duapuluh sembilan

Kisah Bagas dan Citra menemui ujian baru dan lebih menegangkan. Bagas tidak menyangka bahwa pihak lawan akan muncul di hadapannya ketika ia sedang bersama Citra. Ada mobil mencurigakan yang membuntuti mobil mereka. Bagas menambah laju mobilnya, ia tidak bisa mendrop Citra di tempat yang aman, karena dalam situasi ini tidak ada tempat yang benar-benar aman. Bagas harus memastikan istrinya itu aman bersamanya.

Citra begitu panik ketika mendengar suara tembakkan yang dilontarkan oleh penumpang mobil di belakang mereka. Mobil itu terus melaju membuntuti. Kemudian hal gila lainnya terjadi, Bagas memintanya untuk mengambil alih kemudi. Mereka bertukar tempat dengan cepat. Bagas segera meraih senjata. Lantas membuka jendela dan dengan berani membalas tembakkan.

Adu tembak terus berlangsung, Citra mengemudi dengan begitu tegang. Ia menginjak kuat pedal gas hingga kecepatan maksimal. Syukurnya jalanan ini sangatlah lengang. Citra berusaha fokus walau beberapa kali ia membanting setir mobil agar tidak jatuh ke jurang. Bagaimana pun jalanan yang mereka lewati sangat berkelok dan penuh tikungan tajam.

Mobil yang ditumpangi Bagas dan Citra lalu memasuki hutan belantara dengan medan yang terjal. Sebagai agen lapangan, Bagas begitu mengenal rute yang tidak diketahui banyak orang ini. Di bawah lereng ada sungai landai yang akan membawa mereka ke dekat pemukiman penduduk.

Kini, mobil berhenti tepat di tepian lereng. Bagas dan Citra bergegas keluar dari mobil. Sebelum itu, Bagas meraih senjata dan mengisi peluru. Rupanya, mobil pihak lawan terjebak di belantara hutan. Pria berbadan besar itu memilih keluar dari mobil dan segera melakukan pengejaran kepada sang target utama, seorang anggota intelijen yang berusaha membongkar praktik keji komplotannya. Pria itu memandang tajam Bagas dan Citra dari kejauhan. Namun, dalam sekejap ia kehilangan jejak kedua orang itu. Mereka tak terkejar lagi.

Menghilang dari pandangan sang lawan, Bagas membantu Citra menuruni lereng. Tangan mereka saling bertaut dan memperhatikan pijakan mereka. Rasanya seperti turun dari puncak gunung. Sebentar lagi mereka akan sampai di bawah. Namun, sesuatu terjadi. Saat berjalan menuruni lereng yang beralaskan rerumputan hijau itu, Citra tergelincir. Bagas meraih tubuhnya dan mereka lalu jatuh bergulingan hingga mendarat di bawah.

Bagas dan Citra mengaduh ketika tubuh mereka terbaring di tanah basah. Cepat-cepat, Bagas bangkit dan membantu Citra untuk duduk. Citra meringis mengusap punggungnya sendiri. Sedangkan tangan Bagas terulur mengambil daun kering yang tersangkut pada rambut Citra.

“Kita udah aman?” tanya Citra serius.

Bagas mendongak. “Sejauh ini, aman.”

***

Sembilan puluh sembilan persen adegan action Kiev dilakukan tanpa pemeran pengganti. Stunt man hanya berperan untuk melakukan aksi sebelum pengambilan adegan dan bertugas memastikan perangkat syuting dalam keadaan aman.

Namun, tetap saja Kiev melakukan adegan berbahaya yang mampu membuat orang-orang yang melihat proses syuting tersebut menahan napas dengan perasaan tegang. Kiev dan pemain pendukung lainnya sungguh bekerja keras. Mereka saling melempar dan bergulingan di tanah kotor. Kiev bahkan beberapa kali mengusap matanya yang kemasukan debu.

Kiev bergelantungan di mobil yang berjalan dengan cepat, dihantam mobil berkali-kali, juga melompat dari ketinggian enam kaki meskipun ada matras penyelamatan berukuran besar di bawah sana. Kiev juga berlarian sambil memecahkan kaca. Adegan-adegan itu dilaksanakan puluhan bagian berbeda yang nantinya akan disatukan.

Malang tak dapat ditolak. Sebaik apa pun perencanaan dan usaha tim untuk mengutamakan keselamatan para pemain, sebuah insiden terjadi. Kiev menggenggam lengan kanannya dan tak bisa menahan rasa sakit.

Kru lantas melarikan Kiev ke rumah sakit dan di perjalanan Kiev juga sempat ditangani oleh tim medik yang siaga di lokasi syuting film aksi tersebut. Kiev harus memakai perban dan gips karena pecahnya ligamen di tangan kanannya. Cowok itu menjalani pengobatan intensif dan kegiatan syutingnya harus dijadwalkan ulang.

Kivia yang baru saja menyelesaikan adegannya, baru mengetahui kabar tersebut. Gadis itu mengunjungi Kiev bersama pemain yang lain. Selain manajer Kiev, Kivia tetap berada di rumah sakit hingga malam menjelang. Gadis itu panik bukan kepalang. Toh, tidak ada kewajiban yang harus ia lakukan hari ini. Sehingga ia bisa menemani Kiev di sisa hari ini.

“Sakit banget ya?” tanya Kivia sambil meringis.

Kiev tersenyum tipis. “Lumayan. Tapi sebelumnya, aku pernah dapat 30 jahitan karena keningku robek 3-4 sentimeter. Hidungku juga pernah hampir patah. Aku terkadang memang terlalu memaksakan diri. Tapi bagaimanapun, aku puas dengan hasil filmnya.”

Kivia yang awalnya meringis-ringis ngilu mendengar cerita Kiev tentang kecelakaan syuting yang pernah dihadapinya kini tersenyum lembut dan menepuk-nepuk bahu Kiev dengan bangga. “Kamu melakukannya dengan baik, Kiev. Tapi ke depannya harus tetap hati-hati, ya?”

Pria itu mengangguk. Namun, senyumnya menghilang, begitu pula dengan Kivia ketika mendengar apa yang akan Kiev utarakan. “Dibanding itu semua, aku ... pernah mengalami yang terburuk.”

“Hm?” Kivia cemas, lantas ia meraih tangan Kiev untuk digenggam.

“Waktu SMA, aku pernah diculik sama mafia narkoba sindikat internasional. Secara nggak sengaja aku terlibat dalam kasusnya. Aku disuntik secara paksa dengan obat-obatan berdosis tinggi. Beberapa hari aku dalam keadaan nggak sadar. Bahkan hampir menyerah karena kondisiku terus memburuk. Syukurnya, keajaiban terjadi. Aku masih bisa melanjutkan hidup.”

Kivia hanya diam, tidak ingin menyela. Namun, usapannya pada genggaman mereka adalah support terbaik yang bisa ia lakukan saat ini.

“Aku mendapat perawatan penuh dan melakukan rehabilitasi, juga mengunjungi psikiater secara rutin. Aku masih takut jarum suntik dan suara benda digeret. Kamu juga bisa lihat ini.” Kiev kemudian bergerak untuk menyentuhkan jari gadis itu ke bekas luka yang masih terasa teksturnya di belakang lehernya.

“Dari kecil aku merasa berjalan di jalan bunga, Ya. Kehidupanku berjalan dengan baik, aku punya penggemar yang selalu mendukung dan keluarga yang menyayangi aku. Itu cukup. Yang kulakukan hanya bersenang-senang dan menikmati hidup. Namun, ini hal yang paling menghantui dalam hidupku, aku jadi teringat akan hari kelam itu. Hari di mana aku disiksa dan bertahan mati-matian untuk diriku sendiri. Aku difitnah membawa sejumlah narkoba bernilai milyaran dan diancam hukuman mati, duniaku serasa runtuh saat harus mendekam di penjara. Setelah terbukti nggak bersalah, aku harus berurusan dengan dalang utama di balik itu semua. Ini, yang ia tinggalkan. Tato berbentuk J. Sebuah tanda atau jejak yang ia buat untuk korbannya.”

Kivia kembali menggenggam erat tangan Kiev. Ia pernah membaca ulasan tentang kasus Kiev. Dari membacanya saja Kivia sudah bisa merasakan penderitaan luar biasa yang dirasakan Kiev. Apalagi mendengar ceritanya secara langsung seperti ini. Kivia mengusap bekas luka yang dihasilkan oleh tato yang belum selesai itu. Ada lengkung yang membentuk huruf J di sana. Seperti kata Kiev, itu adalah sebuah tanda yang orang jahat itu buat untuk pembunuhan berantainya.

Gemetar, Kivia memeluk Kiev erat. Melingkarkan lengannya di sekeliling leher Kiev. Kivia membisikkan kalimat-kalimat penenang. Kiev yang gemetar mengingat kejadian kelamnya di masa lalu mulai kembali tenang.

“Semuanya udah lewat Kiev. Kamu sudah aman sekarang. Kamu aman sekarang.”

Kiev memejamkan mata, dan bulir air matanya jatuh begitu saja. Kiev mengangguk dan balas memeluk Kivia dengan satu tangannya yang bebas. “Aku aman sekarang.”

***

Pria berumur 65 tahun itu begitu fit berjalan dikawal oleh sekretaris pribadi dan beberapa pria bersetelan hitam. Berjalan beriringan menyusuri koridor kamar VVIP rumah sakit ternama di kota tersebut.

Kumara Nararya melangkah dengan mantap sambil mendengarkan laporan dari Kinar, sekretarisnya yang berada di samping kiri. Sedangkan Harya Danuatmaja, salah satu tangan kanannya, berjalan di sisi kanan. Seorang pria lebih muda, Sean Danuatmaja berjalan di belakang bersama yang lainnya.

Salah satu pengawal membukakan pintu ruang rawat untuk mereka, senyuman Kumara mengembang melihat siapa yang berada di dalam sana. Seorang investor besar mereka yang perlu mendapat kunjungan khusus. Pria asal Skotlandia itu menyapa Kumara dengan santai. Kamar VVIP itu begitu luas dan nyaman. Ruangannya tidak seperti rumah sakit, dilengkapi dengan LCD layar besar dan beberapa fasilitas memukau lainnya. Padahal pria bernama Bennedict itu hanya memiliki gangguan pencernaan yang tidak terlalu serius.

Kumara sedikit berbasa-basi dengan Ben, begitu pria tua itu disapa. Ben mempersilakan Kumara dan yang lainnya duduk di sofa besar nan mewah di ruangan itu. Kumara membantu Ben untuk turun dari kasur rumah sakit dan menyediakan lengan agar pria itu bisa berpegangan saat berjalan. Padahal Kumara telah meminta Ben untuk tidak repot-repot turun. Namun, pria itu bersikeras.

“Kapan kita akan bermain golf lagi?” kelakar Ben pada Kumara setelah mereka duduk. Usai kedua bos besar itu duduk, barulah Sean, Harya dan Kinar duduk setelah dipersilakan.

Kumara bersandar pada bantalan sofa. “Tentu saat Anda sudah sehat sepenuhnya.”

Tawa bapak-bapak Ben menggelegar. “Aku sudah sehat. Mari kita atur jadwal lagi.”

“Tentu, sekretaris kita akan mencari jadwal yang cocok.”

Allright.”

Sekretaris Ben mendekat dan menyerahkan telepon. Ada telepon penting dari seseorang.

“Tunggu, ada telepon dari kakak iparku.”

Kumara lantas mempersilakan Ben untuk mengangkat telepon tersebut.

“Iya, istriku menjenguknya tadi. Dia terlihat baik-baik saja. Iya, nanti aku juga akan menjenguknya. Kenapa dia dirawat di ruang VIP biasa? Suruh mereka pindahkan ke ruangan di sebelahku. Kamu jangan terlalu banyak menangis, dia sudah besar. Ah, ya. Aku punya tamu. Sudah dulu ya? Jangan lupa suruh mereka pindahkan dia kemari. Awas saja kalau tidak. Ya, aku tutup.” Ben menyerahkan ponselnya pada sang sekretaris.

“Kapan mereka akan pindah ruangan?” tanya Ben pada sang sekretaris.

“Tuan muda awalnya menolak, tetapi ia tentu tidak bisa membantah istri Anda. Sebentar lagi mungkin mereka akan sampai.”

“Baguslah.” Ben lalu kembali memusatkan perhatian pada Kumara. “Ah, ini. Keponakanku sedikit ada masalah. Sudah tahu berbahaya, tapi apa boleh buat. Ia senang melakukannya.”

“Semoga dia cepat pulih, ah aku kira Bahasa Indonesia Anda semakin bagus saja.”

“Benarkah? Kau tau, sebenarnya aku lahir di Indonesia. Tetapi saat kecil aku pindah bersama keluargaku. Hanya kakakku yang menetap di sini hingga akhir hayatnya. Nama belakangku juga Indonesia sekali.”

“Oh ya?”

“Ya, namaku Bennedict Aryan Bhagaskara. Asalnya dari bahasa sansekerta. Artinya matahari. Kakak laki-lakiku, Abyan Rayyen Bhagaskara.”

Kinar lantas menatap Kumara, ia merasa pernah mendengar nama itu sebelumnya.

***

Kiev berjalan beriringan bersama Kivia. Pria itu menolak dibawa menggunakan kursi roda. Sehingga Kiev hanya berjalan santai dengan tangan kanan dibebat perban dan menggunakan arm sling (penyangga lengan). Kiev memang sudah jauh baik-baik saja.

Kiev turut berhenti melangkah ketika menyadari Kivia beberapa langkah di belakangnya. Berdiri mematung. Lantas Kiev mengikuti pandangan gadis itu. Seorang pria paruh baya yang sama terkejutnya dengan Kivia. Namun, pria itu terlihat berusaha mengubah airmukanya.

“Mari kita bicara,” ujar pria itu setelah tiba di depan Kivia. Beberapa orang di belakangnya tampak tegang melihat interaksi Kivia dengan orang itu.

Kiev sudah akan bereaksi, akan tetapi urung. Ia melihat Kivia dan orang itu bergantian. Wajah mereka tampak tak asing satu sama lain di beberapa bagian. Jangan-jangan....

Kivia awalnya menolak, tetapi tidak ingin membuat keributan lebih lanjut, ia setuju. Bagaimana pun ia akan menemui hari ini. Hari di mana ia harus kembali berhadapan dengan ayahnya sendiri.

“Perlu aku temani?” tanya Kiev.

Kivia lantas mengangguk.

“Kita tidak melibatkan orang asing dalam pembicaraan kita,” tegur Kumara dingin.

Kivia membalas sang ayah tepat di manik mata. “Dia bukan orang asing.”

“Terserah.”

Kiev dan Kivia mengikuti langkah Kumara ke suatu tempat yang terdekat di sana. Kumara sudah akan bicara pada orangnya untuk mengosongkan kafetaria rumah sakit. Tapi Kivia kontan membantah.

“Tidak perlu bertindak berlebihan,” ujar Kivia tegas dan memerintahkan pengawal ayahnya itu untuk membatalkan perintah ayahnya.

“Ini juga rumah sakit milik kita.”

“Oh ya? Aku baru tau.” Kivia mengembuskan napas perlahan, berusaha tenang. “Jangan menyusahkan keluarga pasien untuk mengangkat piring mereka,” jawab Kivia lugas.

Mereka bertiga duduk di meja dekat jendela dan cukup jauh dari pengunjung lainnya. Walau beberapa orang sempat melirik-lirik ke arah ketiganya sebelum kembali sibuk menikmati hidangan makan siang.

Kumara mendesis. “Kau selalu mendebatku.”

Kiev berusaha tenang di tengah-tengah adu urat ayah dan anak itu. Mereka benar-benar mirip.

“Siapa orang asing ini?” tanya Kumara melirik Kiev sejenak.

“Saya Kiev.” Kiev mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan sopan. Namun, tentu saja diabaikan.

“Aku bicara dengan putriku,” ujar Kumara singkat.

Mata Kivia menatap orang tua yang duduk di hadapannya dengan pandangan datar. “Putri yang kau tendang dari rumah."

“Aku tidak pernah menendangmu.”

“Ah, benar. Ayah hanya mengusirku.”

“Berhenti merajuk, kamu sudah dewasa.”

Mata Kivia membesar. “Ayah bilang aku merajuk? Really? Selama 9 tahun ini aku hanya merajuk padamu?”

“Kau membenciku?” tanya Kumara menatap putrinya serius. Nada bicaranya tidak terdengar sinis seperti tadi. Namun, tersirat kesedihan di dalamnya.

Kivia lantas bungkam seribu bahasa.

Kumara menghela napas, melirik Kiev dan Kivia bergantian. “Jika ingin menikah, kamu tetap perlu restu dariku. Aku sendiri yang akan menggenggam tangan suamimu jika melangsungkan akad. Jangan berpikir nikah di bawah tangan* apalagi kawin lari. Kamu harus menikah sah baik itu di mata agama begitu pula negara. Tinggal bersama juga tidak akan aku izinkan selama aku masih hidup.”

(*nikah siri)

“Tentu, paman. Hm, om?” jawab Kiev sigap. Tapi akhirnya terbata-bata. Haruskah ia langsung memanggil beliau ayah mertua? “Saya akan berusaha menjadi pria yang layak untuk putri Anda.”

Kali ini Kumara memandangi Kiev dengan pandangan menyelidik. Memindai laki-laki yang sedang duduk dengan tegap dan berusaha penuh tata krama di samping putri tunggalnya.

“Kau pria yang melarikan diri bersama putriku saat ia berusia 17 tahun?” tanya Kumara mengintimidasi.

“Kami melarikan diri dari pengawal konyol ayah,” tukas Kivia tidak sabar.

“Berhenti mengejek mereka. Mereka juga telah kerepotan mengurusmu.”

“Ayah saja yang berlebihan,” ujar Kivia kesal.

“Terserah, itu juga untuk melindungimu.”

“Melindungiku dari apa?!” tanya Kivia tak tahan lagi.

Kini, ayah Kivia yang bungkam.

Bersambung

yeeeey kiev ketemu calon mertuaaaaaa.

tiktok: inkinayo
instagram : inkinaoktari

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top