Bonus Chapter - Scrutiny

Pagi yang dingin itu makin terasa suram. Puing-puing batu dan beton berserakan, menghitam sebagian. Gemeretak api yang tersisa dari bara yang hampir padam terdengar lirih disertai desisan setiap kali ada siraman air. Awan kelabu menggantung tebal, tetapi langit tampaknya belum ingin menurunkan salju. Aroma abu, asap, kayu, dan batu hangus, menguar pekat bersama sisa bau mesiu dan daging yang terbakar.

Derak langkah ketika sol tebal botnya menginjak puing membuat beberapa orang yang sedang memadamkan api dan bara yang tersisa, menoleh. Pandangan-pandangan curiga terarah tetapi terlalu lelah untuk mencegahnya mendekat. Di tengah kekacauan yang baru saja reda itu terlihat sosok seseorang, berlutut sembari memeluk sesuatu.

"... Kai," panggil Peterson pada sosok yang berlutut itu.

Mendengar namanya disebut, sosok itu pun mendongak kemudian perlahan memutar badan. Dengkus dan helaan napas tertahan menyebar sporadis pada beberapa orang yang ikut menjadi saksi pada apa yang sedari tadi dipeluk oleh Akio Kai. Peterson mengernyit pada wajah sembab dan pandangan kosong sosok yang selama ini dijulukinya—dalam hati, sebagai Dobermann.

Sersan Reinhald Peterson bukan seorang filantropi yang menebar kebaikan tanpa pamrih, tetapi tak bisa dikatakan sebagai orang jahat juga. Hanya seseorang yang memiliki keahlian untuk mengamati dan menyesuaikan diri dengan sekitarnya. Keahlian yang sedikit terlalu baik dibanding orang kebanyakan.

Demi peran yang harus dijalani saat bertugas sebagai mata-mata, dia bisa mengatur sikap dan perasaannya untuk menyukai atau membenci sesuatu. Entah itu berupa: barang, hobi, atau bahkan pribadi seseorang. Banyak wajah yang dipakai, banyak juga kehidupan dijalani. Namun dia juga menarik garis tegas untuk tetap menyimpan dirinya yang asli, supaya tak terlalu tersesat.

Rekan seprofesi maupun kenalan lain banyak yang menganggapnya gila karena tetap mempertahankan persona asli. Menurutnya justru mereka yang gila. Tak ada untungnya terlalu larut dalam peran dan malah mengacaukan misi.

Tidak sedikit yang kemudian menuduhnya menyimpang. Reinhald tidak menyanggah. Dia sadar betul sekat-sekat simpati, empati, dan koridor batasan moral yang bebas dia bongkar-pasang secara mandiri itu tak wajar.

Mungkin berkat itu Reinhald mendapat julukan Doppelgänger. Bukan hanya karena keahliannya menyamar menjadi orang lain, tetapi juga karena ada anekdot: bila orang bertemu dengan Reinhald yang sedang menyamar sebagai mereka, maka ajalnya akan tiba—persis seperti mitos tentang makhluk gaib yang pandai meniru wujud itu.

Namun keahliannya seperti mentah di hadapan dua orang yang mengaku bernama Kai itu. Biarpun mengerahkan segenap kemampuan, Reinhald tak yakin bisa menirukan mereka dengan baik. Yang seorang, terlalu unik sementara yang seorang lagi ... terlalu kosong. Keduanya terlalu mencolok untuk bisa digunakan sebagai samaran.

Jantung Reinhald nyaris berhenti ketika kali pertama bertemu. Lebih tepatnya, saat dia mendekat untuk menepuk pundak orang yang diperkirakan sebagai kliennya, moncong pistol sudah menyentuh pinggang. Tersembunyi di balik mantel, tetapi dalam jarak yang sangat dekat hingga ujung dingin pipa logam terasa menembus jaketnya.

Orang yang seharusnya dia temui memang bukan warga sipil, informasi yang didapatnya malah memperkirakan pangkatnya cukup tinggi di JIA, mungkin perwira muda. Karena itu Reinhard tidak heran bila setidaknya salah satu dari mereka membawa senjata—dirinya sendiri juga menyelipkan revolver kecil di salah satu lengan baju. Akan tetapi dia tetap tak menyangka salah satu dari mereka tak ragu menodongkan senjata di tengah keramaian kota.

Pengalaman Reinhard mengamati orang mengatakan, todongannya bukan sekadar ancaman kosong belaka.

Tangannya masih mengambang belasan centimeter dari pundak sasaran ketika sang klien menyapa ramah, "Herr Peterson. Kau datang lebih cepat dari janji, anak ini jadi kaget."

Reinhald melirik pada 'anak' yang dimaksud, sosok penodong berwajah Asia Timur dengan postur yang nyaris serupa dengan dirinya. Cara kaget yang sungguh tidak biasa. Sang Klien pun walau penuh senyum, ada karisma menekan yang sulit dijelaskan.

"Maaf, sepertinya jamku terlalu cepat," Reinhald buru-buru menanggapi. "Anda benar Mr. Kouichirou Kai, kan?" tanyanya seolah yang perlu dikhawatirkan hanyalah dia salah mengenali orang.

"Kau tidak salah," jawab kliennya kalem. "Mari, kita cari tempat yang enak untuk bicara." Lelaki Asia Timur itu melangkah lebih dulu. Menunjukkan jalan.

Reinhald hanya bisa melirik pada sosok yang masih belum menarik senjata yang menempel ketat padanya.

"Oh, nyaris lupa," gumam Kouichirou. "Akio, dia rekan. Jangan digigit, ya."

Barulah moncong pistol ditarik. Suara klik lembut, menandakan pelatuk dikembalikan ke tempat semula. Keringat dingin yang merembes membuat embusan angin musim semi terasa lebih menggigit.

"Dia? Adik sepupuku, Akio Kai," Kouichirou memperkenalkan sosok yang sedikit lebih jangkung darinya, dengan senyum lebar. Sementara orang yang diperkenalkan hanya memberi anggukan kecil tanpa perubahan ekspresi.

Reinhald tak menemukan secuil pun tanda-tanda kekerabatan di antara kedua orang yang duduk di seberang meja, kecuali sama-sama berwajah Asia Timur. Malah lebih seperti hubungan antara atasan dan bawahan—tidak, lebih tepat kalau dikatakan: majikan dan anjing penjaga. Rambut hitam cepak, perawakannya yang ramping, dan sikap stoic-nya memang mengingatkan pada Dobermann.

Sepanjang pertemuan, pembicaraan didominasi oleh dirinya dan Kouichirou, si Dobermann sama sekali tidak ikut campur. Hanya duduk diam, tetapi matanya ikut memperhatikan apa yang ditorehkan oleh kliennya di atas kertas dengan tekun. Sesekali mengucapkan angka-angka yang menjadi jawaban dari pertanyaan Kouichirou. Seketika, seperti tak perlu berpikir ulang.

Namun ketika Reinhald mencoba menanyakan hal umum—sekadar basa-basi, si Dobermann tidak menjawab. Bukan karena dilarang, bahkan orang yang mengaku sebagai kakak sepupunya membantu menjawabkan, sementara dia hanya mengangguk saat menyetujui atau menggeleng saat tidak.

Aneh.

"Wajah Anda berbeda," ucap si Dobermann pada saat Reinhald sedang menyamar. Nyaris membuatnya terjungkal dari kursi taman tempatnya berbaring. Mereka sudah beberapa kali bertemu dalam rangka bertukar informasi, tetapi baru kali ini Akio Kai yang datang sendiri tanpa disertai Kouichirou.

"Hanya karena aku menumbuhkan kumis dan janggut, Nak," Reinhald menanggapi dengan suara parau lelaki paruh baya pada sosok yang berdiri tegap di hadapannya. "Daripada meracau soal hal yang tak penting, bagaimana kalau kau belikan aku makan siang. Kasihanilah gelandangan tua ini."

Alis si Dobermann naik sedikit sebelum mengernyit bingung, kemudian berkata dengan tatapan lurus pada mata lawan bicaranya, "Tapi Anda bukan geland-."

Reinhald harus buru-buru bangkit untuk merangkul dan menepuk-nepuk kencang punggung pemuda itu. "Terimakasih, Nak. Aku tahu kau ingin menghiburku, tetapi sungguh ... Aku tak peduli dikatai gelandangan juga, asal bisa makan makanan hangat."

Dia lalu menggiring pemuda itu ke kedai makanan terdekat dan memintanya membelikan sepiring makan siang. Setelah pembicaraan yang alot—sulit sekali membuat si Dobermann paham maksudnya, barulah Reinhald bisa mendapatkan apa yang dititipkan oleh kliennya melalui pemuda itu.

Sangat aneh.

Pengalaman dan koneksi Reinhald membuatnya tak mencari tahu lebih lanjut identitas Perwira JIA dan ajudan setianya itu—tidak, kata setia saja tak cukup untuk menggambarkan Akio Kai. Itu pengabdian penuh. Benar-benar seperti Dobermann—ras anjing penjaga yang sosoknya ramping, berbulu gelap pendek, dan terlihat seram. Cukup asal dia tahu mereka dapat diajak bekerja sama.

Sebagai anggota militer dengan pangkat sersan, Reinhald paham betul mereka perlu berurusan dengan nyawa dan bila diperlukan akan berusaha menghabisi lawan lebih dulu. Tetapi dia melihat sendiri bagaimana orang-orang yang ketahuan hendak mencelakai majikannya dihabisi oleh si Dobermann tanpa sempat mengucapkan T dari Tolong atau M dari Monster. Hampir sama seketikanya dengan ketika sang atasan menanyai jawaban sebuah perhitungan.

Berbahaya.

Instingnya mengatakan untuk jauh-jauh dari mereka berdua, tetapi data yang didapat dari Kai yang 'Kakak Sepupu' terlalu bagus untuk diabaikan. Mereka jadi sering kontak dan saling memanfaatkan. Murni bisnis.

Situasi di sekitar mereka tiba-tiba berubah drastis. Seorang Archduke dan istrinya terbunuh, perselisihan antar kubu-kubu yang berkepentingan pun meruncing hingga perang tak lagi bisa dihindari. Negara tempatnya mengabdi menyatakan untuk tidak memihak, tetapi Reinhald tetap tak ditarik pulang untuk memantau situasi.

Selain karena setengah darah Deutsches, juga karena data yang dibawanya terlalu bagus. Tidak kompeten bisa mengancam nyawa—sendiri maupun banyak orang, tetapi terlalu kompeten juga ternyata tidak baik. Sial betul.

Kai 'bersepupu' juga tak pulang. Ada penelitian di universitas yang belum selesai, sang Kakak Sepupu berkilah. Menemani sang Kakak, jawab sang Adik Sepupu. Yah, itu terserah mereka. Bukan tanggung jawab Reinhald bila terjadi sesuatu.

Perang juga masih jauh di perbatasan sana, belum berpengaruh pada kehidupan warga sipil. Suasana menjadi agak tegang tetapi tidak terlalu bermasalah.

Tentu saja kondisi itu tak berlangsung lama. Semakin jauh perang berlangsung, keadaan pun memburuk. Blokade menyulitkan untuk impor, bahkan banyak suplai barang berhenti sama sekali. Berbagai kebutuhan sehari-hari untuk warga sipil mulai dipotong untuk kebutuhan perang. Segala kegiatan yang dianggap tak penting, satu-persatu mulai dihentikan—termasuk perkuliahan.

Reinhald sedang menyiapkan misinya sendiri ketika atasannya memanggil. Bukan orangnya langsung, tentu saja. Hanya seorang ibu-ibu sekretaris yang menemuinya di ruangan khusus yang dijaga ketat.

Ada titipan surat, dari petinggi salah satu negara pihak Sekutu. Mengingat negara tempat Reinhald mengabdi bersikeras untuk bersikap netral, pastilah petinggi yang menitipkan surat itu memiliki kenalan yang cukup VIP di negaranya. Begitupun surat itu tak luput dari bekas-bekas pemeriksaan.

Dia diminta menyampaikan surat itu pada putera sang Petinggi, nama yang tercantum tak ada dalam daftarnya. Seorang perwira dengan pangkat Mayor—cukup tinggi, berani juga menetap di negara yang sedang berperang di kubu yang berbeda. Perwira itu belajar di salah satu universitas ternama.

Seperti seseorang yang dikenalnya.

Apabila sudah tak memungkinkan untuk mengontak lewat kampus, bisa dilacak melalui ajudan yang ikut belajar di kampus yang sama—Calon Perwira, dengan nama Kai Akio. Reinhald mengernyitkan kening. Dia berharap itu hanya sekadar mirip dengan urutan terbalik, tetapi catatan dari atasannya menjelaskan: Kai–surname, Akio–given name.

Hanya ada seorang dengan nama itu dalam daftarnya. Si Dobermann.

Reinhald mengumpat kencang. Menimbulkan lirikan mencela dari ibu-ibu sekretaris yang sudah berbaik hati menyampaikan pesan dan menjawab detil hal-hal yang tak termasuk dalam catatan. Dia harus meminta maaf setelahnya, sebelum diizinkan meninggalkan ruangan.

Putera Jendral. Dari keluarga terpandang dengan sejarah cukup panjang. Menjelaskan karisma yang terasa dari sang 'Kakak Sepupu'. Berarti ajudan bernama Kai ini bisa dibilang abdi setia keluarga mereka, mungkin sudah mengabdi jauh sebelum bergabung dalam JIA.

Wajah tanpa ekspresi sang 'Adik Sepupu' yang namanya dicatut untuk jadi nama samaran majikannya sempat menunjukkan perubahan ketika Reinhard menyerahkan titipan surat itu. Tak terlalu jelas apa yang dipikirkan. Dirinya juga belum cukup mengenal lelaki itu untuk bisa menebak.

Minggu-minggu berlalu, bulan pun berganti tahun. Reinhald Peterson masih belum diizinkan untuk pulang. Gelisah tentu saja ada, tetapi masih ada sejumlah personel yang ikut tinggal. Aktivitasnya berkurang drastis dan mereka hanya boleh saling menemui bila kondisi genting saja.

Ketika sedang menjalani pekerjaan sipilnya—untuk biaya hidup sehari-hari, selain tak boleh terlalu mengandalkan subsidi instansi, tak mungkin ada orang bisa hidup tanpa bekerja di tengah situasi susah, bakal mencurigakan– seseorang tiba-tiba mendatangi Reinhald. Topi, syal, dan mantel menghalangi pandangan pada wajah orang itu.

"Ser- ... Herr Peterson," sapa orang itu. Berdiri tegap, dari bawah topinya kedua mata lurus memandang pada lawan bicara. Reinhald langsung tahu siapa dia.

"Tolong bagi makanan Anda," ucapnya, tanpa tedeng aling-aling. Seandainya bukan Akio Kai yang bicara, Reinhald bakal memberi satu-dua tempelengan—yah, ada kemungkinan dirinya keburu ditempeleng duluan juga. Setidaknya si Dobermann sudah berusaha menutupi identitasnya.

Setelah membuat alasan yang bagus pada rekan kerja yang lain, Reinhald menggiring tamunya ke tempat aman untuk bicara.

Sejak kedua 'Kai' terpaksa pindah karena penampilan yang terlalu menarik perhatian, Reinhald jarang kontak dengan mereka lagi. Pun saat mereka masih sering kontak, Kai 'adik' selalu tampak tegang dan waspada padanya. Kecuali diperintahkan langsung oleh Kai 'kakak' tidak akan pernah inisiatif menghubungi Reinhald. Karena itu melihat si Dobermann datang sendiri, berarti mereka sedang sangat tersudut.

Sempat terlintas dalam benaknya untuk mengerjai sedikit, balasan atas sikap waktu mereka bertemu pertama kali. Namun sebuah kantong kumal membuatnya terdiam. Isinya beberapa keping emas. Mata terlatih Reinhald mendeteksi emas-emas itu asli, hanya saya belum tahu pasti berapa karat kadarnya.

"Bayaran," jelas Kai, pendek. Lalu karena Reinhald masih melongo, dia kembali bertanya, "Kurang?"

"INI TERLALU BANYAK!"

Dia salut pada Kouichirou Kai, bisa menghadapi makhluk macam itu. Ah, dia tahu nama asli sang Perwira Menengah bukanlah itu, tetapi bila tidak meyakinkan diri seperti itu, Reinhald akan kesulitan bila suatu saat dirinya harus menghadapi interogasi pihak keamanan setempat.

Pada akhirnya, dia hanya mengambil sekeping—itu saja sudah sangat lebih dari cukup. Selain sedikit bersimpati pada nasib dua orang itu, dia tak mau kalau sampai Kai–yang bawahan, mengetahui rencananya untuk mengerjai dan memberikan balasan. Ow ... Lubang-lubang timah di tiga titik maupun nadi yang tersayat jelas bukan sesuatu yang menyenangkan.

"Tak ada Steckrüben?"

"Steckrüben? Kau ingin turnip besar itu?" ulang Reinhald heran.

"... Beliau, ingin mencoba."

Beliau yang dimaksud pastilah majikannya.

Sayur umbi yang pernah dicela orang-orang Deutsches dan hanya berfungsi sebagai makanan ternak. Varian berukuran besar yang berasal dari negara tetangga mereka itu belakangan populer sebagai pengganti kentang. Begitu pun masih ada orang lokal yang mencibir pada subsidi Steckrüben yang mereka terima.

Permintaan Kai itu tak ada nada mencela, murni ingin memenuhi rasa penasaran majikannya.

"Ya, aku punya." Reinhald menjawab, kemudian sekali lagi membuka peti persediaan makanannya untuk mengambil dua bongkah yang paling besar. "Kau bisa memasaknya? Aku bisa kasih resep," tambah Reinhald seraya mengeluarkan kertas dan pena.

Kai menggeleng. Tidak jelas, apakah itu berarti dia tak membutuhkan resep atau tidak punya resep.

"Saya tidak bisa membaca resep," jawab Kai sebelum Reinhald sempat bertanya lagi.

"... Kau tak bisa masak?"

"Saya bisa memasak."

"... Yah, kau berikan saja resepnya pada Mr. Kai—Koichirou. Kalau dia pasti paham."

Kai yang ada di hadapannya mengangguk. Kemudian pergi setelah menggumamkan ucapan terimakasih.

Mengkhawatirkan.

Mungkin Reinhald perlu meluangkan waktu untuk menyusul ke tempat tinggal Duo Kai itu. Sekadar melihat-lihat situasi. Mungkin bisa mencegah salah satu atau malah keduanya bertindak gegabah dengan segala keantikan mereka.


(Bersambung ke pengamatan berikutnya)

Catatan Penulis~

Halo, semuanya! >w<)/

Upload pertama pada bulan pertama dan minggu pertama di tahun 2024! Iyeeey~~~
(ketok-ketok sumpit di meja)

Saya masih belum bisa move-on dari cerita ini. Jadi selama bulan Desember, waktu saya banyak dihabiskan untuk 'mengobrol' dengan Sersan Peterson, yang ketiban sampur menjadi Narator (walau dengan POV 3). Rencana awal hanya menambah satu chapter, tetapi karena jumlah kata membengkak melebihi 3500 kata, akhirnya saya pisah jadi dua. 

Mengenai Steckrüben atau dikenal juga dengan sebutan Rutabaga, atau Turnip besar yang disebut-sebut dalam cerita, adalah jenis sayuran umbi yang masih sekeluarga dengan Daikon (lobak putih besar khas Jepang) dan Turnip. Di Era Great War, atau yang kemudian kita kenal sebagai Perang Dunia II,  negara yang ditinggali oleh Duo Kai itu mengalami kesulitan pangan.

Selain karena jumlah petani yang berkurang juga karena sebagian besar bahan kebutuhan dikirim untuk keperluan militer. Blokade yang menutup jalur impor dari negara-negara yang berada di pihak yang berseberangan juga memperparah keadaan. Kekurangan gizi jadi ancaman besar.

Karena itu, pemerintah mengambil langkah drastis, dengan membagikan Steckrüben sebagai bahan pangan alternatif. Selain karena ukurannya cukup besar, kelebihan utamanya yakni mampu tumbuh di cuaca dingin, memastikan para petani tetap bisa menanam dan memanen. Permasalahannya ada pada stereotipe masyarakat setempat yang sebelumnya hanya menggunakan Steckrüben sebagai makanan hewan ternak--padahal negara lain yang menjadi tempat asal sayuran itu, sudah biasa mengonsumsi.

Butuh waktu hingga akhirnya sayuran umbi tersebut bisa diterima oleh masyarakat, mungkin karena desakan perut yang lapar juga. Sementara Waka atau Shousa atau di sini dia memperkenalkan diri dengan nama samaran, Kouichirou Kai, langsung tertarik untuk mencoba sejak pertama mendengar tentang Steckrüben.

Agak lain memang Beliau ini.

Apabila kawan-kawan penasaran seperti apa wujud Steckrüben, bisa dilihat di foto-foto yang saya dapatkan lewat wikipedia di bawah ini. Ada juga contoh menu makanan yang menggunakan bahan utama Steckrüben.

Di bawah ini adalah Rutabaga yang masih lengkap dengan serabut akar dan daun-daunnya, varietas yang sedikit berbeda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top