3. Shopping Night
Hari ini kantor Polsek Kedungbanteng bagian Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) kedatangan tamu yang tidak biasa. Selain para polisi yang sibuk bolak-balik, sepasang muda-mudi dari luar kota terjebak selama berjam-jam di meja tempat mengajukan keluhan.
"Haaaa!! Kenapa jadi gini, sih!" keluh salah seorang tamu itu.
Wajah tamu wanita itu menghadap ke bawah dengan dahi menempel pada meja kayu jati tua. Sementara rambutnya yang panjang tergerai berantakan menutupi seperlima bagian meja.
"Karma, kan?" Tamu lainnya adalah Neon. Keinginannya untuk sampai di rumah lamanya dengan cepat rupanya kini hanya angan belaka.
Hari sudah gelap. Sejak kejadian penjambretan tadi siang, Neon terpaksa menemani si korban karena dianggap saling kenal. Meski memang saling kenal, Neon dan perempuan itu hanya tahu nama satu sama lain karena kasus yang mereka hadapi.
"Apa maksudnya karma? Orang lagi kena musibah malah dikatain karma. Enggak punya hati ya lo!" Perempuan yang Neon keluhkan kehadirannya tiba-tiba mengangkat wajahnya dan menuding ke arah Neon.
Neon sama sekali tidak keberatan dengan tudingan itu. Dia hanya sangat kesal sampai-sampai lebih dari sepuluh halaman pada sketchbook-nya terbuang sia-sia karena hasil sketsanya gagal. Tanpa satu pun kata yang keluar, Neon merobek selembar kertas, meremasnya, lalu memasukkannya ke dalam saku celana dengan penuh emosi. Hanya satu garis. Hanya satu garis yang terlalu tebal telah membuat kekesalan Neon memuncak. Sekarang dia menutup sketchbook miliknya dan melipat tangan di depan dada. Neon tidak berencana menorehkan garis lain sebelum pikirannya tenang.
Perempuan dengan wajah bulat di sampingnya termenung sejenak melihat tingkah Neon.
"Yang harusnya marah kan gue. Kenapa sih nih orang," gerutu perempuan itu.
Keheningan melanda kedua tamu istimewa itu selama beberapa saat sampai seorang pria gempal berseragam polisi datang menghampiri mereka. Polisi itu duduk di hadapan dua tamunya sambil meletakkan selembar kertas di atas meja.
"Mbak Rumbai, ya? Silakan isi formulir dulu," ucap Pak Polisi dengan nada ramah.
"Loh tadi kan sudah isi, Pak. Kok isi lagi?" Meski agak enggan, Rumbai si korban sekaligus penuntut Neon tetap mengambil formulir itu.
"Iya, Mbak. Yang ini agak beda dari yang sebelumnya."
"Kapan jambretnya ditangkep, Pak? Mereka ambil semua barang saya, loh." Rumbai sangat ahli dalam multi-tasking. Mulutnya bekerja, tangannya juga bergerak mengisi formulir pengaduan.
"Kami akan berusaha semaksimal dan secepat mungkin. Berhubung Mbaknya tidak ingat wajah para pelaku dan kendaraan bermotor yang digunakan pelaku pun ternyata merupakan hasil curian, mungkin akan butuh waktu paling lama tiga hari." Masih polisi yang sama, menjelaskan dengan sangat sopan.
"Lama banget! Saya harus gimana dong," keluh Rumbai yang telah memasang wajah memelas. "Semua barang saya diambil. Dompet, hape, sampe make-up juga."
"Bukannya Mbak kenal sama si Mas? Masa ndak bisa minta tolong dulu? Ikut telepon keluaraga atau pinjam uang dulu mungkin."
Sejak tadi Neon hanya diam saja untuk menghindari percakapan yang tidak perlu tapi polisi di depannya malah sengaja menyeretnya. Neon ingin mengelak tapi kata-katanya sama sekali tidak keluar. Kesempatan ini pun dimanfaatkan Rumbai.
"Iya sih, Pak. Oke deh. Sampai barang-barang saya yang dijambret balik, mohon bantuannya ya, Neon. Kalau begitu, kami pamit dulu. Terima kasih atas bantuannya, Pak Polisi."
Neon sama sekali tak diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya. Semua diputuskan oleh Rumbai. Bahkan kini lengan Neon ditarik menjauhi Polsek Kedungbanteng.
Seperti kantor polisis pada umumnya, Polsek Kedungbanteng ditempatkan di wilayah paling strategis di kecamatan. Ada jalan raya yang menghubungkan kantor Polsek Kedungbanteng dengan kecamatan lain dan tentu saja jalan-jalan kecil menuju desa-desa. Meski disebut sebagai lokasi paling strategis sekecamatan, tetap saja tidak bisa ditemukan tempat perbelanjaan yang lengkap. Apa lagi untuk perempuan modis seperti Rumbai.
"Ayo ke Tegal!" ajak Rumbai dengan penuh semangat.
"B-bentar, bentar. Kok ke Tegal? Kalau kita ke Tegal, nanti... nanti makin tambah jauh dong." Neon tidak ingin mengatakan pada musuhnya tujuannya yang sebenarnya datang ke sini.
"Ih ya enggak pa-pa dong. Lagian jauh-jauh banget kali. Gue sudah cek di Google Maps sebelum hape gue hilang. Ayolah. Gue tuh habis dijambret. Masa enggak kasihan sama gue? Gue butuh baju baru, hape baru, perlengkapan make-up baru, makan juga. Kan lo sudah janji mau bantu gue."
"Hah? Janji apa? Enggak pernah tuh kasih janji apa-apa sama orang yang enggak dikenal. Apalagi yang tiba-tiba ngaku kenal." Neon sebisa mungkin menolak Rumbai. Dia tidak mau perjalanannya untuk mencari bukti ketidakbersalahannya berantakan.
Bapak-bapak berbaju partai sebelumnya sudah janji akan menjemput mereka berdua di polsek setelah waktu sholat Isya. Sebentar lagi waktunya sholat Isya. Yang perlu Neon lakukan hanyalah menunggunya. Bukan menuruti keinginan egois perempuan yang bahkan belum ada dua puluh empat jam ia kenal.
Di sisi lain, pikiran Rumbai sangat berbeda. Dia merasa marah atas tanggapan Neon. Pipinya yang bulat menggembung penuh udara. Bibirnya mengerucut dan matanya menatap Neon dengan tajam. Sejurus kemudian, Rumbai membalik badan dan mulai berteriak.
"PAK POLISI! NEON ENGGAK MAU BANTUIN SAYA!"
Mendengar Rumbai yang mengadu dengan suara keras, Neon kewalahan. Dia buru-buru menarik tangan Rumbai dan menyuruhnya diam.
"Sst.... Iya, iya kita ke Tegal. Jangan berisik!"
"Yey!" Rumbai bersorak.
Beberapa pria berseragam cokelat yang sudah terlanjur keluar dari dalam kantor karena teriakan Rumbai diminta masuk kembali oleh perempuan itu. Sungguh aneh betapa Rumbai seperti tidak punya rasa malu sama sekali.
Ketika kembali ke dalam, polisi gempal yang sebelumnya melayani Neon dan Rumbai melihat rekannya yang baru bangun tidur.
"Oh? Baru bangun, Mas Agung?"
Polisi berusia awal tiga puluh-an itu menguap sebelum menjawab dengan "hm." Mata sayu AKP Agung Santoso menatap lembaran kertas putih di atas mejanya.
"Masih belum kelar, Mas? Kayanya sibuk banget." Polisi gempal kembali bertanya.
"Belum. Tidak ada petunjuk tambahan untuk sekarang. Hasil otopsi dan lab juga baru keluar minggu depan. Hhaah... Capek," keluh AKP Agung. Anggota kepolisian lain yang tidak tergabung dalam tim AKP Agung hanya bisa mendoakan yang terbaik dalam diam.
"Santai saja lah Mas. Sebentar lagi kasus ini kan mau diambil Polres Tegal. Ndak perlu diambil pusing," ucap salah seorang polisi senior. AKP Agung tidak menanggapi. Dia hanya menatap langit-langit ruangan dengan tatapan yang sulit diartikan.
Dua puluh menit setelah kejadian memalukan di Polsek Kedungbanteng, Rumbai dan Neon yang masih saja menarik kopernya sampai di sebuah pusat perbelanjaan di Kota Tegal. Tidak ada taksi baik offline maupun online di kecamatan kecil seperti Kecamatan Kedungbanteng. Jadi mereka berdua harus berdesak-desakkan dengan penumpang lain di dalam bus.
Dua puluh menit sama sekali bukan waktu yang singkat bagi Neon. Dia kehilangan banyak energi hanya untuk bertahan di dalam temoat sempit yang penuh sesak. Sangat berbeda dengan Rumbai yang masih begitu semangat. Dia bahkan masih sempat menyusuri dua lantai supermarket itu hanya untuk menemukan beberapa pasang pakaian yang ia suka.
Sementara Rumbai mondar-mandir di lautan pakaian, Neon duduk di salah satu kursi empuk yang disediakan di sana. Ponselnya yang hanya menunjukkan layar hitam ia tatap selama beberapa menit. Neon harus menghubungi pengacara dan manajernya malam ini.
Kasus plagiarismenya tetap berjalan meski ada jeda selama tiga puluh hari sebelum sesi mediasi berikutnya. Begitu pun masalah hak cipta dari lukisan yang ia buat. Padahal lukisan berisi gambar seorang bocah laki-laki yang melempar batu ke danau itu sudah ditawar sampai lima puluh juta rupiah. Seharusnya sekarang karya Neon dengan ukuran 70×100 sentimeter itu telah dipajang dengan indah di dekat tungku perapian yang setiap malam dialunkan lagu klasik oleh gesekan senar biola yang lembut di dalam istana seorang pengusaha kaya raya. Namun realita sama sekali tak seindah ekspektasi. Neon sebagai pelukisnya sendiri pun tidak tahu apakah lukisannya diletakkan dengan benar setelah disita oleh pihak berwajib.
Imej Neon sebagai seorang "da Vinci abad 21" yang telah ia bangun selama bertahun-tahun perlahan runtuh. Bukan dengan cara seperti ini Neon ingin mengakhiri karirnya. Meski begitu, Neon mulai bisa menerima keadaan. Sekarang sudah waktunya untuk bangkit dan memperjuangkan haknya. Neon sama sekali tidak menjiplak lukisan milik siapapun. Yang aneh justru adalah Rumbai. Perempuan yang bahkan sampai saat ini masih berkeliling melilih baju itu secara misterius dan tiba-tiba muncul ke permukaan dengan sebuah lukisan serupa. Bedanya, lukisan yang Rumbai bawa dibuat sekitar sepuluh tahun lalu.
Apa si plagiat yang sebenarnya adalah seseorang yang datang dari masa lalu? Apa tujuannya? Kenapa harus Neon?
"Bumi kepada Neon. Apa masih ada tanda-tanda kehidupan di sana?"
Dalamnya samudera lamunan Neon lenyap ketika suara cempreng Rumbai menginterupsi. Rumbai dengan kedua tangannya memegang tumpukan baju warna-warni, beberapa pak make-up, tas tangan, dan benda-benda yang Neon tidak tahu namanya. Seketika ada denyutan menyakitkan di pelipis Neon.
"Ayo bayar!"
Rumbai sudah mengambil beberapa langkah menuju kasir. Namun dia langsung berhenti ketika menyadari kalau Neon masih belum bangun.
"Ayo!!" Karena kedua tangannya penuh, Rumbai pun mendorong Neon sekuat tenaga sampai pria itu berjalan dengan terpaksa menuju kasir.
Setelah semua barang dihitung dan dibayar dengan kartu gesek ajaib Neon, kedua orang itu pun akhirnya berjalan santai menuju pintu keluar dengan lima tas belanja. Tepat di depan dua daun pintu kaca yang terbuka secara otomatis, Rumbai menghentikan langkahnya.
"Hape! Duh! Kok bisa sampai lupa, sih. Ayo, ayo balik lagi."
Belum sempat Neon merespon, sosok Rumbai sudah hilang entah ke mana. Sakit kepala Neon semakin menjadi. Namun dia masih cukup waras untuk tidak menghalangi jalan. Jadi Neon menepi sembari jalan pelan. Di saat seperti ini lah keajaiban sering kali muncul. Rasanya mukjizat sedang terjadi. Tuhan sedang sangat baik pada Neon.
Tulisan "Gramedia" yang begitu besar terlihat menempel dengan indah di atas sebuah jalan masuk yang luas. Tanpa pikir panjang Neon pun langsung memasuki wilayah kutu buku itu. Bukan berarti Neon juga seorang kutu buku. Karena apa yang Neon tuju bukanlah buku-buku yang ditumpuk rapi dan estetik melainkan bagian perlengkapan lukis.
Jemari Neon meraba ringan pada deretan kuas yang digantung dan diurutkan berdasarkan bentuk dan ukuran. Setelah puas menyambangi bulu-bulu kuas yang halus, perhatian Neon teralihkan pada sekotak kecil cat akrilik delapan warna.
"Reeves? Yang pastel, ya?"
Jantung Neon hampir melompat keluar dari dadanya karena kaget. Sosok Rumbai muncul tiba-tiba di samping Neon. Perempuan itu mengambil kotak cat yang sama lalu mulai menelitinya.
"Lebih murah di sini ya daripada di Jakarta. Tapi cuma delapan tube aja. Lumayan sih kalau buat warnain sedikit. Mau beli?" tanya Rumbai dengan wajah tak bersalah.
Tanpa menjawab, Neon mengambil satu kotak cat akrilik dan satu kuas nilon kecil lalu berjalan ke kasir. Rumbai pun setia mengikutinya dari belakang.
"Enggak beli kanvas?"
"Enggak," jawab Neon ketus.
"Kenapa? Nanti ngelukisnya di mana? Ada yang ukuran kecil loh di sini. Jadi gampang dibawa juga. Ehh tunggu! Ke lantai dua dulu beli hape!"
Neon sama sekali tidak berniat meladeni Rumbai. Dia langsung keluar dari toko buku itu ketika selesai membayar, meninggalkan Rumbai yang masih mengoceh.
****
Cat yang Neon dan Rumbai bahas~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top