enampuluh tiga
Honeymoon is over. Kiev dan Kivia kembali bergelut dengan pekerjaan. Untuk tempat tinggal, Kivia pindah ke apartemen Kiev, sementara apartemen Kivia masih ditinggali oleh Kumara jika sedang ada di Jakarta mengingat mobilitas pria paruh baya itu masih begitu aktif bolak-balik Kalimantan-Jakarta.
Sesekali ia akan melakukan perjalanan ke luar kota atau luar negeri, akan tetapi jika terlalu jauh, ia akan melimpahkan urusan pada orang kepercayaannya yakni Sean dan Harya Danuatmaja atau juga Kinar untuk mewakilinya. Jika tidak ada kesibukan, Kiev dan Kivia juga rutin ke kediaman Kumara di Kota Baru dalam sebulan mereka pasti ada menginjakkan kaki di Bumi Kalimantan.
“We love you, honey,” ujar Kivia melambaikan tangan ke arah kamera. Kivia mengarahkan ponselnya ke arah Kiev.
"Bye, mommy, daddy. I love you two....” jawab Adaeze di seberang sana.
Kiev mencium layar dengan sayang. “Bye-bye, sunshine....”
Adaeze tertawa lalu menunjukkan finger heart yang ia pelajari dari ibu pengasuhnya di sana. Kiev dan Kivia pun turut menunjukkan finger heart.
“Aw... manis banget anak kita,” kata Kiev setelah sambungan terputus karena Adaeize harus sekolah.
“Kapan kita bisa ketemu Adaeze ya, sayang?” tanya Kivia dengan mata berkaca-kaca.
Kiev mengecup kepala Kivia. “Secepatnya ya, kita atur jadwal lagi.”
Kivia mengangguk, membayangkan ia dan Kiev bisa mengunjungi Adaeze secara langsung dan membawa anak itu dalam pelukannya erat-erat. Kivia lega mendengar Adaeze bercerita tentang hari-harinya dan apa yang sedang ia pelajari di sekolah.
Kiev bangkit dari stool dan menuangkan susu cokelat ke gelas panjang. “Besok kamu jadi ke perusahaan itu?”
“Jadi, aku gugup deh. Ini pertama kalinya aku ke sana. Sebelumnya kan cuma handle dari jauh. Itu juga diskusi terus sama yang lain. Ayah terutama,” jelas Kivia bercerita.
Kiev tersenyum manis. “Berarti kamu punya tim yang baik.”
Kepala Kivia terangguk, ia lalu menghela napas berat. “Tapi masalahnya ternyata nggak cuman pajak dan reklamasi. Ini chaos banget, Kiev.”
“Pajak sama reklamasi aja udah chaos, Ya.” Kiev mengembuskan napas panjang dan mengusap rambut Kivia. “Masalah lainnya?”
"Jadi... uhm...” Kivia terlihat ragu untuk bercerita. Maka setelah Kivia hanya diam dan Kiev yang sedari tadi menanti penjelasan, Kiev akhirnya bersuara.
“Ya ... kita udah janji untuk komunikasikan semuanya, kan? Apa pun itu. Tapi kalau kamu butuh waktu lebih buat cerita, aku bisa nunggu kok,” tutur Kiev menenangkan.
“Hm... ini ... tapi kamu udah janji nggak akan ngelarang apa yang aku mau, kan?” tanya Kivia hati-hati.
“Janji. Tapi entah itu apa yang aku mau lakukan, atau yang kamu mau lakukan, kita diskusiin lebih dulu, kan? Dan jikalau aku atau pun kamu berkeberatan, kita harus cari jalan tengahnya.”
“I got it,” ucap Kivia mengerti. Kiev dan Kivia memang melatih diri untuk tidak termakan ego masing-masing apalagi dalam status mereka yang kini sudah menjadi suami istri.
“Jadi, salah satu anak perusahaan yang bermasalah ini, berjalan seliar yang nggak aku duga sebelumnya. Nggak cuman ancaman pailit juga masalah pajak dan reklamasi yang masalahnya udah tim selesaikan belakangan ini. Perusahaan itu dari atas sampai ke bawah punya culture yang nggak sehat. Aku mau memusnahkan sistem yang nggak sehat itu sampai ke akar. Kalau perlu oknum yang bermasalah itu nggak usah terlibat lagi ke depannya. Aku nggak tau ayah tau masalah ini atau nggak, atau ada hal yang masih ayah toleran kalaupun tau, tapi aku nggak bisa menoleransinya sama sekali. Aku mau mengubah sistem itu, Kiev.”
“Contohnya?” tanya Kiev masih terlalu kabur akan penjelasan Kivia.
“Contohnya ... rapat atau penandatanganan kontrak dengan klien diadakan di tempat hiburan malam. Aku nggak bisa bayangin walau katakanlah keuntungan yang didapat gede dari klien-klien itu, tapi ujungnya ... buntungnya juga gede masuk kantong-kantong yang nggak penting dan nggak banget lah pokoknya, menyalahi aturan yang lazim. Kamu tau kan aku strict banget masalah ginian. Kayak ... kita juga punya tempat meeting yang nyaman di perusahaan, aku juga bisa menyediakan makanan enak. Tapi kalau minuman, obat-obatan atau parahnya melibatkan prostitusi, aku nggak bisa. Mending nggak usah sama sekali, kan? Aku benar-benar nggak mau ayah dan perusahaan ikutan kena getahnya karena nggak tau apa yang sejumlah oknum itu lakukan.”
Kiev mengangguk paham. “Tapi karena ayah sekarang tau, jadi ayah minta kamu yang handle, kan? Karena ayah percaya kamu buat mengatasi dan kamu punya kapabilitas untuk ini.”
“Ayah nggak maksa sih, kalau aku mau seratus persen ke dunia entertain atau bahkan diam di rumah aja ayah juga nggak masalah, tapi ... aku yang mau ini...” cicit Kivia.
Kiev tersenyum, memaklumi keinginan Kivia. “Sejak dulu kamu belajar untuk menghandle perusahaan tambang. Kamu belajar manajemen dan teknik pertambangan. Kamu menyukainya. Kamu peduli isu batu bara yang semakin menipis tapi juga mengusahakan yang terbaik untuk pasokan listrik ke daerah tertinggal. Kamu tau masyarakat di kota besar yang udah terbiasa menikmati nyamannya listrik, listrik mati sehari aja udah mau ngamuk aja rasanya. Apalagi untuk masyarakat yang masih belum merasakan kemerataan. Itulah kenapa, kamu dan orang-orang yang berada di sektor yang legal perlu bergerak, biar bisa meminimalisir risiko yang merugikan bumi, juga masyarakat sekitar.”
Kivia tertegun mendengar perkataan Kiev, terharu akan pandangan Kiev mengenai pekerjaannya. “Kamu bener. Aku bisa aja apatis tapi aku nggak bisa, Kiev.”
Kiev menepuk-nepuk bahu Kivia. “Kamu lebih tau tentang bidang ini daripada aku. Aku percaya sama kamu, kamu bisa menghadapinya. Tapi aku mohon ... kalau kamu udah tau bahaya, jangan sampai kamu terjun langsung sendirian, ya? Kamu bisa kerjasama dengan siapa aja yang bisa bantu. Kamu juga bisa mengandalkan aku. Jangan sampai sendirian. Kamu punya banyak orang yang bisa bantu kamu. Boleh kamu janji sama aku?”
Kivia mengangguk lalu mengecup pipi Kiev. “Aku janji.”
Kekhawatiran itu beralasan. Kivia juga berjanji tidak akan menantang maut dan berpikir realistis untuk menangani permasalahan ini. Toh, ia juga tidak sendirian. Namun, prinsipnya Kivia lebih memilih menggelontorkan materi untuk membangun sistem yang sehat daripada bergelimang harta dari proses yang tidak bisa diterima.
“Konser kamu sendiri gimana kabarnya?” tanya Kivia memfokuskan bahasan untuk menanyakan kesibukan Kiev.
“Aku udah milih lagu yang mau ditampilkan saat konser nanti. Selain Kahada Taduh, nanti juga ada musisi daerah yang aku ajak kolaborasi.”
“Jadi di Gelora Bung Karno?” tanya Kivia antusias.
Kiev tersenyum cerah. “Jadi dong, semoga nggak ada halangan ya.”
Kivia menangkupkan tangannya ke wajah dengan khidmat. “Aamiin... keren banget pasti nanti konsernya.”
“Aamiin doain ya....”
“Pasti, sayang....”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top