duapuluh tujuh

Syukurnya, Kiev yang berada tak jauh dari Kivia, menyadari ketidakberesan itu. Saat Kivia berenang ke arah permukaan, cowok itu juga ikut bergerak mengikuti. Laki-laki itu lantas meraih tubuh Kivia ketika gadis itu diterjang oleh arus yang cukup deras.

Kivia otomatis melingkarkan lengannya di sekeliling leher Kiev dengan erat. Kivia mengambil napas sebanyak-banyaknya melalui mulut. Mereka bertahan dalam posisi itu untuk sejenak. Tubuh mereka bergerak ke kanan kiri mengikuti gelombang air yang kini sudah cukup tenang.

Kiev membantu Kivia untuk melepaskan masker dan snorkelnya. Gadis itu mengambil napas sebanyak-banyaknya. Sesekali Kivia juga terbatuk dan mencapit hidung mancungnya yang berair dengan jari.

"Sayang, are you okay?" tanya Kiev khawatir.

Kivia mengangguk. Matanya tampak merah. "Uhm, i am okay."

"Masih bisa lanjut?" tanya Kiev tanpa melepaskan pegangannya.

Kivia langsung menggeleng. "Aku naik aja deh kayaknya."

"Ya udah sini aku bantu." Kiev kemudian  membantu Kivia untuk kembali menaiki speadboat.

Dari atas ada petugas yang turut membantu mereka untuk naik. Kiev menyampirkan handuk pada bahu Kivia. Mereka duduk di atas speadboat menikmati pemandangan di sekitar mereka. Sesekali mereka tertawa melihat tingkah konyol para kru yang saling melontar canda.

Kivia menoleh terkesima pada Kiev yang tertawa lepas. Belum lagi penampilan cowok itu saat ini. Kiev mengenakan baju renang lengan panjang berwarna hitam seperti yang Kivia kenakan. Gerakan Kiev saat menyugar rambut basahnya menggunakan jari membuat Kivia jadi sedikit salah tingkah. Apalagi kala Kiev tanpa sadar merentangkan satu tangannya pada tempat duduk yang tepat di belakang punggung Kivia. Sementara hidung cowok itu kini ditenggeri oleh kacamata berwarna hitam.

Kiev dan Kivia tertegun menyadari matahari yang mulai tergelincir. Semburat jingga melukis angkasa. Bunyi deru ombak terdengar merdu menyatu dengan melodi alam. Angin laut pun mendesau syahdu.

Pandangan Kiev dan Kivia beradu. Menyadari bahwa sekarang tidak menikmati suasana indah ini sendiri, melainkan dengan orang yang mereka sayangi, pemandangan surgawi pulau ini terasa beribu kali jadi lebih indah. Indah sekali.

***

Lain hal dengan Kiev dan Kivia yang baik-baik saja, mereka harus memerankan Citra dan Danish yang kembali mengalami konflik. Mereka sedang dalam kegiatan employee gathering yang berlokasi di tempat wisata ini. Saat itulah segala rahasia terungkap.

Momen-momen kedekatan Danish dan Citra digambarkan sejak mereka harus duduk bersisian saat di bus. Danish juga pernah Citra temui berada di dekat daycare putrinya, Kaia. Namun, yang menjadi puncaknya adalah ketika Citra mendapati Danish mengenakan kalung dengan liontin sebuah cincin perkawinan. Malam ini mereka berada di pinggir pantai. Jauh dari rekan-rekan yang terlelap sehabis acara api unggun.

"Citra...." Danish seperti ragu untuk memasukkan kembali kalung itu ke dalam bajunya. Lalu pria itu urung melakukannya, membiarkan cincin yang tergantung pada kalung itu terlihat jelas.

Seperti kehilangan akal, Citra mendekat dan meraih cincin itu dan melihat ukiran nama di baliknya. Ada namanya yang tertera di sana. Seperti nama Bagas yang terukir di cincin pernikahan yang bahkan masih dipakainya hingga kini.

Citra mundur perlahan. Seolah tak percaya dengan fakta yang ia ketahui saat ini. Apakah ini hanya bagian dari mimpi konyolnya? Apa maksudnya? Danish adalah Bagas?

Danish, (tidak), Bagas mencoba menggenggam tangan Citra. Namun, perempuan itu menghindar. Citra memijit kepalanya yang tiba-tiba pening.

"Apa ... maksudnya ini?" tanya Citra dengan suara gemetar.

"Citra ... aku bisa jelaskan...."

"Jelas ... jelaskan ... ap-apa?" Citra bahkan terbata-bata saat ini. Berapa kali pun Citra memikirkannya, ia masih tidak bisa mengerti situasi ini.

Suara laki-laki itu tercekat. "Maafkan aku. Citra, maafkan aku."

"Maaf?" ulang Citra. Perempuan itu menggeleng. "Kamu ... Danish? Atau ..."

Bagas memejamkan matanya sejenak sebelum berkata. "Aku suami kamu."

"Kamu siapa?!" ujar Citra setengah berteriak. Isak yang ia tahan sejak tadi keluar dengan keras.

"Citra... aku mohon." Bagas merengkuh Citra dalam pelukannya. Tangan Citra bergerak untuk memukul-mukul Bagas.

"Kenapa? Kenapa baru sekarang? Kamu ke mana aja? Kenapa harus meninggal? Kalau kamu mau ninggalin aku, lebih baik kamu pergi tanpa kabar dan buat aku benci kamu seumur hidup aku! Aku tidak akan menangisi kamu sama sekali!" seru Citra sambil menangis keras. Dadanya terasa sangat sesak. Namun, pukulan Citra pada Bagas kini melemah sampai kemudian berhenti dan hanya menggantung di udara.

Bagas hanya membeku. Kata-kata Citra jelas menyayat-nyayat hatinya. "Citra...."

"Salah apa aku sama kamu, Bagas? Aku salah apa?!" lanjut Citra lagi dengan penuh emosi. Akumulasi rasa sedih, marah dan rindu berkumpul jadi satu.

"Citra ... kamu tidak membuat kesalahan apa pun, ini sepenuhnya salah aku. Maaf aku tidak bisa menemukan waktu yang tepat untuk jujur pada kamu." Mata Bagas yang dari tadi menahan lelehan air mata, kini tak dapat terbendung lagi. Mempererat pelukannya, bahu Bagas naik turun dan suami istri itu menangis bersamaan.

"Lalu apa? Aku mohon jangan seperti ini. Aku ... aku tidak sanggup...." lirih Citra. Ia melerai pelukan mereka secara paksa dan berbalik.

Citra perlu berpikir jernih. Ia mengabaikan seruan Bagas di belakangnya. Namun, beberapa langkah, kesadaran Citra terenggut begitu saja. Mungkin berpura-pura baik-baik saja itu ada batasnya.

Hal yang Citra sadari ketika membuka mata adalah ia berbaring di atas tempat tidur. Bukan, ini bukan tempat tidur cottage-nya. Ia juga tidak sendirian, mata Citra mengerjap-ngerjap menyadari lengan besar sedang memeluknya erat.

"Sayang?"

Perasaan Citra campur aduk, rasanya ia ingin melakukan sujud syukur karena suaminya ada di depan matanya saat ini. Ini benar-benar bukan mimpi. Namun, perasaan lainnya turut hadir bersamaan. Kebingungan, kalut, marah juga rindu.

Hal yang paling Citra pertanyakan. Kenapa?

Kenapa selama ini baru Bagas kembali ke sisinya? Saat bertahun-tahun ia menderita karena yang ia ketahui suaminya telah tiada. Begitu saja.

"Bisa kamu jelaskan?" tanya Citra dingin. Ia bangkit dan duduk tegak. Berusaha untuk tenang walau mati-matian menahan gejolak dalam dadanya.

"Kamu tidak kasihan sama aku? Sama anak kita? Kenapa harus selama ini baru kamu muncul? Kenapa harus sebagai orang lain?! Kenapa?!" cecar Citra, setiap kalimat pertanyaan dilontarkannya diiringi intonasi yang kian meninggi.

"Minum dulu ya?" ujar Bagas sedikit memohon. Namun, sekaligus begitu tenang saat menyodorkan gelas berisi air putih dan membantu saat Citra minum karena tangan istrinya itu terus gemetar.

"Danishwara. Warga negara asing yang memiliki darah Spain-Indonesia, lahir di Sevila, Spain. 16 Desember 1987. Meninggal di Indonesia. Dikebumikan 4 tahun yang lalu di pemakaman Sandiego Hills. Aku memakai nama dan tanggal lahirnya, juga semua identitasnya. Danish bukan namaku sebenarnya." Bagas berdeham sejenak.

"Bukan pula Bagas...." jelas laki-laki itu akhirnya. Mengamati respon Citra, untungnya wajah istrinya itu tidak sepucat tadi. Tapi perempuan itu jelas terkejut.

Bagas menghapus jejak basah di sudut matanya, lalu tersenyum samar. "Namun, aku senang dikenal sebagai Bagas. Itulah identitasku saat bertemu kamu, meminang kamu menjadi istriku dan juga sebagai ayah dari Kaia, putri kita."

***

Pria itu tidak bisa memberikan identitasnya yang sebenarnya secara gamblang. Tidak ketika ia harus menjamin keselamatan orang-orang yang ia sayangi. Menjauhkan mereka dari segenap bahaya yang mengintai. Menyembunyikan fakta bahwa ia adalah mata-mata yang memiliki banyak identitas. Memiliki paspor dari berbagai negara. Juga keahlian menembak yang akurat.

Setelah putri mereka hadir ke dunia, Bagas ingin memberitahukan identitasnya dan kehidupan ganda yang ia jalani selama ini pada Citra dengan sejujur-jujurnya. Namun, saat ia sudah akan berterus terang, tak disangka insiden mengenaskan itu terjadi. Ia bergesekan dengan mata-mata asing dan kecelakaan itu sungguh dialaminya. Hanya mobilnya yang terlempar ke jurang. Bagas yang telah dihajar habis-habisan, ditawan pada sebuah tempat asing. Menyiksa Bagas untuk membocorkan sebuah informasi penting yang sangat rahasia.

Mereka terus menyiksa Bagas, akan tetapi Bagas tak sedikit pun buka mulut. Bahkan pernah terlintas di pikiran Bagas bahwa lebih baik dirinya mati daripada terus-terusan menyiksanya sedikit demi sedikit seperti itu. Namun, ia mengingat Citra dan putri kecil mereka, Kaia. Keduanya membuat Bagas bertahan meski mungkin wajahnya sudah tak berbentuk lagi karena luka lebam yang setiap hari ia dapatkan.

Waktu demi waktu berlalu. Ia terus terjebak dalam penjara itu. Sampai mungkin orang-orang yang menangkapnya tidak mengingat lagi seseorang yang mereka tawan dalam kurun waktu yang begitu lama. Maka ketika ada kesempatan, Bagas mengatur strategi untuk kabur dari tempat itu.

Bagas memulihkan dirinya sendiri. Sulit dipercaya ia masih bisa hidup mengingat makanan di penjara itu sama sekali tidak layak. Mungkin juga tidak bisa disebut makanan. Bagas tidak akan menceritakannya terlalu mendetail karena takut itu hanya membuat Citra meringis sedih.

Bagas yang menyadari ia sedang di belahan bumi yang lain juga terkejut betapa lama ia tertahan di sana, karena perubahan yang ia tahu hanyalah ketika matahari terbit dan tenggelam. Bagas segera mengontak rekan mata-matanya untuk meminta bantuan. Pada sebuah tempat rahasia, tanpa sama sekali bertemu sosok yang membantunya, Bagas menemukan paket berisikan paspor dan kartu identitas baru.

"Jadi, kamu sudah berniat jujur padaku sebelumnya?" tanya Citra.

Bagas mengangguk yakin. "Tentu."

Citra menggigit bibir bawahnya sebelum akhirnya kembali bicara. Mengungkapkan yang selama ini terpendam dalam pikirannya. "Tapi ... kenapa kamu memilih aku? Tidak bisakah kamu jujur dari awal? Hingga aku dapat mengetahui dan mempertimbangkan kehidupan seperti apa yang bisa aku jalani ke depannya jika memutuskan bersama kamu?"

"Maafkan aku. Saat itu terjadi begitu saja dan aku pun tengah dalam misi. Sekeras apa pun aku berpikir, aku tetap tidak bisa mengalihkan kamu dari pikiranku. Aku bahkan berpikir untuk tidak menikah selamanya. Namun, aku tidak bisa kehilangan kamu. Di sisi lain aku juga tidak bisa mengabaikan keselamatan kamu dan Kaia. Aku melakukan berbagai cara untuk melindungi kalian berdua." Bagas meraih tangan Citra untuk ia genggam. Syukurnya, istrinya itu tidak menghindar kali ini.

"Syukurlah ... kamu kembali." Air mata Citra kembali merebak. "Aku terlalu bergantung pada kamu, hingga saat kamu tiba-tiba menghilang. Rasanya sangat berat untuk aku terima."

Bagas meremas genggaman tangan mereka. Mendekat lalu menunduk untuk mengecup kening Citra lama. "Terimakasih kamu sudah bertahan, Citra. Kamu sudah bekerja keras. Maaf aku tidak ada di sana saat kamu kesulitan."

"Lalu ... setelah ini apa? Kamu ... kamu bisa kembali ke rumah? Bersama aku dan Kaia?" Mata Citra yang bening mengerjap memandangi suaminya.

"Bisa. Aku akan pulang." Bagas merengkuh kepala Citra untuk bersandar di dadanya.

"Jangan sembunyikan apa pun lagi, aku mohon." Suara Citra bergetar. Serak. Kembali diiringi isak tangis.

"Citra...."

"Aku tidak akan ikut campur apa pun masalah kamu, kamu bisa memberitahuku sesuai porsi yang kamu kira aku bisa menerimanya. Tapi pada pernikahan, komunikasi yang baik itu penting." Citra mendongak dan menatap mata Bagas. "Itu pun juga kamu benar-benar ingin pulang."

Bagas mencium bibir Citra singkat. "Aku sudah pulang, Citra."

"Namun, jika aku tidak menemukan cincin ini kamu tidak akan mengaku padaku?" tanya Citra lagi. Sorot matanya terlihat mengintimidasi.

"Aku akan mengaku, tapi ... aku benar-benar tidak tau mulai dari mana."

"Lalu kenapa saat berkenalan denganku kamu seperti tampak biasa saja?"

"Aku harus mengontrol ekspresiku. Sesungguhnya aku ingin memelukmu saat itu juga, atau hari-hari sebelumnya ketika memandang kamu dan Kaia dari kejauhan."

Hati Citra mencelos. Begitu berat hal yang sudah suaminya ini lalui selama ini. Bahkan untuk menemui keluarganya sendiri harus menahan diri. "Apa yang kamu lakukan di perusahaan? Kamu ada misi penting lagi?"

Bagas tersenyum. Mengangguk.

"Cukup berbahaya?" Citra berdeham gugup. "Tidak bisa membuat kamu lantas kembali ke rumah?"

"Kaia tentu merindukan kamu," lanjutnya.

"Ya, aku juga sangat merindukannya. Juga sangat merindukan kamu." Bagas menjawilkan hidungnya dengan ujung hidung Citra.

"Kamu tidak menjawab pertanyaanku."

"Aku akan pulang. Secepatnya."

"Benar?"

"Pasti. Sini," ujar Bagas lalu berbaring dengan Citra yang masih dalam dekapannya.
"Aku ingin memeluk kamu semalaman."

"Kamu tau kamu belum sepenuhnya dimaafkan," ujar Citra serius.

Bagas tersenyum dan merapikan anakan rambut Citra. "Iya, aku tau."

Tangn Citra lalu bergerak membalas pelukan Bagas. Sangat erat. Hingga tak ada lagi jarak.  "Jangan pergi lagi...."

Bagas menciumi puncak kepala Citra. "Ssshh, aku di sini."

***

Adegan penuh aksi dan adrenalin, diambil untuk scene pribadi Kiev. Kivia yang kemarin tidak sempat melihat jalannya syuting adegan kejar-kejaran mobil kemarin, kini beberapa kali menahan napas. Gadis itu merasakan ketegangan menyusup di sekujur tubuhnya. Melihat effort para kru yang menarik tali besar nan kokoh beramai-ramai untuk menghasilkan pergeseran mobil yang digambarkan saat berbelok dengan tajam.

Kiev membuka bantalan lehernya. Jika saja Kivia tidak mengetahui fakta bahwa darah yang ada di kepala Kiev hanyalah sentuhan dari tim make up, mungkin ia akan langsung histeris.

"Cool!" puji Kivia mengacungkan dua jempol. Lalu menyerahkan handuk untuk Kiev menyeka keringat di sekitar leher dan pelipis.

Tubuh cowok itu juga dibanjiri keringat, lihat saja kaos Kiev terlihat basah karena  keringat. Kiev mengipas-ngipaskan bagian bawah baju kaosnya. Syukurnya, Maya datang membawa kipas angin portabel yang langsung diterima Kiev.

"Kalau ini buat mbak Kivia." Maya mengulurkan kipas angin portabel berwarna putih. Sedangkan punya Kiev berwarna hitam.

"Makasih ya, May," ujar keduanya.

Mereka saling membahas naskah. Adegan yang akan datang akan cukup ekstrem dan perlu persiapan penuh. Padahal pada storyline adegan ini akan ada menuju akhir. Namun, karena tergantung dengan tempat yang tepat dan dekat dengan lokasi sebelumnya, adegan ini akan diambil terlebih dulu.

Di sisi lain, sebuah helikopter tiba pada helipad di pulau Samber Gelap, beberapa jam setelah kepergian Kiev dan Kivia beserta tim film lainnya. Sepatu hitam mengkilat turun dari helikopter tersebut. Sosok dengan setelan mewah itu berjalan dikelilingi para ajudannya.

"Selamat sore, Tuan Sean Danuatmaja," sambut seseorang.

Sean mengangguk singkat. "Sore. Di mana lokasinya?"

"Maaf Tuan, sepertinya mereka sudah pergi."

Pria itu mengibaskan tangan. "Baiklah, mungkin memang belum takdir kami untuk bertemu."

Padahal ... Sean sudah mengatur bahwa ini adalah pertemuan yang tidak disengaja. Baiklah, mungkin ia harus berusaha lain kali.

Meski nona mudanya itu sudah menolak untuk bertemu dengannya, Sean punya sesuatu untuk didiskusikan dengan Rembulan Kivianisya ... sebagai pewaris tunggal keluarga Nararya.





Bersambung

Jangam lupa dikomen mwaaah!!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top