6. Suami Isvara

HAHAHAHAHAHA! Setelah 1,5 tahun digantung, akhirnya saya memutuskan kembali ngelanjutin cerita ini. 

Yang lupa plotnya, silakan baca ulang. Kebetulan saya juga baru beres baca ulang.

Vote dulu.

Absen.

Happy reading.

***

Suami?

Apa maksudnya suami?

Isvara jelas belum menikah, dia juga sama sekali tidak mengenal suara pria yang saat ini duduk di tempat tidurnya. 

"Istriku ..." pria itu menyodok lengan Isvara yang tertutup selimut. "Bener-bener nggak mau lihat?"

Tidak mau.

Isvara benar-benar tidak mau melihatnya. Dia merasa jika dia sampai menatap wujud pria yang mengaku sebagai suaminya sekarang, hidupnya akan segera berakhir.

Isvara mengatupkan mulut. Terus bersikap seolah sudah terlelap.

Namun ... siapa yang sedang coba untuk Isvara tipu sekarang?

"Sayang banget, kamu bener-bener nggak mau lihat?" pria itu menghela napas sedih. Namun tangannya bergerak, merayap memasuki selimut Isvara. Tubuh Isvara kaku. Matanya mulai panas dan berair, dia menggigit bibirnya keras, berusaha untuk tidak mengeluarkan suara.

Saat tangan besar dan dingin itu menangkap jari-jari tangan kanannya, air mata Isvara mengalir deras. Dia ketakutan. Siapa orang ini? Isvara jelas tidak melanggar tabu apa pun, jadi kenapa 'hantu' ini menemuinya?

Masih mengaku sebagai suaminya.

Tangan Isvara ditarik perlahan. Isvara hampir tidak bisa bernapas, terutama ... saat jari-jarinya masuk ke dalam sesuatu yang lembap, basah, dan dingin.

Mulut?

Dia akan dimakan?!

Isvara ingin menarik tangannya kembali, tapi dia tidak berani. Satu demi satu jari-jari itu dijilat dengan sensual, ujung jarinya dihisap kuat, lalu pria itu merintih nikmat. Isvara bahkan bisa mendengar suara menelan ludah.

"Enak, enak, enak. Isvara emang yang paling enak." suara itu serak dan antusias. Dia menjilat jari Isvara perlahan, sampai ke telapak tangan dan pergelangannya. 

Napas pria itu terengah-engah. Begitu keras, membuat Isvara bahkan tidak berani bernapas.

Tiba-tiba saja selimutnya ditarik.

Isvara terus memejamkan mata. Masih bersikeras pura-pura tidur.

"Hehe." pria itu terkekeh. "HAHAHAHAHAHA!" dia tertawa keras. Jelas dia sendiri tahu Isvara hanya berpura-pura. Pria itu meletakkan tangan Isvara. Isvara pikir semuanya sudah selesai. Tapi Ada jari-jari panjang yang terulur mengusapi pipinya, menyeka air matanya.

"Sayang, kamu nggak mau lihat aku?" tubuh pria itu membungkuk, menjilat air mata di pipi Isvara dengan lidahnya yang dingin. "Enak. Semua yang ada di Isvara itu bener-bener enak. Dari ujung kaki sampai kepala, Isvara yang paling enak."

Setan cabul itu masih tidak selesai.

Dia bahkan menjilat bibir Isvara sensual, menelan ludah. Mengangkat dagu Isvara, lalu menciumnya. Memasukkan lidahnya yang seperti es ke mulut Isvara, mengaduknya dengan gila.

Tubuh Isvara menegang. Dia mengepalkan tangannya erat, tapi Isvara bersikeras menutup mata.

Setan mesum dari mana ini?!

Pria itu tertawa. Tawanya menggema. Saat kedua tangan kasarnya merobek pakaian Isvara, Isvara tidak tahan lagi, dengan cepat Isvara membuka mata.

Mata merah itu hanya berjarak 1 senti dari matanya. Isvara menjerit ketakutan ...,

Lalu terjaga.

Isvara beringsut duduk. Dia terengah-engah, memegangi piyama tidurnya ... dan masih utuh. Isvara mundur ke tepi tempat tidur, menatap ke sekelilingnya.

Mimpi buruk?

Tidak ada siapa-siapa?

Isvara menggigit bibir bawahnya, air matanya mengalir deras.

"Mimpi? Mimpi?" gumam Isvara gelisah. Mencoba meyakinkan kalau yang terjadi barusan memang hanya mimpi. 

Tapi kenapa terasa begitu nyata?

Jantung Isvara berdegup kencang. Dia mencoba mengatur napasnya. Dadanya sesak, tubuhnya panas. Dia mundur lagi. Mencoba menggeser semakin jauh dari jendela.

"Itu mimpi, itu mimpi." namun saat Isvara semakin mundur, punggungnya menabrak sesuatu yang keras. Namun dari teksturnya, jelas itu bukan dinding atau headboard.

Isvara gemetaran lagi.

Dia melihat telapak tangan kanannya, itu masih basah. Bekas jilatan hantu tadi?

"Pasti mimpi, ini keringat. Ini keringat. Ini mimpi." Isvara mencoba menghibur dirinya sendiri, dia sudah sangat ketakutan setengah mati.

Namun tiba-tiba ada sepasang tangan panjang yang memeluk pinggangnya, menarik Isvara ke dalam pelukannya. Tubuh Isvara kaku. Terutama saat suara bisikan di telinga itu begitu nyata, "Bukan mimpi."

***

"Apa maksudnya?"

"Aku mau pergi." Isvara berkata parau. Keputusannya sudah bulat. Wajahnya pucat dengan matanya yang masih bengkak. "Aku mau keluar dari pulau ini."

Isvara tidak tahan. Dia benar-benar tidak sanggup. Tadi malam, dia mimpi di dalam mimpi. Dia ketakutan sampai merasa jantungnya akan berhenti berdetak. Saat tiba-tiba ada sosok yang memeluknya dari punggungnya, Isvara beruntung karena sepenuhnya bangun.

Isvara tidak menganggap ini hanya bunga tidur. Sejak awal dia menginjakkan kaki di pulau, dia sudah merasakan firasat buruk. Hanya saja, karena tidak terjadi apa pun, juga sedikit malu untuk merepotkan orang lain di hari pertama dia datang, Isvara tidak berani meminta diantar pulang kembali.

Terlebih, dia tidak punya uang untuk ongkos pulang.

Orang-orang di pulau ini aneh. Kedatangan Isvara seolah ditunggu semua warga desa. Apa yang menyebabkan orang-orang ini begitu antusias kecuali memiliki tujuan mereka sendiri?

Hal-hal ... yang hanya bisa dilakukan oleh Isvara saja.

"Kenapa?" Irman bertanya dengan nada penyayang. "Kamu baru aja sampai. Kamu nggak punya kerabat di luar, kamu bisa hidup dengan nyaman di desa ini."

Isvara tidak begitu naif untuk mengatakan kalau dia yakin pulau ini berhantu, dan hantu itu mengincar hidup Isvara. 

Isvara hanya berkata serak, "Setelah aku tinggal di sini, aku masih ngerasa lebih nyaman tinggal di kota mana aku dibesarkan. Itu lebih dekat juga ke makam Mama dan Papa."

Mereka sedang duduk di ruang makan, bersiap untuk sarapan. 

Tatapan Irman terarah lurus, seolah dia menebak satu atau dua hal.

"Kakek kesepian di sini. Kita hanya dua kerabat terakhir yang tersisa. Isvara, semua yang Kakek miliki saat ini akan menjadi milik kamu, tolong temani Kakek di masa tuannya." 

"Kalo Kakek mau, kita bisa sama-sama tinggal di Jakarta." Isvara bersikeras. 

"Kakek nggak bisa pergi dari pulau ini, ini adalah tempat di mana Kakek dibesarkan. Pasti sulit beradaptasi tinggal di kota besar. Udaranya juga nggak terlalu bagus untuk Kakek yang sudah tua."

Pupil Isvara menyusut. Dia mengepalkan kedua tangannya, memberi Irman sorot dingin, "Maksud Kakek ... aku nggak bisa pergi, kan?"

Hening.

Sumi yang berdiri di sisi Irman juga menatap Isvara lurus. Atmosfernya semakin suram. Keheningan itu mencekik semua orang. Suara detik jarum jam menggema, membuat suasananya semakin mencekam.

"Kenapa aku nggak bisa pergi?" tanya Isvara lagi.

"Lagi pula ... kamu nggak punya cara buat pergi." Irman kali ini memasang ekspresi dingin. "Kamu bisa mencoba, Kakek nggak akan menahan kamu. Tapi Isvara ... dengan kaki itu, memangnya kamu bisa pergi sejauh mana?"

"Kamu bisa berenang menyeberangi lautan?"

"Walau bagaimanapun, tanpa izin Kakek, nggak ada satu pun kapal di pulau ini yang akan berlayar."

Wajah Isvara menegang. Jelas dia mencoba menahan amarahnya.

"Kecelakaan pipa jatuh itu ..." Isvara tiba-tiba menebak satu hal. "Apa Kakek campur tangan?"

Hening.

Ekspresi Isvara semakin jelek. Jadi ... sejak awal dia memang direncanakan? Dia jatuh ke dalam perangkap orang?

Orang itu ... masih kakek kandungnya sendiri?!

Air mata menggunung di pelupuk mata. Kulitnya memerah karena amarah.

Isvara hampir meledak.

"Mana mungkin?" Irman tersenyum kecil. Dia tampak seperti seorang kakek baik hati penyayang yang sangat memanjakan cucunya. "Isvara, Kakek sayang sama kamu. Kalau dituduh seperti ini ... Kakek juga bisa sakit hati, oke?"

"Jangan terlalu banyak berpikir, tempat ini cocok untuk kamu tinggal. Ayo, sebaiknya kamu segera sarapan."

***

HAHAHAHAHAAHA.

Saya nggak mau bikin The Bride 2 terlalu gore, tapi mencoba membuat atmosfer yang lebih tegang. Ngehehehehe

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top