4. Mansion

Cahaya kekuningan baru menyembul dari ufuk timur, tapi jalan utama Kota Tegal sudah ramai baik oleh mesin maupun makhluk hidup. Meski merupakan salah satu kota paling kecil di Indonesia, Kota Tegal tetaplah sebuah kota dengan segala hiruk-pikuknya. Kesibukan ada di mana-mana. Tak ada cukup banyak ruang yang tenang dan damai di pagi weekday seperti hari ini.

Kecuali di kamar nomor 48 Hotel Permata Indah.

Kamar dengan gaya minimalis itu begitu tenang. Sejak dini hari, suara yang memenuhi ruangan itu hanyalah gesekkan pensil HB pada permukaan kertas kaku dan kasar. Sesekali diselingi suara kertas yang dibalik dan ujung pensil yang diserut.

Ketika secercah cahaya berhasil menyelip celah antar tirai, Neon yang melukis semalaman akhirnya sadar kalau hari telah berganti. Tangannya berhenti membuat garis pada buku kecilnya. Tatapan sepasang mata yang merah dan berair beranjak ke sebuah ponsel yang menderukan bunyi alarm.

Kebetulan, sebuah notifikasi baru saja muncul pada aplikasi pesan online. Pertama-tama, Neon memastikan kalau pengirim pesan adalah orang yang dia kenal. Jika Neon tidak mengenal si pengirim pesan, Neon akan membaca beberapa kata yang muncul di bawah nomor pengirim apakah penting atau tidak. Jika pengirim pesan adalah orang yang Neon kenal, dia akan memprediksi isi pesan tersebut dan memutuskan apakah akan membacanya atau tidak.

Setelah memastikan siapa si pengirim pesan, Neon butuh beberapa detik sebelum membuka pesan tersebut.

Pengacara Ms. Parahyangan :
Saya sudah menghubungi kuasa hukum Nona Rumbai. Jangan khawatir, kondisi di sini tetap aman. Kita masih punya waktu satu bulan sebelum mediasi berikutnya.

Neon membaca pesan tersebut dengan cepat, lalu membalasnya dengan terima kasih yang singkat. Saat hendak menutup aplikasi tersebut, secara tidak sengaja Neon melihat pesan lain dan dua panggilan tak terjawab. Neon selalu membuat ponselnya dalam keadaan mute. Apalagi semalam dia sangat sibuk dengan usaha menstabilkan emosinya. Jadi ketika layar ponselnya menyala karena panggilan, Neon tak menyadarinya sama sekali.

Pak Sandi Manajer :
Apa kamu masih lama pulang kampungnya? Pak Dimar sudah mulai teror saya lagi menanyai lukisanmu itu. Kalau terlalu lama, kesepakatan bisa batal. Pak Dimar nggak jadi beli lukisanmu.
Studio juga sementara disegel. Setiap hari banyak jurnalis yang nunggu di luar.

Dua panggilan tak terjawab juga datang dari manajer Neon. Semua kerusuhan ini membuat Neon semakin tertekan. Dia harus segera menemukan katalog sketsa miliknya sebelum pihak media mengetahui lokasinya dan merusuh. Belum lagi tekanan dari calon pembeli dan pihak pengadilan.

Di saat-saat seperti ini, Neon ingat kalau dia ada sesi konseling jarak jauh dengan Sean. Namun jika Neon menelpon Sean pagi-pagi sekali seperti ini, dia hanya akan mengganggu psikiater itu. Lagi pula Neon harus memberi kabar pada Tio dan bapak-bapak berkaos partai yang sudah berjanji akan menjemputnya pagi ini. Jadwal penjemputan digeser karena Rumbai yang menolak untuk kembali ke desa di malam hari. Neon pun harus memberitahu Tio dengan ponselnya kalau dia tidak bisa kembali ke desa malam itu.

Meski menyebalkan, Neon diam-diam setuju dengan pendapat Rumbai. Kembali ke tempat kecil yang minim pencahayaan di malam hari adalah ide yang buruk.

Dengan berbagai pertimbangan, Neon pun memutuskan untuk mandi dan bersiap check out dari hotel. Dia bangun, meninggalkan sketchbook kecilnya di atas ranjang queen size yang rapi. Lembaran pada buku yang terbuka menampilkan gambar arsir sebuah cat akrilik yang telah disusun sedemikian rupa hingga terlihat artistik. Identik dengan benda yang Neon letakkan di atas ranjang.

Jam sembilan tepat. Sangat tepat. Neon menggenggam gagang pintu kamar dan membukanya. Dia sudah mandi, sarapan, dan membereskan barang bawaannya. Tio juga sudah menunggunya di lobi. Namun, saat Neon baru saja melewati ambang pintu, netranya dikejutkan oleh sesosok perempuan menyebalkan dari kamar sebelah. Siapa lagi kalau bukan Rumbai.

"Selamat pagi, Mas Neon. Gimana tidurnya semalam? Nyenyak?" tanya Rumbai dengan ramah. Tingkah Rumbai yang sok akrab malah membuat Neon berjengit jijik.

Perempuan itu, seperti biasa, selalu menyebalkan di mata Neon. Bahkan sejak pertemuan pertama mereka, perasaan kesal susah tertanam kuat di hati Neon. Meski begitu, harus Neon akui dia menyukai perpaduan warna pada outfit Rumbai hari ini. Hanya hari ini.

Bagian bawah basic shirt egyptian blue-nya dimasukan ke dalam tile skirt warna putih. Ditambah sabuk silikon dan pouch bulat dengan warna senada membuat kulit Rumbai terlihat semakin bersinar. Rambut Rumbai yang panjang diikat sebagian ke atas, sementara sisanya digerai ke belakang.

Rumbai memang cantik. Tapi sepertinya otaknya agak bermasalah. Rumbai bahkan menggunakan "lo-gue" saat berbicara dengan Neon. Padahal mereka tidak saling kenal. Setidaknya Rumbai harus pakai "saya-kamu" agar sopan tapi lumayan kasual.

"Mas Neon? Kok ngelamun?" Rumbai melambaikan tangan di depan muka Neon.

"Enggak usah gini ya tolong. Jangan ganggu saya." Setelah merasa memutus semua hubungan dengan musuhnya, Neon buru-buru turun ke lobi untuk bertemu Tio dan melanjutkan perjalanan ke rumah lamanya.

Kenyataan memang seringnya tidak sesuai dengan ekspektasi. Rumbai tetap menempel pada Neon sepanjang perjalanan.

Waduk Cacaban dengan segala keindahannya ramai dikunjungi pelancong dari berbagai kalangan. Mulai dari anak-anak sampai lansia, yang datang dengan keluarga maupun untuk kepentingan studi. Tentu saja ada juga orang-orang yang datang sendirian dengan tujuan mencapai kedamaian pribadi di tengah hamparan keindahan alam.

Seperti yang Neon katakan, rumah lamanya tidak berbaur dengan rumah penduduk asli pinggiran waduk. Ada sebuah pulau kecil yang berada di tengah waduk. Di situlah rumah megah Neon berdiri. Atau bisa disebut bekas rumah Neon.

Dengan mengendarai perahu kayu, Neon dan rombongan berlayar membelah air waduk. Ketika perahu menjauh dari daratan utama, Neon merasakan jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. Ekspresinya sedikit berubah meski Neon sudah berusaha sekuat tenaga untuk terlihat tenang.

Sebagai wanita yang peka, Rumbai menyadari kejanggalan yang terjadi pada Neon. Dia berpikir mungkin Neon mengalami mabuk laut meski tidak berada di laut. Namun karena kondisinya tidak begitu buruk, Rumbai malah tertawa kecil.

Tak lama, mesin perahu berhenti menderung. Di depan mata rombongan itu adalah sebuah pulau kecil yang masih sangat rimbun. Pohon dan tanaman liar begitu lebat hingga rasanya tidak mungkin untuk menerobosnya tanpa alat berat.

"Mas Neon, Mba Rumbai, lewat sini. Mari, mari." Tio memanggil Neon dan Rumbai untuk mengikuti langkahnya. Pemuda itu masih setia dengan gestur ramahnya.

Tio membawa dua turis itu berjalan cukup jauh ke sisi kanan pulau. Perahu yang tadi mereka pakai sudah kembali ke daratan utama untuk mencari nafkah. Baik perahu dan keramaian di ujung sana mulai hilang. Dikelilingi hutan dan perairan dengan dalam lebih dari tiga puluh meter membuat Rumbai agak panik.

"Kok kita muter, ya?" Akhirnya Rumbai memberanikan diri untuk bertanya.

"Ndak muter kok, Mba. Jalan masuknya memang dari samping. Jadi dari tempat wisata ndak kelihatan kalau ada rumah di sini," jawab Tio dengan santai. 

Rumbai hanya mengangguk sebagai jawaban. Diam-diam Rumbai melirik Neon yamg berjalan di sampingnya. Kondisi Neon tidak lebih baik dari saat mereka masih di atas perahu. Ekspresinya tegang. Matanya menolak untuk melihat ke depan.

Sejak turun dari perahu, pandangan Neon tidak beranjak dari tanah. Sejujurnya Neon terlihat seperti seorang pria tua yang depresi. Padahal Rumbai sudah mengantisipasi perubahan sikap Neon yang tenggelam dalam euforia karena pulang kampung. Namun kenyataannya Neon tidak terlihat senang sama sekali.

Rumbai pikir mungkin Neon agak gugup karena menurut berita Neon sudah bertahun-tahun belum pulang ke kampung halamannya. Sebagai teman yang baik, Rumbai menyusun kata-kata penyemangat untuk Neon dalam hitungan detik. Baru saja akan menepuk punggung Neon dan memberi kata-kata mutiara, Tio mengumumkan kalau mereka sudah sampai.

"Nah, ini dia. Kita sudah sampai di Mansion Ranfaress!" seru Tio.

Ketika Rumbai mengalihkan pandangannya, seketika indra pengelihatannya terpana. Bibir merahnya terbuka, membentuk huruf O. Tubuhnya tak bisa bergerak untuk sementara waktu karena terkejut.

Rumah-rumah orang kaya biasanya memiliki sistem keamanan yang sangat ketat. Apalagi kalau sudah disebut mansion. Sistem keamaan paling umum yang biasa diterapkan adalah tembok teramat tinggi dengan duri-duri dan gerbang megah dengan gaya Mediteranian.

Apa yang ada di depan mata Rumbai bukan pemandangan itu. Sama sekali bukan. Memang ada tembok, tapi tingginya hanya sepinggang pria dewasa. Bahkan tanpa duri atau apapun. Gerbangnya bahkan hanya terbuat dari kayu yang ditendang saja bisa copot. Ini lah titik pentingnya.

Karena tembok yang mengelilingi bangunan utama terbilang sangat pendek, pemandangan halaman depan yang seluas lapangan golf terlihat jelas. Ini belum seberapa. Sebuah bangunan besar mirip Istana Versailles Raja Louis XIV yang kini sudah dibeli oleh Putra Mahkota Arab Saudi berdiri gagah di pusat pulau.

Meski tidak se-wah istana di Perancis itu, Mansion Ranfaress yang Tio sebut sangatlah besar. Dinding bangunan itu didominasi warna hitam dan emas yang mengkilap diguyur sinar matahari. Tiang-tiang yang hampir sebesar pohon beringin keramat juga tak kalah apik. Bahkan dari kejauhan, Rumbai bisa melihat kalau permukaannya sangat halus, seperti batu akik yang dipoles tiap hari. Belum lagi atap teras yang berbentuk segitiga dengan ukiran khas yang begitu mencolok. Ditambah taman dengan bunga warna-warni dan air mancur mini di sisi kanan halaman.

Setelah cukup puas mengamati dari kejauhan, Rumbai tiba-tiba ingin berlari sekencang mungkin untuk mendekati mansion itu dan melihat isinya. Kapan lagi bisa masuk rumah sultan.

"Keren! Gila! Parah! Keren banget!!" Rumbai memuji terus-terusan. Dia harus membawa pemilik rumah agar bisa masuk ke istana itu. Jadi dia harus menarik Neon bersamanya.

"Ayo, ayo Neon kita masuk--!"

Rumbai tenggelam dalam kebahagiaan sampai lupa tentang keanehan pada diri Neon. Alhasil ketika berbalik untuk mengajak Neon, kondisi pria itu justru semakin parah.

Pandangannya tetap terpaku ke bawah seolah tertarik gravitasi. Tubuhnya gemetar tak karuan tapi di saat yang bersamaan juga kaku. Kakinya tegak lurus seolah tegang sementara punggungnya sedikit membungkuk rapuh. Tangannya mengepal di depan mulut dengan bibir yang terkatup rapat.

Lalu matanya.... Mata Neon sudah penuh dengan air mata. Neon ketakutan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top