Bonus Chapter - Ramune


Tahun 37 Meiji, 1904 A.D.
Paviliun Pekerja.


"Sepertinya menjadi tentara cocok untukmu, Kouyou," begitu komentar Jiiya-sama. Salah satu yang paling dihormati dari para Pelayan Senior yang banyak membantu anak muda itu. Ketika dirinya menanyakan perihal isi catatan yang diberikan oleh Waka.

"Hamba bukan lagi Kouyou, Jiiya-sama. Wakadanna-sama menganugerahi hamba nama: Kai Akio," jelas bocah itu seraya mengambil selembar kertas yang dilipat rapi dari balik kimononya.

Jiiya—lelaki yang bertugas sebagai pengasuh sekaligus pengawas bagi anak keluarga terpandang, meraih dan membuka lipatan kertas untuk menemukan tiga huruf yang ditulis dengan pena, sesuai dengan apa yang dikatakan oleh anak muda itu. Tulisan tangan Waka—Tuan Muda mereka.

Mata teduh Jiiya-sama meneliti sosok anak muda di hadapannya. Bertahun-tahun ikut mengawasi anak muda itu membuatnya sedikit banyak bisa menebak emosi yang sangat mahal ditampakkan. Anak itu sedang senang—atau setidaknya, sangat bersemangat untuk bisa memenuhi titah sang Tuan Muda, Katsujirou.

"Baiklah," ujar Jiiya pada akhirnya. "Hamba ini akan membantumu menjalankan program dari Waka ini ... Kalau hanya itu yang ingin kau sampaikan, kau boleh kembali."

"Hamba menghaturkan banyak terimakasih, Jiiya-sama. Hamba permisi."

Kemudian membungkukkan badan dalam-dalam, sebelum pergi meninggalkan ruangan.

"Mungkin dimulai dari cara bicara dan menyebut diri sendiri yang terlalu kuno itu," desah Jiiya, sepeninggal anak muda yang sejak mendapat asupan nutrisi yang bagus, tumbuh menjadi anak yang terbilang jangkung untuk ukuran sesamanya.

Selain Waka, yang bertanggung jawab mengajari anak muda itu macam-macam pekerjaan sebagai pelayan, adalah dirinya. Sangat sulit, karena penjelasan lisan bisa diartikan sangat harfiah. Cara tercepat untuk mengajari adalah memberinya contoh langsung, itu pun harus ditunjukkan oleh orang yang ahli—karena dalam beberapa waktu saja, anak muda itu akan bisa meniru dengan sempurna, termasuk segala kesalahan yang dilakukan si pemberi contoh.

Bahkan ke cara bicaranya yang sudah jarang digunakan oleh pemuda masa itu.

Jiiya termanggu pada tulisan nama yang ada di tangannya. "Meikai Katsujirou," gumam lelaki tua itu. Membaca pelafalan lain dari nama Akio. "Nama yang bagus. Ironis, tetapi sangat bagus."

Pelayan tua itu menghela napas. Nama kecil Waka adalah Katsujirou, ditulis dengan kanji yang berbeda. Kemenangan dan (anak) lelaki kedua.

Memberi Akio namanya sendiri, lalu diawali Meikai, seolah-olah Waka ingin menjadikan anak itu perpanjangan tangan—atau malah bayangannya. 

Tahun 44 Meiji, 1911 AD.
Salah satu ruang pribadi Perwira.

Seorang lelaki melewati usia paruh baya dengan postur yang masih bagus, berjalan memasuki ruangan. Mengenakan pakaian ala Barat dengan haori sebagai jubah terluar, langkahnya cepat tetapi nyaris tak bersuara. Ketika jarak dengan sosok yang dituju sudah tinggal sepuluh langkah, dia berhenti. Lalu membungkuk dalam-dalam.

"Waka, selamat atas promosi Anda. Jiiya ini menghaturkan ucapan syukur dan doa semoga pangkat baru Anda dapat memberi berkah– ...."

"Jiiya," potong Katsujirou. Tak menyembunyikan ketidaksabarannya. "Berapa banyak yang bertahan?"

Lelaki paruh baya yang sudah sangat lama mengasuhnya bertanya-tanya pada sosok belakang sang Tuan Muda. Ekspresi macam apa yang disembunyikan dengan bersikeras memunggungi dirinya itu?

"... Setengah dari anak-anak yang mengikuti program dari Anda sudah keluar sejak beberapa bulan pertama pelatihan. Sisanya rata-rata cukup bertahan, tetapi tak bisa menembus peringkat Kopral."

"Bukan itu yang kutanyakan."

Lelaki paruh baya itu kembali bungkam beberapa saat sebelum mulai menjawab, "Tidak ada yang bertahan. Walau pangkatnya yang tertinggi, prajurit lain akan memilih untuk menjadi bawahan orang lain. Prajurit yang tak beruntung biasanya mencoba bertahan hingga pada akhirnya memaksa minta dipindahkan—sisanya cedera parah atau mati dalam tugas."

Katsujirou bergumam, "Tak kukira akan separah itu."

"Ini hanya pendapat pribadi hamba dari pengamatan terhadap perilakunya," lelaki tua itu memulai. "Tetapi anak itu sepertinya mengira semua orang lain pasti memiliki kemampuan setara atau di atas dirinya. Karena itu dia ... Kouyou menjadi tak memiliki ampun pada yang dianggapnya tak berguna."

"Jiiya, jangan panggil dia dengan nama itu lagi!" sergah Katsujirou.

"Hamba mohon ampun bila menyinggung perasaan Anda, Waka. Tetapi bagi Hamba dia masih bocah Kouyou mungil yang Anda ajari membaca setiap kali liburan datang."

Kalimat itu membuat sang Tuan Muda menyadari bahwa lelaki tua yang sudah menyisihkan waktu di tengah kesibukannya sendiri untuk melaporkan segala hal padanya itu berbeda dengan orang-orang lain di kediaman mereka. Kouyou dalam benak Jiiya bukanlah bocah buangan yang dibiarkan mati kelaparan, terkunci dalam gubuk kecil.

Satu helaan napas panjang dilepaskan sebelum Katsujirou memutar badannya. "Sudah kuputuskan," ujar sang Tuan Muda setelah beberapa saat tenggelam dalam pikirannya sendiri. "Aku akan menerima tawaran belajar di sekolah teknik Deutsches Kaiserreich itu."

"Waka. Bukankah itu ...?"

Lelaki di pertengahan usia 20 tahunnya itu mengangguk. "Aku tahu, Jiiya. Karena itu Akio akan kubawa juga. Rumah ini- tidak ... negara ini tak bagus untuknya. Kurasa menemui kebudayaan baru dan pengetahuan baru akan membuat fokusnya berubah dan tak lagi terpaku pada pertempuran."

Ekspresi lelaki paruh baya tampak sangat sulit. Seperti menimbang-nimbang apakah kata-kata yang mulai berkumpul di ujung lidahnya itu patut untuk diucapkan atau tidak.

"Waka ...," akhirnya dia memulai. "Anda yakin kepergian Anda nanti betul-betul untuk anak itu, bukan hanya karena Anda ingin keluar dari negara ini?"

Tak ada jawaban.

Prajurit yang sempurna dan efisien. Patuh pada perintah atasan. Tak mudah kasihan—tepatnya, tak mengenal empati. Cepat dalam mengerjakan tugas. Dan—selama ditunjukkan caranya dengan benar, teknik sesulit apapun bisa ditiru dan bisa diulangi berkali-kali dengan akurasi tinggi.

Kekurangannya adalah tidak fleksibel dan kesulitan untuk berkomunikasi dengan normal. Namun, selama tahu caranya, siapapun bisa menggunakan anak itu. Berbahaya.

Sejauh ini dirinya berhasil mencegah kemungkinan terburuk dengan mengambil posisi kuasa tertinggi terhadap anak itu, hingga tidak ada orang lain yang bisa sembarangan 'menggunakan'nya. Bahkan atasan yang berpangkat lebih tinggi dari mereka sekalipun.

Tidak manusiawi adalah pikiran pertama yang terlintas ketika pertama melihat pandangan kosong anak itu. Ada yang mengatakan karena kepalanya pernah cedera. Ada juga yang bilang sesuatu pasti sudah membuatnya terlalu trauma sampai tak bicara. Namun tak ada yang tahu pasti penyebabnya.

Apapun itu menyebabkan anak yang kemudian dipanggil Kouyou menjadi sangat sistematis dan terarah dalam melakukan apa saja. Bahkan untuk hal se sepele mengambil minum. Dia akan melakukan hal yang persis sama pada cangkir atau gelas yang sama.

Keteraturan yang bisa membuatnya sangat bagus bila menjadi ilmuwan atau pekerja pabrik. Sayang untuk yang pertama masih sangat sulit. Pendidikan modern hanya mencapai anak-anak beruntung seperti dirinya. Dia sudah melihat beberapa anak kurang beruntung yang diberi kesempatan belajar, ujung-ujungnya hanya dimanfaatkan oleh para penguasa.

Usahanya untuk mencegah itu terjadi—dengan memberi kekuatan dan status pada anak itu, hingga tak ada yang berani memanfaatkan, bisa dikatakan berhasil. Namun bisa jadi jalan yang dipilihnya itu justru malah memperburuk keadaan.

Ada sedikit harapan dengan diserahi tanggung jawab dan anak buah, bisa menumbuhkan emosi, rasa kebersamaan, dan empati yang sepertinya tak terlalu berkembang dalam diri anak itu. Ternyata tak berhasil. Malah sepertinya mereka menciptakan monster baru.

"Kalau dikatakan rencana pergi ke Eropa itu bukan untuk diriku sendiri, sepertinya tidak tepat," ujar Katsujirou pada akhirnya. "Tapi, apa kau yakin... bisa mengawasi anak itu selama aku tak di sini, Jiiya?"

Lelaki paruh baya di hadapannya menundukkan kepala. Dulu di masa ketika fisiknya masih prima dan posisinya kuat sebagai asisten Kepala Keluarga sebelumnya, mungkin bisa. Sekarang dia sudah pensiun. Jabatan pengawas yang diberikan oleh tuan mudanya mulai terasa sebagai belas kasihan daripada sesuatu yang layak disandang.

"Mohon maaf yang sebesar-besarnya, Waka," ucap lelaki paruh baya itu. "Hamba tak mampu."

"Yah, kita masih perlu memikirkan bagaimana nanti bila anak itu tak lulus ujian. Karena satu-satunya jalan untuk membawa Akio—selain memberinya promosi agar cukup layak untuk jadi ajudanku, adalah dengan mendapat beasiswa. Aku tak yakin Kekaisaran mau membayari ongkos belajarnya."

Tahun yang sama.
Di sebuah Lembaga Pendidikan.

"Dia lulus?" ulang Katsujirou. Ada nada tak percaya.

Daya ingat anak itu memang bagus. Namun tak disangka Akio benar-benar berhasil mendapatkan beasiswa. Setidaknya, bila lulus ujian tertulis, Katsujirou memprediksi anak itu akan gagal di tahap wawancara. Pada saat itu terjadi Katsujirou bersiap akan menggunakan kedudukannya untuk meloloskan Akio.

"Shousa," panggil pemuda dengan ekspresi datar yang segera berdiri tegap menyambut kedatangannya.

Dengan berpakaian sipil pun, orang akan langsung tahu pemuda itu memiliki latar belakang militer dengan sikap setegap itu. Di siang hari yang terik, bagaimana pemuda itu bisa tetap bersiaga saat menunggu di luar tanpa meneteskan banyak keringat, Katsujirou tak mengerti. Melihatnya saja sudah panas.

"Aku haus," keluh Katsujirou.

Mengambil hasil ujian seharusnya tak makan waktu, tetapi dia harus berbasa-basi dulu dengan penanggung jawab yang menangani mereka. Untungnya Akio tak perlu ikut masuk. Kejujuran anak itu adalah mimpi buruk bagi percakapan di pergaulan kalangan atas.

"Tujuh puluh lima meter dari sini, di sebelah kiri jalan, ada Kissaten yang biasa didatangi oleh pelajar sekitar sini," pemuda itu menanggapi dengan sigap.

"Hmm ... Aku sedang ingin ramune." Katsujirou menyukai menu dan suasana kafe, tetapi dirinya tak pernah bisa bersantai di Kissaten karena terlalu banyak orang-orang yang mengenal wajah dan statusnya di sana.

"Seratus lima meter dari sini, belok ke kanan, masih di kiri jalan, ada Dagashiya yang menyediakan ramune," ucap pemuda itu lagi.

Katsujirou terdiam. Melirik pada pemuda di sisinya. Walau masih agak kurus, posturnya cukup jangkung, melebihi rata-rata tinggi kolega mereka—bahkan di ketentaraan sekalipun. Ditambah wajah tanpa ekspresi yang bisa membuat siapapun yang baru bertemu langsung segan.

"Kamu ... pernah beli di sana?"

"Siap. Ya, saya pernah."

"... Dengan pakaian sipil?"

Tidak terbayang bagaimana wajah penjual ketika sosok macam Akio masuk ke tokonya untuk membeli ramune. Katsujirou bisa membayangkan pemuda itu duduk di bangku kayu yang kekecilan dan meminum ramune dari botolnya dengan wajah datar. Bakal tampak makin parah dengan seragam dinasnya.

Kurang pandai membaca suasana memang hal yang umum terjadi pada orang-orang yang terlalu cocok menjadi prajurit. Sesuatu yang nantinya bakal menyulitkan mereka untuk mendapat promosi karena yang bersangkutan pasti tidak akan bisa memberi omongan yang baik-baik pada para petinggi.

"Sekali dengan pakaian sipil," jawab pemuda itu cepat. Sesaat diam, tetapi karena atasannya masih melirik tajam, dia kembali meneruskan, "Tiga kali dengan seragam dinas harian, sekali dengan seragam lapangan."

Satu lagi kelemahannya, Akio tidak bisa berbohong. Dia bisa memilih untuk tidak menjawab, tetapi tak akan pernah bisa berbohong. Apabila seseorang seperti Katsujirou yang memiliki pengaruh besar memberinya sedikit tekanan saja, dia akan segera bicara.

"Bakal sulit, tetapi mungkin kita bisa cari cara untuk mengakali itu," keluh Katsujirou lagi. Menyuarakan pikirannya sambil menerima sebotol ramune yang baru saja diambilkan dari kotak es oleh Akio.

"Bukankah Anda sudah tahu cara meminum tanpa terhalang kelereng, Shousa?"

Lihat. Kalau sedang menggemaskan begini, siapa yang mengira pemuda di hadapannya adalah orang yang sama dengan yang dijuluki Penjagal di lapangan.

Tahun 45 Meiji, 1912 AD.
Kamar Apartemen di Deutsches Kaiserreich.

Selembar surat dengan kop Kekaisaran diletakkan di atas meja. Hening. Aroma musim panas dibawa angin dari jendela lebar. Tak ada gemerincing furin. Tak ada jeritan memekakkan telinga dari semi. Tak ada aroma tatami.

Pertengahan Musim Panas, jauh di benua asing, kabar pergantian Kaisar tiba di tangan Waka.

Akio memang sulit membaca raut wajah manusia, tetapi ekspresi Waka jauh lebih sulit lagi. Padahal bukan wajah tanpa ekspresi seperti dirinya atau raut galak Jiiya. Lembut, ramah, dan penuh senyum. Namun tak ada yang tahu apa yang sebetulnya dipikirkan.

"Bagaimana dengan yang lain?" adalah satu-satunya yang keluar dari mulut lelaki itu.

"Siap. Rombongan terakhir sudah lama pulang, berdasarkan jadwal keberangkatan kapal ... Mereka bertolak dari pelabuhan Hamburg, kira-kira dua minggu lalu, Shousa."

"Ah, sayang sekali," komentarnya. Terdengar terlalu ringan.

Kemudian bangkit untuk menuangkan isi poci ke dalam cangkir, sebelum meneruskan, "Mereka akan tetap terlambat menghadiri acara penobatan. Seharusnya aku lebih mendesak agar mereka berangkat lebih cepat."

Secangkir teh merah mengepul. Menguar aroma yang berbeda dengan sencha, apalagi macha. Waka sendiri yang menyeduh, sambil menunggu kedatangan Akio dari urusan belanja pagi sekaligus mengambil pos untuk mereka.

Aroma yang berbeda. Cara menuang yang berbeda. Cangkir dan poci yang berbeda. Mungkin karena itu juga Waka terlihat berbeda dengan saat masih di Tanah Air. Bukan hanya pakaian dan bahasanya, tetapi juga pembawaannya.

"Kamu punya sesuatu untuk ditanyakan, Akio?" tanya Waka sebelum kembali duduk di kursinya.

"Siap. Ada, Shousa."

"Kuizinkan untuk bertanya bila kau berhenti memanggilku Shousa. Kita di sini sebagai pelajar sipil, ingat?"

Bukannya Akio tidak ingat. Hanya saja, sulit mengenyahkan apa yang terpatri dalam diri seorang Jun-i, bahwa yang sedang duduk di hadapannya adalah seorang atasan di Tentara Kekaisaran. Keengganannya sedikit muncul dalam bentuk kernyitan di alis.

"Aku tidak meragukan ingatanmu, Akio," komentar Waka. Membuatnya buru-buru berusaha menetralkan kembali posisi alisnya.

"Apa yang sudah terprogram akan sulit dihapus, ya ...." gerutu Waka di antara sesapan teh dari cangkirnya. Sangat pelan. Lebih pada dirinya sendiri.

"Baiklah, akan kujelaskan sekali lagi supaya lebih mudah bagimu. Kita sedang dalam misi khusus, menghimpun informasi untuk dikirimkan diam-diam pada Kekaisaran atau Sekutu. Untuk itu, baik aku maupun kamu harus berpura-pura tak punya kaitan dengan kemiliteran, paham?"

"Siap. Hamba tidak paham!" jawab Akio segera.

Jawaban yang bisa diperkirakan.

"...Dan kenapa itu?"

Akio  menarik napas dalam-dalam, lalu mulai menjabarkan, "Karena keluarga Anda memiliki sejarah panjang di bidang kemiliteran. Jadi tak mungkin- ...."

"Kai Akio Jun-i!" potong Waka.

"S-siap!"

"Jawab, aku di sini sebagai siapa?"

"Siap. Anda Kai Kouichiro, pelajar asing untuk bidang Ilmu Alam dari Kekaisaran."

"Dan kamu di sini sebagai siapa?"

"Siap. Saya Kai Akio, sepupu Anda yang mendapat beasiswa di kampus yang sama."

Senyum mengembang. "Betul sekali! Dan bila seperti itu maka bukankah daripada Shousa, sebaiknya kamu memanggilku dengan, Onii-san?"

Kernyit kembali timbul dari wajah datar Akio. Wajah herannya yang sangat jarang terjadi menimbulkan tawa dari Waka.

Pada saat itu Akio merasa berada di tempat asing yang terlalu banyak hal yang tak dikenali sekalipun dia tak masalah. Selama masih bisa mendengar derai tawa yang sama.


(Bersambung ke Bonus Chapter berikutnya)

Daftar istilah:

Dagashiya = Toko camilan/snack murah. Seperti warung khusus jajanan.

Ramune = Limun bersoda dalam kemasan botol. Kemasan botol kacanya sangat khas dengan metode menggunakan kelereng untuk menyegel tutup botol.

Jun-i = Warrant Officer/Ajudan Letnan

Furin = Lonceng / kelintingan, biasanya terbuat dari kaca, kayu, atau dari logam. Berbunyi bila ada angin bertiup.

Semi = Cicada/Tonggeret, serangga yang biasanya muncul di musim panas.

Onii-san = Kakak laki-laki.

Catatan Penulis.

Halo semuanya! >w<)/

Saya muncul lagi. Yah ... Akio masih meronta-ronta dan mengganggu karena saya dianggap belum menyelesaikan cerita. Jadi sampai dengan semua yang (sepertinya) penting berhasil dituangkan, saya bakal beredar selama beberapa minggu ke depan.

Sekalian saya sertakan bagan sederhana(?) cara baca kanji nama-nama para karakter. 

Bonus chapter kali ini saya disarankan untuk mengisi dengan cerita yang relatif ringan. Persiapan untuk chapter berikutnya (haha).  Semoga bisa sedikit menghibur teman-teman yang masih setia membaca sampai sini.

Sampai jumpa lagi di chapter berikutnya~~~ OwO)/


Surabaya, 30 November 2023

Prakash.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top