empatpuluh dua

Kiev langsung mengangkat tubuh Kivia dari air. Di samping bath tub, Kiev menumpu lutut dan menyandarkan kepala Kivia di dadanya.

Sementara Bu Mia menangis nyaris histeris melihat keadaan Nona mudanya.

"Kivia, you can't do this, Ya. Kivia please...." Kiev terus memohon sambil menepuk pipi Kivia.

Kivia lalu terbatuk-batuk mengeluarkan air dari mulut dan hidungnya. Perlahan membuka mata dan mengerjap.

"Kiev...." ujarnya lemah. Air mata mengalir pada matanya yang begitu merah.

Kiev lantas menarik napas lega melihat Kivia yang sudah sadarkan diri.

"Ya.... Kivia...." panggil Kiev lagi. Cengkramannya pada bahu Kivia menguat.

"Aku ... aku ..." Kivia terbata-bata, lalu terisak hebat.

Kiev merengkuh Kivia dalam dekapannya. Andai saja ia tidak lebih cepat, Kiev tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi.

"Sssh, aku di sini, Ya. Aku di sini...." bisik Kiev kemudian mengambil handuk lebar yang tersedia di sana dengan satu tangannya.

Kiev menyelimutkan handuk tersebut ke tubuh Kivia dan menggendongnya ke kamar gadis tersebut.

"Bu Mia, tolong bantu ganti baju Kivia," pinta Kiev.

Bu Mia bergegas menyiapkan baju Kivia. Kiev keluar kamar lalu menutup pintu. Ia juga melepaskan bajunya yang turut menjadi basah. Kiev mengganti bajunya dengan cepat dan tak lama kemudian, Bu Mia keluar dari kamar Kivia.

"Tuan Kiev, saya akan bikin minuman hangat untuk Non Kivia," ujar Bu Mia.

"Terimakasih, Bu," kata Kiev sembari memasuki kamar Kivia.

Kivia yang telah berganti baju dengan terusan panjang itu berbaring miring membelakangi Kiev. Kiev duduk di sisi tempat tidur dan menggenggam tangan Kivia yang dingin. Kiev menempelkan punggung tangannya ke dahi dan leher Kivia.
Hidung dan mata Kivia merah, berbanding jauh dengan bibir serta kulitnya yang pucat.

Bu Mia masuk sebentar untuk mengantarkan segelas cangkir berisi teh chamomile. Ia lalu undur diri untuk membuatkan bubur. Bu Mia berharap Kivia mau memakannya karena dari kemarin-kemarin, nona mudanya itu selalu menyisakan banyak makanan. Bahkan ada yang tidak tersentuh sama sekali.

Kiev membantu Kivia untuk minum. Kivia awalnya menolak dengan menggeleng lemah, tapi Kiev tak menyerah. Kiev terus menyodorkan cangkir dengan aroma menenangkan itu.

Setelah memastikan Kivia minum meski hanya beberapa teguk, Kiev baru meletakkan gelas ke nakas samping tempat tidur.

"Ya...." Kiev mengusap pipi Kivia yang tirus. "Aku telepon dokter, ya?"

"Nggak perlu, aku nggak apa-apa," kata Kivia lemah. Suaranya serak.

"Aku harus apa, Ya?" Sejujurnya, Kiev bingung apa yang harus ia lakukan saat ini. Kivia benar-benar terlihat kalut. Ia juga tidak ingin bicara atau bertindak sesuatu yang malah berefek buruk pada Kivia.

Maka dari itu, Kiev menelan kalimat-kalimat yang akan ia lontarkan walau Kiev khawatir setengah mati.

"Dont leave me...." Kivia meneguk ludah seraya mencengkram lengan Kiev. "Juga ... jangan kasih tau ayah, aku mohon...."

Kiev terhenyak, cepat atau lambat ayah Kivia pasti mengetahui hal ini.

Seperti bisa menangkap apa yang Kiev pikirkan, Kivia berkata lagi. "I know, ayah pasti akan tau. Tapi jangan sekarang... Aku nggak mau dia ninggalin kerjaannya dan terus berfokus ke aku."

"Ya...."

"Aku bukan anak kecil lagi. Toh di sini sudah ada kamu. Aku berusaha menghadapi ini semua. Iya, aku nggak bisa kontrol kejadian tadi, but i am okay right now. So, just stay...." pinta Kivia sambil perlahan melingkarkan lengannya ke tubuh Kiev.

Kiev mengangguk dan mengetatkan pelukan mereka.

Bu Mia berusaha tak canggung saat melihat pemandangan itu. Ia meletakkan bubur. Lalu kembali keluar. Bu Mia mengangguk saat Kiev mengucapkan terimakasih.

"Pintunya nggak usah ditutup, Bu," kata Kiev ketika Bu Mia akan menutup pintu.

Ia lalu menunduk menatap Kivia. "Bu Mia udah masak bubur untuk kamu. Dimakan, ya?"
Kivia menggeleng. "Aku nggak ada selera makan."

"Aku suapin," ujar Kiev sembari mengatur bantal agar Kivia bersandar dengan nyaman.

"Aku manja banget, ya?" tanya Kivia dan membuat Kiev tersenyum tipis.

"Aku yang mau manjain kamu." Kiev mengarahkan sendok berisi bubur pada Kivia setelah memastikan tidak terlalu panas.

Kivia menerima suapan demi suapan dari Kiev. Tak ada senyum yang Kivia tunjukkan, tapi Kivia merasa lebih baik dari tadi. Walau tak sampai habis, Kivia berhasil mengisi perutnya tanpa ingin muntah.

Kiev mengurus Kivia dengan lembut dan penuh kasih sayang. Ia mengatur selimut dan membiarkan Kivia yang kini berbaring di lengannya. Mau tak mau Kiev setengah berbaring di tepian tempat tidur Kivia.

"Can u sing me? Lullaby?" ujar Kivia sembari mendongak menatap wajah Kiev.

"Okay." Kiev mengusap kepala Kivia yang sekarang bersandar di antara perut dan dadanya. "What's song?"

"Sunshine...."

Kiev mulai melantunkan lagu itu dengan suara merdunya. Membuai Kivia dalam suasana yang tenang dan menghangatkan.

*You are my sunshine
my only sunshine
you makes me happy
when my sky is gray

you'll never know dear
how much i love you*
please dont take my sunshine away

Kiev tak menyangka, nyanyiannya membuat Kivia perlahan tertidur lelap. Hela napas teratur dan bahu Kivia yang bergerak naik turun membuat Kiev merasa tenang.

Saat Kiev akan beranjak dan mengurai pelukan mereka, Kivia menguatkan genggamannya pada baju yang Kiev kenakan. Kiev urung melepaskan pelukannya dan menepuk-nepuk pundak Kivia pelan sembari kembali menyenandungkan lullaby dengan intonasi rendah.

"Aku di sini, Ya.... aku di sini...."

***

Sore harinya, saat memasuki rumah, Kumara bertemu dengan Bu Mia yang sedang membenahi ruang tamu. Mau tak mau, Bu Mia harus melaporkan kejadian tadi saat Tuan Besarnya bertanya mengenai Nona Kivia hari  ini.

Sudah terduga, reaksi yang Kumara berikan mendengar hal itu. Kumara cemas bukan kepalang. Ia juga marah tidak diberitahu sesegera mungkin. Namun, Kumara hanya bisa menahan amarahnya saat Bu Mia mengatakan bahwa hal itu merupakan permintaan langsung dari Kivia.

Bu Mia juga memberitahu bahwa Kiev lah yang menyelamatkan Kivia. Seandainya tidak ada Kiev, ia benar-benar tidak tau harus bagaimana.

Kumara bergegas mencari keberadaan Kivia. Langkahnya tercegat di depan kamar putrinya yang pintunya terbuka lebar. Ia tertegun melihat Kiev yang memejamkan mata bersandar pada headboard tempat tidur dan Kivia yang tampak begitu nyenyak memeluk Kiev.

Dalam tidurnya, Kiev masih menepuk-nepuk pundak Kivia. Meski diliputi kantuk yang begitu berat, Kiev otomatis terbangun ketika menyadari keberadaan seseorang.

Kiev merasa sedikit sungkan dengan Kumara yang memandanginya bersama Kivia. Walau mereka tidak macam-macam selain berbagi pelukan dan tertidur dalam artian benar-benar-benar tidur, Kiev tetap merasa ini adalah situasi yang amat canggung.

Kumara menggelengkan kepala saat Kiev akan beranjak. Membuat Kiev tidak bergerak.

"Dia mau makan hari ini?" tanya Kumara melirik mangkuk bubur yang tergeletak di nakas.

"Iya, meski hanya beberapa suap."

"Syukurlah," ujar Kumara. "Pinta ia minum obatnya setelah bangun."

Kiev mengangguk. "Baik, Om."

"Lehermu pasti sakit," komentar Kumara pada Kiev. Setelah mengucapkan itu, Kumara melenggang pergi.

Kiev terpaku mendengar kalimat yang ayah Kivia lontarkan. Lehernya memang terasa sakit karena duduk setengah berbaring seperti ini dalam waktu yang lama.

***

"Aku akan berkunjung ke makam mama," ujar Kivia setelah selesai makan malam pada sang ayah. Tak ketinggalan Kiev yang juga makan malam bersama mereka.

Mendengar hal itu, otomatis Kiev dan Kumara secara bersamaan memandangi Kivia.

"Hm, baiklah. Kapan kamu akan ke sana?" tanya Kumara.

"Secepatnya. Kalau ayah nggak bisa, nggak apa-apa. Aku bisa sama Bu Mia ke sana," kata Kivia dengan tersenyum sopan.

"Ayah akan bersama kamu." Kumara lalu memandang Kivia dan Kiev bergantian. "Kiev juga boleh ikut."

"Kalau Kivia tidak keberatan," kata Kiev.

"Kalau Kiev nggak sibuk," timpal Kivia tersenyum tipis.

Kedua sudut bibir Kiev terangkat. "Nggak sibuk kok."

"Oke, kita akan berangkat besok pagi," putus Kumara. Ia lalu menoleh pada Kiev. "Kamu malam ini menginap saja. Kamar tamu sudah Bu Mia siapkan."

"Oke, Om. Terimakasih. Saya akan telepon Bunda dulu."

"Ajak beliau sekalian, Kiev."

Kiev mengangguk. "Baik, Om."

Malam itu, Kiev menelepon Bunda sedangkan Kumara bicara pada sekretarisnya, Harya Danuatmaja untuk menunda rapat-rapat penting yang mengharuskan dirinya berhadir. Kumara juga menghubungi Sean untuk selalu melaporkan segala sesuatu yang berkaitan dengan perusahaan sedetail mungkin. Ia akan memantau dari jauh.

Sementara itu, Kivia akan tidur ditemani Bu Mia. Kivia juga meminta maaf karena telah membuat pengasuhnya sejak kecil itu cemas.

Pagi-pagi sekali, Kiev, Kivia dan Kumara berangkat menggunakan helikopter menuju Kota Baru, Kalimantan Selatan. Sayangnya, Dewi Laksita Bhagaskara tidak bisa ikut karena bunda Kiev tersebut harus menghadiri persidangan. Sebagai pengacara, Dewi membela seorang nenek yang terlibat dalam sengketa tanah.

Setelah menghabiskan waktu hampir dua jam perjalanan, mereka mendarat di Kota Baru. Kiev membantu Kumara untuk turun dari helikopter, kemudian Kivia.

Mereka lalu berpindah menaiki mobil menuju pemakaman. Di depan dan di belakang terdapat dua mobil yang bertugas mengawal mereka.

Memasuki area pemakaman, Kivia menyampirkan scarf berwarna hitam di sekeliling kepalanya. Ketiganya turun dari mobil dan berjalan beriringan menyusuri jalan setapak area pemakaman yang asri dan sejuk.

Kiev dan Kivia membuka kacamata hitam yang mereka kenakan. Terlihat mata Kivia yang berkaca-kaca. Ia menumpu lutut di samping makam dengan nisan bertuliskan nama Kaia Diera Nararya. Kivia meletakkan buket bunga matahari di atas makam sang mama yang begitu bersih dan hijau.

Kumara memang meminta petugas pemakaman untuk merawat makam istrinya setiap hari. Kumara sendiri selalu berkunjung ke makam Kaia setiap hari Jumat. Sejauh dan sesibuk apa pun dirinya, Kumara akan selalu menyempatkan waktu untuk berkunjung.

Ketiganya memanjatkan doa dengan takzim dan menyiram air bunga.

"Ayah, Kiev ... bisa tinggalin aku sendirian?" tanya Kivia.

Kumara mengangguk dan mengusap nisan sang istri. "Kami akan menunggu di sana," tunjuk Kumara ke arah pandopo yang masih berada di area pemakaman itu.

"Take your time, Ya," ujar Kiev lembut sembari mengusap pundak Kivia. Ia kemudian mengikuti langkah Kumara menuju pandopo berbahan kayu jati itu.

Kumara meminta pengawalnya untuk mundur dan memberikan Kivia privasi.

Sepeninggal ayahnya dan Kiev, Kivia tak bisa menahan air matanya. Gadis itu membekap mulutnya sendiri, terisak-isak.

"I am so sorry, Ma...." bisik Kivia terbata-bata. "Aku baru bisa mengunjungi mama lagi setelah sekian lama...."

Terakhir, Kivia mengunjungi makam mamanya 8 tahun yang lalu, saat pertama kalinya ia menginjakkan kaki di Tanah Borneo. Setelah berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Dari satu negara ke negara lain.

"Aku ... berusaha untuk mengikhlaskan apa yang terjadi, Ma. Tapi semua hal yang mengerikan yang terjadi pada hari itu menyerangku terus-terusan. Nggak mudah bagiku menerima aku harus kehilangan mama dalam peristiwa itu...."

Kivia memukul-mukul dadanya pelan, seperti ingin mengurai sesak. "Tapi ... aku yakin mama sudah nyaman di sana...."

"Aku selalu berdoa Tuhan melembutkan hatiku agar bisa menerima ketentuan-Nya, agar aku nggak terus-terusan larut dalam duka...."

Kivia menghapus air matanya yang terus berjatuhan dengan sapu tangan.

"Banyak orang yang bantu aku untuk bangkit. Ayah, Bu Mia, Kiev, Dokter Elina, Bunda Kiev...."

Ia menoleh ke arah sang ayah yang berbincang dengan Kiev di pandopo itu.

"Aku sadar ... aku masih punya ayah yang harus aku rawat. Dulu ... mama selalu memberikan pengertian sedingin apa pun keliatannya, atau sedatar apa pun raut wajahnya, ayah sangat menyayangi kita berdua.... Walau hubungan kami awalnya sempat renggang, mama pasti senang saat tau aku dan ayah akhirnya berdamai."

Tangis Kivia mulai mereda. Sesekali menetes, tapi tidak separah tadi. Ia sudah cukup tenang. "Ekspresi ayah masih seperti itu, seringkali datar. Bicaranya juga singkat-singkat. Tapi aku tau ayah penuh kasih sayang."

"Ayah ... masih suka bangun pagi-pagi sekali. Minum susu penguat tulang, dia juga rajin olahraga. Rajin makan buah. Juga multivitamin."

"Ayah suka baca buku di perpustakaannya sampai lupa waktu. Atau semalaman berkutat di meja kerjanya sampai sering aku tegur."

Dengan mata sembab dan hidung merah Kivia mengulum senyum. "Kayaknya mama udah tau, tapi aku sempat liat ayah suka diam-diam mandangin foto mama dari dalam dompetnya. Terus senyum, tipiiiis banget. Mama kenapa sih punya suami irit banget begitu senyumnya?"

"Hm, yang temenin aku sama ayah tadi namanya Kiev, Ma. Dia ... mau dibilang pacar ... hm aneh nggak sih kalau udah umur segini?" kata Kivia agak malu.

"Engh ... Kiev anak tunggal, Ma. Sama kayak aku. Ayah Kiev udah nggak ada waktu umurnya belasan tahun. Kalau Bunda Kiev kerja sebagai pengacara. Beliau juga suka desain sepatu dan punya butik sendiri. Bunda baik banget ke aku, Ma...."

"Kiev orangnya care, baiiiik banget, selalu bikin aku merasa nyaman juga aman. Humoris tapi juga bisa terlihat serius banget. Perangainya ramah, sopan.... Nggak kaget kalau banyak yang suka sama dia. Kalau kata penggemarnya, husband material banget. Tapi dia nggak pernah overproud atau gimana-gimana."

"Terlebih dia sayang sama keluarga, menghargai orang lain, dia juga udah lumayan dekat sama Ayah. Mama tau sendiri kriteria dekat sama ayah itu susahnya kayak apa."

"Waktu aku ada masalah sama ayah, Kiev bisa jadi penengah yang baik...."

"Sama Kiev ada momen yang buat aku bisa ketawa, berbagi rasa ketakutan aku atau bahkan sesuatu yang nggak bisa aku bayangin sebelumnya ... aku bisa manja ke dia."

"Maluuu banget. Tapi mama tau aku mungkin manja sejak dulu. Namun, waktu hidup sendirian bertahun-tahun, aku nggak pernah bersikap manja. Aku selalu mengatasi masalahku sendirian. Aku nggak punya siapa pun untuk bertumpu."

"Tapi Kiev datang dan secara alamiah bikin aku bisa berbagi banyak hal. Aku juga berharap, aku juga bisa berperan seperti itu untuk dia...."

Kivia tersenyum cerah dan mengelus nisan mamanya. "Aku sayang sama Kiev, Ma. Dan nggak perlu aku cerita panjang lebar seperti ini pun, aku yakin mama ngerti kenapa aku sayang sama dia."

"Mama ... satu yang aku yakini, kita pasti akan ketemu lagi suatu saat nanti. Aku akan berusaha menjalani segala ketentuan yag uda ditakdirkan untuk aku. Aku akan hidup lebih baik lagi dan mensyukuri apa yang aku miliki saat ini."

"Terimakasih banyak, Ma. Aku bersyukur ... aku yang dipilih Tuhan untuk terlahir menjadi putri mama...."

bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top