enambelas

Kiev berjalan buru-buru sembari membawa satu baskom besar berisi cucian kain-kain lebar yang digunakan sebagai taplak meja kantin. Cowok itu berhenti di area belakang mess untuk menjemur kain-kain bermotif kotak-kotak ini. Sambil sedikit bersenandung, Kiev memeras kain itu, meminimalisir jumlah air yang terserap kemudian menggantungkannya di tali jemuran yang terbentang.

Pagi ini indah.

Matahari pagi yang menyapa membuat Kiev harus menyipitkan mata ketika mendongakkan kepala. Kiev tersenyum tipis melihat burung yang bermigrasi. Juga bau embun dan pewangi cucian yang membuat hati Kiev membaik ketika ia tidak cukup tidur akhir-akhir ini karena memikirkan beberapa hal.

Salah banyaknya, tentu tentang Rembulan Kivianisya.

Sejak pertama jumpa, Kiev sudah memastikan dari Pi’i bahwa Kivia tidak sedang menjalin hubungan dengan seseorang. Yang Pi’i tahu Kivia adalah seorang dengan status lajang, tidak memiliki kekasih apalagi suami. Kivia juga terlalu tertutup untuk urusan asmara, seorang manajer saja pernah menyatakan cinta. Namun, Kivia menolak.

Lalu mungkinkah Pi'i juga tidak mengetahui tentang hal ini? Apakah ini satu fakta dari masa lalu Kivia? Apa Kivia benar-benar sudah memiliki anak?

Jadi itu yang membuatnya bekerja sekeras ini? Namun, kenapa Kivia tidak tinggal bersama anaknya? Situasi seperti apa yang membuat Kivia harus bekerja dengan risiko tinggi dan terpencil seperti ini?

Satu yang pasti, Kivia ... tentu merindukan keluarganya.

Kivia pasti merindukan anak itu. Hingga ia tertawa dan Kiev dapat melihat matanya yang berlinang ketika menutup telepon.

“Hei,” sapa seseorang sambil menyingkap kain yang baru saja Kiev jemur. Suara itu sudah Kiev hafal di luar kepala. Suara tawanya yang membekas telinga Kiev bahkan setelah perempuan itu tidak lagi ada di hadapannya. Kemudian Kiev tersadar ketika sebuah wajah manis menyembul di sana disertai dengan cengiran.

Oke, ternyata eksistensi bidadari itu seperti ini. Memakai training dan kaos kebesaran dengan rambut awut-awutan dan sendal jepit. Baik, Kiev hanya akan menyimpan kata-kata itu hanya untuk dirinya sendiri.

“Hai, Rembulan.”

Kivia tertawa kecil. “Hai, Bhagaskara.”

Rembulan dan dirinya, Bhagaskara yang berarti matahari. Pasangan siang dan malam. Tak pernah bersatu? Kecuali saat gerhana?

“Mimpi indah?”

Kivia menggaruk pipinya yang agak gatal sambil berpikir. “Nggak juga.”

“Mimpi apa?”

Cewek itu berdeham. “Mimpi ... dikejar-kejar ular.”

“Oh ... mitosnya sih, berarti lagi ada yang suka.”

“Masa?” Mata Kivia melebar dari sebelumnya.

“He-eh.” Kiev mengangguk santai.
Kivia mencebik. “Kan mitosnya ... berarti katanya, jadi ... kata siapa?”

“Kata aku,” sambar Kiev.

“Ishhhh.” Kivia menggerutu. Kemudian mengalihkan pembahasan dari mimpi tidak jelas itu pada tumpukkan kain basah yang tak jauh dari Kiev. “Aku bantuin ya.”

Kiev langsung menyatakan penolakan. “Nggak usah.”

“Basa-basi doang tuh?” tebak Kivia sambil terkekeh.

“Yee beneran. Diem aja kamu sana duduk,” tunjuk Kiev pada tumpukkan ban besar tak terpakai.

“Nggak ah, berasa jadi mandor.” Tangan Kivia mulai mengambil kain di dalam baskom untuk diperas dan dijemur. “Julak mana?”

“Aku suruh tiduran, kasian kecapekan.”

"Ooooh...."

"By the way, julak itu apa sih, Ya?" tanya Kiev penasaran dengan panggilan atasannya itu.

"Hm.... Julak itu bahasa lainnya Uwa, kalau acil itu tante," jelas Kivia.

"Kalau ibung? Emang nama bekennya Julak atau ada hubungan sama Bahasa Banjar juga?"

"Kalau Ibung itu kayak nama panggilan kesayangan. Selain Ibung, ada Idang, Itay, Utuh, Galuh. Kalau Sunda mungkin kayak panggilan Eneng gitu kali ya."

Kiev mengangguk-angguk mendengar penjelasan Kivia. Kiev yang dari tadi berbincang sambil terus menjemur kontan terhenti ketika tidak sengaja menyentuh tangan Kivia yang juga akan kembali mengambil kain dalam baskom.

Ah, FTV sekali.

Kivia terlihat cuek. Seperti sentuhan bagai sengat listrik yang berefek pada debar jantung pada Kiev tak memiliki pengaruh apa pun padanya. Kivia lanjut menjemur baju sambil berdendang tidak jelas. Dari nadanya Kiev dapat mengetahui itu adalah irama dari lagu yang sering diputar olehnya.

Semakin sering didengar semakin tertanam oleh otak bawah sadar. Kemudian meluap dengan sendirinya tanpa sadar pula.
Kiev tersenyum, gadis itu terlihat senang hanya dengan kegiatan menjemur. Dan Kiev sadar tidak ada yang berubah dengan hatinya. Terlepas dari apa yang telah ia ketahui sebelumnya.

“Hari ini kamu libur, kan?”

“Iyaaaaa.” Hanya suara Kivia yang terdengar. Karena sosoknya tersembunyi oleh kain-kain yang satu persatu telah memenuhi jemuran.

“Kiev!” seru Kivia tiba-tiba dari ujung sana.

“Kenapa, Ya?” Kiev langsung menghempaskan baskom kosong yang ada di tangannya dan berlari ke arah Kivia. Ternyata Kivia juga sedang berlari ke arahnya.

“Kamu bawa hp?” tanya Kivia dengan nada tak sabar yang amat kentara.

Kiev mengangguk cepat. “Iya bawa.”

“Kamu bisa nemenin aku ke luar? Aku mau vidcall with my sunshine, boleh aku sewa ponsel kamu?”

Tanpa pikir panjang, kendati dengan hati yang deg-degan Kiev langsung mengiyakan, “Sure. Tapi nggak usah disewa. Pakai aja."

Kivia mengangguk antusias. Saking semangatnya Kivia menggandeng tangan Kiev untuk bergegas menuju motor bebek hasil pinjam dari satpam mess. Kiev bertugas membonceng dan perjalanan ke area jalan besar dengan sinyal internet memadai itu diwarnai oleh kebahagiaan Kivia yang tak sabar berjumpa dengan sang anak walau secara tak langsung.

***

Di suatu kursi panjang taman di pinggir jalan, Kivia langsung memasukkan sejumlah nomor ke ponsel Kiev berlogo apel dikunyah, eh digigit itu. Kiev secara otomatis merekam segala ekspresi kebahagiaan Kivia saat ini dalam memorinya.

Kiev membantu Kivia untuk mengakses fitur video call. Kivia merasa sangat gugup ketika orang di seberang sana belum menjawab. Kemudian muncullah seorang wanita paruh baya. Bersamanya ada seorang anak perempuan kecil yang lucu. Usianya baru enam tahun.

“Hello, Adaeze!” Kivia tersenyum cerah, matanya bahkan sudah berkaca-kaca. Melihat anak-anak yang dulu masih begitu mungil kini sudah tumbuh besar.

Pipi gembil gadis kecil bernama Adaeze itu tertarik mengikuti arah garis senyumnya. “You are my mommy?”

Yes, she is your mommy from Indonesia,” timpal bibi di sebelahnya.

Oh My God! Mommy, you are so beautiful.” Mata Adaeze mengerjap-ngerjap lucu. Gadis dengan rambut ikal dan kulit eksotis itu kemudian beralih menatap Kiev yang sejak tadi hanya menyimak interaksi Kivia dan Adaeze.

Is he my daddy?” tanya Adaeze dengan polosnya.

Yes, she is your mommy, and i am your daddy.” Kiev menunjuk Kivia serta dirinya sendiri sambil tersenyum lebar nan cemerlang. Hingga giginya terlihat seperti iklan pasta gigi. Kivia langsung menoleh takjub pada Kiev. Kivia ingin meralat tetapi urung ketika mendengar seruan Adaeze.

Wow. I have daddy. Yeah!” Adaeze melompat-lompat kegirangan. Mata bulat Adaeze begitu indah.

Tak ingin kehilangan moment, Kiev dan Kivia memanfaatkan waktu dengan saling bercanda dengan Adaeze. Menanyakan kabar, bertanya tentang sekolah, teman-teman baru, dan guru-gurunya di sekolah. Makanan favoritnya dan banyak hal lainnya.

Acara tatap muka dengan Adaeze harus terhenti karena Adaeze harus melakukan kegiatan bersama teman-temannya. Kiev dan Kivia tak berhenti melambaikan tangan hingga wajah imut Adaeze hilang dari layar.

“Haduuh, gemes banget nggak siiih?”

Kiev tak kuasa menahan tangannya untuk tidak mengacak rambut Kivia yang dari tadi melonjak kegemasan karena tingkah polah Adaeze. Gadis mungil berkebangsaan Palestina itu adalah anak asuh Kivia.

“Kamu suka banget sama anak kecil ya?” tanya Kiev. Lama-lama jadi dia yang gemas pada cewek itu.

Kivia mengangguk sampai lehernya mau copot. “Lucu banget soalnya. Syukurlah sekarang Adaeze udah sehat.”

Karena saat pertama kali mereka berjumpa ketika Kivia menjadi relawan di Palestina, kondisi Adaeze begitu memprihatinkan. Ia mengalami gizi buruk. Ayahnya yang ikut perang dan ibunya meninggal karena tertimbun bangunan. Dengan tangannya sendiri, Kivia menggendong tubuh kurus Adaeze yang penuh luka dan bersimbah darah.

Karena negaranya yang masih berkonflik, Adaeze harus menghabiskan waktu di penampungan. Sekarang, Adaeze sudah berada di sekolah. Sedari kecil dia dan teman-temannya di sekolah sudah dididik untuk menghafal kitab suci. Trauma healing dan pendidikan di sekolah itu pun juga bagus. Maka dari itu Kivia memutuskan untuk menjadi orang tua asuh.

Sebagai orang tua asuh, Kivia bersedia bertanda tangan untuk membiayai kebutuhan dan sekolah Adaeze sampai tingkat mana pun. Sedangkan di sana akan ada orang tua angkat lain yang akan mengurus Adaeze dan teman-temannya di lembaga itu.

Sembari mengendarai motor, Kiev tersenyum-senyum beberapa kali menatap Kivia dari spion motor. Perasaan khawatir tentang lenyapnya kesempatan untuknya jika memang Kivia telah mempunyai suami tergantikan dengan perasaan lega dan kagum atas sosok Rembulan Kivianisya.
Kivia seperti tidak peduli dunia luar. Namun, ternyata jauh lebih peduli dari yang lainnya kira.

“Kivia,” panggil Kiev.

“Iya?” Kivia mendekatkan wajahnya pada pundak Kiev. Saat naik motor, telinganya kadang tidak berfungsi dengan baik.

“Kamu udah punya suami?” tanya Kiev, benar-benar memastikan.

“Belum,” jawab Kivia jujur.

“Aku juga. Ah, maksud aku. Aku juga belum punya istri.”

“Terus?”

“Terus....”

----

Bersambung

Kang Parkir be like: YA TEROOOS TEROOOS TEROOOOS PARKIR HATINYA EAAAAAK

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top