5. 'Dia' Menunjukkan Wujudnya

Vote dulu.

Komen dulu.

***

Isvara melangkah menggunakan kruk, memasuki ruang makan. Dia melihat sosok kakeknya yang sudah duduk, tersenyum menunggunya. Matanya tampak cekung dan gelap. Pria tua itu selalu mencoba untuk lebih dekat dengannya.

Tapi Isvara merasakan krisis dan penolakan.

Mereka adalah kerabat sedarah.

Jadi kenapa Isvara merasa kalau sosok yang selalu berusaha bersikap baik padanya itu tidak begitu baik?

Isvara mengendalikan ekspresi di wajahnya dengan cepat. Langkah kruknya menggema di tengah ruang makan yang sunyi. Ada begitu banyak hidangan lezat di meja, aromanya harum dan menggugah.

Namun Isvara tidak memiliki napsu makan yang baik.

"Duduk, Isvara." Irman melihat keraguan Isvara. Senyumannya semakin melebar saat Isvara duduk di kursi yang berhadapan dengannya. "Kakek enggak tahu jenis makanan yang kamu suka. Jadi Sumi hanya memasak semua sesuai dengan preferensi Kakek. Kalau ada yang kamu suka, kamu tinggal bilang. Biar Sumi buatkan."

"Ini baik-baik aja." Isvara mengangguk samar, "Aku nggak punya selera khusus."

Irman hanya menatapnya. Semakin Irman melihat, semakin dia menyukai cucunya ini. Dia memuji, "Kamu sangat cantik. Mirip dengan kedua orang tua kamu."

Isvara tidak tahu harus menjawab apa? Jadi dia hanya menutup mulutnya.

"Aku ngeliat ada cowok yang berdiri di luar, padahal hujan." Isvara mengingat sosok aneh tadi yang dilihatnya. "Dia siapa?"

ekspresi hangat Irman dalam sekejap menggelap. Dia menggebrak meja, "Jangan membicarakannya!"

Isvara terentak. Dia tidak menyangka kalau reaksi Irman akan begitu keras.

Irman tampaknya menyadari kalau perilakunya berlebihan. Dia berdehem, kembali menguasai wajah hangatnya dan berkata, "Kakek nggak bermaksud mengejutkan kamu. Tapi itu orang gila, yang selalu membuat kekacauan di desa."

Isvara tidak begitu yakin.

"Kamu sendiri sudah mendengarnya, kan? Orang-orang di pulau ini nggak diizinkan keluar di malam hari. Tapi anak itu sangat bodoh dan ceroboh. Dia melangkahi aturan desa, berkeliaran di malam hari, jadi ..." Irman menunjukkan kepalanya sendiri dengan telunjuknya, "dia memiliki masalah di kepala."

Isvara merasa aneh. "Apa yang terjadi? Dia hanya keluar malam, apa yang membuat dia gila?"

"Siapa yang tahu?" Irman menggeleng. "Setiap wilayah memiliki pantangan. Aturan harus dipatuhi, mereka yang melanggar akan dihukum."

Saat Irman mengatakan kata 'hukum', ekspresinya menjadi gila dan aneh.

"Ya, mereka akan dihukum."

Kakeknya juga gila. Isvara mengepalkan kedua tangannya. Dia semakin yakin, kalau datang ke pulau ini ... merupakan kesalahan terburuk dalam hidupnya.

***

"Isvara akhirnya datang."

Seorang pria duduk di atas atap rumah, tangan kanannnya memegangi sepotong lengan, tetesan darah masih mengucur menetes menjatuhi genteng, mengalir turun sebelum akhirnya berjatuhan di atas rumput.

Melewati sebuah jendela dengan tirai yang tertutup.

Kalau tirai kamar itu masih terbuka, Isvara mungkin akan melihat pemandangan yang membuat jantungnya berdesir keras. Tetesan darah itu sudah seperti hujan.

Pria yang duduk di atas kamarnya membuka mulutnya lebar-lebar, memasukkan satu potongan terakhir ke dalam mulutnya, lalu bersendawa.

"Dia bener-bener lucu." pria itu menghela napas tidak berdaya. "Hidupnya terlalu sial." lalu tertawa keras.

Tawanya menggema, dia melompat turun, berdiri di balik jendela kamar wanita itu. Kepalanya bergerak miring, mata merahnya terlihat menyala. Sedikit demi sedikit, tirai kamar itu terbuka. Hanya selebar 3 ruas jari, tapi sosoknya bisa mengintip Isvara yang sedang duduk melamun sambil memijati kakinya yang lumpuh.

Seolah berharap kakinya bisa segera pulih agar dia bisa melarikan diri tapi tempat ini.

"Enak." pria itu menjilat bibir bawahnya. "Isvara kelihatan enak."

Tapi belum waktunya bagi dia untuk memakannya. Lagi pula cadangan daging di pulau ini masih banyak. Isvara hanya satu-satunya, jika dia mati ... tidak akan ada gantinya lagi.

Bibir pria itu melengkung semakin lebar.

Dia tahu itu sejak awal.

Kalau cepat atau lambat, pada akhirnya Isvara akan datang.

***

Isvara merasa dia diawasi.

Tubuhnya berkeringat dingin, wajahnya pucat. Dia menggigit bibir bawahnya keras. Berusaha mengalihkan rasa takutnya.

Isvara mendengar dengan jelas saat perlahan tirainya bergeser sendiri.

Dia merasakan ada sepasang mata yang menatapnya intens.

Tapi Isvara tidak berani melihatnya. Seolah ada firasat yang mengatakan ... selama dia terlihat menyadarinya, hidup Isvara akan sepenuhnya selesai.

'Pulau ini bener-bener berhantu.' Isvara merasa putus asa. Bagaimana cara dia bisa melarikan diri?

Kedua kakinya bahkan sudah tidak bisa digunakan berlari.

'Hidup aku mungkin sepenuhnya selesai.' 

Berusaha bersikap rileks, Isvara hanya bertepuk tangan sekali. lampu kamarnya mati. Dia berbaring dan bergulung di dalam selimut. Menutupi seluruh tubuhnya, menggigil.

"Tidur?" 

Suara serak dan parau itu membuat degupan jantung Isvara semakin cepat. Isvara berusaha keras untuk tidak menimbulkan suara. Pura-pura tidur.

"Hm, tidur?" suara itu semakin dekat. Bisikannya begitu ambigu, serak dan menyimpan teror. "Kamu bener-bener tidur."

Tubuh Isvara menegang saat merasakan di balik selimutnya, ada tangan besar yang mengusapi lengannya. 

Ada suara kekehan mengerikan.

"Jangan takut." seolah mengetahui di bawah selimut Isvara tidak terlelap sama sekali. Sosok itu menepuki punggung Isvara, menenangkannya. "Jangan takut, Isvara. Belum waktunya."

Apanya yang belum waktunya?

Mata Isvara memerah, dia mengepalkan kedua tangannya.

"Kamu akan berakhir di perut aku." bisikan itu semakin lembut, seperti desiran angin di malam hari. "Tapi bukan sekarang."

"Jangan salahkan orang lain." pria itu mencengkeram lengan Isvara. Walau di balik selimut, Isvara merasakan cengkeraman kuatnya, seolah akan mematahkannya saja.

Isvara mengatupkan mulutnya rapat. Masih bersikeras tidak mengeluarkan suara apa pun.

"Anak pintar." suara itu tampak tidak berdaya. Cengkeramannya melonggar. "Ayo, aku bakalan ngasih kamu kesempatan. Kesempatan untuk hidup dan pergi dari tempat ini."

Ada jeda.

Isvara menunggu. Napasnya melambat, tubuhnya sudah kuyup karena keringat. AC di kamarnya menyala, tapi tubuhnya sangat panas.

"Selama kamu bisa bunuh 20 orang di pulau ini, kamu bisa pergi."

Isvara tercengang. Apa maksudnya?

"Tapi kalo kamu gagal membunuh mereka, kamu nggak punya pilihan," bisikan itu semakin dekat, seolah selimut yang menutupi Isvara sudah disingkirkan, Isvara bahkan bisa merasakan deru napas dingin orang lain di telinganya.

Membuat sekujur tubuhnya merinding.

"Kamu akan berakhir di perut aku. Oke?" 

"Aku paling suka daging segar. Daging segar dari manusia-manusia yang putus asa semacam kamu." ada jeda. Lalu suara tawa ringan, "Isvara ... kamu ... masih nggak mau lihat wajah sosok yang saat ini udah jadi suami kamu?"

***


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top