1. Tekad
"Seperti yang bisa kita lihat, sidang perdata tersangka berinisial NAPR baru saja selesai. Dari hasil wawancara kami bersama kuasa hukum penggugat, pihaknya yakin akan memenangkan sidang melawan pelukis yang kini sedang naik daun itu. Sementara dari pihak lawan tidak mau memberikan keterangan apapun."
Klik... Klik... Klik....
Jari Neon bergerak secepat mungkin menambah volume media pada ponselnya. Earphone di kedua telinga ia tekan lembut. Usaha Neon untuk menggiring hanya suara musik dari ponselnya ke dalam indera pendengaran rupanya tidak begitu berguna.
Suara seorang wanita berseragam di dalam televisi yang menggantung di dinding ruang tunggu masih berhasil terdengar, meski sayup-sayup. Udara panas dari luar menyeruak masuk ketika pintu utama dibuka oleh sepasang ibu dan anak yang masuk. Udara Jakarta begitu panas. Neon masih bisa merasakan suhu panas di sekitar tubuhnya meskipun dia duduk di ruangan ber-AC.
Notifikasi pesan pada ponsel Neon berdering keras. Laki-laki berwajah oriental itu menarik earphone-nya secepat kilat, di saat yang sama juga menarik perhatian orang-orang di sekitarnya. Meski hanya satu dentingan, volume media yang telah disetel sampai maksimal membuat telinga Neon sedikit berdegung.
Pesan singkat itu Neon baca sekilas sebelum layar ponsel kembali hitam. Suasana hatinya semakin tidak keruan.
Keringat mengalir turun saat tubuh Neon mulai tidak nyaman duduk di sana. Kesepuluh jarinya mencubit satu sama lain dalam usaha menenangkan diri. Neon menutup matanya rapat-rapat seraya berdoa dalam hati agar semua kesulitan ini cepat berlalu. Ia tidak sedikit pun keberatan jika ketika membuka mata tubuhnya tidak bisa digerakkan di ranjang rumah sakit. Asalkan akan ada orang yang mengatakan kalau selama ini dia koma dan semua yang sekarang ia alami hanyalah mimpi belaka.
"Saudara Neon Anggaripta," seru seorang perempuan muda yang keluar dari koridor sebelah kiri ruang tunggu.
Neon bangun dari kursi panjang dan berjalan pelan di belakang si wanita menuju ruang konsultasi. Tulisan "dr. Sean Sallami" berlapis akrilik tergantung di depan pintu bercat putih.
"Gugup?" Neon menoleh ke sumber suara. Rupanya perempuan berseragam biru muda tadi yang bertanya.
"Sedikit," jawab Neon singkat. Ujung-ujung bibirnya ia tarik ke atas sebisa mungkin.
Laki-laki mana yang ingin terlihat lemah di hadapan wanita cantik? Sama sekali tidak ada menurut preferensinya.
"Jangan gugup. Dokter enggak akan marah kok." Bibir merah ranum perempuan itu melengkung indah. Senyumannya semakin terlihat cantik ketika sepasang lekukan dalam terlihat di kedua pipinya.
Masih ada sisa tiga hari lagi sebelum sesi konsultasi Neon yang seharusnya. Namun dengan alasan mendesak, Neon memutuskan untuk mempercepat sesinya. Dengan kekuatan orang dalam, Neon pun berhasil menyisipkan namanya di antara pasien-pasien lain dalam daftar tunggu hari ini.
Setelah bertahun-tahun menjadi langganan di klinik ini Neon cukup akrab dengan orang-orang yang bekerja di sana. Termasuk perempuan manis dengan lesung pipit itu. Malah sebenarnya, Neon menaruh cukup banyak perhatian padanya beberapa minggu terakhir.
Neon mengangguk dan perlahan memasuki ruangan. Baru saja melewati pintu, kehadiran Neon sudah disambut dengan pertanyaan.
"Sudah selesai sidangnya?"
Neon terperanjat kaget. Pertanyaan sesensitif itu dilontarkan oleh pria jangkung berjas putih di sisi lain ruangan. Terpaut jarak lima meter, Neon masih bisa melihat senyum si dokter dengan jelas. Pun papan nama akriliknya yang menempel di dada kanan. Di belakang Sean ada jendela berkaca tebal menggantikan dinding yang langsung mengarah ke pemandangan perkotaan di belakang rumah sakit. Sinar matahari yang dipantulkan oleh gedung-gedung tinggi serta atap rumah warga sekitar membuat tubuh Sean seolah bercahaya, seperti gambaran malaikat di film fantasi.
"Baru saja," jawab Neon dengan suara lirih. Pintu kembali di tutup dan Neon berjalan mendekati kursi tidur yang sedari tadi ditepuk pelan oleh si dokter.
Tanpa basa-basi, Neon langsung merebahkan tubuhnya di atas bantalan empuk berlapis kulit sintetis itu. Kerangka kursi tidur itu berderak mengikuti postur badan Neon.
Sesuatu yang padat dan dingin tiba-tiba menyentuh pipi Neon.
"Cokelat? Kata Profesor Lupin, cokelat bisa mengembalikan mood." Sean, dokter spesialis jiwa yang menangani Neon menawari pasiennya sepotong cokelat dingin.
"Siapa Profesor Lupin?" tanya Neon sambil mengunyah cokelat pemberian Sean.
"Profesor R. J. Lupin. Enggak kenal?" Sambil menjawab pertanyaan Neon, Sean mengambil sebuah buku dan pena. Sean menyibak jas labnya lalu duduk di belakang Neon.
Sudah bertahun-tahun Sean menjadi psikiater Neon. Neon yang sekarang jauh lebih baik dari waktu pertama Sean melihatnya. ABG kumuh yang takut gelap dan ruang sempit. Belum lagi PTSD¹ yang membuat hidup Neon muda kacau.
Dalam renggang waktu tersebut, Sean sudah berkali-kali menarik Neon dari dasar jurang ketakutannya. Hal ini membuat hubungan kedua orang itu menjadi dekat bagai adik dan kakak. Bahkan dalam sesi konseling pun, Sean menolak keras Neon memanggilnya dokter. Dia ingin tampil lebih muda 17 tahun jadi Neon harus memanggilnya dengan nama.
"Oh, dia. Enggak kenal sih cuma tahu aja," jawab Neon santai.
"Nonton filmnya?"
"Iya. Tapi baca buku dulu baru nonton."
"Oh? Baca di mana?"
"Di perpus sekolah pas masih SMA."
"Gimana perasaanmu waktu itu?"
Tidak seperti pertanyaan-pertanyaan sebelumnya, kali ini Neon tidak langsung menjawab. Dia menyadari kalau sesi konselingnya telah dimulai.
"Ya.... Lumayan."
"Apanya?" tanya Sean sambil menulis sesuatu di buku.
"Awalnya aku enggak tahu apa-apa. Asal baca pas ada waktu luang. Let it flow aja. Kupikir bakal selesai dalam waktu singkat. Ternyata malah enggak pernah selesai." Neon tersenyum miris menatap langit-langit. Membaca mungkin memang bukan passionnya. Bagi Neon melukis adalah cara paling muda untuk mengekspresikan diri.
Wajah santai Sean kini berubah jadi serius. Masih melekat di ingatannya dengan kuat ketika Neon tiba-tiba datang ke rumahnya tengah malam dalam keadaan basah kuyup. Malam itu, surat gugatan kasus plagiarisme Neon datang. Lukisannya yang telah ditawar seharga tiga puluh lima juta rupiah disita oleh pihak yang berwenang.
Berita cepat tersebar. Julukan "da Vinci abad 21" perlahan mulai berubah menjadi cemoohan bagi Neon.
Keadaan Neon sangat buruk beberapa minggu lalu. Pria penakut itu bahkan berhasil menangani nyctophobia²-nya dalam semalam. Meskipun fobia itu datang kembali keesokan harinya.
Sean memutar pena di tangannya sekali.
"Bagaimana perasaanmu sekarang?"
Mendengar pertanyaan yang ia tunggu-tunggu, Neon dengan semangat menoleh ke belakang.
"Starry Night³."
Sean terlihat terkejut sebentar. Dia bertindak santai lagi sambil tersenyum.
"Apa di luar ada banyak orang?" Mulut Sean berbicara sementara tangannya mulai membuat deretan alfabet lagi di buku.
Neon memperbaiki posisi tubuhnya lalu menjawab, "Lumayan. Ada sekitar sepuluh orang."
"Ke sini pakai apa?"
"Mobil." Jari-jari Neon mulai tidak tenang.
"Apa ada reaksi abnormal?"
"Enggak ada. Hanya sedikit gugup." Ruangan itu hening selama beberapa detik sebelum Neon meneruskan, "Mereka mengatakan kalau akan memenangkan kasus ini pada sidang berikutnya."
Sean melirik Neon, mendapati pasiennya mulai merasa tidak nyaman.
"Takut?"
"Sedikit," jawab Neon dengan susah payah.
Tidak ada pertanyaan lagi tapi sesi konseling masih berlanjut. Tersisa delapan menit lagi sebelum jatah Neon selesai. Namun Sean hanya diam. Dia sengaja tidak lanjut bertanya, memberi ruang bagi Neon untuk berpikir.
Tidak, Neon tidak berpikir hal-hal yang berat. Dia hanya sedang berpikir apakah akan mengatakan apa yang ada di kepalanya pada Sean atau tidak. Setelah melewati masa-masa dilematik, Neon pun akhirnya memutuskan untuk meberitahu Sean.
"Aku.... Terapi sebelumnya berhasil, kan? Aku berhasil mengingat beberapa hal tentang masa lalu. Ada cara lain buat buktiin aku enggak salah. Tapi kalau aku cari--"
Sekelebat ingatan tiba-tiba terlintas di depan mata Neon. Ia seperti dibawa untuk menyaksikan kejadian mengerikan di masa lalu. Suara riuh orang berteriak, deru napas yang cepat hingga dadanya terasa sakit, tempat gelap dan sempit, lalu cahaya temaram di kejauhan.
Klek klek klek....
Sean menggeser kursi berodanya ke samping Neon. Bunyi roda yang menggelinding di bawah tekanan beban tubuh Sean berhasil menyadarkan Neon dari kilas baliknya.
"Kamu enggak pa-pa?"
Neon duduk dengan punggung tegak dan mengangguk pelan.
"Tidurmu nyenyak?"
Kali ini Neon menggeleng.
"Apa yang kamu lihat?"
"Sama kaya sebelum-sebelumnya."
"Enggak ada tambahan apapun? Detail atau kejadian lain misalnya?" Sean mencoret-coret bukunya sekali lagi.
"Enggak ada."
"Bagaimana dengan katalognya? Apa kamu sering lihat?"
"Enggak sering tapi aku kepikiran terus. Tapi enggak ada jaminan katalog itu masih ada di sana. Rumahnya juga sudah dijual."
Neon terlihat sedikit frustasi. Namun perasaan seperti ini lebih baik dari pada terus-menerus cemas dan takut.
"Apa kamu ada cara lain buat buktiin kalau kamu enggak bersalah?"
Neon menggeleng lagi. "Enggak ada. Sama sekali enggak ada."
Delapan menit berlalu. Sesi konseling Neon telah berakhir. Sean menambahkan satu kalimat terakhir di bukunya kemudian bangun dan berjalan ke arah meja kerja di pojok ruangan. Tangan pria itu bergerak mengambil kertas dan menulis lagi. Tak lama, Sean kembali ke sisi Neon.
Selembar kertas kecil Sean berikan pada Neon.
"Obat?" Neon keheranan."Tapi obatku belum habis."
Tidak seperti dokter kebanyakan, tulisan tangan Sean sangat rapi. Neon bahkan bisa membacanya. Meski butuh waktu bertahun-tahun untuk memahami huruf apa saja yang Sean tulis.
"Tapi kamu bakal butuh obat-obat baru nanti. Oh, ya. Ini juga." Sean memberikan lembaran kertas lain. Bedanya yang ini seukuran kertas HVS.
Neon membaca sekilas. Kemampuannya menarik kesimpulan cukup mengesankan. Kertas itu adalah surat izin sesi konseling daring⁴ untuk Neon. Saat itu juga, Neon mengetahui kalau Sean sebenarnya sudah tahu tentang rencananya meninggalkan Jakarta untuk mencari bukti.
Tidak ada kata selain terima kasih yang bisa Neon sampaikan. Entah sudah berapa kali Sean membantunya. Mood-nya kembali baik dan emosinya pun stabil.
Tok.... Tok....
Wanita dengan lesung pipit yang sebelumnya menampakkan diri dari balik pintu. Menyempatkan diri untuk melempar senyum pada Neon sebelum menyampaikan maksudnya pada Sean.
"Dok, sudah ditunggu di depan," kata wanita itu dengan suara yang lembut.
"Oh, iya. Bentar lagi saya keluar," balas Sean singkat.
"Baik, Dok." Wanita itu menyempatkan diri sekali lagi tersenyum pada Neon mengundurkan diri.
Tentu saja sebagai pria sejati, Neon membalas senyuman itu. Kedua sudut bibirnya masih berada di posisi yang cukup tinggi bahkan ketika pintu di hadapannya sudah tertutup.
"Cantik, ya?" celetuk Sean tiba-tiba.
Neon langsung mengalihkan pandangannya dan berdehem. Dia mengembalikan surat izin milik Sean lalu berpamitan untuk keluar dari ruangan.
Sebelum pulang, Neon menyempatkan diri untuk menebus beberapa obat yang telah Sean resepkan di apotek rumah sakit. Saat keluar, seorang pria berusia setengah abad dengan seragam khas supir pribadi menyambut Neon. Pak Supir bahkan membukakan pintu mobil untuk Neon.
Di dalam mobil, sudah ada satu koper tarik besar dan tas selempang kain berwarna cokelat duduk di kursi penumpang.
"Ini mau langsung ke stasiun atau bagaimana, Mas?" tanya Pak Supir.
"Iya. Langsung ke stasiun saja."
"Baik."
Mobil MPV abu-abu itu melaju menyibak kebisingan ibu kota. Sebagian besar kepahitan hidup sudah Neon rasakan. Kini, seharusnya Neon hanya perlu menikmati hasil dari kerja kerasnya selama bertahun-tahun. Neon tidak akan menyerah begitu saja. Dia tidak akan mengalah pada keadaan seperti yang sudah-sudah. Mulai hari ini, Neon yakin dia akan menang.
**** Catatan Kaki ****
PTSD¹ (post-trauma stress disorder) atau gangguan stres pascatrauma adalah gangguan mental berupa stres yang muncul setelah seseorang mengalami atau melihat kejadian traumatik.
Nyctophobia² atau fobia gelap.
Starry Night³ adalah lukisan legendaris kerya Vincent van Gogh yang meninggal karena bunuh diri. Lukisan ini dibuat berdasarkan pemandangan yang ia lihat dari jeruji rumah sakit jiwa. Ada yang mengatakan kalau Starry Night menggambarkan keadaan psikis sang pelukis.
Di sini Neon mengatakan kalau perasaannya seperti lukisan Starry Night yang indah namun cukup kacau. Neon memiliki intensi negatif untuk mengakhiri hidupnya, sama seperti yang van Gogh lakukan.
Daring⁴ adalah kependekan dari dalam jaringan atau yang biasa kita sebut dengan online. Sean membiarkan Neon melihat surat izin konseling jarak jauh miliknya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top