8. Kecurigaan
"Kamu ...," Isvara menggantungkan kalimatnya. Ada yang salah dengan Deva. Tapi pada akhirnya dia tidak mengatakan apa-apa. Justru mengukir senyuman kecil, menundukkan pandangan.
Kelopak matanya terkulai turun.
Isvara sudah melakukan satu kesalahan yang fatal. Dia tidak tahu siapa Deva? Apa latar belakangnya? Bagaimana situasinya?
Namun dari perilaku masyarakat desa, mereka tampaknya sangat menghormati Deva, atau ... mungkin takut padanya?
"Saya cacat." Isvara berbisik lembut. "Kaki kanan saya lumpuh seumur hidup." lalu dia mendongak lagi, berkata serak, "kamu terlihat luar biasa, kamu pantas dekat dengan seseorang yang lebih sempurna."
"Jangan rendah diri. Kamu baik-baik aja." Deva membujuknya, dia mengulurkan tangan, mengusapi puncak kepala Isvara dengan gerakan lembut. "Setiap manusia hidup dengan takdir mereka. Mungkin ... takdir kamu adalah saya."
"Kita baru saling mengenal." Isvara memiringkan kepalanya, mengelak. Saat tangan dingin Deva menyentuhnya, dia merasa seluruh tubuhnya merinding. "Saya akan tinggal lama di sini, ayo kita mengenal satu sama lain lebih jauh dulu."
Pupil gelap Deva menyusut. Namun dia tidak mengatakan apa-apa. Ujung jari telunjuknya mengetuk pegangan kursi roda Isvara beberapa kali, seolah memikirkannya.
Isvara terus menundukkan pandangan, dengan kedua tangan di atas pahanya yang mengepal. Mencoba menetralisir kegugupannya, degupan jantungnya yang bisa terdengar oleh dirinya sendiri.
Suasana hening dan stagnan itu berlangsung beberapa menit, sebelum akhirnya Deva berkata tanpa daya, "Oke."
Isvara diam-diam mengembuskan napas.
"Kita punya banyak waktu." Deva terkekeh. Pupilnya menyusut saat dia melanjutkan, "Satu-satunya yang saya miliki paling banyak adalah waktu."
Apa maksudnya?
Isvara mencoba menebak, tapi dia tidak menanyakan apa pun. Dia mendapat firasat semakin sedikit yang dia tahu, semakin baik. Terkadang ... rasa penasaran membunuh kucing.
"Kita masih mau jalan-jalan?" tanya Deva lagi.
Isvara mengangguk kecil, "Ya, saya mau lihat lebih banyak hal di desa ini."
Deva tidak keberatan. Dia mendorong kursi roda Isvara. Keduanya tidak terlalu banyak bicara, apalagi Isvara cenderung lebih pendiam. Ada banyak hal di pikirannya saat ini. Kedua netra cokelatnya menyapu dari satu sisi ke sisi lain, mencoba mencari jalan keluar. Cara untuk melarikan diri.
Sayangnya ... Isvara sendiri tahu itu sulit. Dia mungkin bisa lari ke pantai, tapi bagaimana setelah itu? Dia sama sekali tidak bisa mengemudikan kapal.
Tapi pasrah untuk mati? Isvara tidak rela. Dia benar-benar ingin hidup.
"Ternyata di sini juga ada danau." Isvara bergumam takjub. Melihat pemandangan di depannya dengan sorot dalam. Ada sebuah danau yang jernih dan cantik. Dikelilingi tanaman hijau dan bunga warna-warni.
Deva mendorong kursi roda Isvara menyusuri jalan aspal di dekat danau. Dia menjawab, "Ya, ini danau buatan."
"Buatan?"
"Kamu suka pemandangan ini, kan?" Deva terkekeh kecil. "Kamu suka cerita fantasi, danau yang dikelilingi pepohonan hijau. Ada banyak bunga dan rerumputan cantik di sekitarnya. Saat malam hari, sebenernya di sini ada banyak kunang-kunang."
Ada yang aneh dari kata-kata Deva.
Namun Isvara bersikap seolah tidak mengerti apa-apa. Dia mengangguk setuju, "Ya, karena saya waktu kecil sering pindah dari satu tempat ke tempat lain, jarang melihat pemandangan semacam ini."
"Ini cocok dengan selera kamu?"
Isvara menelan ludah. Tersenyum kecil dan menjawab, "Seolah ini disiapkan untuk saya."
Deva hanya tertawa. Tapi tidak mengatakan apa-apa. Isvara melihat perahu kecil di tengah danau. Ada dua anak yang sedang mendayung, keduanya tampak riang, bermain air dan saling memercikkan ke wajah satu sama lain.
Satu anak berdiri, menubruk anak kecil lainnya yang usianya mungkin baru berumur 8 tahun. Perahu itu bergoyang, kehilangan keseimbangan lalu terguling.
"AWAS!" Isvara berteriak, dia mencoba berdiri, ingin berlari menyelamatkan, namun dengan situasinya sekarang ... Isvara tahu dia tidak bisa berenang.
Isvara menoleh ke arah Deva. Deva hanya menatapnya dengan sorot dalam. Mulut Isvara terbuka, ingin mengatakan sesuatu. Berharap Deva bisa menyelamatkan anak-anak itu. Namun lidah Isvara kelu, seolah lumpuh. Dia tidak bisa mengatakan apa-apa.
Begitu cemas dan gugup.
Deva mengulurkan tangan, menyentuh pipi Isvara dan berbisik, "Jangan takut. Anak-anak di sini bisa berenang. Lihat."
Tangan Deva membimbing pipi Isvara untuk menoleh ke arah danau. Perahu itu sudah kembali dibalikkan, lalu anak-anak itu naik ke atas perahu, satu per satu. Keduanya basah kuyup, lalu saling menubruk lagi.
Aneh.
Anak-anak itu kemungkinan usianya hanya sekitar 8 tahun. Dengan tenaga mereka, bisakah keduanya membalikkan perahu yang sudah terguling?
Isvara mengatupkan bibirnya. Kakinya goyah, dia hampir jatuh tapi Deva lebih dulu memeluknya, membantu Isvara kembali duduk di kursi rodanya.
Semua yang ada di desa ini terlalu aneh.
"Ayo kita lihat-lihat tempat lain." Deva membujuk Isvara dengan nada hangat. Isvara mengangguk, dia hanya tertunduk.
Kedua tangan Isvara mengepal. Satu per satu pertanyaan timbul di benaknya.
"Kita turun di sini?"
"Ya, ini tempatnya."
Terjebak dalam lamunan linglung, Isvara mendengar suara yang cukup familier. Dia menoleh ke depan sebuah mobil jeep yang berhenti di depan sebuah vila kecil. Vila itu agak menyendiri. Lokasinya asri dan tidak terlalu jauh dari danau. Pagarnya cukup tinggi.
"Ini kita beneran free pake sepeda dan mobil listrik juga di sini, Mas Galih?" suara genit seorang wanita menarik perhatian Isvara. Dia melihat sosok cantik yang mengenakan hotpants melompat turun dari jeep, dipegangi oleh Galih agar tidak jatuh.
"Ya, semua fasilitas di desa ini gratis." Galih menjelaskan sambil tersenyum. Dia melihat satu per satu orang-orang itu turun dari mobil. "Sehari makan tiga kali, Mbak sama Masnya bisa pesan menu makanan apa pun yang kalian mau. Fasilitas di desa kami sebenarnya cukup lengkap, bahkan di vila ada teater dan gym-nya."
Isvara terdiam. Matanya menyipit saat dia melihat beberapa orang kenalan.
Kebetulan?
"Kita bener-bener lucky, nggak nyangka nginep di hotel bintang 5 masih dapet fasilitas sebagus ini." wanita manja itu memeluk pria jangkung di sisinya, menarik kepala pria itu, mengecup pipinya.
"Jam berapa kita snorkling nanti?" pria yang dicium pacarnya bertanya pada Galih tentang schedule mereka hari ini. Terumbu karang di Pulau Pengantin benar-benar cantik. Pantainya seperti tidak terjamah tangan manusia, mereka bahkan bisa melihat jelas dalam kedalaman 2 meter.
"Kita bisa snorkling jam 1 siang. Setelah makan siang, nggak pa-pa?" Galih bertanya.
"Oke, kita kebetulan belum sarapan juga sekarang."
"Kalian bisa melihat-lihat dulu pemandangan di sekitar desa. Ada sepeda listrik yang bisa kalian gunakan di garasi vila. Saya sekali lagi mengingatkan, jangan meninggalkan vila lewat dari jam 7 malam. Tolong patuhi aturan desa."
"Kami mengerti."
Galih menjelaskan beberapa hal lain, sebelum akhirnya dia menyadari ada tatapan yang terarah padanya. Jadi dia menoleh, terkejut melihat dua orang yang saat ini berada beberapa meter darinya.
"Eh, Mbak Isvara lagi jalan-jalan?" Galih menyapa ramah.
Begitu nama Isvara disebut, sosok yang sedang mengobrol dengan Galih juga tertegun. Sebelum akhirnya mereka menatap ke arah Galih melihat. Lalu terdiam melihat sosok yang familier.
Benar-benar kenalan.
Isvara tersenyum, "Ya, Mas Galih nganter tamu?"
"Iya." Galih mengangguk kecil. "Ini Mas Rafel dan teman-temannya, mereka akan menginap beberapa malam di Pulau Pengantin. Semuanya ... itu Mbak Isvara, beliau adalah cucunya Pak Irman, baru saja kembali beberapa hari lalu."
Rafel memasang ekspresi rumit. Dia menatap Isvara yang memasang wajah dingin.
Kebetulan macam apa ini?
Isvara tidak pernah menyangka, kalau di pulau misterius ini ... dia masih akan bertemu dengan mantan pacar yang sudah menipu semua uangnya.
***
Vote dulu.
Komen dulu.
Hayolooooh, udah pada kumpul. HAHAHAHAHAHAAHA
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top