empat puluh satu

Setelah turun dari unit apartemen Kivia, golden couple itu akan pergi menuju K-Entertainment. Kiev masih dengan pakaian santainya lalu mengenakan baseball cap. Sementara Kivia telah mengganti dress rumahannya dengan setelan pakaian yang ia gunakan saat menari nanti. Namun, dilapisi dengan jaket varsity.

Keduanya berjalan di lobi apartemen Kivia dan berpapasan dengan Kumara yang terlihat berbincang bersama seorang perempuan.

"Kivia?" ujar perempuan itu lebih dulu menyadari keberadaan Kivia.

Kumara pun juga menoleh pada Kivia. Ia berusaha menutupi perubahan ekspresinya saat menyadari pertemuan Kivia dengan perempuan ini yang tidak seharusnya terjadi.

Kivia sempat bingung karena ia tidak mengingat siapa perempuan itu tapi yang jelas mungkin beliau adalah teman ayahnya.

"Ah, dia teman ayah," ujar Kumara memperkenalkan.

Meski sudah cukup berumur, garis kecantikan masih terpancar pada perempuan itu. Ia mengulurkan tangannya pada Kivia. "Elina. Saya nggak yakin kamu ingat saya. Kamu masih kecil waktu itu."

Kivia mengangguk pelan. Ya, ia rasa mereka pernah bertemu sebelumnya. Suaranya juga sangat familiar.

Kivia kemudian tersenyum dan membalas jabat tangan Elina. "Baik, Tante."

Elina kemudian menatap Kiev dan Kivia kontan mengenalkan. "Hm... ini, Kiev. Teman dekat saya."

"Oh, salam kenal, Kiev," sapa Elina sambil bersalaman dengan Kiev.

"Salam kenal, Tante," sahut Kiev sopan.

"Kalian akan pergi?" tanya Kumara saat melihat tas olahraga yang Kiev tenteng. Kivia juga terlihat siap dengan sneakers juga tas bahu berukuran sedang.

"Kami akan latihan di K-Entertainment."

"Pergi dulu ya, Yah."

"Iya, hati-hati."

"Kami pamit, Tante."

Sesekali, Kivia menengok ke belakang memandang sosok perempuan itu. Ia kemudian menggeleng dan berusaha mengusir pikiran-pikiran yang berkaitan dengan memorinya.

Sepeninggal Kivia, Elina lantas melontarkam pertanyaan pada Kumara.

"Kivia baik-baik saja sejauh ini?" tanya Elina.

"Baik, tapi kurasa memori masa lalunya mulai kembali walau aku tidak tau seberapa banyak. Yang jelas ia bertanya padaku apa Kaia benar-benar meninggal karena sakit."

"Dia jelas meragukan hal itu. Kau tau, cepat atau lambat Kivia harus menghadapi fakta yang sebenarnya terjadi."

Siang hari, Kiev dan Kivia melakukan latihan di studio dance K-Entertainment untuk challenge dance couple mereka. Kiev dan Kivia kali ini memakai pakaian yang cukup nyaman untuk menari dibanding latihan mereka sebelumnya tempo hari.

Kivia membuka jaket varsitynya dan menyisakan wrap top lengan panjang berwarna lilac yang menampilkan tulang selangkanya yang indah. Gadis itu tampak anggun dengan balet style yang memadukan rok berbahan tutu selutut sebagai bawahan.

Sedangkan Kiev berganti baju dengan mengenakan kaos hitam polos juga celana training adidas yang sudah ia siapkan di mobil tadi untuk latihan siang ini.

Kiev dan Kivia menentukan instrumen yang akan menjadi latar belakang dance mereka juga mempelajari step-step gerakan yang dibuat oleh seorang koreografer profesional.

"Ready ... five six seven eight!" seru koreografer itu, Kiev dan Kivia mengikuti di belakangnya.

Koreografer tersebut juga memberikan kewenangan bagi Kiev dan Kivia untuk memberikan ide mereka. Karena Kivia juga memiliki basic dalam tari balet, koreografer itu juga menggabungkan sentuhan balet dalam koreografi mereka.

"Kita masukin pirroutes ya, Ya?" pinta koreografer itu.

Walau sempat terlihat ragi dengan dirinya sendiri, Kivia setuju dan menunjukkan putaran pirroutesnya sebanyak dua kali.

"Perfect!" ujar koreografer itu bertepuk tangan.

Mereka sudah memperoleh gerakan yang fix dan berlatih hampir selama dua jam. Coach mereka pamit karena ada jadwal di lain tempat dan keduanya pun akhirnya berlatih sendiri.

"Kamu akan lakuin putaran pirouttes penuh?" tanya Kiev memastikan.

"Aku harus berhasil berputar 32 kali," jawab gadis itu sambil mengusap keringatnya dengan handuk kecil.

Kivia dilanda rasa penasaran, karena waktu itu, ketika ia mencoba putaran pirouttes dirinya jatuh tersungkur dengan rasa sakit yang mendera kepalanya cukup hebat. Ada hal ganjil yang menyerangnya. Bayangan-bayangan samar yang ia tak tau apa....

Saat menari bersama Kiev, semuanya seolah terasa teralihkan dan perhatiannya terfokus pada Kiev. Namun, kali ini kala Kivia mencoba gerakan solonya, yaitu pirrouttes. Ketakutan Kivia terbukti benar.

Bayang-bayang itu tiba-tiba muncul lagi. Ada sosok sang mama yang menari bersamanya. Juga sekelebat potongan-potongan adegan mencekam yang muncul dalam benaknya.

Pusing menyerang dan Kivia yang sedang berputar pun tidak bisa mengontrol tubuhnya.

Tubuh Kivia jatuh dalam pelukan Kiev. Gadis itu mengatur napasnya dengan dagu yang tersandar di ceruk leher Kiev.

Kiev lantas menyangga tubuh gadis itu. "Ya.... Kivia...."

Kivia merasa oksigen di sekitarnya menipis. Kepalanya seperti dihantam godam. Gadis itu menutup telinganya rapat. Lalu mulai terisak hebat.

"I dont know.... apa ... apa yang terjadi sama aku...." lirih Kivia dengan nada memilukan.

Kivia berusaha menenangkan Kivia dalam dekapannya. "Kivia ... hei, liat mata aku. Sayang...."

"Kivia, lihat aku. Tenang.... take a deep breath ... release...."

Meski kesulitan, Kivia menarik napas panjang dan mengembuskannya.

Setelah Kivia cukup tenang, tanpa menjauh dari Kivia yang kini bersandar di dadanya, Kiev meraih botol minum yang terdapat di dalam tas olahraganya.

Ia membantu Kivia minum kemudian menepuk-nepuk pelan pundak Kivia menenangkan.

"Aku kira ... mimpi buruk yang terkadang datang itu cuma mimpi biasa. Tapi aku takut, karena terasa sangat nyata," ujar Kivia lirih.

"Mimpi buruk itu ... terulang waktu aku mendengar suara tembakan ketika aku jadi relawan di Palestina. Tapi aku bisa bertahan ... dan mati-matian untuk menyelamatkan Adaeze yang terjebak di reruntuhan saat itu."

Genggenggam Kivia pada kaus Kiev menguat dan Kiev terus mengusap pundak Kivia menguatkan. Ia tau, hal itu cukup berat untuk Kivia bagi padanya.

"Kamu ingat? Hal yang sama terjadi saat kita syuting, lagi-lagi suara tembakan memicu bayangan mengerikan yang sama. Aku baru sadar mimpi buruk itu ternyata nggak cuma menyerang saat aku tidur...."

Kiev menempelkan pipinya ke puncak kepala Kivia.

"Beberapa hal yang kerap muncul itu ... adalah sosok mama ... balet, tawa kami berdua juga ayah. Semua yang awalnya samar makin ke sini jadi tampak jelas walau aku nggak yakin apa itu memang pernah terjadi atau hanya hayalan aku aja. Tapi aku senang mama datang dalam bayangan-bayangan itu."

Kivia tiba-tiba terisak lagi. "Tapi mama juga ada dalam mimpi mencekam itu, Kiev. Teriakan, suara kaca yang pecah, tembakan dan...."

Gadis itu tergugu. Tidak sanggup melanjutkan. Karena suara tembakan dan bayangan mamanya yang kemudian jatuh tergeletak dengan darah yang membanjiri lantai membuat Kivia histeris.

Kiev mengeratkan dekapannya. Kivia selalu terlihat kuat bahkan tak tersentuh. Bahkan saat kasus ancaman waktu itu, Kivia seperti tidak terpengaruh.

Trauma masa kecil yang melibatkan sang mama membuat Kivia begitu rapuh. Bayangan mengerikan yang selama ini tersimpan rapat dan seiring berjalannya waktu muncul secara samar kini dengan jelas menyerangnya.

Kivia merasa dadanya menghimpit. Suara Kiev yang terus memanggilnya serasa menjauh. Pandangannya mengabur dan kesadaran Kivia akhirnya lenyap.

***

Berkat bantuan Maya dan Mbak Vanya, Kiev membopong Kivia ke rumah sakit yang bisa ditempuh dalam waktu beberapa menit dari K-Entertainment. Mereka turun dengan akses lift khusus langsung menuju basement dan berusaha untuk tidak terlihat siapa pun.

Kiev berupaya tenang dan berpikir jernih. Ia juga segera mengabari ayah Kivia. Sesampainya di rumah sakit, Kivia ditangani dokter dan segala urusan administrasi diserahkan pada Mbak Vanya.

Dokter melakukan pemeriksaan pada Kivia, ia melepaskan stetoskopnya dan menyimpulkan bahwa Kivia mengalami syok setelah melihat kondisi gadis itu juga mendengar penjelasan Kiev.

"Mendengar adanya trauma dan riwayat hipnoterapi, saya akan merekomendasikan dokter bagian psikiatri untuk ikut melakukan observasi pada pasien," papar dokter tersebut.

Elina masuk bersama Kumara yang terlihat sangat cemas. "Saya di sini."

Pria itu menoleh dan mendapati dokter senior di rumah sakit ini. "Dokter Elina?"

Elina mengangguk. "Ya, aku juga pernah merawatnya dulu."

Dokter lulusan kedokteran pshyciatry Johns Hopkins Amerika Serikat itu pernah menangani Kivia sewaktu kecil. Ia juga yang menanggulangi trauma Kivia dengan berbagai pertimbangan mengenai kondisi Kivia saat itu serta atas persetujuan wali Kivia yaitu Kumara Nararya, hipnoterapi dilakukan.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Elina pada dokter tersebut.

"Hela napasnya mulai stabil dan denyut nadinya juga mulai teratur."

"Syukurlah," ujar Elina sedikit lega.

Ingatannya terlempar pada masa lalu, di mana ia bertugas sebagai psikiater untuk Kivia dan perawatan bersamanya memakan waktu cukup lama.

Setelah tragedi penembakan yang menewaskan sang mama, Kivia kecil terbaring tak sadarkan diri karena syok hebat. Jika ia sadar menangis, berteriak juga memandang kosong. Kondisi Kivia saat itu tidak stabil dan ia jelas terguncang. Kivia bahkan tidak bisa menghadiri pemakaman sang mama, Kaia Diera Nararya.

"Kivia juga melakukan pirroutes sebelumnya," ungkap Kiev menambahkan.

Kumara mengusap kening Kivia lembut. "Itu gerakan yang Kaia secara intens ajarkan pada Kivia. Pirroutes memicu ingatannya?"

"Aku rasa itu bukan satu-satunya. Pertemuanku dengannya secara tiba-tiba juga mungkin menjadi penyebab dan hal lain yang bisa jadi tidak pernah Kivia ungkapkan," terang Elina.

"Kivia juga sempat bercerita ada beberapa kejadian yang menjadi trigger. Awalnya ingatannya begitu samar akan tetapi semakin jelas akhir-akhir ini," tutur Kiev lagi.

Kumara mencoba tidak menyalahkan siapa pun sejak Kiev mengabari Kivia jatuh pingsan dan histeris karena memorinya mengenai fakta peristiwa penembakan sang mama berangsur kembali.

Kumara meraup wajahnya frustrasi. "Aku tidak akan pernah siap untuk ini."

"Jika memori mengenai peristiwa itu benar-benar kembali. Kivia seperti merasa baru saja mengalami kejadian mengerikan tersebut. Ia tentu merasakan duka cita mendalam," ujar Elina.

Elina menepuk pundak Kumara. "Meski ia bukan lagi gadis enam tahun, Kivia tetap butuh waktu berduka untuk kepergian Kaia."

Ia menoleh pada Kumara dan Kiev secara bergantian. "Kivia membutuhkan orang terdekatnya untuk melewati situasi sulit ini."

***

Kiev berjalan di koridor depan ruang rawat Kivia setelah gadis itu dipindahkan dari IGD.  Tak terduga Kiev bertemu dengan sang Bunda yang terlihat terburu-buru.

"Kiev, Kivia gimana?" tanya Dewi cemas.

"Ada di dalam, Bun. Masih belum sadar. Bunda ke sini sama siapa?"

"Bunda nyetir sendiri," sahut Dewi.

Kiev menggeleng-geleng. "Astaga, Bunda...."

"Bunda masih kuat kok nyetir sendiri. Bunda khawatir banget sama Kivia...."

"Saya akan bicara dengan Dokter, kamu bisa jaga Kivia?" tanya Kumara yang keluar bersama dokter Elina.

Kiev mengangguk. "Baik, Om."

"Oh, ini. Bunda saya," kata Kiev memperkenalkan.

"Saya Dewi, Bunda Kiev."

"Saya Kumara, ayah Kivia. Maaf saya harus menemui Dokter, saya titip Kivia."

Bunda dan Kiev mempersilakan Kumara yang terlihat buru-buru. Mereka lalu memasuki ruang rawat Kivia.

"Kivia pucat sekali, Kiev...." lirih Dewi khawatir. Ia duduk di samping bed Kivia seraya menggenggam tangan gadis itu yang bebas dari infus.

Beberapa waktu kemudian, Kivia menggerakkan jarinya. Wajah gadis itu tampak gelisah dengan mata yang masih terpejam. Alisnya berkedut.

"Hhhh," ujar Kivia lirih. Kiev yang melihat itu lantas mengusap kepala Kivia.

Tak lama kemudian, Kivia mulai membuka matanya. Kelopaknya mengerjap.

Kiev membungkuk melihat keadaan Kivia. Gadis itu memberi tatapan kosong. Kiev lalu memencet tombol darurat di atas kepala bed rumah sakit.

"Kivia...." panggil Kiev.

Bunda juga memanggilnya. Tapi Kivia bergeming. Ia mengerjap-ngerjap.

"Mama...." lirih Kivia dan langsung tersedu.

Bunda menghambur memeluk Kivia dan membisikkan kata-kata lembut. "It's okay, sayang. It's okay...."

Kivia berusaha menenangkan diri. Ia berangsur sadar, dirinya sedang berada di ruangan dengan nuansa putih, aroma yang khas serta infus yang menancap di tangannya dan yang sekarang memeluknya ... bukanlah mama. Kivia juga mendapati Kiev yang tengah menatapnya dalam dan terus mengusap rambutnya menenangkan.

"Bun ... da...." Kivia tak kuasa dan akhirnya menangis lebih keras.

"Iya, Bunda di sini, sayang. Bunda di sini."

Kivia menggigit bibirnya. Air matanya merebak dan mungkin telah membasahi bagian belakang kemeja yang dikenakan Bunda. "Bun, aku kangen mama.... Aku mau peluk mama."

"I know.... Bunda boleh wakilin mama Kivia, ya?" kata Dewi yang juga berkaca-kaca.

Kivia mengangguk sambil terus menangis. Di sisi lain, dirinya sadar kalau mamanya memang sudah tidak bisa lagi dipeluk secara nyata.

Dokter dan ayah Kivia masuk ke ruangan dengan terburu-buru.

Dewi mengecup puncak kepala Kivia. "Sayang diperiksa dulu, ya?"

Kivia mengangguk dan mengurai pelukannya meski masih tersedu. Dewi pun mundur dan Kiev yang kini mendekap bahu sang bunda. Mereka mempersilakan dokter melakukan pemeriksaan.

Setelah pemeriksaan fisik, Elina pun melakukan sesi konsultasi bersama Kivia. Kivia bersama Elina dan Kumara, Kiev dan Dewi meninggalkan ruangan untuk sementara waktu.

Setelah rawat inap selama dua hari, Kivia diperbolehkan untuk pulang dan akan konsultasi bersama Elina setiap bulannya. Ia juga diresepkan obat antidepresan dalam dosis rendah.

Semenjak pulang dari rumah sakit, Kivia memang tampak lebih banyak diam. Namun, tidak menangis lagi. Ia bersama Bu Mia di apartemen. Kumara harus masuk mengurus pekerjaan yang sejak kemarin-kemarin ia tunda.

Kivia yang kini tengah memakai gaun rumahan selutut berwarna putih masuk ke dalam bath tub yang telah dipenuhi air. Ia merebahkan diri di sana. Bayangan mengerikan itu seolah tak henti menghantuinya. Kivia tercenung, tangisnya tak lagi turun. Namun, sesaknya terasa kuat.
Kivia memejamkan mata. Antara sadar tak sadar, tubuhnya meluruh. Hingga kepalanya tenggelam dalam air. Semakin dalam.... semakin dalam....

Di luar sana, Kiev yang baru saja tiba ditarik oleh Bu Mia yang tampak panik. Beliau mengkhawatirkan Kivia yang sedari tadi tidak keluar dari kamar mandi. Juga tidak bersuara apa pun, meski telah Bu Mia panggil berulang kali.

Merasa yakin ada yang tidak beres, Kiev mendobrak pintu kamar mandi.

"Kivia!"

bersambung

akan update cepet tpi hype setiap part ya ❤🤍

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top