Kouyou
Sebuah paviliun para pelayan.
Sekitar Sepertiga Akhir Era Pemerintahan Meiji.
"Bocah Kouyou itu sampai kapan akan dibiarkan di sini?"
Perempuan pelayan yang bertanya memeluk lengannya sendiri, sesekali mengusap-usap lengan kimono seragamnya, seperti kedinginan.
"Tanyakan saja pada Ojii-san. Tampangnya cukup bagus untuk jadi teman main Bocchama, siapa tahu ...?" temannya yang sedang mencuci umbi-umbi untuk sup ransum pegawai, menimpali.
"Yang benar saja! Maksudmu kita harus dekat-dekat bocah mengerikan itu lebih lama lagi?" pelayan yang pertama membalas, sengit.
"Hei!" tegur yang masih menggosok umbi-umbian. "Yang manapun bukan urusan kita. Sana, kerjakan bagia- ..."
Melihat lawan bicaranya mendadak diam, perempuan itu membalik badan. Seketika ekspresi ngeri menghiasi wajahnya.
Sosok anak laki-laki. Rambut dan matanya gelap, kontras dengan paras yang pucat dan postur yang kecil dan kurus. Ujung kimono seragam yang masih kepanjangan membuatnya tampak makin mungil. Memandangi ke arah mereka tanpa ekspresi. Tanpa bicara.
"A-a-apa, sih?" hardik perempuan itu, gugup. "Katakan sesuatu!"
Anak itu mengulurkan sebelah tangan, menyodorkan sesuatu. Membuat yg dituju berjengit seraya terlonjak, mundur. Nyaris tersandung kakinya sendiri.
"... Ketemu," ucap anak laki-laki itu, datar. Di tangannya ada sebentuk sisir kayu yang bagus.
Pelayan yang sampai tadi mencuci umbi membelalakkan mata, menoleh kepada yang terlihat sangat gugup di sebelahnya. "Itu sisir Ojou-sama yang hilang tadi pagi ... Kau bilang tidak tahu soal itu!"
"A-aku betul-betul tak tahu sisirnya terselip ke mana. Bukan salahku benda bagus itu kecil sekali," kilahnya. "Yang penting, sudah ketemu. Aku bisa antarkan kepada Ojou-sama sekarang." Pelayan itu menambahkan seraya menyambar benda sisir itu dari tangan si bocah. Lalu bergegas pergi.
Membuat temannya hanya bisa melongo pada kelakuan tak tahu diri itu.
Sebuah sentuhan di lengan kimono kerja membuat sang teman terlonjak juga. Anak laki-laki kurus dan pucat itu yang menariknya.
"... Jatuh," ucap anak laki-laki yang sama. Menyodorkan sebuah umbi yang sepertinya menggelinding ketika perhatiannya teralihkan kelakuan temannya tadi.
"Kouyou," desah pelayan yang bertugas mencuci umbi, membungkukkan badan supaya bisa bertemu garis pandang dengan anak laki-laki kurus itu. "Kau terlalu mengalah. Seharusnya biarkan saja sampah yang suka merebut jasa orang lain macam dia, kesulitan akibat kesalahan yang dibuatnya sendiri," omelnya seraya menerima umbi dari tangan mungil yang banyak memiliki bekas luka itu.
Kepala hitam anak laki-laki itu menggeleng pelan setelah terdiam sesaat. "Sampah ... Bukan. Manusia," ucapnya.
"Dia itu cuma sampah yang memanfaatkan orang lain. Kau tak boleh membantunya lagi, mengerti!?"
Kouyou terdiam cukup lama sebelum akhirnya mengangguk.
"Bagus," perempuan itu mendengkus, terlihat lega. "Sekarang, pergilah ke dapur. Karena sibuk mencari sisir itu, kau belum makan jatahmu sejak pagi, kan?"
Kouyou mengangguk sekali lagi. Kemudian melangkah pergi.
Ketika ditemukan setengah tahun sebelumnya, sosok anak itu lebih kurus dan lebih pucat lagi. Dengan kedua tangan mungilnya memerah seperti Momiji, Daun Mapel di musim gugur. Tak bicara dan tak menangis, hanya bergerak, tersendat, perlahan dengan kedua tangan terulur pada orang-orang dewasa yang menemukannya. Namun bukan itu yang memberinya julukan Kouyou (dedaunan merah).
Salah seorang yang menemukan merasa melihat beberapa noda berbentuk daun mapel di dinding. Ketika mendekat untuk melihat lebih jelas, dia baru menyadari bahwa di balik pintu kayu yang menjadi satu-satunya akses keluar-masuk ruangan, penuh dengan jejak tapak merah gelap kecokelatan setinggi jangkauan anak usia 3-5 tahunan.
Merah. Merah.
Telapak tangan mungilnya membuat jejak. Menyebar dan bertumpuk-tumpuk. Indah.
Air menggenang. Menghalangi mata. Menghalangi pandangan.
Jangan bersuara, tunggu mereka datang.
Sepertinya anak itu sudah memukul-mukul pintu hingga tangannya terluka, karena tak bisa keluar dari tempatnya terkurung.
Ngeri. Para orang dewasa yang datang saat itu mundur, menghindar, dan buru-buru pergi setelah meninggalkan sedikit makanan dan air untuknya. Memberinya perpanjangan hidup hingga dipungut—dalam kondisi sangat lemas, nyaris pingsan, oleh orang yang mencari calon pelayan murah, beberapa hari kemudian.
Tenaga tak ada. Pandangan pudar. Gelap
Derak-derak lagi. Lalu derit panjang lagi. Papan terbuka.
Merah. Merah terang. Merah gelap. Kuning. Biru. Putih.
Warna-warna lain. Menyebar luas.
Kisah tentang sebuah gubuk yang pintu dan dindingnya memerah seperti pemandangan pepohonan di Musim Gugur, dikenal sebagai Ruang Kouyou secara sarkas. Nama itu melekat pada bocah lelaki itu. Cukup bagus, terlalu bagus bila tidak ingat sejarah penamaannya.
Apa yang sebetulnya terjadi di rumah itu tak ada yang tahu. Saat itu, tahun-tahun awal Era Pemerintahan Meiji, kondisi orang-orang tak terlalu bagus untuk punya cukup luang memastikan kondisi tetangga yang kurang bersosialisasi, apalagi pendatang yang baru saja datang mengungsi.
Restorasi yang memicu pertentangan dan pertikaian dari pendukung pemerintahan lama dengan pemerintahan baru belum lagi reda, ditambah bencana meletus Gunung Bandai beberapa tahun sebelumnya. Sekitar 5 desa lenyap dari peta. Sisa yang bertahan hidup terpaksa pindah ke desa-desa lain yang kondisinya belum tentu cukup baik untuk menampung.
Mungkin orang tua atau siapapun yang mengasuh Kouyou cilik salah satu dari para pengungsi itu lalu entah bagaimana—kesengajaan atau kecelakaan, meninggalkan balita itu seorang diri, terkunci di gubuk yang lama tak dihuni sebelumnya. Tak ada catatan jelas. Tak ada juga yang mengenal pemiliknya.
Karena tak tahu pasti kapan kelahirannya, di kemudian hari, Akio memilih hari erupsi gunung tersebut sebagai tanggal yang dicantumkan dalam dokumen ketika mendaftar sebagai anggota Militer Kekaisaran.
Kouyou cilik setelah diberi makan dan dibersihkan terlihat cukup patut untuk jadi pelayan. Walau belum bisa berucap sepatah kata pun anak itu bisa cepat belajar dengan meniru apa yang dilakukan orang-orang di sekelilingnya. Dari sekadar bocah pungut yang hanya diam, hingga jadi calon pelayan.
Asal diberi makan dan ditunjukkan caranya, Kouyou cilik bisa segera mengikuti perintah. Segera saja orang-orang di sekelilingnya tahu cara menggunakan dia, terutama para pelayan kelas bawah.
Pancing dengan makanan, tunjukan caranya, dia akan menggantikan pekerjaanmu. Tentu saja tak boleh ketahuan Kepala Pelayan, apalagi Keluarga Majikan. Mereka bisa dimarahi dan dikurangi gajinya karena ketahuan membolos. Saat itu terjadi, Kouyou pun menerima akibatnya.
Dibentak, dicaci, dihukum, dipukuli oleh orang-orang yang gagal menggunakannya adalah hal biasa. Kouyou cilik tetap diam. Menangis pun tidak.
Selama apa yang diterima itu tidak mengancam nyawa.
Atau memantik emosi yang hanya sedikit dimiliki.
Tahun terakhir Pemerintahan Taisho.
Inggris, 1926.
Hanya sebulan setelah pengadilan, Akio Kai—salah satu terdakwa kasus Myrtlegrove yang selama ini dikenal sebagai tahanan teladan yang tenang dan penurut, terpaksa dikurung dalam sel isolasi. Bukan hanya nyaris membunuh sesama tahanan lain, dia juga melukai beberapa penjaga yang mencoba melerai. Label berbahaya pun disematkan.
Penyebab mengamuknya tahanan yang biasanya kalem itu karena seseorang dengan sengaja mencela Viper untuk memancing emosinya. Keinginan orang malang itu terkabul. Dengan bayaran mahal luka-luka yang diterima.
Mediasi Viper Whetstone, detektif yang menangkapnya dan campur tangan dari mantan Asisten Henry Myrtle—mentor yang dulu melatihnya hingga cukup layak untuk menjadi Butler Utama Myrtlegrove Estate, mencegahnya mendapat hukuman lebih berat. Sebagai gantinya Akio Kai ditempatkan di instansi perawatan yang sama dengan Harold.
Tanpa provokasi negatif, perlahan kondisi mentalnya membaik. Walau belum bisa dikatakan waras sepenuhnya.
(Bersambung ke pertemuan di Asylum)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top