Bonus Chapter - Winter Turnip
Tutup matamu. Tutup telingamu. Tutup juga mulutmu. Maka semua akan baik-baik saja.
Di salah satu bangunan dalam Yashiki keluarga Katsujirou Shousa ada pajangan. Patung mungil tiga ekor monyet yang duduk berjajar. Seekor menutup mata, seekor di sebelahnya menutup telinga, seekor yang terakhir menutup mulut.
"Kau berminat dengan pajangan itu, Kouyou?" tanya Jiiya ketika memergoki pandangan mata pelayan cilik sang Tuan Muda terarah pada patung monyet-monyet mungil itu.
Tak ada jawaban.
Si Pelayan Cilik tak pernah tertarik pada keindahan superfisial dan tak mengerti seni. Namun tiga sosok mungil di rak pajang itu memancing ingatannya pada sesuatu yang tak bisa ditemukan lagi.
Jiiya akhirnya memutuskan untuk menjelaskan pada bocah yang terus bergeming—memandangi pajangan itu, makna masing-masing pose yang ditunjukkan.
Mizaru, dia yang tidak melihat keburukan, menutup matanya.
Kikazaru, dia yang tidak mendengar keburukan, menutup telinganya.
Iwazaru, dia yang tidak mengatakan keburukan, menutup mulutnya.
Pelayan cilik yang masih dipanggil Kouyou masih belum paham, tetapi jawaban itu cukup untuk membuat rasa penasarannya hilang. Lalu kembali melangkah, melanjutkan pekerjaan.
Yang tidak diketahui oleh Jiiya penjelasannya terpatri dalam benak Akio cilik. Membuat apa yang sebelumnya tak bisa ditemukan dalam ingatan anak itu, perlahan muncul dari bawah sadar.
Dulu. Seseorang pernah berkata, jauh di masa lalu. Saat dirinya masih belum bisa berkata-kata.
"Maafkan," demikian ucapan itu dimulai. "Aku sudah tak mampu." Suaranya terdengar sangat lemah, nyaris berbisik. Serak. "Tapi kalau hanya kau saja ... Asal kau bertahan hidup. Itu sudah cukup."
Dirinya bahkan tak ingat lagi siapa yang berkata maupun detail setiap kata yang diucapkan saat itu. Tubuh kecilnya hanya tahu dia harus berjuang memenuhi pesan terakhir itu. Apapun yang terjadi.
Karena itu kau juga, tak perlu melihat, mendengar, ataupun berbicara.
Asalkan kau bisa bertahan hidup, itu sudah cukup.
Dan sepanjang ingatannya, hal itu selalu terjadi.
Tutup matamu.
Sepasang tangan seolah menutup penglihatan saat dirinya merasa tidak akan suka melihat apa yang akan terjadi.
Tak melihat ... Tak ada mimpi buruk.
"Tidak apa-apa, Nak. Tidak ada apa-apa di sana. Tidurlah."
Tutup telingamu.
Sepasang tangan seolah menutup pendengaran saat di sekelilingnya banyak suara-suara yang membuatnya ketakutan.
Tidak terdengar ... Berarti tidak ada.
"Ambil! Keluarkan semuanya!!! Masih ada orang?! Jangan beri ampun. Bayi sekalipun!!!"
Suara-suara tak menyenangkan. Gemuruh kencang. Goncangan dahsyat yang meruntuhkan segalanya. Letusan-letusan yang bertubi-tubi. Semua sirna.
Tutup mulutmu.
"Ssst ... Sudah. Kalau menangis, nanti mereka akan mengambilmu lalu mem- ...."
Sepasang tangan seolah menutup mulutnya. Dia pun berusaha untuk tidak bersuara. Menekan segala bunyi yang mungkin timbul, menyembunyikan keberadaannya. Duduk dengan tenang. Makan dengan perlahan. Senyap pada setiap tegukan.
Sepasang tangan mungil yang merah.
Eropa, Deutsches Kaiserreich.
Turnip Winter.
"Surat untuk Anda," Akio berkata pada suatu pagi. Menelan panggilan Shousa pada orang yang menjadi sasaran pengabdiannya selama belasan tahun terakhir. Menyodorkan sepucuk amplop dengan berbagai cap tanda sudah melewati pemeriksaan berlapis, padahal sudah dititipkan pada pihak yang memiliki wewenang lebih dan kekebalan sampai tingkat tertentu. Saat itu cuaca tak bisa dikatakan bersahabat. Musim gugur sudah dimulai.
"Ah, dari Ayahanda," komentar Shousa. Kemudian menambahkan dengan nada yang sangat jarang didengar oleh Akio, "Menyuruhku untuk pulang, katanya." Lalu terdengar tawa kering.
"Seperti biasa, Beliau selalu terlambat soal yang seperti ini."
Kemudian lembaran kertas di tangan Shousa mendarat di perapian. Terjilat lidah-lidah kuning kemerahan. Menghitam dalam sekejap sebelum kemudian memutih menjadi abu.
"Aku sudah tak bisa mundur lagi," ucap lelaki itu. Terdengar tenang, tetapi wajah yang tidak diperlihatkan pada Akio membuat sang Ajudan merasa tak nyaman.
Bulan berganti. Seperti terbawa oleh memburuknya cuaca, kondisi di sekeliling mereka makin tak menentu. Peredaran bahan makanan dan kebutuhan lain semakin berkurang. Hampir tak mungkin menemukan wajah cerah dari manusia-manusia yang ditemui di jalan.
Kemudian pada suatu sore, Akio yang baru saja membuka peti persediaan di gudang termanggu. Ada yang mencuri kentang-kentang yang disimpan di gudang. Dari satu peti penuh, untuk persediaan musim dingin, kini tinggal beberapa butir di dasar saja.
Umbi-umbian itu cukup awet. Akio sendiri yang jauh-jauh pergi berkeliling ke tanah pertanian untuk membeli kentang yang masih belum sempat dipanen pada musim gugur sebelumnya, karena kekurangan pekerja. Beberapa dari mereka bahkan mengizinkan dirinya mengambil gratis asal membantu memanen.
Atas perintah Shousa Akio membagikan kelebihan kentangnya pada sesama pelajar atau keluarga lain di dekat apartemen mereka. Sediam-diam mungkin untuk tidak menarik perhatian orang-orang yang tak diharapkan—tentara setempat misalnya.
Namun kabar tentang pelajar dermawan yang memiliki kelebihan kentang tersebar juga. Kasak-kusuk yang tak mengenakkan pun terdengar. Akio tak terlalu peduli, dia hanya mengkhawatirkan apakah persediaan makanan mereka bakal mencukupi. Jangankan mereka yang menyimpan kentang bersih di gudang, konon lumbung dan tanah pertanian juga tak luput dari pencurian.
"Setidaknya itu lebih baik daripada kentang-kentang yang membusuk di dalam tanah karena tak ada yang memanen," komentar Shousa, ketika mendengar berita soal pencurian bahan pangan di pertanian.
Akio sulit memahami. Apa yang baik dari pencurian, bukankah itu berarti ada manusia-manusia yang dengan seenaknya mengambil apa yang seharusnya jadi milik manusia lain?
"Kita hanya perlu membagi jatah, agar kentang yang tersisa cukup." Shousa menambahkan.
"... Saya bisa tidak makan kentang," ucap Akio. Setelah mengerahkan segenap kemampuan berpikirnya. Jika semua kentang yang tersisa dibawa naik ke kamar, pasti cukup untuk beberapa bulan apabila hanya Shousa yang makan.
Namun ucapan itu ditanggapi dengan tawa renyah dan tepukan pelan di kepala Akio.
"Tak usah repot-repot, kita bagi dua saja. Aku tak perlu makan banyak-banyak." Begitu yang dikatakan olehnya. Akan tetapi pergelangan kemeja lelaki itu kian hari tampak semakin longgar.
"Saya tak perlu sarapan. Anda saja," ujar Akio, beberapa minggu kemudian ketika kentang-kentang mereka sudah tak ada lagi.
"Tak apa. Kita masih punya makanan. Daging dan ikan kering, lalu ... Ah, kau tahu, kenalanku memberi kita sayuran, seperti kabu—lobak bulat, tetapi yang ini lebih besar." Shousa memperagakan dengan tangannya.
Namun sayuran umbi yang dijanjikan tak pernah datang. Kenalan Shousa terpaksa mengutamakan distribusi untuk kawan-kawan sebangsanya sendiri, daripada untuk dua orang pelajar asing.
Akio perlu diam-diam mengontak kenalan yang biasanya sangat enggan dia hubungi untuk mendapatkan sedikit bahan makanan. Sang kenalan itu seorang mata-mata dari negara netral, sesekali mengontak mereka untuk bertukar informasi. Orang yang lebih sulit dipahami dari Shousa, bagi Akio.
Pada akhirnya situasi mencapai kondisi di mana Akio sekalipun makin kesulitan menyelinap ke hutan untuk berburu tambahan nutrisi. Semua orang juga melakukan hal yang sama. Terlalu besar resikonya bila Akio sampai bertemu dengan mereka.
Ditambah, tak mungkin terlalu lama meninggalkan atasannya sendirian. Memastikan Shousa tetap aman. Untuk itulah dirinya yang hanya seorang Jun-i, diizinkan ikut belajar di kampus yang sama. Jauh dari tanah air.
Namun kegiatan kampus sudah lama berhenti. Para peneliti dan pengajar diperbantukan untuk proyek-proyek pemerintah. Pelajar-pelajar yang berpotensi dipanggil berdinas atau pulang ke keluarga mereka. Satu per satu kamar-kamar lain mulai kosong.
Dua orang pelajar asing yang tetap bertahan karena tak punya jalur aman untuk pulang. Namun beberapa kali menolak tawaran mengungsi dengan berbagai alasan. Pandangan orang-orang mulai mengarah pada mereka.
Mereka mulai curiga sementara dirinya tak bisa berbohong. Demi keselamatan, Shousa yang lebih pandai berbicara juga sebisa mungkin tidak banyak keluar. Bila didatangi orang-orang penasaran, Akio hanya bisa berusaha untuk mengalihkan pembicaraan pada hal lain atau tidak berbicara sama sekali.
Cara itu tak bisa bertahan lama.
Pos dan paket yang ditujukan untuk mereka tak pernah utuh lagi. Tak jarang barang-barang itu lenyap sama sekali. Orang-orang yang pernah menerima kebaikan Shousa sekalipun terpaksa menjauh atau berbalik ikut mencurigai mereka.
Sudah berkali-kali mereka terpaksa pindah. Beberapa kali Akio harus memastikan barang-barang yang mereka bawa aman. Beberapa kali juga dia merasakan panik ketika ada kemungkinan barang pribadi yang bisa menunjukkan bahwa kedua orang itu bukan pelajar sipil biasa, terselip, terjatuh, atau—lebih parah, terlihat orang lain.
Fotonya. Foto yang diambil sebelum berangkat ke Eropa. Foto mana yang dibawa?
Ingatan Akio dapat menunjukkan dengan jelas bahwa dirinya pernah diminta untuk berfoto oleh Shousa. Satu foto dengan pakaian sipil, satu lagi dengan seragam formal Jun-i Tentara Kekaisaran. Dia sama sekali tak bermaksud membawa serta foto-foto tersebut, masuk dalam bawaannya karena Jiiya yang memberikan pada hari keberangkatan. Akio hanya ingat mengembalikan salah satu dari dua foto pada lelaki tua yang matanya basah oleh perpisahan itu.
"Pakaian yang unik, dari negara mana?" Pertanyaan lugu itu nyaris membuatnya mencabut senjata.
"Kami dari Manchuria," dusta Shousa dengan lancarnya. "Di sana sedang ramai, kami tak bisa pulang." Lelaki itu menambahkan dengan sendu.
Seketika suasana menjadi muram, tetapi Akio bisa melemaskan kembali otot-otot yang sempat menegang.
"Yah ... di mana-mana sama saja. Perang ini, hanya membuat repot warga biasa macam kita." Orang itu menanggapi seraya mengembalikan foto yang tadi dipungut pada Shousa. Kemudian melanjutkan perjalanan yang terhenti.
Foto diri Akio saat mengenakan hakama sipil. Aman.
"Kau tak bisa berbohong. Karena itulah, kau harus mulai memperhatikan hal-hal sepele seperti foto diri, pakaian sipil mana yang kau kenakan, dan pilihan kata-katamu, Akio."
Teguran yang sudah beberapa kali diucapkan oleh Shousa baru mulai dipahami olehnya.
Kecemasan mulai muncul. Pertama kali dalam hidupnya, Akio mulai merasa kesulitan menjalankan tugas untuk menjaga keselamatan sang Atasan. Sekeliling mereka orang sipil, Shousa tak suka bila mereka sampai harus mengorbankan orang sipil.
"Shousa ... Daerah sini juga mulai tak aman. Sersan Peterson sudah menyiapkan rute untuk menyeberang ke Inggris melalui Denmark, mohon segera bersiap-siap," ucapnya tak seberapa lama sejak kepindahan mereka yang terakhir.
Sudah lama sekali sejak Akio berani mengucapkan dengan lantang kepangkatan atasannya. Sempat membuat lelaki yang dimaksud terkejut. Kenalan mereka yang bernama Peterson itu yang memberi Akio ide untuk memprovokasi atasannya dengan mencoba melanggar perintah.
Tujuannya agar ide mengungsi disetujui. Seharusnya orang yang terguncang lebih mudah untuk dipengaruhi. Namun sang Atasan hanya tersenyum dan menggelengkan kepala.
"Shousa!" Akio mencoba sekali lagi. "Saya tidak bisa meninggalkan Anda. Sudah tak ada lagi personel yang tersisa di daerah ini. Bahkan kegiatan kampus sudah lama berhenti sama sekali. Apalagi yang Anda tunggu?"
"Kau saja yang pergi. Aku masih menyelesaikan sesuatu."
Sesuatu mulai terasa, samar-samar.
Jawaban yang tak ingin didengar olehnya. Tangan diulurkan untuk menarik lelaki di hadapannya supaya segera bangkit bergerak. Namun alih-alih pasrah mengikuti atau menepis, tangan yang jari-jarinya sudah sangat kurus itu malah balas menggenggam.
"Akio, aku tak akan pergi. Lagipula kau sadar, bukan? Kondisiku tidak memungkinkan melakukan perjalanan jauh, apalagi bila harus berlari-lari menembus cuaca dan menyusup ke sana-sini. Dan aku harus menyelesaikan tugas hingga akhir. Demi para bawahan dan teman-teman yang sedang maju di medan pertempuran juga."
Penjelasan yang tak ingin diketahui olehnya. Akio mencoba menarik kembali tangan yang tergenggam, tetapi dia tak kuasa. Padahal hanya genggaman dari orang yang kini lebih kurus dari dirinya.
"Ini perintah," ucap Shousa, terdengar sangat tenang. "Gantikan aku menyampaikan semua isi dokumen yang akan kuberikan padamu pada pihak Tentara Kekaisaran atau Sekutu."
Antara perintah untuk membawa Shousa mundur yang diberikan oleh Rikugun-Chuujo—Letnan Jenderal, ayah kandung Shousa, yang disampaikan melalui Sersan Peterson, dengan perintah dari Shousa sendiri untuk membiarkan atasannya itu tetap tinggal.
Normalnya Akio akan menuruti perintah Shousa. Namun baru kali ini perintah itu berkaitan langsung dengan mengabaikan keselamatan yang bersangkutan. Dia gagal menentukan mana yang seharusnya lebih diprioritaskan.
Belum pernah dia mencoba sekeras itu memutar otak, mencari-cari jalan lain. Kalimat lain. Bujukan lain. Nihil.
Otaknya tak mampu menemukan jawaban.
Sesuatu yang tadinya samar-samar, yang sudah lama tak muncul sejak mengabdi pada Katsujirou Shousa. Sesuatu yang selalu ada, bercokol di suatu tempat dalam inti keberadaannya. Akhirnya timbul ke permukaan.
"Sa-saya menolak!" serunya, sekuat tenaga menepis tangan yang sampai tadi masih menggenggam.
Rasa bersalah dan khawatir berkecamuk ketika melihat lengan yang lebih kurus tertepis hingga tubuh Shousa sempat terhuyung. Kakinya melangkah, bermaksud menangkap sebelum tubuh orang yang paling dihormatinya itu membentur dinding atau lantai.
Namun Shousa tak terjatuh. Menjejak dengan mantap lalu menatap tajam padanya.
"Jangan manja, Prajurit!" hardik lelaki itu. Tak terlalu kencang, tetapi sangat tegas. "Kau pikir nyawaku atau nyawamu ada artinya bila dibandingkan nyawa ribuan kawan sebangsa yang sedang bertugas?"
Shousa membenci rumahnya. Membenci keluarganya. Membenci tanah airnya sendiri. Tetapi Shousa menyayangi orang-orang yang mengabdi kepadanya. Orang itu tidak bisa meninggalkan kepercayaan yang sudah diterima sebagai tanggung jawabnya.
Dirinya memahami sekaligus tidak memahami itu. Dirinya yang hanya punya satu kepentingan, memastikan hidup- ....
"Maaf aku sudah membentakmu. Padahal kau sudah berani keluar dari persembunyian, tetapi aku malah memperlihatkan hal yang tidak mengenakkan."
Dia tersentak. Memandang heran pada wajah tirus yang tetap menatap tajam padanya walau nada bicara orang itu sudah lebih lembut.
"Kamu yang selalu melindungi anak ini supaya tidak jatuh ke jurang keputusasaan, bukan?"
Dari semua manusia yang penting bagi dirinya, Shousa adalah yang terakhir diharapkan menyadari keberadaannya. Dirinya tak mau orang itu tahu ada sisi egois yang hanya mementingkan keselamatan sendiri.
"Tak perlu ketakutan begitu. Menurutku, itu bukan hal yang jelek."
Bagaimana orang yang hendak mengorbankan nyawanya sendiri untuk kepentingan manusia lain bisa menganggap keegoisannya bukan hal jelek, dia tak mengerti.
"Kebebasan dan keinginan untuk hidup itu sesuatu yang bagus. Apabila tidak menyandang nama dan pangkat ini, aku pun akan mengikuti jalan itu."
Dirinya tak mengerti. Sama sekali tidak bisa paham jalan pikiran orang di hadapannya. Namun dia tahu betul keberadaan orang itu sangat penting. Mungkin bila dia sedikit memaksa, dengan mengabaikan keinginan yang bersangkutan, Shousa bisa dibawa pergi.
"Kau sendiri?" tanya Shousa tiba-tiba membuyarkan rencananya. "Apa alasanmu bersikeras untuk mempertahankan hidup anak ini?"
"Saya ... memastikan Kouyou ..." —ah, Shousa tak terlalu menyukai panggilan itu lagi. "Akio ... tetap hidup."
"Benarkah hanya itu?" Pertanyaan kembali diucapkan. Tetap terdengar tenang. Sama sekali tidak ada nada menyelidik atau menggurui.
Namun ingatan lama berputar kembali dalam benaknya. Dalam benak mereka. Langit biru yang terlihat sangat tinggi dengan awan putih menyirip. Lembaran-lembaran kuning, emas, dan kemerahan, berjatuhan perlahan.
Kerumunan orang-orang. Jeritan ngeri dan jijik. Uluran tangan yang diabaikan. Semua itu terasa tak berarti di hadapan aneka warna yang baru pertama dilihatnya.
"Saya hanya ingin ... melihat pemandangan itu lagi."
Saat melihat pemandangan baru itu, dirinya merasakan kelegaan luar biasa. Perjuangannya bertahan hidup tak sia-sia. Pintu pondok itu akhirnya terbuka.
"Bagus sekali!" Komentar orang yang sangat dihormatinya itu dengan senyum mengembang. "Kalau denganmu, aku bisa mempercayakan anak ini dan tugas yang harus dijalankan olehnya nanti."
"Apa yang Anda maksudka- ...?"
Sebuah amplop cokelat. Tidak besar tetapi cukup tebal dikeluarkan dari laci. Mereka tak pernah membuka laci itu. Shousa melarangnya sejak mereka menginjakkan kaki di negara itu. Amplop itu dijejalkan ke tangannya.
"Aku menyuruh 'mu' keluar untuk mendinginkan kepala. 'Kamu' pergi ke tempat Peterson untuk mengantarkan dokumen yang seharusnya kubawa. Jangan menoleh, jangan kembali."
Suara yang tenang. Tak ada keraguan maupun ketakutan. Sosok kurus yang seharusnya ringkih itu terlihat sangat kuat di matanya.
"Apa yang akan Anda lakukan, Shousa?"
"Barang-barangku sudah kamu kumpulkan di belakang meja itu, bukan?" orang itu balik bertanya sebagai ganti jawaban.
Dia mengangguk.
"Bagus. Dengan begitu bila area sini dan area sana meledak, benda-benda yang tersisa akan terbakar habis. Tidak akan ada barang bukti yang tersisa."
Matanya yang sedang memasukkan amplop ke saku dalam jaketnya melebar, melihat beberapa batang dinamit dan kawat panjang yang terhubung pada benda logam berbentuk balok dengan tongkat bertuas. Dikeluarkan begitu saja dari laci lain meja Shousa.
"Sejak kapan ...?" gumamnya tak bisa mempercayai penglihatannya.
Derai tawa kecil berkumandang. "Kalau menyembunyikan yang seperti ini saja tak bisa, apakah aku masih layak disebut atasan kalian?" komentar Shousa. Terdengar geli tetapi juga ada sedikit kepuasan dalam suaranya.
"Oh, tenanglah. Sudah kuperhitungkan supaya ledakan dan apinya tak akan mengganggu bangunan lain. Barang-barangmu abaikan saja, Peterson sudah kuberi mandat untuk menyiapkan penggantinya."
Dirinya tak terlalu peduli dengan keselamatan bangunan lain. Lebih memikirkan sejauh mana Sersan Peterson mengetahui rencana Shousa. Manusia yang memiliki banyak wajah itu memang tak bisa diremehkan.
"Ah, nyaris saja lupa. Ini ... untukmu saja."
Tangannya kembali diraih lalu sebuah jam saku berantai diletakkan. Jam saku yang selalu dikantongi oleh Shousa sejak dirinya masih memanggil orang itu dengan sebutan Wakadanna-sama.
"... Anak itu akan sangat kehilangan." Gumaman itu tak terlalu keras diucapkan tetapi Shousa pasti mendengar juga, karena orang itu kembali tersenyum lebar.
"Aku tak yakin," jawab Shousa seraya memasang dengan cermat batang dinamitnya di beberapa tempat. "Tapi kalau memang benar demikian, aku senang. Usaha kami—aku, Jiiya, dan orang-orang lain tak sia-sia. Kami sudah berjuang untuk mengenalkan berbagai emosi dan ekspresi sebagai manusia padanya, kau tahu itu, bukan?"
Dia mengernyit. "Apakah kesedihan termasuk?"
Shousa terdiam. Mengulurkan dan memilin kawat untuk memasangkan ujungnya pada benda kotak dengan tuas di atas meja. Kemudian berkata, "Sayangnya iya. Tapi, kau bisa rahasiakan itu darinya." Seulas senyum yang sulit dimengerti terlukis di wajah orang itu.
Lalu orang itu menarik kursi, duduk dengan tangan bertopang di meja Membelakangi jendela. Musim dingin membuat matahari terbenam lebih awal. Hanya ada cahaya lampu minyak, tetapi mata terlatih Akio masih bisa menangkap jelas bentuk wajah orang itu.
"... Berapa lama lagi, Shousa?"
"Menurut perhitunganku, 30 detik. Bila tak meledak, masih ada granat tangan ini."
Dia ingin berucap lagi tetapi tenggorokannya tercekat. Menimbulkan pedih. Membuatnya merasa sesak. Matanya panas.
"Kau ... lebih bisa berekspresi," komentar sang Atasan, terkesan. "Kau yakin bukan dirimu yang asli di antara kalian?"
Dirinya pun tak tahu.
"Ah. Sebelum kamu pergi, bagaimana aku harus memanggilmu?"
Dia terdiam. Kai Akio adalah nama yang diberikan Shousa untuk dirinya yang lain. Walau sering menyebut diri dengan nama itu dia tak tahu apakah termasuk untuk dirinya yang ada hanya mengawasi dari kedalaman. Tanpa interaksi dengan manusia lain, mustahil dirinya memiliki nama.
"Kouyou," jawabnya setelah menelan basah yang bisa membuat suaranya meliuk.
"Pilihan nama yang bagus," komentar orang itu.
"Anda ... tidak membenci nama itu?" tanyanya terperangah.
Shousa tertawa kecil sebelum menjawab, "Aku tak pernah membenci nama itu. Yang kubenci adalah pandangan negatif yang dibawa nama itu dari orang-orang di sekeliling kalian. Ditambah—ekspresi datar anak itu, kurasa daripada Aki ... Fuyu lebih cocok. Mungkin nama Akio lebih tepat diberikan padamu saja?"
Pembicaraan itu dia pernah mendengarnya. Ketika itu Shousa yang masih dipanggil Wakadanna menggunakan sebotol ramune dingin, untuk mengajari dirinya tentang perbedaan suhu. Kekontrasan antara genggaman yang hangat dan sengatan dingin di ujung jari itu sangat membekas.
"... Mengapa memberi ka- ... dia nama Akio?"
Pertanyaan itu membuat ekspresi Shousa berubah. Kerut naik di alis dan kening, ujung mulut yang turun, mata yang basah. Kesakitan? Bukan. Kalau tak salah ekspresi itu disebut kesedihan.
"Aku menginginkan sesuatu, tetapi watak dan prinsip hidup yang kupilih sendiri menghalangi. Karena itu, dengan seenaknya aku memberikan nama itu. Berharap kamu ... kalian menggantikanku meneruskan hidup."
Ah. Rupanya gumaman perlahan yang tak sengaja mereka dengar dari Jiiya ketika membaca nama baru saat itu bukanlah memanggil nama Waka. Samar-samar dirinya pun tahu, dari berbagai hapalan dan latihan membaca yang dilakukan. Namun karena tak dianggap penting, kenyataan itu diabaikan.
"Nah, pergilah."
Dirinya menunduk dalam-dalam. Lebih lama dan lebih khidmat dari biasanya. Mengutuk mengapa pengendalian kelenjar air mata mereka jelek, karena gagal melihat dengan jelas wajah terakhir dari sang Atasan. Rupanya memang perasaan pemilik asli tubuh itu demikian kuat hingga mempengaruhi dirinya juga.
Ketukan sepatu kulit bersol tebal menggema dari dinding dan lantai batu. Menuruni tangga apartemen hingga di jalanan luar. Sepi. Penghuni lain sudah mengungsi.
Gelap. Listrik jatah malam ini sudah habis. Alasan untuk keluar, tidak ditemukan.
Mendinginkan kepala. Peterson.
Ah, ini kali pertama Akio berselisih dengan Shousa. Beliau menyuruhnya keluar sekalian mengantarkan dokumen. Ketika merogoh saku dalam jaket, selain amplop tebal, tangannya menggenggam sesuatu yang dingin. Benda bulat pipih dari logam bersepuh perak. Jam rantai milik Shousa.
Mengapa bisa terbawa olehnya? Dia harus mengembalikan benda itu.
Jangan kembali.
Tak mungkin dia tak kembali. Jam saku itu sangat berharga bagi Shousa, karena merupakan peninggalan dari mendiang pamannya.
Baru juga Akio memutar tumit, tiba-tiba tubuhnya terempas oleh angin ledakan. Hanya tersungkur dan lecet akibat gesekan dengan jalan batu, tak ada luka debris. Namun telinganya berdenging.
Masih berusaha menemukan keseimbangan badan yang sempat kacau, dia sekaligus mencari-cari asal ledakan.
Arah itu, "Shousa?!"
Sendi-sendi tungkainya masih lemas. Linu. Nyeri. Tetapi dipaksakan menjejak sekuat tenaga. Berlari. Berlari hingga bisa mencapai tujuan lebih cepat dari biasanya.
Napasnya memburu. Jantung berdebar. Pendengarannya belum kembali, dia bahkan tak bisa mendengar suaranya sendiri yang terus meneriakkan panggilan pada orang yang sudah memberi segala yang menjadikan dirinya ada sekarang.
Apa yang sebelumnya masih bangunan yang cukup layak yang mereka sewa. Kini tinggal puing-puing kayu, batu, dan beton. Asap debu menggelitik pernapasan. Tumpahan cadangan minyak tanah mengalir dari area yang dulunya gudang. Udaranya dingin dan kering, percikan api kecil saja langsung menyulut.
Di antara reruntuhan, sebuah tangan terulur padanya. Walau compang-camping, lengan baju itu familier. Tangan kurus yang sangat dikenal.
"... Shousa?" panggil Akio. Masih ada sisa denging, suaranya sendiri tak seberapa jelas.
Perlahan dia melangkah. Mendekat. Menyambut tangan yang terulur.
"Shousa?"
Aneh. Tak ada balasan. Mengapa orang yang selalu memberinya jawaban itu tidak menanggapi?
Shousa ... mengapa diam? Tolong katakan sesuatu.
"Oi, kamu!" seru seseorang. "Menjauh dari situ. Di sana ada yang terbakar, bahaya!!!"
Shousa ... apakah saya sudah terlalu lancang, hingga Anda tidak menjawab?
"Itu ... Itu ada orang di balik puing!!!"
"Masih hidup?"
Shousa ... Orang-orang mulai ramai berdatangan. Mari kita pergi dari sini.
Ketika lengan itu ditarik, di luar dugaannya terasa ringan. Terlalu ringan. Tubuh manusia tidak seharusnya seringan itu.
Ah, bodohnya. Tentu saja tak ada bobotnya. Karena bahu yang seharusnya terhubung dengan tubuh Shousa, kini terkulai kosong. Dengan ceceran merah pekat menjejak di atas puing-puing.
Tutup matamu. Tutup telingamu. Tutup juga mulutmu. Maka semua akan baik-baik saja.
Kalau benar demikan, suara siapa yang berteriak itu?
Bukan siapa-siapa. Hanya suara tangisan sampah tak berguna yang gagal melindungi majikannya.
Kalau situasi sudah tenang, pergilah! Kita masih punya tugas dari Shousa.
Foto diri Akio yang terbawa dan sempat dipungut oleh orang lewat.
Pada zaman itu, studio foto sudah ada tetapi pose, props, dan latar yang bisa digunakan masih terbatas. Gambar saya buat sendiri dengan sedikit editan supaya terlihat seperti foto monokrom dari zaman itu. Karena itu juga saya tidak jadi menggunakan versi berwarna untuk ditunjukkan di sini.
Bila ingin melihat versi berwarnanya--dengan bonus layout cantik buatan PhiliaFate bisa mampir ke akun gambar instagram saya a/n prakasyita. Versi full terpajang di hilight story.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top