5. SAKIT

[Baca hingga tamat di Karyakarsa 'kataromchick'.]

Tiga hari setelah pembicaraannya dengan Jonas, masalah datang dari Zafar. Pria itu tidak ingin basa basi malam setelahnya, emosi yang tidak imbang setiap bersikap pada Sinar ternyata berefek hari ini. Tubuhnya tidak bisa diajak berkompromi sama sekali. Jatuh sakit sudah seharusnya dia rasakan, sebenarnya. Karena semenjak bertemu Zafar dia benar-benar menjadi sangat sering merusak kondisi tubuh sendiri. Tentu saja kini dia sudah pada penghujung pemakluman. Tubuhnya menunjukkan ketidaksetujuannya akan kegiatan yang jelas tidak dengan baik dilakukan.

"Aku nggak masuk sekolah, ya, Ma?" Pijar meminta izin dari Sinar untuk tak masuk sekolah karena ingin mengurus Sinar di rumah.

"Jangan! Kamu berangkat sekolah, Pi. Mama istirahat di rumah aja bisa sendiri, kok."

Pijar tidak bisa mengiyakan begitu saja ucapan sang mama. Wajah pucat Sinar menaungi pikiran Pijar jika dia masih saja berangkat ke sekolah. Anak yang terlalu pengertian seperti Pijar akan selalu mengkhawatirkan mamanya. Belum lagi Pijar merasa sang mama sakit begini karena kelelahan bekerja untuknya.

"Tapi aku nggak bisa ninggalin mama sendirian di rumah. Aku pulang sore nanti, ada ekskul, Ma. Kalo aku nggak masuk sekolah aku nggak perlu ikut ekskul nanti."

Sinar berusaha memasang tampang baik-baik saja dengan bangun dari tempat tidurnya. Berusaha menguatkan diri agar tidak terjatuh dan sebisa mungkin mengantar Pijar untuk bersiap-siap sekolah.

"Cepetan berangkat, jangan pikirin apa pun soal mama. Fokus sekolah dan buat mama bangga. Sakit begini nggak ada apa-apanya buat mama. Kalo kamu nggak sekolah, yang ada pikiran mama malah kecewa."

Tidak bisa menahan diri untuk tak menangis, Pijar melangkah untuk memeluk tubuh Sinar. Rasa sayang anak itu terhadap sang ibu sangat jelas begitu besar. Hanya Sinar yang dilihatnya dan sepanjang hidup yang berjalan mereka selalu menemani satu sama lain. Pijar mungkin akan lebih menyesal lagi jika terjadi sesuatu pada sang mama tanpa diketahuinya.

"Nanti mama gimana kalo mau periksa?" tanya anak itu dengan lirih.

"Sudah banyak transportasi online yang bisa mama gunakan."

Menengkan diri memang selalu menjadi jalan untuk Sinar gunakan agar anaknya ikut melakukan hal yang sama. Pijar memang anak yang berbakti, menyayangi sang mama dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

"Beneran, ya? Kalo nanti ada apa-apa jangan lupa hubungin aku."

Sinar mengusapi rambut anaknya dan mengiyakan melalui anggukan. Setelahnya, barulah Pijar bisa berangkat sekolah dengan kecemasannya terhadap sang mama. Setidaknya Sinar memberikan segala ultimatum agar anak itu bisa tetap fokus belajar dan Sinar bisa tetap berpikir jernih untuk keadaannya saat ini.

*

"Dia nggak masuk?" Jonas menanyakan hal tersebut pada salah satu pegawai yang kubikelnya dekat dengan Sinar.

"Nggak, Pak."

Jonas tahu, hampir tidak ada pegawai yang mau berdekatan dengan Sinar. Rumor yang buruk sudah terlanjur melekat dan membuat pemikiran mereka menuai hal buruk pula terhadap perempuan itu. Tidak pernah bergaul dan mengklarifikasi apa yang terjadi juga membuat Sinar makin tidak dianggap di kantor. Bukti paling mencolok adalah ketika makan siang, perempuan itu selalu sendiri dan tidak memiliki teman bicara. Saat bekerja hanya hal-hal yang bersangkutan lanngsung dengan Sinar saja pembicaraan singkat akan dilakukan dengan Sinar dan pegawai lainnya. Jadi, ketika tidak masuk bekerja seperti ini hampir seluruh pegawai tak peduli dan tak mengetahui apa-apa soal absennya Sinar.

Jonas terdiam sesaat. "Apa bapak membutuhkan informasi soal itu?" tanya pegawai bernama Mega itu.

"Oh, nggak. Kamu bisa bawa laporan ini ke atasan, kan? Mungkin beliau sudah longgar jam segini."

"Langsung, Pak? Biasanya, kan melalui pak Jonas lebih dulu."

Jonas tersenyum ramah. "Nggak perlu. Ini sudah bagus. Kamu bisa langsung minta persetujuan atasan kita."

Dan Jonas segera menyudahi jam kerjanya menjelang makan siang itu karena ingin memastikan sesuatu mengenai Sinar. Sahabatnya—Zafar—tidak terlihat cukup peduli karena sepertinya memang ada masa lalu yang tidak terselesaikan diantara keduanya. Jonas tidak bisa membiarkan keadaan Sinar seperti ini terus menerus demi kepentingan kemanusiaan.

*

Pukul 12.55 Jonas mendatangi rumah yang begitu sederhana. Alamat rumah Sinar yang didapatkannya dari hasil membuntuti. Bukannya tanpa alasan, semuanya dilakukan Jonas karena memang dia merasa begitu kasihan terhadap Sinar. Melihat Sinar sudah seperti melihat mendiang adik perempuannya yang meninggal karena kecelakaan. Melihat Sinar yang menjadi seorang orangtua tunggal membuat Jonas miris, membayangkan bagaimana jadinya jika adiknya mengalami hal serupa dengan Sinar saat ini. Lebih dari semua itu, Sinar terlihat begitu kuyu setiap pulang malam dan Jonas tidak memerlukan jawaban pasti akan hal tersebut. Ada pertanyaan yang jawabannya hanya perlu disembunyikan.

Kedatangannya bukan tanpa alasan, Jonas tahu setelah malam dimana mereka bicara Zafar tidak membiarkan Sinar baik-baik saja. Gegabah memang, tapi Jonas memang perlu memperingatkan Sinar agar menjauhi Zafar atau menyatakan kejujuran. Ada anak yang memerlukan pertanggung jawaban ayah kandungnya, kondisi semacam ini jelas memperpanjang kesalahpahaman.

"Permisi!" Jonas terus mengetuk pintu kayu rumah itu. "Permisi!"

Berulang kali hingga Sinar didapatinya dengan begitu pucat. Keduanya terkejut. Satu sisi Sinar terkejut dengan keberadaan Jonas, dan Jonas terkejut dengan kondisi perempuan itu.

"Pak Jonas? Gimana bisa bapak—"

"Kamu baik-baik saja, Sinar? Saya ke sini karena saya merasa aneh kamu tidak masuk bekerja tanpa alasan yang jelas."

Jonas menjelaskan kedatangannya dengan ringkas. Sinar memaklumi hal itu, tetapi kondisinya memaksa agar mereka segera duduk dan tidak berlama-lama berdiri di depan pintu.

"Bapak... silakan masuk, Pak."

Sinar tidak bisa menahan diri lebih lama untuk berdiri dengan tubuhnya yang semakin terasa lemas.

Jonas mengamati bagaimana Sinar yang tidak baik-baik saja. Meskipun begitu, Jonas tetap menunggu Sinar. Dia tak mau mendahului kehendak dengan membawa Sinar ke rumah sakit tanpa persetujuan perempuan itu sendiri.

"Bapak mau minum apa?"

Bahkan disaat seperti ini Sinar masih saja melakukan penyambutan yang baik sekali bagi tamunya.

"Nggak perlu. Saya ingin tahu kondisimu saja. Duduklah, Sinar. Jangan banyak bergerak."

Sinar tidak menolak, dia memang tak mau banyak membalas lagi.

Lama mereka diam, Jonas hanya mengamati Sinar. Remasan tangan perempuan itu pada perutnya sendiri membuat lelaki itu kebingungan. Benar-benar tidak bisa ditebak apa yang Sinar rasakan di sana.

"Sinar... sepertinya kamu perlu ke rumah sakit." Saat pandangan Jonas naik, yang ditemukannya adalah kepala Sinar yang terkulai di kepala kursi. "Sinar?"

Kepanikan mulai menguasai Jonas. Dengan cepat dia menyentuh dahi Sinar yang suhunya tinggi. Keringat membasahi dan Sinar mengerang kesakitan tanpa kesadaran yang penuh.

"Sakit..."

Dan Jonas semakin panik karena didapatinya darah yang mengalir melalui betis perempuan itu. Keadaannya sudah parah, Jonas tidak mau mengambil risiko lebih lama. Dia mengangkat tubuh Sinar dengan segala kepanikan menyerang.

Far, lo bakalan nyesel seumur hidup kalo lo tahu sebenarnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top