duapuluh delapan

Citra menampakkan raut khawatir saat Kaia menangis secara tiba-tiba. Saat ini mereka dalam perjalanan pulang ke rumah. Sejak dijemput dari daycare, Kaia terlihat murung dan hanya memandangi ke arah luar dari jendela mobil. Hati Citra rasanya tercubit melihat mata anaknya yang kini sembab. Gadis kecil itu masih sedikit tergugu.

Memasuki halaman rumah, Citra bergegas melepaskan sabuk pengaman dan meraih tubuh kecil itu dalam pelukannya. Kaia yang tadi sudah mencoba untuk berhenti menangis, kembali berderai air mata.

"Kenapa, Sayang?" tanya Citra sembari membelai rambut Kaia.

Kaia cemberut total, kemudian menggeleng pelan. Sesekali gadis kecil itu menggosok kedua matanya yang berair.

"Mau masuk rumah," ujar Kaia sesenggukkan.

Citra mengangguk, menggendong Kaia turun dari mobil. Ia juga cekatan mengambil tas di bangku belakang. Berulang kali Citra membelai punggung kecil itu, menenangkan Kaia yang masih dilanda sedih.

Memasuki rumah, Citra membaringkan Kaia ke tempat tidur. Awalnya Kaia hanya diam meski Citra sudah membujuknya untuk bercerita. Kaia berbaring membelakanginya dan memejamkan mata. Ah, tepatnya pura-pura memejamkan mata. Namun, ketika Citra akan keluar, suara Kaia menahannya di ambang pintu.

"Aku mau ayah, Ma," ujar Kaia dengan suara parau.

Bibir kecil itu kembali menekuk sedih. "Bu guru bilang sebentar lagi akan merayakan hari ayah, tapi ... ayah aku mana? Boleh aku pinjam ayah sebentaaar aja untuk menemani aku? Aku juga mau merayakan hari ayah bersama ayah," ujar Kaia lirih, lantas meraih dan memeluk bingkai foto berisikan potret dirinya saat masih bayi dengan sang ayah yang berada di nakas samping tempat tidurnya.

Mata Citra memanas. Suaranya bergetar ketika menjawab permintaan sang anak. "Ayah ... pulang. Ayah akan pulang ke Kaia."

Seketika itu pula suara ketukan pintu terdengar. Citra membelai rambut Kaia sekali lagi sebelum beranjak membukakan pintu. Betapa terkejutnya ia dengan kemunculan pria di hadapannya. Pria itu memeluk sebuah boneka bebek dan menenteng ember ice cream cokelat berukuran sedang.

"Bagas....?"

Pria itu tersenyum. "Boleh aku masuk?"

Citra lantas membukakan pintu dan mempersilakan Bagas untuk duduk di sofa ruang tamu. Penampilan Bagas lebih rapi dibandingkan sebelumnya saat ia menjadi Danish. Saat ini ia mengenakan kemeja santai warna navy yang bagian lengannya digulung hingga siku.

"Kaia di mana?" tanya Bagas lagi.

"Uhm, di kamarnya."

"Boleh aku ketemu dia?"

Citra gelagapan. "Tentu boleh, hm tapi...."

Bagas yang telah meletakkan bawaannya di meja lantas merengkuh Citra dalam pelukan singkat. "Aku akan bicara sama dia, kamu jangan khawatir."

Citra mengangguk lalu menggenggam tangan Bagas saat mereka berjalan menuju kamar Kaia. Dinding kamar kecil itu berwarna putih tulang disertai nuansa kuning yang terlihat di sana-sini. Ada banyak benda yang berhubungan dengan bebek di kamar ini karena Kaia sangat menyukainya. Seperti lemari, kasur, bedcover, sendal bulu, lampu hias, stiker dinding, horden dan sejumlah boneka serta figur bebek yang terpajang di mana-mana.

Bagas memperhatikan Kaia yang begitu manis mengenakan piama bermotif bebek kuning. Gadis kecil itu juga tampak menggemaskan. Hati Bagas berdesir hangat menyadari buah hatinya yang tumbuh dengan baik.

Citra menggamit lengan Bagas dan mereka mendekat ke tempat tidur Kaia. Kaia kini tertidur dengan lelap. Citra lalu membetulkan selimut Kaia hingga menutup leher.

"Habis nangis?" tanya Bagas sembari mengusap pipi gembil anaknya.

Citra mengangguk. "Dia mau kamu ada saat Hari Ayah."

Bagas menghela napas lalu menerbitkan senyuman. "Itu bukan hal yang mustahil untuk diwujudkan."

"Sebelum kamu datang, itu adalah hal yang mustahil," ujar Citra sambil mengusap pipi Kaia.

Bagas merunduk untuk mencium kening Kaia. "Anak ayah...."

Kaia mengerjapkan matanya. Baru saja terlarut dalam mimpi karena terlalu mengantuk. Usai menangis lama yang cukup melelahkan baginya. Lalu, gadis kecil itu tertegun menatap sosok pria yang duduk di tepian tempat tidurnya.

"Ayah?" Air mata Kaia turun. Ia sontak cepat-cepat duduk dan memeluk Bagas erat-erat. "Ayah sering-sering datang dalam mimpi aku ya. Aku rindu ayah...."

"Sayang.... Ayah pulang." Bagas memeluk sama eratnya. Mengecup puncak kepala Kaia dengan sayang. "Ini bukan mimpi, Nak. Maaf ayah baru bisa pulang ya, Sayang."

Citra yang menyaksikan itu lantas menumpahkan tangis haru. Sebenarnya, Citra amat jarang melihat Bagas mengeluarkan air mata. Namun, ada beberapa momen yang ia ingat ketika Bagas menangis. Yaitu saat mereka resmi menjadi suami istri, ketika pertama kali Citra mengandung, kala Kaia lahir kedua dan ketika mereka bertemu kembali. Sekarang, momen ini menambah daftar itu. Ketika sepasang ayah dan anak itu saling melepas rindu. Bagas menenangkan Kaia yang terisak-isak.

Setelah Kaia cukup tenang, Bagas kemudian memangku Kaia dan putri mereka itu menyandarkan kepala di dada sang ayah. Citra ikut duduk di tepian tempat tidur memandangi Kaia yang menyimak penjelasan Bagas. Tentu disesuaikan dengan kapasitas penerimaan seorang anak kecil, menggunakan bahasa yang sederhana. Bagas tidak menjelaskan pada Kaia bahwa dirinya adalah bagian dari badan intelijen. Untuk saat ini hanya Citra, istrinya yang diperkenankan mengetahuinya.

Setelah sesi bicara dari hati ke hati, Bagas ikut berbaring dan memeluk Kaia yang kembali tertidur. Sementara Citra berada di sisi lain Kaia. Menepuk-nepuk pundak anaknya pelan.

***

Karena syuting dari pagi ke pagi dan hanya istirahat secukupnya, Kivia tidak hanya akting tertidur. Namun, ia sungguh-sungguh terlelap bersama Liora yang memang sedari tadi menahan kantuk. Kivia memeluk tubuh kecil Liora dari belakang. Sedangkan Kiev yang lehernya dipeluk Liora jadi tidak bisa bergerak. Ia hanya bisa tersenyum melihat Kivia dan Liora yang begitu nyenyak.

"Waduh, pantas aja natural banget aktingnya. Ternyata ketiduran beneran." Dio terkekeh saat kru di sekitarnya tertawa sambil memberitahukan hal itu padanya. Untung saja adegan tersebut adalah pengambilan scene terakhir pada hari itu. Sehingga setelah itu memang waktunya istirahat agak panjang.

Liora bergerak dan melonggarkan pelukannya dari leher Kiev. Mama Liora datang menghampiri mereka. Kiev membantu mengangkat lengan Kivia dari tubuh Liora sebab Mama Liora akan membawa gadis kecil itu dan berniat beristirahat di kamar yang telah disediakan.

"Kasian Mbak Kivia pasti kecapekan," ujar Mama Liora tersenyum ke arah Kivia yang tidak terganggu dengan pergerakkan di sekitarnya.

Kiev tersenyum geli. "Iya, Bu. Nyenyak banget."

"Ya sudah, kami pamit dulu Mas Kiev. Salam buat Mbak Kivia."

Kiev mengangguk sopan. Tak lupa senyuman hangatnya. "Iya, Bu. Selamat istirahat...."

Ibu berhijab itu menggendong Liora dan  berpamitan pada Kiev dan berlalu dari sana. Liora menyandarkan kepala pada pundak sang mama dan mereka bertemu dengan papa Liora yang baru saja muncul. Papa Liora mengangguk ramah pada Kiev sebelum mengambil alih untuk menggendong Liora. Sementara mama Liora berjalan mengiringi sambil sesekali membelai rambut sang anak. Kiev tertegun melihat interaksi keluarga kecil itu.

Pandangan Kiev teralih. Ia hanya duduk memandangi Kivia yang masih mengarungi alam mimpi. Pandangan matanya pun semakin intens.

Menelisik cincin di jari manis mereka yang hanya untuk keperluan syuting saja, Kiev luar biasa bahagia. Akan lebih Kiev syukuri jika hal itu terwujud secara nyata. Kiev meraba-raba keinginannya yang ingin melangkah lebih jauh. Namun, ia tau itu tak mudah untuk Kivia. Untuk saat ini, Kiev hanya ingin Kivia merasa nyaman. Akan tetapi perasaannya yang paling dalam tentu menciptakan suatu pengharapan.

Pernikahan.

Tidak hanya keinginan dari satu pihak. Namun, persetujuan kedua belah pihak.

***

Kiev tersenyum melihat kedekatan Kivia dan Liora yang sudah seperti ibu dan anak sungguhan. Kivia menata rambut Liora dengan penuh kasih sayang. Rasanya Kiev tak kuasa ketika melihat Kivia yang menciumi pipi Liora bertubi-tubi dengan gemas. Ia juga jadi ikutan gemas.

Bahkan di lokasi syuting, Kivia seringkali menggantikan ibu Liora untuk menyuapi anak itu makan. Terkadang, Kiev bertingkah jail menimbrung, menggoda Liora dan meminta Kivia juga menyuapinya.

"Sayang, hati-hati...." tegur Kivia saat Liora begitu aktif berlarian ke sana ke mari.

Hap.

Kiev menangkap tubuh kecil Liora dan menggendongnya untuk kembali menuju tempat Kivia berada. Laki-laki itu duduk di samping Kivia sembari memangku Liora. Liora menatap Kivia dengan senyum imutnya, membuat Kivia mencubit pelan pipi gembil itu dengan gemas.

"Ayo, makan lagi sama ayah ya...." Kiev melingkarkan lengannya di sekitaran bahu Liora, menahan anak itu untuk kembali berlarian.

"Sini, aaaa...." Kivia mengarahkan sendok berisi makanan ke mulut Liora.

"Yay, anak pintar," kata Kiev sembari mengusap lembut rambut Liora. Ia tertawa senang bersama Kivia melihat anak itu makan dengan lahap.

Setelah selesai break, mereka akan mengambil adegan mengenai peringatan Hari Ayah yang diselenggarakan di daycare tempat Kaia dititipkan sambil belajar dan bermain. Bagas datang terlambat dan membuat Citra cemas. Kaia tampak sangat sedih karena ayah teman-temannya sudah datang dan sesi perkenalan profesi para ayah sudah selesai sejak tadi. Sekarang para ayah dan anak akan melukis bersama. Kivia sudah membujuk Kaia untuk melukis bersamanya, akan tetapi Kaia kekeuh tidak mau dan raut wajahnya saat ini luar biasa sedih. Gadis kecil itu menahan air matanya yang hendak tumpah sejak tadi.

"Ayaaah!" seru Kaia ketika Bagas datang. Laki-laki itu mengenakan kemeja dengan motif sasirangan, khas Kalimantan.

Bagas meraih tubuh Kaia dan menggendongnya dengan satu tangan. Kaia memeluk leher Bagas sejenak, hampir menangis dia. Bagas mengusap-ngusap punggung kecil anaknya, menenangkan.

"Umm ... aku kira ayah tidak datang."

Bagas mengecup pipi Kaia. "Maaf ayah terlambat ya, Nak."

Mereka lalu berjalan menuju Citra yang memandangi keduanya dengan hati yang hangat. Bagas lantas mencium puncak kepala Citra singkat dan mengutarakan permohonan maaf karena datang terlambat. Laki-laki itu juga sekuat mungkin mengatur napasnya yang tersengal.

"Yuk, melukis sama ayah ya?"

"Ayuk." Pandangan Kaia lalu beralih pada Citra. "Mama, Kaia melukis sama ayah dulu ya?"

"Oke, have fun ya," kata Citra tersenyum kecil melihat keantusiasan putri mereka.

Citra lalu berjalan untuk duduk di tepian bersama ibu-ibu yang lain. Beberapa kali ia berdiri untuk memotret Bagas dan Kaia yang begitu kompak dan bersenang-senang ketika melukis bersama. Hatinya sungguh hangat melihat interaksi ayah dan anak itu.

Di sekitar Citra, ada beberapa ibu yang membicarakannya. Citra tidak terlalu mendengarkan, ia memang agak tertutup dan tidak terlalu bersosialiasi dengan ibu-ibu yang lain. Yang tertangkap indera pendengaran Citra hanyalah betapa tampannya Bagas dan asumsi ibu-ibu kalau suaminya itu bekerja di tempat yang jauh jadi tidak pernah terlihat. Mereka tersenyum ramah ketika bertemu pandang dengan Citra. Citra juga balas tersenyum dan menganggukkan kepala dengan sopan. Kemudian kembali sibuk memotret kebersamaan Bagas dan Kaia.

***

"Yeee, kita piknik!" seru Kaia gembira ketika sang mama menggelar tikar di halaman belakang rumah mereka. Ini Hari Ayah terbaik yang pernah Kaia punya. Anak itu berharap tahun-tahun berikutnya juga seperti ini.

Bagas membantu Citra membawakan wadah berisi makanan, cemilan ringan juga beberapa jenis buah. Ia lalu duduk di atas tikar itu sembari mengupaskan kulit jeruk untuk Kaia.

"Ini Kaia-nya mana?" tanya Kaia sambil membuka album foto keluarga. Menunjuk pada foto pernikahan ayah dan ibunya. Citra dan Bagas dalam balutan busana pengantin sederhana dengan nuansa putih-putih.

"Mana ya? Coba cari lagi," ujar Citra seraya tersenyum geli.

"Ih ... ayah mama curang! Ini Kaia juga di mana?" Jari mungil Kaia tertuju pada foto Bagas dan Citra yang saling tersenyum manis. Tangan Citra terletak di atas telapak tangan Bagas yang sedang menyentuh perutnya.

Bagas terkekeh dan menjawil hidung Kaia. "Kamu lagi dalam perut mama kalau itu...."

Keluarga kecil itu bercengkrama sambil melihat foto-foto yang termuat dalam album. Hal yang mengiris hati Bagas ketika menyadari tumbuh kembang buah hatinya yang tidak dapat ia saksikan secara langsung. Citra harus membesarkan Kaia seorang diri tanpa kehadiran dirinya. Tak sadar, Bagas menitikkan air mata yang luruh di sudut mata.

"Maafkan Ayah, Nak," bisik Bagas lirih sambil mengecup puncak kepala Kaia. Ia mengusap air matanya dengan cepat. Namun, hal itu tak luput dari perhatian Citra. Istrinya itu lantas mengusap pundaknya menenangkan.

Kini Citra merebahkan kepalanya di pangkuan Bagas, memandangi Kaia yang sedang asik meniup gelembung sabun. Tawa anak itu meriah ketika berhasil memecahkan gelembung sabun yang berterbangan. Sesekali gadis kecil itu berlarian untuk mengejar gelembung-gelembung yang ia tiup.

Citra mengubah posisinya yang tadinya miring menjadi telentang. Masih menjadikan paha Bagas sebagai bantalan kepala. Citra memandangi Bagas yang kini menunduk menyadari perubahan posisi istrinya. Mata elang itu kini terlihat sayu, membuat Citra turut merasakan kekecewaan yang dirasakan Bagas.

"Maaf aku datang sangat terlambat." Bagas mengatakan kata demi kata dengan penuh penyesalan. Terlihat dari sorot matanya yang teduh namun sedih sekaligus.

Citra menggeleng perlahan. "Kamu sekarang di sini. Itu yang terpenting."

Bagas mengangguk. Ia tersenyum dan mengusap tangan Citra yang digenggamnya sejak tadi.

"Terimakasih ya."

Citra mengangguk-angguk. Kemudian mencubit pelan hidung mancung Bagas. Citra lantas tertawa kecil melihat Bagas yang menggodanya dengan mengedipkan sebelah mata.

Pandangan mereka kian intens. Mata Bagas lalu tertuju pada bibir Citra. Tubuhnya merunduk dan wajah keduanya pun semakin mendekat. Citra juga sudah siap dengan apa yang terjadi selanjutnya. Namun, mereka melupakan sesuatu yang penting di sana.

"Ayah mama. Lagi apa?" tanya Kaia polos.

Bagas langsung duduk dengan tegap. Sedangkan Citra langsung berimprovisasi mengucek-ngucek matanya.

"Ini, Mama lagi kalimpanan," jawab Citra menyembunyikan rasa gugupnya.

"Kalimpanan is kelilipan, right?" timpal Bagas dengan bahasa yang campur aduk.

Citra mengangguk cepat. Pada situasi seperti ini Bagas masih sempat saja bertanya padanya tentang hal itu. Memangnya kemampuan Bahasa Banjarnya sudah terkikis habis karena kini hidup sebagai laki-laki bernama Danish?

"Oooo lagi kalimantan...." Kaia mengangguk-angguk paham.

Citra berdecak. "Kalimpanan Kaia, bukan Kalimantan. Kalimantan itu nama Pulau. Pulau Kalimantan, kalau kita bagian selatan. jadi, nama Provinsinya di ... Kalimantan Selatan...."

"Ooooo...." Kaia hanya beroh ria dan kembali bermain.

Pandangan Citra dan Bagas kembali beradu, kini tawa mereka pecah bersamaan.

Bersambung

hohohooooo
instagram :

inkinayo
inkinaoktari

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top