Bonus Chapter - Meikai

Houten Kaisen 38 Meiji/1905 AD.

Bulan kedua sudah dilalui setengahnya, tetapi suhu di tempat kami ditempatkan masih juga terasa membeku. Di tengah cuaca seperti itu kami hanya bisa menunggu saat-saat untuk maju ke barisan depan.

Anak baru itu hanya duduk diam di bangku paling ujung bersama rombongan. Tak mengobrol. Tak melakukan apa-apa.

Posturnya tak berbeda dengan yang lain walau sedikit lebih kurus. Karena itu tak banyak yang memperhatikan wajahnya yang sangat belia. Tetapi mungkin juga karena raut muka yang miskin ekspresi.

Bila seseorang datang menyapa, dia akan menanggapi dengan sepatah-dua patah kata, kemudian kembali diam. Beberapa dari kami sudah melabelinya dengan berbagai pendapat tak baik mengenai kecerdasan maupun kemampuannya mendengar. Bahkan ada yang meneriakkan kata-kata hinaan dengan sengaja.

Dia tetap diam.

Terima dia untuk satu kali mobilisasi saja, sebagai bocah pesuruh pun tak apa. Orang yang pernah jadi atasanku yang merekomendasikannya. Aku tak bisa menolak.

Dia tak akan merepotkan, katanya.

Dan memang benar, anak itu sama sekali tidak merepotkan. Sangat berguna malah.

Menyemir sepatu bot. Mencuci pakaian. Melilitkan puttee—bingkap yang dililitkan untuk melindungi pergelangan kaki hingga betis. Mengambilkan peralatan yang tertinggal. Mengisikan botol air. Mengantarkan pesan ke pos-pos lain. Memasangkan bayonet. Membersihkan bayonet. Membawakan peluru. meminyaki senapan. Mengasahkan pisau.

Ransum tambahan yang disisihkan untuknya jadi tak sia-sia. Beberapa prajurit bahkan sukarela menyerahkan jatah kue mereka untuk ditukarkan dengan jasanya.

Anak itu mengembalikan pisauku yang baru saja selesai diasah. Banyak bekas luka yang sudah lama sembuh di jari-jari dan telapak tangannya yang sedang menggenggam gagang pisau. Sisi bilah sudah diputar ke arah dirinya sendiri sebelum disodorkan.

Mulutnya pelit bicara tetapi setidaknya dia tahu tata-krama.

"Lapor," ujarnya ketika tiba-tiba mendatangi tendaku. Datar. Kemudian diam.

Ogah-ogahan kuberikan izin untuk meneruskan laporannya

"Orang-orang. Datang ke sini, dalam ... 20 menit. Bukan musuh."

Aku masih mengernyit heran dengan maksud anak itu ketika seseorang menyeruak masuk. Salah satu prajurit.

"Lapor, Gunsou!" serunya sembari mengentakkan tumit dan memberi hormat. "Ada tiga orang utusan dari base. Apakah kita menyambut mereka di gerbang atau biarkan mereka masuk kemari?" Prajurit itu meneruskan setelah kuberi izin meneruskan laporannya.

Aku melirik pada anak yang sedang berdiri di dekatku. Dia hanya diam.

"Biar aku yang ke sana," adalah yang kukatakan seraya bangkit dari kursi lipat.

Ketika urusanku sudah selesai dengan para utusan itu, anak itu masih berdiri diam di tempat yang sama. Gila! Itu sudah lewat dua jam dari jam makan malam. Memangnya dia mau berdiri berapa jam?

"Tidak ada perintah untuk bubar," jawabnya ketika kutanya. Membuat tengkukku dingin.

Walau enggan, kegunaan anak itu bertambah. Tubuh kurusnya cukup kecil untuk menyelinap. Langkahnya ringan dan senyap. Mudah saja membuatnya berdiam di tempat strategis untuk mencari tahu siapa yang datang, lalu buru-buru kembali untuk mengabarkan pada yang lain.

Selebihnya, yang dikerjakan tak banyak berubah. Menyemir sepatu bot, mencuci pakaian, puttee, atau perban. Membawakan mesiu. Membawakan peluru. Memasangkan bayonet. Membersihkan bayonet. Meminyaki senapan. Mengasah pisau. Membawakan pisau. Mengganti dan mengisikan peluru pada revolver. Membawakan senapan.

Mengacungkan Smith & Wesson padaku. Pistolku sendiri, yang berhasil direbutnya dengan kesenyapan yang menjadi andalan anak itu.

Perintah untuk maju belum sempat datang, tetapi peleton kecil kami sepertinya berada terlalu jauh melewati garis depan lawan. Setengah anggota sudah terkalahkan, tinggal aku dan beberapa lagi yang belum kembali dari mengecek perimeter. Gelegar seperti guntur masih terdengar berulang, tetapi jauh.

"Maaf Gunsou, Anda diminta untuk mundur. Sekarang juga."

Anak bodoh. Memang apa yang bisa dilakukan lengan kurusnya dengan senjata yang harus digenggam dua tangan itu. Satu tembakan saja dia akan terjungkal karena tak cukup kuat menahan entakan yang mungkin timbul.

"Aku tak akan meninggalkan anak buahku. Kalau kau mau mundur, pergilah lebih dulu."

"Permintaan Anda, ditolak."

"INI PERINTAH!" seruku, keras. Lebih keras dari yang kukira walau masih ada sedikit liukan karena tak yakin para bawahanku selamat.

"... Prioritas: perintah dari Rikugun-Shoui. Perintah dari Anda, ditolak."

Ketika hendak mempertanyakan apa yang dia maksudkan. Smith & Wesson yang terlalu besar untuk lengan kurusnya menyalak tiga kali. Dia tidak terjungkal. Bahkan tak berkedip.

Aroma mesiu terbakar dan telinga yang berdenging. Lalu suara orang roboh di dekatku. Kening, dada, dan perutnya mengucurkan cairan merah dari lubang yang baru saja dibuat. Samar terdengar rintihan bersamaan dengan hilangnya napas terakhir dari orang tersebut.

"Perintah: Saat kondisi dinyatakan genting, tarik mundur Gunsou. Bila perlu, potong kakinya. Perintah selesai," ucap anak itu, masih juga datar. Membuatku enggan untuk menatap langsung.

Desing gesekan logam tipis memaksa menarik perhatianku dari sosok tak bernyawa yang mengenakan seragam kami tetapi sama sekali tak terlihat seperti orang Jepang—penyusup. Apakah itu artinya yang lain sudah tak mungkin selamat lagi?

"Maaf, pedang saya patah dalam perjalanan kemari. Jadi saya harus menggunakan Shashka ini," jelas anak itu. Membuatku menyadari seragam prajurit yang dikenakan olehnya agak compang-camping dan penuh noda di sana-sini.

Ada sedikit kekecewaan dalam suaranya. Entah karena kehilangan pedang atau karena terpaksa menggunakan pedang asing. Membuatku tersadar betapa belianya anak di hadapanku itu.

"Gunsou, bila Anda masih belum mau mundur, saya akan bawa Anda secara paksa," ucap anak itu lagi. Kembali datar.

Lengan kurus yang tadi menggenggam Smith & Wesson itu kini mengacungkan sebilah pedang mata satu yang sepertinya direbut dari orang-orang Rosshia di perjalanan sebelum mencapai lokasiku. Menelan ludah. Rasanya pengalaman yang sudah kualami sejauh ini, tetap tak membuatku yakin bisa menang melawan anak itu tanpa mendapat luka parah.

"Aku menyerah," ucapku getir.


Daftar istilah.

Gunsou = Sersan.

Rikugun-Shoui =  Letnan Dua (biasanya disingkat jadi Shoui dengan nama orang di depannya).

Houten Kaisen = The Battle of Mukden. Pertempuran darat yang menjadi salah satu penentu kemenangan Tentara Kekaisaran pada Perang Russo-Japanese. Berlokasi di wilayah Mukden.

Meikai = Clear, Clear cut--Jelas, terpotong dengan rapi. Menjadi huruf asal dari 'Kai' nama marga yang diberikan untuk Akio.


Catatan Penulis

Halo semuanya! >w<)/

Selamat datang di Bonus Pertama untuk karya The Butler ini. Di sini saya bermaksud menunjukkan seperti apa Akio ketika berdinas, jadi saya mencari tahu kira-kira medan yang cocok untuk menyisipkan aksinya. Namun sewaktu Battle of Mukden Akio masih terlalu muda, bahkan belum mencapai usia 15 tahun. Tidak mungkin ikut diberangkatkan, kecuali ada izin khusus dan sebagai pesuruh saja.

Saya bermaksud menjadikan misi Akio di sini sebagai syarat bagi rakjel tanpa latar belakang jelas seperti dia untuk bisa ikut jenjang karir hingga perwira. Jadi, yah ... Walau rada mengkhayal, semoga saja masih bisa masuk dalam logika ^^;;;

Bonus cerita berikutnya masih dipoles. Tidak bakal mempengaruhi alur cerita asli--karena rata-rata isinya flashback. Tapi lumayan untuk memberi kejelasan kenapa Akio menjadi sosok yang muncul di kisah The Butler.  Silakan dibaca saat sedang kangen pada Kucing Item-Putih yang kadang-kadang unyu ini.


Surabaya, 21 November 2023,

Prakash.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top