kivia mengingat staf tadi menyebutkan ayahnya sudah menunggu.

"Keluar lagi, sayang. Biasalah sibuk," ujar Kinar tersenyum dan cipika-cipiki dengan Kivia.

"Kebiasaan deh, kan ini udah waktunya makan siang," gerutu Kivia. "Apa kabar, Tante? Seneng nggak cutinya?"

"Senang sekali pastinya," sahut Kinar menyesap minumannya.

Kivia tersenyum menatap Kinar. Sekretaris ayahnya itu tampak sangat berbeda hari ini. Ia mengenakan baju berwarna merah menyala, begitu pula dengan pilihan warna lipstiknya. Tidak seperti Tante Kinar yang selama ini Kivia kenal, yang acapkali mengenakan warna kalem seperti khaki, cream atau coklat.

"Mereka kapan datangnya sih? Aku telepon aja ya?" kata Kivia sembari mengais ponselnya di dalam tas.

Gerakan Kivia terhenti saat sebuah pisau begitu saja berada di dekat lehernya.

Kivia sedikit mendongak dan mendapati Kinar yang tersenyum mengerikan.

"T-tante?"

"Apa sayang? Kamu terkejut, ya?" tanyanya dengan senyum sumir. Kemudian berganti dengan tatapan tajam penuh kebencian.

Kivia gemetar, ia mengepalkan tangan. Tidak menduga sama sekali hal ini akan dilakukan oleh orang yang ia percayai. "A ... apa yang Tante lakukan?"

"Jangan panggil aku, Tante!" bentak Kinar marah.

Kepala Kivia menggeleng secara spontan. "Nggak, nggak mungkin. Kamu bukan Tante Kinar! Tante Kinar yang aku kenal nggak akan melakukan ini!"

"Diam kamu! Tau apa kamu, hah?!" Kinar melayangkan pisau yang ia pegang ke wajah Kivia akan tetapi Kivia bisa menahan tangan itu meski beberapa senti lagi, pisau itu mungkin akan melukainya.

Kivia menahan Kinar mati-matian. Tenaga wanita itu benar-benar kuat, penuh akan hawa kegelapan dan dikobari amarah. Kivia terseret mundur sampai kursi dan beberapa perkakas di ruangan itu terjatuh karena kekacauan yang terjadi.

"Apa yang kamu lakukan, Kinar?!" seru Harya masuk dan langsung menolong Kivia menahan tangan Kinar.

Namun, Kinar seolah kehilangan akal. Ia mengamuk dan berhasil menikam Harya.

Harya memegang perutnya yang mengeluarkan darah. Pria tua itu ambruk ke lantai. Di balik kacamatanya, Harya dapat melihat wajah murka Kinar yang selama ini tidak pernah ia lihat. Ia seperti tidak mengenali wanita di depannya ini. Padahal mereka sudah saling mengenal semenjak mereka masih remaja.

"Diam kamu, Tua Bangka! Kau tau, kebersamaan kita belakangan ini hanya karena aku ingin memanfaatkanmu!"

"Hentikan, Kinar! Sadarlah!" ujar Harya menahan kaki Kinar agar tidak mendekati Kivia yang kini sedang terpojok.

"Lari, Kivia. Lari!" teriak Harya.

Kivia menatap Harya frustrasi. Ia lalu segera beranjak sebelum Kinar menjangkaunya.

Kinar menendang Kumara, ia lalu menjambak Kivia dan melemparnya ke lantai. Kivia bisa melihat nama Kiev yang muncul di layar ponselnya yang juga tergeletak di lantai tak jauh dari meja panjang berisikan berbagai sajian makanan yang sudah tak karuan itu.

Kivia sudah akan mengambil ponselnya akan tetapi Kinar menendang ponsel itu menjauh dan menginjak punggung telapak tangan Kivia dengan sepatu haknya.

Kivia mendesis kesakitan. Detik berikutnya, Kinar mencengkram wajah Kivia. Ia kembali mendekatkan pisau itu.

"Ah, sangat menyenangkan bisa melukai wajah cantikmu ini."

Kinar bermain-main dengan pisau kesayangannya itu. Ia mendekatkan ujung pisau itu pada jarinya dan tak menunggu lama jari telunjuknya mengeluarkan darah segar.

"Aw, sudah kuduga ini tidak mengecewakan. Tenang, sayang. Aku tidak akan menyakitimu lebih lama," tukas Kinar dengan tawa sinis yang berderai.

"Apa salahku? Apa yang membuatmu berbuat seperti ini?" tanya Kivia dengan mata berkaca-kaca.

"Kesalahanmu? Banyak sekali, sayang. Salahmu, karena ... kamu adalah putri dari wanita sialan itu. Dan membuatku lebih gila lagi, kamu begitu mirip dengannya!"

Satu tangan Kinar yang mencekik leher Kivia kini menjadi lebih kencang seiring dengan emosinya yang meledak-ledak.

"Harusnya aku yang menjadi pengantin ayahmu! Bukan wanita itu!"

Kivia menatap tajam Kinar, tersulut karena sang mama disebut-sebut sebagai penyebab semua ini. "Ayah tidak akan membiarkanmu."

"Aku tau! Kau pikir kenapa aku nekat melukaimu di perusahaan ini, heh? Karena aku sudah putus asa!" pekik Kinar.

"Kumara sama sekali tidak terjangkau, begitu pula denganmu! Dia melindungimu dengan berbagai cara! Maka saat dia lengah aku tidak akan melepaskan kesempatan ini. Bahkan jika kita harus mati bersama!"

"Kamu tau betapa senangnya aku melihat wanita menyedihkan itu mengembuskan napas terakhirnya? Juga kesedihan ayahmu kehilangan istri yang dicintainya? Atau anak kecil yang menangis memanggil mama ... mama ....." ejek Kinar dengan senyum miring.

"Diam!" teriak Kivia. "Saya ... tidak selemah yang Anda pikir!"

Seruan penekanan itu terdengar begitu tegas. Kivia membiarkan pisau itu sedikit menggores lehernya dan sekuat tenaga membalikkan keadaan.

Kinar terkejut atas tindakan Kivia yang begitu tiba-tiba.

"Saya nggak selemah yang Anda kira!" seru Kivia tajam usai menampar keras wajah di depannya.

Mata Kinar hampir keluar karena tak menyangka atas tamparan Kivia. Kinar memegangi pipinya sendiri yang memerah. Ia tidak menduga tuan putri yang selama ini terlihat anggun dan penuh kelembutan bisa melakukan hal ini padanya.

"Terimakasih ... karena sudah menunjukkan jati diri Anda di hadapan saya karena saya sudah menanti lama kesempatan ini!" Kivia kembali menampar pipi Kinar dengan kuat.

"Hentikan! Dasar anak tidak punya sopan santun!" teriak Kinar murka.

Kivia lantas berdecih. "Setelah kekejaman yang Anda lakukan, Anda masih mengharapkan sopan santun dariku?! Anda yang tidak tau diri!"

"Karena kedengkian Anda, saya harus kehilangan mama yang saya sayangi! Karena Anda, saya harus mengalami trauma itu. Apa Anda pikir Ayah akan bersama Anda setelah melakukan ini semua? Bahkan setelah bertahun-tahun berada di sisinya saja, Anda tetap tidak berhasil! Seharusnya Anda melanjutkan hidup dengan tenang. Bukannya menghancurkan hidup orang lain!" cecar Kivia.

"Kalian yang menghancurkan hidupku! Aku akan membunuh kalian semua!" seru Kinar menggelegar.

note:

karena udah menuju akhir yang sesungguhnya bisa minta apresiasi nya untuk komentar nggak?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top