Chapter 09
Kegelapan kembali menaungi tanah Goryeo. Sajung memasuki kamarnya dan melihat Siwoo berada di sana. Sajung tersenyum melihat si bungsu yang tengah memegang salah satu pedang miliknya dan tampak kesusahan.
Sajung lantas menegur, "kau ingin mencuri pedang ayah?"
Siwoo segera menoleh, membuat ujung pedang di tangannya menyentuh lantai. Sajung kemudian menghampiri si bungsu dan memberikan usapan singkat pada puncak kepala bocah itu.
"Apa yang ingin kau lakukan dengan itu?"
"Aku hanya ingin melihatnya saja."
"Kenapa kau ingin melihatnya?"
"Paman Shin mengatakan bahwa seorang pengawal pribadi Raja selalu membawa dua pedang di balik punggungnya."
Rahang Sajung sedikit mengeras. "Kau mengatakan pada paman Shin jika ayah bekerja untuk Baginda Raja?"
Siwoo tertegun, menyadari bahwa dia telah melakukan kesalahan. Dengan cepat bocah itu menepis kecurigaan sang ayah.
"Aku tidak bilang seperti itu. Aku hanya bertanya apa sebenarnya pekerjaan seorang pengawal pribadi Raja."
"Tapi kau tidak mengatakan pada paman Shin jika ayah seorang pengawal pribadi Baginda Raja, bukan?"
Siwoo menggeleng, terpaksa berbohong karena takut akan terkena marah.
Siwoo kemudian duduk bersila di hadapan Siwoo dan mengambil pedang di tangan bocah itu. Memegang sarung pedang itu dan membiarkan ujung pedang menempel pada lantai.
"Kenapa kau penasaran dengan pedang ini?"
Siwoo duduk di samping Sajung dan berubah menjadi anak yang manis. Membuat sang ayah mengerti bahwa putranya itu menginginkan sesuatu.
"Apa-apaan ini? Kau kembali menjadi Rubah yang manis?"
"Aku bukan Rubah, aku manusia ..." ucap Siwoo dengan suara yang sengaja dibuat lembut, tak lupa dengan kedua telapak tangan yang saling bertautan.
"Lalu?"
Siwoo kemudian berbicara dengan tempo yang lebih lambat, "aku ... jika aku sudah besar nanti. Bolehkah aku memiliki pedang ini?"
Sebelah alis Sajung terangkat. "Kau ingin memiliki pedang ini?"
Siwoo mengangguk. Menatap penuh harap.
"Kenapa kau ingin memiliki pedang ini?"
"Aku ingin menjadi seperti Ayah."
Sajung terdiam, namun beberapa detik kemudian seulas senyum lebar terlihat di wajah pria itu.
"Jika kau menjadi seperti ayah, maka kau harus menjaga seorang Raja."
Siwoo menyahut dengan suara yang lebih pelan, terkesan berbisik, "aku akan melakukannya. Ayah menjaga Raja dan aku akan menjaga Putra Mahkota ... ketika Putra Mahkota menjadi Raja, aku juga akan menjadi seperti Ayah."
"Kenapa kau berbisik?"
"Aku tidak berbisik."
Sajung mengusak gemas surai hitam si bungsu. "Bagaimana kau bisa menjadi seorang pengawal pribadi Raja jika kau saja tidak bisa menggunakan pedang dengan baik?"
"Aku akan belajar," sahut Siwoo semangat namun dengan suara yang pelan seperti sebelumnya. "Mulai sekarang aku akan giat belajar."
Saat itu Kyung Woo berdiri di luar pintu yang memang tidak ditutup. Menyimak celotehan dari adik kecilnya dengan raut wajah yang sulit untuk dijelaskan.
Siwoo kemudian menyahuti putra bungsunya, "tanganmu bahkan tidak lebih besar dari pedang ini. Bagaimana kau bisa menggunakan pedang ini?"
"Aku akan tumbuh. Aku akan menjadi besar nanti."
"Sebesar apa?"
"Sebesar ini ..." Siwoo mengangkat tangan kirinya tinggi-tinggi. "Tidak, tapi lebih besar dari ini. Aku akan lebih besar dari Ayah dan juga Kak Kyung Woo."
"Bagaimana bisa? Tubuhmu saja sekecil ini."
"Aku akan makan banyak agar bisa sebesar Ayah."
"Makan sebanyak apapun tidak akan membuat tubuhmu besar. Kau hanya akan bertambah gendut," Kyung Woo tiba-tiba menyahut.
Siwoo yang terhalang oleh Sajung lantas melongokkan kepalanya dan memandang sinis.
"Sejak kapan Kakak berdiri di situ?"
"Sejak aku berdiri di sini."
Tatapan Siwoo semakin menyelidik. "Kak Kyung Woo menguping?"
"Aku bukan orang yang kurang pekerjaan." Kyung Woo lantas meninggalkan keduanya.
Siwoo kemudian mencibir, "orang itu selalu saja menyebalkan."
Sajung kembali mengusak surai Siwoo sebelum berdiri dan menaruh pedang di tangannya kembali ke tempat semula. Sajung kemudian mengulurkan tangannya pada Siwoo.
"Ayo, kami ingin berbicara denganmu."
Siwoo meraih telapak tangan lebar sang ayah dan bangkit. "Bicara apa?"
"Kau juga akan tahu nanti, ayo."
Sajung membawa si bungsu meninggalkan kamar dan menemui dua anggota keluarga lainnya yang sudah berada di ruang keluarga.
Sajung duduk bersila di samping Putri Yowon. Sang ayah kemudian menarik pelan tangan Siwoo, membiarkan si bungsu duduk di pangkuannya.
"Kenapa semua berkumpul di sini?" tanya si bungsu.
Dengan seulas senyum hangat, Putri Yowon menyahut, "kami membawa kabar baik untukmu."
"Kabar baik apa?"
Sajung memberi jawaban, "Baginda Raja mengundang kita ke festival musim semi. Kita akan tinggal di istana selama satu minggu."
Netra Siwoo melebar. Menatap sang ayah dengan antusias. "Sungguh? Kita akan pergi ke istana?"
Putri Yowon menarik perhatian si bungsu, "benar, kita semua akan tinggal di istana. Tapi dengan satu syarat."
"Apa itu?"
"Saat festival musim gugur diadakan, Baginda Raja menginginkan sebuah pertunjukan. Karena hanya ibu satu-satunya wanita di sini, jadi kau harus menjadi seorang putri dalam pertunjukan itu."
Siwoo terlihat bingung. Bocah itu kemudian bergumam, "aku laki-laki, bagaimana bisa menjadi seorang Putri?"
Kyung Woo menyahut, "bisa saja. Kau hanya perlu memakai pakaian wanita dan jangan bicara ... itu cukup mudah."
"Jika memang mudah, kenapa bukan Kakak saja yang melakukannya?"
"Wajahku tidak cantik untuk menjadi wanita," jawab Kyung Woo sekenanya.
"Tapi aku juga tidak cantik. Wajahku terlihat tampan."
Kyung Woo menatap sinis, mengadili tingkat kepercayaan diri si bungsu.
"Wajahmu lebih mirip dengan Ibu. Tubuhmu juga kecil ... jelas-jelas kau yang lebih pantas menjadi seorang Putri."
"Tapi aku tidak mau ..." si bungsu lantas mengutarakan penolakannya.
"Jika kau bersedia, ayah akan memberikan salah satu pedangnya padamu saat festival selesai."
"Sungguh?" pekik Siwoo.
Kyung Woo mengangguk yakin, tapi tidak dengan Sajung yang menatap tak percaya pada putra sulungnya. Bagaimana mungkin si sulung membuat kesepakatan dengan menjadikan pedang milik sang ayah sebagai taruhan.
Tatapan penuh harap Siwoo lantas mengarah pada Sajung.
"Ayah," bocah itu kembali menyatukan kedua tangannya dengan binar mata yang membuat siapapun tidak akan bisa berpaling dari keluguan bocah itu.
"Jika ayah berjanji, apakah kau akan bersedia menjadi seorang Putri?" Pada akhirnya Sajung juga melibatkan diri dalam negosiasi tersebut.
Siwoo mengangguk tanpa syarat. Bocah yang masih sangat naif itu tidak bisa melihat kekhawatiran di wajah anggota keluarga lainnya.
Sajung kemudian mengusap surai hitam bocah itu dan berucap, "jika kau bisa bertahan menjadi Putri Gahyeon sampai kita kembali ke rumah, ayah akan memberikan pedang milik ayah padamu."
"Ayah sudah berjanji, jangan sampai mengingkarinya."
"Kau harus mengingatkan ayah jika ayah melupakan hal itu suatu hari nanti."
Seulas senyum di atas kekhawatiran yang dirasakan oleh keluarga kecil itu lantas menutup kisah hari itu yang masih akan berlanjut kala garis cahaya muncul di bagian timur.
Selesai ditulis : 03.09.2020
Dipublikasikan : 19.03.2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top