Autumn Color
Panas di kedua telapak tangan. Lama-lama menjadi pedih, tetapi melilit di perutnya lebih terasa. Entah berapa lama waktu berlalu sejak terakhir kali dia menelan makanan. Air di ember sudah tak bisa diraup lagi.
Dingin. Lapar. Haus. Pedih. Lelah.
Tungkai-tungkainya mulai kehilangan kekuatan. Sebentar lagi tenaganya pasti habis dan dia akan berhenti bergerak. Sebelum itu terjadi, dia harus terus memanggil dan memohon.
Tak boleh berteriak. Tak boleh menangis. Tepuk saja terus papan kayu yang lebar dan tinggi di hadapannya, kelak panggilannya pasti terjawab.
Merah. Merah. Telapak tangan mungilnya membuat jejak. Seperti dedaunan mapel di Musim Gugur. Menyebar dan bertumpuk-tumpuk. Indah.
Seperti ... Kouyou.
Akio terbangun. Napasnya memburu, menghirup udara sejuk dan basah. Aroma yang asing. Matanya bergerak liar ke sekeliling, menilai dan memastikan. Futon dan tatami—tikar jerami tebal yang biasa jadi alas lantai— sengaja didatangkan dan dipasang untuk area tidurnya masih belum cukup untuk mengenyahkan aroma tak dikenal dari tanah asing tempatnya berdiam saat itu.
Masih di kamar tidur. Masih sangat pagi. Masih di salah satu bangunan bagian dari Myrtlegrove Estate.
Dia menghela napas panjang. Mimpi. Sudah sangat lama sejak kali terakhir dia mengalami itu. Mungkin ada setahun atau lebih?
Ketika turun dari panggung kayu berlapis tatami, papan kayu uguisu yang sengaja dipasang menutupi seluruh penjuru lantai kamar, selain panggung alas tataminya, mengeluarkan suara derit panjang dan pendek. Tidak biasanya Akio meninggalkan suara sebanyak itu ketika melangkah.
Seiring dengan derit papan pelapis lantai kamarnya di setiap pijakan, kepalanya berdenyut. Kurang tidur atau lelah, Harold biasanya memberi saran yang manjur bila dia bertanya. Tetapi Akio sedang tidak ingin meminta pendapat dokter itu.
Pagi pun dimulai seperti biasa. Terlepas dari bayangan hitam di bawah mata yang berusaha dienyahkan dengan guyuran air dingin di penghujung Musim Gugur, dia berpakaian dan bersikap seperti biasa. Kalau ada yang berubah, mungkin holder yang diikatkan di pinggang belakang, untuk menyematkan revolver. Pelurunya hanya 6.
Cukupkah?
Atau dia perlu membawa senjata tambahan?
Akio menggelengkan kepala. Master Henry berkali-kali mengingatkan padanya, bahwa dia sudah bukan lagi prajurit. Itu juga sebabnya Akio menyerahkan katana pemberian Shousa–bahasa Jepang: Mayor, kepada Master Henry. Bukti kesetiaan.
Yang masih tersisa padanya, tinggal revolver yang didapatkan ketika sudah menginjak tanah Inggris, atas perintah terakhir Shousa, sebuah pisau lipat, dan sebilah Kyuu-Guntou.
Dia bukan seorang ahli pedang, tetapi pengalaman mengabdi belasan tahun memberinya pelatihan cukup untuk sekadar menebas dengan mulus. Apabila memang terasa perlu, dia bisa mengambilnya kapan saja dari salah satu tempat tersembunyi di Pantry Manor.
Rutinitas pagi, adalah memastikan para pekerja mendapat sarapan cukup sebelum memulai hari. Dapur Annex sudah menyala, walau hanya menyediakan air panas untuk teh atau kopi, dan roti atau kentang rebus untuk dimakan dengan ikan asap atau telur. Masih belum ada jadwal khusus untuk hari itu, jadi dia pergi ke dapur Manor, memeriksa persiapan sarapan para tamu—yang mungkin akan jadi jatah menu pegawai juga, bila Viper tidak mengambil sarapannya.
Matahari masih belum benar-benar lepas dari ufuk. Hanya semburat cahaya yang mengintip memberi penerangan tak seberapa. Begitu pun lampu-lampu listrik Manor yang masih menyala hanya di area servis. Tungku-tungku menghangatkan ruangan. Para koki menyiapkan bahan untuk hidangan hari itu, termasuk makan siang dan makan malam nanti—beberapa bahan perlu disiapkan lama bahkan dari sehari sebelumnya jika diperlukan.
Tegang dan tak tenang.
Biasanya para pegawai lain memang terlihat demikian hanya dengan kehadiran sang Butler Utama. Namun pagi itu, ada sesuatu yang terasa lebih menekan. Sesuatu yang sudah muncul dan berkembang sejak beberapa hari sebelumnya.
Sebuah pemikiran yang sudah lama bercokol, hendak diutarakan, tetapi belum sempat bersuara sudah tertahan oleh jeritan panjang. Diikuti suara renyah nyaring tumpukan keramik yang berkeping-keping dan jeritan susulan.
Panik. Kasak-kusuk. Gelisah.
Seketika sekelilingnya menjadi riuh dan kacau. Mana yang harus dilakukan lebih dahulu, menenangkan mereka atau mendatangi sumber suara. Akio membeku.
"Dia lari ke sana!" seru seseorang.
"Kejar!" seru yang lain.
Akio bereaksi, bergerak ke arah sosok yang berlari dari Dining Room. Ramai. Tak bisa menggunakan senjata, tetapi tak terlalu jauh, dia bisa mencapainya, menambah sedikit kecepatan, lalu ditambah dengan mengulurkan tangan. Sayang sebuah hantaman dari pegawai yang semburat karena menghindar panik mengacaukan geraknya.
Tangannya menggapai udara kosong. Beberapa pegawai lain masih menghambur ke arahnya—antara menghindar dari penyusup atau mencoba mendekat karena penasaran. Menyulitkan. Sudah tak terkejar.
Hal terakhir yang dilihat adalah sosok Mitford dan seorang maid yang juga berlari mengikuti siapapun itu.
"... ai?" Seseorang memanggil.
"Mister Kai, Sir?!" seru seorang footman. Pias. Panik. "Apa yang terjadi? Apa yang harus kita lakukan?"
Diam sejenak. Mengumpulkan setiap jengkal ketenangan yang ada. Kemudian, "Kalian yang tidak ada tugas di dapur, segera kembali ke Annex. Tunggu di sana dan beritahu juga pada yang lain untuk jangan dulu keluar hingga situasi aman."
Satu tarikan napas panjang, terdengar berat, kemudian dia melanjutkan. "Anggap saja ada bonus sarapan dan waktu rehat tambahan. Lemari makanan boleh dibuka, tetapi tidak boleh ada konsumsi alkohol."
Setelah memastikan para pegawai mengikuti instruksinya. Barulah dia sendiri berjalan menuju arah datangnya keributan tadi. Dining Room.
Sesampainya di sana, dia tertegun. Melihat coretan-coretan berwarna merah gelap di wallpaper mahal di dinding ruangan. Matanya menelusuri sekeliling, menemukan Viper sedang mengitari ruangan, sesekali merunduk mengamati, seperti burung pemangsa.
Nampaknya, Akio tak mungkin diizinkan untuk membersihkan pecahan piring dan noda di dinding.
Viper berdiri lebih tegak. "Jangan ada yang memegang apa-apa atau membersihkan tempat ini," titahnya.
Butler itu menarik napas panjang, sesuai dugaannya Viper tidak mengizinkan ruangan yang sepertinya sudah menjadi Tempat Kejadian Perkara itu dibersihkan. Untuk menghilangkan kegelisahannya karena tidak bisa membersihkan noda di kertas dinding bagus Dining Room, dia memutuskan untuk berjalan ke lokasi di mana piring-piring porselen impor sudah berubah menjadi kepingan tak beraturan yang berserakan di lantai.
Dia perlu memastikan sampai sejauh mana kepingan tajam itu tersebar. Walau sudah dilengkapi dengan alas kaki berkualitas, bukan tak mungkin ada satu-dua pegawai yang cukup ceroboh untuk tersandung di sekitar situ.
"Apakah saya perlu menambah penghalang di sekitar sini supaya tidak ada yang melintas, Detective?" tanyanya tepat sebelum Harold tiba dengan tergopoh-gopoh.
"Apa itu darah? Apakah ada yang terluka?" Lelaki jangkung itu segera masuk ke mode dokter hanya karena melihat ceceran darah. Sesuatu dari sedikit hal yang bisa dikagumi darinya.
"Sepanjang pengetahuan saya, belum ada yang terluka." Akio terdiam sejenak mengingat dua orang perempuan yang mengejar siapapun pembuat keributan ini. "Semoga saja Maid yang mengejar pelaku tidak mendapat luka," tambahnya.
"Penghalang ... asal bukan benda dari ruangan ini tidak masalah, Mr. Akio," balas Viper, menyetujui.
Butler itu mengambil tali dan benda yang bisa dijadikan tonggak untuk dililitkan dari laci Pantry. Dengan tali dibuatnya perimeter mengelilingi pecahan porselen. Tak melindungi, tetapi setidaknya bisa menjadi penanda bagi siapapun yang akan melintas untuk tidak melewati daerah situ.
Kecuali bila terlalu terburu-buru atau panik karena suatu hal.
"Apakah Anda juga ingin membuat perimeter untuk sekeliling dinding itu, Detective?" tanyanya pada Viper seraya menawarkan tali dan gunting.
"Tidak perlu, Mr. Akio," tolak detektif itu dengan halus.
"Baiklah kalau demikian, nanti saya simpan dulu sisa tali-tali ini ke tempat semula," dia menimpali penolakan Viper dengan tak kalah santunnya, lalu membalikkan badan untuk kembali ke Pantry.
Hanya sesaat ketika melintas, matanya melirik sedikit pada coretan merah kecokelatan di dinding. Huruf-huruf yang ditulis dengan sangat berantakan, membentuk kata:
K E L U A R.
Warna dan aroma yang sangat familier itu membuat Akio teringat mimpinya semalam. Denyutan di kepalanya menguat, membuat dia terdiam sejenak walau ekspresinya tak banyak berubah. Kemudian lanjut melangkah setelah agak mereda.
"Mr. Akio, apa anda punya kantong untuk menaruh pisau ini?" Viper menunjuk pisau yang tergeletak tidak jauh dari lemari.
Akio sedang memasukkan tali dan gunting ke laci Pantry ketika ditanya.
"Kantong pembungkus, Sir?" ulangnya, seraya mengedarkan pandangan menelusuri laci-laci lain. "Apakah kantong dari kertas minyak ini cukup?" tanyanya sambil menarik laci lain, kemudian mengambil selembar kantong pembungkus untuk gula atau roti yang masih terlipat licin.
"Bahannya cukup tebal dan tidak mudah tembus cairan. Cocok juga untuk membawa daging mentah." Dia menjelaskan ketika berjalan kembali ke Dining Room.
"Apakah Anda mau memasukkan sendiri pisaunya ke dalam sini?" tawarnya sambil membukakan kantong kertas itu untuk Viper.
Viper mengambil kantong itu dari Akio dan membawa bukti itu bersamanya.
"Terima kasih, saya permisi, Mr. Akio."
Akio mengernyit sedikit ketika Viper menggunakan saputangan untuk memungut pisau dan mengangkat alis ketika saputangan bernoda itu digenggam begitu saja tak ikut dimasukkan ke dalam kantong.
"Mohon tunggu, sebentar Mr. Whetstone!" panggilnya pada Viper yang terlihat buru-buru hendak menyusul para pengejar, sambil turut melangkah mengikuti.
Melihat ke sekeliling, di ruang makan para pegawai ada beberapa staf yang belum mulai bertugas dan Harold yang sedang menenangkan pasien barunya.
"Kalian jangan masuk ke Dining Room dulu sampai ada pemberitahuan lebih lanjut!" perintahnya pada para pegawai. "Katakan juga ke staf yang lain soal itu."
Lari lelaki yang lebih dahulu pergi mengejar Mitford dan seorang maid tadi tak terlalu cepat. Akio bisa mendahuluinya dengan mudah bila dibutuhkan. Karena itu dia menyempatkan diri kembali ke Pantry untuk mengambil Kyuu Gentou, sebelum meneruskan.
Sebentar saja dia bisa melihat sosok belakang Detektif Viper berlari menuju ke taman belakang Manor. Mata Akio menyipit pada tiga sosok sangat jauh di depan sana. Mitford, Gaela sang Maid Baru, dan ... Dia mengenali wajah itu.
Agak berbeda, lebih kurus dan jauh lebih kumal, tetapi tak mungkin dia salah mengenali wajah sampah yang sudah mengkhianati kebaikan Master Henry. Sampah yang seharusnya sudah terkubur bersama yang lain di halaman belakang Manor. Sampah yang namanya sempat disebut-sebut oleh Dorothy Herring.
Kepalanya berdenyut lebih keras dari sebelumnya, dia harus melambatkan langkah. Hingga akhirnya berhenti.
Itukah sebabnya Dorothy menanyakan pendapat dirinya tentang sampah satu itu, karena perempuan itu tahu sampah itu masih hidup?
Akio menggenggam erat Kyuuguntou di tangan.
Detektif di depannya sudah jauh.
Sepertinya memang peran sebagai penerima tamu yang baik sudah tidak bisa diteruskan lagi. Dia harus mengambil jalan lain.
Akio memutar tumit, melangkah diam-diam ke rimbunan semak kering dan pohon yang dedaunannya mulai jarang, menyisakan yang menguning dengan sembur jingga di sana-sini.
Taman belakang bukanlah area yang dikuasai, tetapi pengalaman menuntunnya untuk bisa memilih pijakan yang nyaris tak menimbulkan suara. Rute di sekitar situ sebetulnya tak terlalu dihapal karena selalu berubah mengikuti pengaturan Richard, tetapi akhirnya dia berhasil mencapai tempat yang dituju.
Maid itu dan Mitford sedang bergantian mengatakan sesuatu pada sampah yang terlihat sangat kacau dan ketakutan ketika Viper tiba. Mitford mengedik ke arah Warehouse. Menggelengkan kepala.
Bahaya. Tidak boleh sampai terjadi!
Sasarannya sudah tampak. Kesenyapan dan posisinya berada membuat yang lain tidak bisa menyadari kedatangannya. Jarak sudah terukur dengan sempurna. Dia hanya perlu menunggu waktu yang tepat.
Maid itu, adalah pegawai. Dia berharga ... tak boleh terluka.
Manusia di sebelahnya, tidak berharga, tetapi bukan sasaran ... tak boleh kena.
Manusia yang berbau rokok ... berbahaya.
Dia harus cepat.
Satu ... Tiga ... Enam langkah.
Dia pun melesat maju, mencabut Kyuuguntou dari sarungnya lalu dengan akurasi yang sudah terlatih, menebas punggung manusia kurus yang berdiri meringkuk di dekat dua perempuan yang bersamanya.
Satu tebasan miring dari sudut kanan atas ke kiri bawah. Cepat dan akurat. Korbannya bahkan tak sempat berteriak atau merasakan apa yang terjadi. Tiba-tiba sudah tergeletak.
Darah memercik. Lalu menggenang.
Pandangan mata mereka sempat bertemu sebelum cahaya terakhir nyawa di hadapannya padam. Akio tampak bergeming di tempatnya berdiri, tetapi dia memahami apa yang ditanyakan oleh korbannya.
'Mengapa?'
Satu ayunan dia sabetkan lagi untuk menyingkirkan sisa darah di bilah tipisnya yang agak melengkung. Memercikkan darah ke sekeliling. Satu gerakan ringkas untuk melap sisa darah dari bilah dengan kertas yang diambil dari sakunya.
"Sampah sudah dibereskan," jawabnya datar. Walau sepertinya para manusia yang tersisa tak ada yang paham kepada siapa jawabannya ditujukan.
"Maaf sudah menunjukkan hal yang tak patut pada Anda sekalian, para tamu." Dia menambahkan dengan senyum tersungging.
Master yang mengajarkan untuk tersenyum, supaya tidak menakuti orang lain. Namun sepertinya usahanya lebih sering sia-sia. Lihat. Wajah-wajah bingung dan ketakutan itu. Lalu, wajah geram yang mengacungkan ujung pistol hampir bersamaan dengan kalimat terakhirnya.
Sasarannya, dada kiri. Akio bergegas berkelit. Namun ketika revolver itu menyalak, bahunya tersengat sesuatu. Panas.
Manusia itu memang berbahaya.
"Bloody hell, Butler!" Viper mengumpat. "Tidakkah nyawa manusia ada harganya di mata Anda?"
Dia harus mundur dulu. Sembari mata masih mengawasi ujung laras pendek yang dipegang Viper, perlahan dia mundur ke rerimbunan semak.
Manusia berbahaya itu menanyakan soal harga nyawa manusia. Kalau tidak salah Dorothy Herring sempat bertanya hal serupa juga. Lucu. Apabila tak berguna, tentu saja tidak ada nilainya.
Setelah melepaskan tembakan, Viper menoleh ke arah Mitford.
"JANGAN DIAM SAJA DI SANA, MITFORD! BAWA MISS ADALINE PERGI. SEKARANG."
"AYO, GAELA!" Mary Mitford berseru dengan suaranya yang melengking, menarik Gaela Adaline ke arah Manor. Yang ditarik nampak pasrah mengikuti di tengah kebingungannya.
Hening.
Di tempat persembunyian, Akio sedang membebat luka dibahunya dengan saputangan. Butuh bantuan gigitan dan tarikan kuat. Nyeri. Namun itu jauh lebih baik daripada darah terus mengucur dan membuatnya tak bisa bergerak lagi.
"Tidak menjawab, hm?" tantang Viper. "Saya rasa nyawa yang sudah anda bersihkan tidak ada bedanya dengan John Myrtle yang sudah mati di medan perang."
Revolver yang masih panas oleh tembakan pertamanya diacungkan ke beberapa arah, mencoba menebak kedatangan Akio berikutnya. "Dia cuma sekedar sampah yang perlu dunia hapus duluan." Viper menambahkan.
Kali ini ini Detektif itu mencoba memprovokasinya dengan kisah tentang John Myrtle. Orang yang hanya pernah dia temui belulangnya, terkubur di pemakaman para prajurit. Akio tahu betul, dia sendiri yang mencari informasi dan menggali belulang itu.
Apa yang dikatakan Viper mengenai pendapatnya itu tidak salah. Tetapi juga tidak benar. Setidaknya bagi Akio, John Myrtle maupun lelaki berbahaya itu bukanlah sampah.
Pistol di holder, pisau di saku celana, lalu sebilah pedang bermata satu ala Eropa yang diperoleh ketika bertugas sebagai Letnan 2 Tentara Kekaisaran. Detektif itu sepertinya cukup ahli, sedangkan kemampuan menembaknya hanya bisa jadi pengalih perhatian.
Apabila harus memilih mana yang lebih mahir digunakan, sudah jelas jawabannya.
Dia perlu menghadapi Viper Whetstone dengan benar.
Akio perlahan muncul dari semak-semak. Tangan kanannya menggenggam gagang Kyuuguntou. Sarung pedang dipegang tangan lain dengan tali terlilit di pergelangan tangan untuk mempererat genggaman.
Hanya sebelah tangannya yang bisa digunakan untuk menebas. Seharusnya cukup, bila kena. Namun lawannya adalah orang yang terbiasa dengan pertempuran juga. Salah langkah, revolver di genggaman Viper akan menambah lubang di tubuhnya.
Akio melangkah perlahan, bergeser ke samping, mencoba memanfaatkan titik buta sang Detektif. Mata kanan yang sesekali terlihat memutih di balik kacamata yang dikenakan Viper. Jaraknya semakin dekat, dia pun melesat maju.
Satu tebasan, nyaris kena seandainya revolver sang Detektif tak menyalak. Akio berhasil menghindar, selamat dari terjangan peluru tetapi tebasannya meleset jauh.
Dari posisinya berada dia mencoba mengayunkan satu tebasan lagi, tetapi lagi-lagi revolver kembali menyalak nyaris bersamaan. Akio harus menghindar agak jauh. Napasnya memburu.
Melihat cara gerak Viper, bahu detektif itu juga menderita cedera—mungkin karena tembakan kedua dilakukan terlalu cepat saat lengannya belum betul-betul siap.
Tubuh Akio tak bolong, tetapi tebasannya juga belum ada yang kena.
Ketika sedang memperhitungkan serangan berikutnya, tiba-tiba Revolver menyalak untuk ketiga kalinya. Hindaran Akio meleset, tak mengira Viper masih sempat membidik dengan benar. Kini bahu kanannya yang terasa panas.
Dia mengernyit. Walau sudah berusaha tetap menggenggam, Kyuuguntou di tangannya jatuh juga. Tinggal sarung pedang yang terikat di tangan kiri yang bisa jadi senjatanya. Itu pun tak akan cukup kuat untuk menghantam veteran seperti Viper, hanya berguna untuk menangkis serangan yang datang.
Akio sedang memikirkan bagaimana cara mencabut pistol di pinggangnya dengan kedua bahu cedera ketika tiba-tiba sosok lain yang dikenal dengan baik olehnya menerobos masuk.
"Douglas!!!" serunya sambil berlari kencang menuju tubuh tak bernyawa yang tergeletak di tengah, tanpa memedulikan keberadaan dua orang yang sedang bersiap saling menghabisi nyawa satu sama lain.
"... Richard," panggil Akio pada Tukang Kebun Estate yang sedang memeluk tubuh tak bernyawa itu. Suaranya tenang, tak ada agitasi. Walau tak terdengar lega juga.
"Mr. Butler, sudahkah waktunya anda menyerahkan diri?" Viper mendesis. "Atau anda masih ingin mengurus sampah berikutnya?"
Suara sang Detektif berdenging di telinganya. Rasanya dulu sekali seseorang pernah mengatakan hal yang sama. Bukan. Beberapa orang.
Apa yang terjadi pada mereka saat itu?
Merah. Merah. Dedaunan mapel di musim gugur. Kedua telapak tangannya. Kemudian ... tangan yang tak lagi bisa balas menggenggam.
Denyut nyeri di kepalanya menjadi-jadi. Akio tak bisa menjaga ekspresi Butler-nya lagi.
"... Menyerah," dia bergumam. Mengulang. Ya, seperti yang selalu dilakukannya bila tak memahami perintah, mengulang lalu memikirkan arti kata-kata yang diucapkan. Hingga dia paham.
Bila sudah waktunya menyerah, berarti dirinya sudah kalah. Sudah takdir yang kalah untuk mematuhi pemenang.
"Pada apa?" akhirnya dia bertanya. Pandangan matanya lurus menatap pada Viper.
Menanti perintah.
"Pada kepolisian, tentunya. Ungkapkan apa yang telah terjadi pada Estate. Saya belum tahu benar apa saja yang anda telah lakukan, tapi akuilah semua dosa anda di depan hukum." suara Viper lantang.
Sementara di dekat mereka masih terdengar rintihan lelaki yang terduduk, berusaha tetap memeluk lelaki malang "Douglas, Douglas ...," panggil Richard lemah pada tubuh yang tak lagi bernyawa. Dia mengangkat kepala memandangi dua orang yang sampai tadi masih saling bersiap menyabung nyawa.
"Aku akan berbicara, Pak Polisi. Semuanya ...," ucap Tukang Kebun Myrtlegrove Estate itu, menyerah. Tidak ada senyumnya yang biasa, tidak ada nada suara yang jenaka.
Viper mengenyahkan pedang yang terjatuh dari jangkauan sang Butler. Dia masih tetap siaga di antara dua orang pegawai Myrtlegrove itu.
Akio berdiri dalam diam, tak ada lagi kuda-kuda maupun sikap waspada.
"Menyerah kepada kepolisian," dia mengulang. Pandangannya agak tertunduk, memandang pada sosok tukang kebun yang masih memeluk tubuh korbannya.
"...Richard." Dia bergumam.
Apabila Scotland Yard datang ke Estate dan menyita seluruh aset sebagai barang bukti, maka tidak akan ada lagi cukup dana untuk membayar gaji dan pesangon pegawai lain. Henry sudah menitipkan Estate berikut pegawai-pegawainya kepada Akio, dia harus menyerahkan kewajiban terakhirnya melalui manusia yang bisa dia percaya itu. Jane atau Mrs. Stone adalah pilihan lainnya.
"Saya mohon ijin untuk bertanya, Mr. Viper Whetstone, Sir."
Viper mengacungkan revolver-nya ke arah Akio, "Bertanyalah di sana, jangan coba kabur."
Jawaban itu ditanggapi dengan anggukan oleh yang ditodong pistol. "Boleh saya menyerahkan sesuatu pada Richard?" tanya Akio sebelum menambahkan lokasi. "Ada di saku dalam tailcoat saya. Bersama jam perak dan pena."
Lelaki yang dimaksud menoleh ke arahnya. "Apa itu, Mr. Kai?" tanyanya datar.
Akio tak langsung menjawab pertanyaan Richard. Diam, menatap lurus kepada Viper menunggu izin dari detektif itu.
Viper melirik ke arah Richard, "Cepatlah." Tangannya tetap di pelatuk, menempel dekat dengan pelipis Akio.
Lelaki itu mengangguk. Lalu mendekati atasannya dengan ragu-ragu.
"Anda tak perlu khawatir. Saya tidak akan menyerang lagi. Tidak pada Anda juga pada Richard."
Di dalam saku Akio terdapat sebuah buku catatan mungil. Berisi banyak hal-hal, baik itu sepele maupun penting. Hanya saja penulisannya sangat simpel, tak ada kalimat panjang. Hanya kata-kata terpisah. Seperti kumpulan Obyek atau Subyek, tanpa penghubung maupun kalimat lengkap.
Namun ada satu halaman yang berisi sebaris kalimat:
Saya Akio Kai, dengan ini menyerahkan hak atas seluruh harta benda saya yang tersimpan di Deposit Box Bank ini kepada Richard,Gardener Myrtlegrove Estate. Untuk digunakan sebagaimana mestinya.
Tanda tangan di bawah kalimat tersebut ditulis dengan huruf latin dan kanji.
"Saya tidak bisa lagi menggunakan uang Master Henry untuk membayar pesangon para pegawai," Akio menambahkan. "Di Deposit Box itu juga tersedia surat rekomendasi untuk setiap pegawai supaya mudah mencari kerjaan lain. Mrs. Stone yang menulis, jadi seharusnya aman."
Viper menghela napas. Terlihat masih kebingungan dengan apa yang baru saja terjadi karena Richard sama sekali tidak membacakan isi kalimat yang tertulis di buku itu. Tepatnya, Akio tak tahu bahwa Richard buta huruf.
"Baik," Viper memulai. Dia meraih borgol yang ada di saku dalam jaketnya. "Rasanya saya akan hanya membuang waktu beretorika dengan anda bila menginterogasi anda sekarang. Saya akan menyerahkan ini pada saat nanti di Yard."
"Akio Kai, anda ditangkap karena telah melakukan pembunuhan terhadap penduduk sipil tidak bersenjata, menyerang aparat, dan ..." Viper menjeda. "Diduga menjadi accomplice pada kasus Myrtlegrove Estate."
Akio mengerjapkan mata mendengar ucapan sang Detektif.
"Penduduk sipil tidak bersenjata?" dia mengulang. Mengernyit, mencoba memahami ucapan itu. Kemudian mencoba mengingat-ingat lagi. Kepalanya kembali berdenyut.
Merah. Merah. Dedaunan di musim gugur. Bertumpuk-tumpuk indah. Cuaca sudah tak panas lagi. Angin sejuk menyegarkan. Lapar. Nyeri. Tak ada makanan lagi. Tak ada air lagi. Papan tinggi menutup. Dia terkunci.
"... Bukan." Ujarnya sambil menahan nyeri. "Penduduk Sipil ... Bukan."
Tangannya bergerak sedikit, mencoba menahan nyeri. Namun luka-luka di bahu dan borgol yang membelenggu kedua pergelangan tangannya menghalangi.
"Perampok ... Pencuri ... Masalah ... Rumah ... Kosong. Tidak ada orang. Tak ada makan. Mereka ambil ... Semua."
Merah. Merah. Dedaunan memerah. Bertumpukan dengan indah. Banyak mata memandang. Banyak manusia curiga. Mereka harus pergi. Orang itu menggeleng. Hanya dirinya yang diperintahkan untuk pergi
Matanya menatap nanar pada sang Detektif.
"Shousa, mengapa Anda tidak lari?"
Biar dirinya saja yang tinggal. Biar dirinya saja yang mati.
"... Shousa?" ulang Viper, dahinya mengernyit. "Lari dari sini? Tidak, tugas saya hanya mencari kebenaran. Saya tidak bisa menentukan mereka benar atau salah, biar hukum-lah yang memberi balasan setimpal."
"KEBAKARAN!!!" seru Richard tiba-tiba, panik. "GUDANG KEBAKARAN!"
Tukang kebun itu terus berseru sembari menunjuk pada asap hitam yang membumbung tinggi. Dari arah Warehouse.
"Ya ampun, merepotkan sekali." Viper menggeleng-geleng kepala. "Mana sumber airnya, Richard? Panggil orang-orang di dalam juga, kita harus memadamkan api."
"Sumber air?" ulang Akio pelan. Seperti ada yang menyalakan kembali fungsi yang sempat hilang, dia kembali ke kesadarannya. "Hidran Estate terletak di dekat Annex, tetapi dari besarnya api, lebih aman untuk mengungsi."
"Dan meninggalkan Manor? Apa kamu yakin apinya tidak menyebar?" seru Richard panik. Dia memandang sekeliling mencari sesuatu untuk mengurangi api, selain sumber air.
"Kalian tak perlu khawatir soal itu." Kali ini mata Akio terarah pada Manor. "Pergi saja lebih dulu bersama yang lain. Ajak semua pegawai yang tersisa untuk turun ke desa. Gunakan saja semua kendaraan yang ada, kuncinya ada pada Jane atau Mrs. Stone."
"Sebegitunya kah kalian ingin melenyapkan tempat ini bersama dosa-dosa kalian?" hardik Viper. "Bagaimana dengan Henry Myrtle?"
Akio menatap lurus pada sang Detektif. Dia ingin mengagumi integritas dan ketekunan lelaki veteran itu. Keinginan untuk bisa mengabdi pada sosok yang ada di hadapannya membesar. Namun seperti kata Viper juga, masih ada dosa-dosa yang harus dibayar.
"Anda tak perlu khawatir, Mr. Whetstone, Sir. Master Henry biar saya yang bawa."
Ke tempat putera kesayangannya berada. Walau dirinya tak terlalu yakin sesuatu yang tidak bisa disebut sebagai manusia seperti dirinya akan diterima oleh maut sebagai pengantar Master.
Lalu karena tangannya sudah tak bertenaga, dia mengedik pada Richard. "Catatan yang ada pada Richard bisa Anda baca juga bila mau."
Tukang Kebun Estate itu tampak kebingungan sebelum akhirnya memutuskan untuk menyerahkan catatan itu pada Viper.
Richard sempat menoleh ke arah Douglas, sosok yang terbaring di tanah dan terdiam sesaat sebelum segera melanjutkan berlari menuju Annex untuk meneruskan perintah Butler Kai. Perkara mereka menuruti atau tidak, urusan belakang, walau Richard yakin, bila dia membawa nama sang Butler, tidak akan ada yang berani melawan.
Viper menarik Butler itu agar berjalan dengannya kembali ke arah dalam Estate. Tanpa melawan sama sekali, Akio melangkah mengikuti tarikannya.
"Kita sebaiknya menyusun rencana untuk evakuasi dan memastikan semua orang berkumpul dan semua dapat pergi dari sini. Masih sempat untuk mereka menyelamatkan barang-barang berharga dan kita berusaha untuk tidak meninggalkan satu orang pun di Estate."
"Baik, serahkan saja pada saya," jawabnya pada ucapan detektif itu.
Kemudian dia memberitahu segala akses keluar-masuk Manor dan Annex. Jalur teraman untuk menuruni tempat itu menuju desa terdekat. Kendaraan apa saja yang bisa dipakai. Dan jumlah pegawai yang saat ini bekerja di Estate, termasuk Gaela.
Nama Harold sama sekali tidak disebut.
(Bersambung ke lokasi berikutnya)
Catatan Istilah
Kouyou = Secara harfiah bisa diartikan sebagai daun merah. Mengacu pada warna-warna merah dedaunan di Musim Gugur.
Futon = Kasur matras (biasanya sudah lengkap dengan selimutnya).
Tatami = Tikar dari anyaman jerami/rumput kering. Cukup tebal (sekitar 5,5 cm). Biasanya menjadi alas lantai untuk area ruang tamu, ruang keluarga, dan ruang tidur.
Kyuu-Guntou = Saber sword, pedang dengan bilah bermata satu. Menggunakan model Eropa. Dibuat khusus untuk Tentara Kekaisaran sebelum 1930-an.
Karakter yang muncul dalam chapter ini:
Kai Akio/Akio Kai, karakter milik saya sendiri. Dari karya: The Butler - Mystery of Myrtlegrove Estate.
Viper Whetstone, karakter milik frixasga. Dari karya: Battlefield for One.
Harold Wayne, karakter milik amelaerliana. Dari karya: The Charming Doctor.
Mary Mitford, karakter milik izaddina. Dari karya: The Ambiguous Reporter - NPC RP 2023.
Gaela Adaline, karakter milik Nanaasyy. Dari karya: The Maiden of Secrets.
Richard & Douglas, NPC digerakkan oleh admin NPC2301. PhiliaFate.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top