dua
Di studio musik miliknya, Kiev duduk di kursi putar yang luar biasa nyaman. Cowok itu kini tengah serius menonton tayangan Satu Jam Bersama ... dirinya sendiri.
"The Celebrity CEO?" Kiev bermonolog. "Ada-ada aja nih, Mbak Owi."
Mbak Owi adalah reporter senior yang telah Kiev kenal sejak kecil. Sehingga ia merasa nyaman-nyaman saja saat Mbak Owi memintanya hadir di program itu dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
"Jadi, gimana kelanjutan cerita di balik lagu Come? Apakah sosok 'dia' yang diinginkan untuk datang itu benar-benar ada? Hal ini belum pernah disorot oleh media mana pun. Mungkin pemirsa juga penasaran, Kiev."
Kiev memerhatikan dirinya sendiri yang terpampang di layar dengan setelan rapi, tatanan rambut yang dinaikkan dan CEO vibes yang melekat padanya. Ia bercerita secara singkat pada Mbak Owi, tentang sosok 'dia' namun secara gamblang dan yang seperlunya saja untuk dibagi kepada publik.
Sosok 'dia' yang selama sepuluh tahun belakangan menjadi muse Kiev dalam menciptakan lagu. Lagu Come hanya salah satunya, ada 8 judul lagu lagi yang terinspirasi dari sosoknya.
Maka, Kiev akan menceritakan tentangnya di sini. Ingatan Kiev pun berkelana pada sepuluh tahun yang lalu. Pada masa nama baiknya telah dipulihkan dan hakim memutuskan bahwa ia benar-benar tidak bersalah, Kiev mencoba menata kehidupannya kembali.
Fokus pada pendidikan dan waktu terakhir bersama teman-teman di masa putih abu-abu. Di ujung waktu SMA-nya, pada malam prom seorang gadis bernama Kivia hadir secara tak terduga. Kedatangannya terlalu mendadak dan siapa yang bisa meramal apa yang akan terjadi pada mereka berdua...
Sepuluh tahun yang lalu, jauh dari titik awal berada.
"Lo kenal ... gue?"
Kivia mengangguk. "Hm, lo Kiev Bhagaskara."
"Iya bener, gue Ki ev Bhagaskara. Lo nggak kenal gue?" Kiev menggaruk belakang lehernya canggung.
Kening Kivia terlipat keheranan. "Udah berapa kali gue bilang gue kenal sama lo? Kan tadi kita baru aja kenalan."
Kiev menepuk jidatnya. "Maksud gue, lo nggak tau gue siapa?"
Kivia memiringkan kepalanya, memandangi Kiev lekat-lekat. "Setau gue ... lo manusia."
Cowok itu terkekeh miris, menyadari ia terlalu percaya diri bahwa semua orang di Indonesia mengenal dirinya. Kenyataannya tentulah tidak. "Emangnya lo nggak pernah nonton gue di TV?"
"Gue nggak pernah nonton TV, kecuali kartun."
"Kalau di internet? Sosial media? Lo juga nggak pernah tahu tentang gue?" Kiev kembali memberondong cewek itu dengan pertanyaan.
Kivia kembali menggeleng dan hal itu membuat Kiev menggaruk kepala agak frustrasi. Oke, tak apa-apa. Seenggaknya cewek ini punya alasan kenapa tidak mengenalnya. Kiev mencoba menenangkan diri. Sebagai selebriti lebih atas dari papan atas, Kiev merasa harga dirinya sedikit terluka saat ada orang yang tidak mengenalnya.
Sejak peristiwa kelam itu, ia juga sudah lama tidak kembali wara-wiri di televisi. Padahal penggemar sudah menunggu karya dan eksistensinya di dunia hiburan tanah air.
"Oke, gue akan bekerja keras lagi ke depannya," bisik cowok itu dalam hati dengan tekad yang membara.
"Wait, apa gue melewatkan sesuatu?" Kivia bertanya saat menyadari air muka Kiev yang berubah.
"No, nggak ada apa-apa" ujar Kiev akhirnya. Kiev berpikir ia akan terlihat sangat aneh jika mengungkapkan bahwa ia adalah selebriti super terkenal dan gadis itu juga sangat aneh karena tidak mengenalnya.
"Oke, sekarang lo mau ke mana?" tanya Kiev mengenai tujuan gadis ini.
Kivia lantas menyebutkan nama suatu daerah yang menurut sepengetahuan Kiev cukup jauh dari tempat mereka berada saat ini.
"Jauh banget dari sini."
"Tapi gue benar-benar harus sembunyi, dan itu tempat teraman bagi gue," sahut Kivia agak lirih.
"Lo bukan buronan polisi, kan? Jangan-jangan lo itu pelaku kriminal?"
"Bukaaan, lah. Bukan." Kivia menggerakkan kedua telapak tangannya, membantah tuduhan Kiev.
"Emang gue percaya?" Kiev benar-benar merasa sudah cukup untuk berurusan dengan polisi, kriminal, jebakan, dan sebagainya.
"Gue nggak tau kayak gimana untuk bikin lo percaya. Tapi gue berani sumpah, gue bukan buronan polisi ataupun kriminal seperti yang lo bayangin." Kivia menghela napas panjang.
"Kalau lo masih nggak percaya lo bisa turunin gue sekarang dan gue bakalan cari cara lain."
Kiev terdiam cukup lama dalam rangka rapat internal dengan dirinya sendiri. Malam semakin berlalu dan seorang gadis yang begitu tampak amat asing dengan kota besar ini bukanlah suatu perpaduan yang baik.
Bahaya yang lebih buruk dari kejaran pria-pria tadi mungkin bisa saja terjadi.
"Oke, gue percaya sama lo. Tapi gue sendiri yang bakal nganterin lo ke mana pun lo mau."
"Serius?" Kivia terbelalak tak percaya.
"Tapi gue punya satu syarat." Kiev terdiam sejenak. "Jadi pasangan gue ke prom sekolah," lanjutnya dengan raut wajah super serius.
"What?" Kivia menahan tawanya yang sebentar lagi akan menyembur keluar. "Prom sekolah? Pantas aja lo rapi bener."
"Kita nggak akan ikutin acaranya sampai abis, setelah itu gue langsung nganter lo ke mana pun. Itu juga kalau lo bersedia, kalau nggak ya ...."
Kivia berpikir sejenak. Kapan lagi dapat tumpangan, dari tampangnya sih ini cowok bukan seseorang yang akan menculik dan menjual ginjalnya. Maka dengan membuat kesepakatan bersama hati nuraninya akhirnya Kivia memutuskan, "Gue bersedia... Tapi ...."
"Apa?" tanya Kiev bingung.
Kivia menggigit bibir, memandang kedua telapak kakinya yang tanpa alas. "Sepatu gue udah gue buang."
Tawa manis Kiev berderai seketika. "Bukan masalah."
"Kita nggak turun nih?"
"Emang lo mau nyeker?" tanya Kiev sangsi.
"Nggak masalah sih, kalau harus gitu." Kivia cemberut memandangi kakinya yang tanpa alas. Teringat akan nasib sepatu kesayangannya yang terlantar di jalanan begitu saja.
"Tapi gue yang nggak tega."
Perkataan Kiev yang serupa bisikan itu berhasil membuat Kivia merasa terhura. Eh, terharu maksudnya.
Sebelum ke tempat ini, sebenarnya Kiev juga telah menghubungi seseorang dan memberi tahu ukuran sepatu Kivia. "Atau lo mau gue gendong?"
"Eh? Nggak, lah." Kivia menggeleng kuat.
"Ya udah. Tunggu aja bentar."
Alhasil, Kiev dan Kivia hanya duduk manis di dalam mobil. Kiev memandang arloji, prom sebentar lagi akan dimulai. Namun, tak apa. Toh, jarak dari butik sepatu ini ke tempat prom sudah tidak terlalu jauh.
"Nah, itu orangnya." Kiev menunjuk seorang cowok berkepala plontos yang keluar dari butik dengan membawa kotak berpita.
"Lo duduk aja, biar gue yang keluar."
Jujur saja, Kivia jadi merasa diperlakukan layaknya putri. Ia terlalu banyak merepotkan Kiev. Matanya kini tak lepas memandang Kiev yang berinteraksi dengan pria botak itu, mereka terlihat cukup akrab. Si botak yang gaya busananya sungguh up to date itu kemudian kembali ke dalam setelah misinya menjadi kurir dadakan selesai.
"Ini coba pake, seharusnya sih pas." Kiev mengangsurkan kotak berisikan sepatu itu pada Kivia sebelum duduk dengan nyaman di belakang kemudi.
Kivia membuka kotak dan matanya langsung dipenuhi oleh binar melihat sepasang sepatu berwarna silver berkilauan. Sebagai pecinta sepatu, Kivia menahan diri untuk tidak memeluk sepasang sepatu ini di depan Kiev. Tanpa ba-bi-bu-be-bo lagi, Kivia sedikit merunduk untuk mengenakan sepatu itu pada kakinya.
"Gimana, pas?" tanya Kiev penasaran.
"Banget! Huhuhu gilaaa, bagus banget cuuuy. Makin cakep kaki gue!" Kivia tak henti-henti berdecak kagum melihat high heels yang ia kenakan.
"Jangan dipandangin mulu. Sepatunya entar eneg lo liatin." Kiev membelokkan mobilnya, menjauh dari butik itu.
Kivia menatap Kiev dengan antusias. "Nanti gue ganti, Kiev. Janji, deh!"
"Nggak usah. Itu butik sepatu punya nyokap. Santuy aja."
"Tetap aja. Gue utang sama lo. Janji bakal gue ganti nanti. Tapi nggak tau kapan, tapi pasti gue ganti," cerocos Kivia penuh keyakinan.
Kiev mengangguk perlahan. "Iya, terserah lo aja."
Kivia tersenyum girang mendengar jawaban Kiev. Namun, senyum itu pudar ketika sekelebat pemikiran hinggap di kepalanya.
"Kiev."
"Hm?"
"Lo bukan penjahat yang mau jual ginjal gue, kan?" tanya Kivia serius.
"Permisi nih, Bu. Yang duluan nyelonong masuk mobil saya siapa, ya?" sindir Kiev dengan nada kalem. Membuat Kivia langsung terkekeh miris.
"Ya abis, lo terlalu baik sama gue. Kan heran aja gitu."
"Ya masa lo mau gue jahatin."
"Bukan begitu jugaaa."
Sembari menyetir, Kiev beberapa kali menoleh untuk fokus bicara pada Kivia. "Ya, gue bantuin lo bukan karena ada udang di balik bakwan. Dan gue ngajakin lo ke prom juga bukan karena menganggap lo pelarian ya. Gue pure mau bantuin lo ke tempat yang lo tuju tapi karena gue ada acara jadi kita mampir dulu sebentar."
"Wait, pelarian? Maksudnya?"
"Gue ngajak cewek ke prom, tapi ditolak." Kiev tertawa miris. "Tapi datang sendiri ke prom juga nggak masalah sih buat gue. Ya, kebetulan elo masuk mobil gue dan ya ...."
"Takdir mungkin," kata Kivia menerawang. "Kalau gue nggak masuk mobil lo, mungkin gue udah ketangkep sama mereka...."
"Emang mereka siapa?" tanya Kiev penasaran. "Selain Tirex ya."
Kivia tertawa lalu diam, menghela napas berat. "Nanti gue cerita deh, malas ngomongin mereka sekarang."
Mobil Kiev sudah memasuki gerbang SMA Atmawijaya, salah satu sekolah swasta ter-ter-ter yang ada di Jakarta. Kiev memarkirkan mobilnya dan melangkah keluar. Diikuti Kivia yang masih melongo dan memindai tempat yang baru pertama kali ia datangi ini.
"Ini sekolah lo?" tanya Kivia agak takjub.
"Yep," sahut Kiev. "Kayak nggak pernah liat sekolah aja lo."
"Emang. Gue kan nggak sekolah," jawab Kivia santai, tanpa mengalihkan pandangan pada pemandangan di sekitarnya.
"Sorry, gue ...." Kiev benar-benar merasa bersalah, takut ucapannya menyinggung perasaan Kivia.
"Nggak apa-apa. Gue sekolah di rumah. Home schooling dari bayi." Kivia tergelak. "Eh, gimana muka gue nggak butek-butek banget, kan?"
Kiev menggeleng dengan jujur. Tak ada masalah dengan wajah Kivia saat ini. Tangannya bergerak merapikan rambut Kivia yang sedikit berantakan. Cowok itu lalu menurunkan tangannya dan meraih jemari Kivia dalam genggaman hangat. "Ayo, kita masuk."
Jantung Kivia jadi dag-dig-dug tak karuan. Seiring kaki mereka yang melangkah bersama. Rasanya tapak-tapak kaki mereka yang berjalan seirama dengan tangan yang saling tertaut, seolah mengikiskan fakta bahwa mereka berdua baru kenal beberapa jam yang lalu.
"Acaranya udah dimulai," bisik Kivia mendengar hiruk pikuk di dalam gedung.
"Gue jadi gugup, nih."
Kiev mengulas senyum kecil. "Kalau gugup lo liatin muka gue aja."
"Ngawur lo." Kivia memutar bola mata, tapi tak ayal ikut tersenyum. Ia melepas genggaman tangan Kiev dan ganti memeluk lengan cowok itu. Pantofel Kiev dan heels Kivia bersamaan memasuki area prom. Dan sejak itu pula semua mata tertuju pada keduanya.
Aura bintang Kiev Bhagaskara yang hakiki membuat para wanita nyaris menggelepar. Belum lagi kehadiran Kivia yang mengundang bisik-bisik penuh rasa penasaran. Apalagi gadis itu terlihat sangat dekat dengan Kiev.
Kiev dan Kivia berjalan dengan percaya diri. Kiev sudah biasa menjadi pusat perhatian. Dan ia senang melihat Kivia juga enjoy di tempat ini. Dibanding memikirkan tatapan orang-orang, sepertinya atensi gadis itu sepenuhnya tersedot pada dekorasi ruangan dan pertunjukan musik yang tengah berlangsung.
Sungguh, kerlap-kerlip lampu-lampu kecil yang diatur sedemikian rupa pada ruangan ini benar-benar memanjakan matanya. Seperti sedang memandang hamparan bintang di langit. Perhatian Kivia lalu teralihkan pada seorang cowok yang sedang ada di atas panggung.
"Kiev, sorry gue norak, tapi itu yang dia pencet-pencet apaan sih?" bisik Kivia penasaran.
Kiev balik berbisik. "Itu namanya launch pad."
"Ooooh." Kivia lantas mengangguk-angguk seolah paham. "Apaan tuh?"
Kiev hampir memukul jidatnya sendiri. "Sejenis alat musik digital. Gimana jelasinnya ya."
Cowok itu kemudian menerangkan tentang launch pad. Disusul oleh pertanyaan Kivia yang lainnya. Kivia bertanya, Kiev menjawab. Begitu seterusnya. Ya, anggap saja sekarang Kiev Bhagaskara adalah pemandu wisata untuk Rembulan Kivianisya.
Kiev dan Kivia yang berjalan 'dempet' sambil bisik-bisik membuat cewek-cewek yang melihat pemandangan itu lantas menjerit dalam hati. Dress yang dipakai Kivia juga senada dengan setelan Kiev. Yang satu ganteng luar binasa, yang satu bening ada manis-manisnya.
Wajah Kivia yang tergolong tipe kulit normal, membuatnya tak bermasalah tanpa sapuan make up sekalipun. Cewek itu didukung oleh warna kulit putih susu dan bibir yang terawat. Bare face bukan masalah besar untuknya.
"Hey, Bro! Apa kabar, bosque? Siapa, niiih? Bisa kali dikenalin," tanya seorang cowok berlesung pipi. Meski udah pakai setelan, gayanya masih super petakilan.
"Kabar baik, Din." Kiev tos ala bro-bro dengan cowok yang memiliki jabatan tertinggi di kelasnya itu.
"Kenalin, Jaenudin Jaja Miharja, tapi panggil aja Udin." Cowok itu mengulurkan tangan pada Kivia.
Kivia lantas menyebut namanya sambil membalas jabat tangan Udin.
"Nggak usah lama-lama salamannya," celetuk Kiev setelah berdeham-deham kayak orang sakit tenggorokan.
"Lama apaan, woi. Tiga detik nggak nyampe. Tenang, gue ini setia kok sama Ayang Riri jadi nggak usah khawatir." Udin menepuk bahu Kiev. "Tapi kalau Neng Kivia terjebak akan pesona Jaenudin Jaja Miharja yang tak terbantahkan mah bukan tanggung jawab gue yak."
"Bodo amat, Din. Bodo amaaat."
Kivia tergelak mendengar interaksi Kiev dan Mr. Jaenudin Jaja Miharja yang agak unik ini. Mereka lalu berlalu dan Kiev kembali menyapa teman-temannya. Jujur Kivia iri dengan Kiev yang memiliki banyak teman. Berbanding terbalik dengan dirinya.
"Lo makan dulu, abis itu kita lanjutkan misi." Kiev menarik tangan Kivia untuk duduk di kursi yang telah tersedia. Padahal Kiev ingin mengajak Kivia melihat kembang api di akhir acara. Namun, urung karena Kiev pikir harus mengamankan Kivia secepatnya.
"Nggak apa-apa, Kiev? Lo sebentar banget di sini. Gue jadi nggak enak."
"Nggak apa-apa, yang penting lo sampai di tempat yang aman. Sorry gue malah ngajak lo ke sini dulu."
"Gue yang minta maaf udah buntutin lo ke mana-mana. Ini kan acara lo."
"Tujuan lo searah kok dari sini. Jadi nggak masalah."
"Makasih ya, Kiev," ujar Kivia sungguh-sungguh.
"Iya." Kiev mengangguk. "Sama-sama."
♡♡♡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top