18. Dia ... Jikininki
Harus meninggalkan pulau ini sebelum malam.
Terdengar mudah, tapi sebenarnya jarak dari desa ini ke pelabuhan sangat jauh. Bahkan, walau Isvara bisa mendapatkan mobil, di mana dia bisa menemukan kapal untuk menyebrang laut?
Isvara merasa dia jatuh ke dalam situasi yang benar-benar putus asa. Dia mengerti ... tanpa izin 'pemilik', dia tidak bisa meninggalkan pulau ini sama sekali.
Bibir Isvara terkatup rapat, ekspresinya tampak putus asa dengan kedua pupilnya yang kusam gelap.
Bagaimana cara dia bisa lari dengan setengah kakinya yang cacat?
Benarkah ... dia hanya akan mati di tempat ini?
Tidak ada jalan untuk lolos sama sekali?
"Kamu tahu banyak." Isvara bergumam pelan, menatap Deva tenang. "Deva ... kamu seperti ensiklopedia hidup tentang pulau ini."
Bahkan hal-hal yang tidak dikatakan orang lain, dia mengungkapkannya tanpa ragu. Dibanding Irman yang disebut sebagai pemilik pulau ... Deva terlihat seperti sosok pemilik yang sebenarnya. Dilihat dari cara semua orang memperlakukan Deva, bahkan kakeknya terlihat segan di depannya. Isvara curiga ... kalau Deva ... sebenarnya bukan manusia.
Tapi, kecurigaan hanyalah kecurigaan. Isvara tidak bermaksud untuk menyelisik lebih dalam. Rasa penasaran membunuh kucing. Iblis ingin mempermainkannya, Isvara tidak bisa melawannya. Dia pikir ... mungkin iblis yang mengaku sebagai suaminya saat ini hanya ingin membimbing Isvara selangkah demi selangkah, menyingkap tabir tentang Pulau Pengantin dengan kedua tangannya sendiri ... lalu menunjukkan hal-hal yang akan membuat Isvara lebih putus asa dan ketakutan.
"Menurut kamu gitu?" Deva terkekeh. Kedua pupilnya melebar, menunjukkan antusias dan euforia. "kalo begitu ... Isvara bisa tanya apa pun sama saya. Saya akan menjawab setiap pertanyaan Isvara ... semuanya."
Menantikannya.
Tidak sabar menunggunya.
Keinginan dan nafsu yang membeludak.
"Saya nggak akan tanya tentang apa pun lagi." Isvara perlahan menarik tangannya, dia tersenyum susah payah, "setelah apa yang kamu bilang barusan, saya ngerti ... tanpa izin Kakek, saya nggak bisa pergi sama sekali."
"Kamu nggak mau tanya-tanya lagi?"
"Nggak ada."
"Saya yakin ada banyak pertanyaan di benak kamu sekarang."
"Saya nggak terlalu pintar." Isvara merasa jantungnya berdegup kuat. Sangat keras. Punggungnya berkeringat dingin, dia tidak nyaman dan gugup karena dorongan Deva yang terlalu antusias. "itu cukup."
Deva terdiam. Sepasang pupil gelap sedalam jurang itu memindai wajah Isvara saksama, melihat sebutir keringat yang mengalir dari pelipis Isvara, gerakan menelan tanpa sadar karena terus diawasi olehnya.
Deva tertawa, tawanya keras dan bahagia. "Isvara ... kamu sebenernya sangat pintar." Deva mengulurkan kedua tangan, menangkup pipi Isvara dengan telapak tangannya yang besar. "kamu ... manusia paling pintar yang pernah saya temui dalam hidup ini. Jadi jangan rendah diri."
"Beberapa orang yang saya temui, saat tahu rahasia di pulau ini ... mereka bekerja keras untuk mencari lebih banyak informasi, melakukan satu demi satu trik supaya bisa lari." Deva menghela napas berat, menggeleng pelan. "mereka sama sekali nggak sadar ... tanpa izin pemilik, mereka nggak bisa pergi sama sekali. Kamu tahu kenapa?"
Isvara hanya diam.
Deva terhibur, dia mendekatkan wajah mereka, berbisik di telinga Isvara dengan suara yang lembut dan membujuk, "Karena iblis itu ... adalah pulau ini sendiri."
Isvara kaku.
Deva mundur, dia mengusap keringat yang bercucuran di wajah Isvara. "Jangan takut. Jangan khawatir. Selama kamu nggak melanggar pantangan, kamu akan baik-baik aja. Walau bagaimanapun ... kamu bukan satu-satunya."
"Kamu nggak perlu menanggung semuanya sendiri."
"Kalo ada yang buat kamu khawatir dan nggak nyaman, Isvara ... jangan sungkan. Kamu bisa menceritakan semuanya sama saya."
"Saya akan selalu ada untuk kamu. Saya selalu ada di pihak kamu, oke?"
Isvara mengatupkan bibir rapat, melihat wajah tampan yang jaraknya begitu dekat. Bibir merah pria itu terus bergerak-gerak, sepasang mata sayunya terlihat mengecil dan melebar, mengikuti intonasinya bicara. Hidung mancung Deva mengembuskan napas panas yang harum, menggoda seseorang untuk mendekat dan mencecapinya.
Bahkan, walau Isvara enggan menerima, dia harus mengakui kalau wajah pria ini adalah wajah paling tampan yang pernah Isvara lihat dalam hidupnya. Kulitnya sangat putih cerah dan bersih, bahkan pori-porinya hampir tidak terlihat.
Seolah ...,
Isvara tersenyum kecil, "Makasih."
Seolah ... penampilan ini disesuaikan sendiri untuk memenuhi estetika tampan menurut sudut pandang semua manusia.
"Ayo kita lanjutkan makannya." Deva berdiri, dia berjalan menuju kursinya lagi, duduk di sana dan mengambil peralatan makannya. Melihat supnya yang sedikit dingin, Deva menyerahkan pada Sumi, "tolong panaskan lagi."
"Baik, tolong tunggu sebentar." Sumi bergegas mendekat dan menerima mangkuk sup dengan hati-hati, bergegas menuju dapur untuk mengikuti intruksi.
Beberapa menit kemudian Sumi kembali, dia meletakkan mangkuk sup di depan Deva. Deva mengambil sendoknya lagi, mengambil kuah sup panas dan mencicipinya, menghela napas sambil menoleh ke arah Sumi, memujinya, "Masakan Bi Sumi masih sangat enak. Saya bakalan lebih sering datang untuk makan di rumah ini."
"Kalo masakan ini sesuai dengan lidah kamu, saya ikut senang." Irman menjawabnya semangat. Dia memindai wajah Deva antusias, "kamu juga bisa memesan menu yang lain, Sumi akan menyesuaikan. Sering-sering datang, Deva ... anggap ini adalah rumah kamu sendiri. Lagipula, Isvara di sini sering sendirian, dia pasti kesepian."
Isvara memakan hidangan di depannya seolah tidak ingin terlibat. Lidahnya mati rasa, dia terlalu gugup sampai tidak bisa merasakan apa-apa.
Hanya saja satu hal yang Isvara yakini saat ini.
Isvara melirik Deva, Deva tersenyum padanya, jadi Isvara membentuk lengkungan bibir susah payah.
Deva ... adalah iblis penguasa Pulau Pengantin.
Dia ... jikininki.
***
Memiliki banyak waktu luang, Isvara duduk di kursi roda, menatap pemandangan sore hari di taman rumah kakeknya. Dia sangat pendiam, wajahnya terlihat sangat pucat, dia akan sesekali melirik arloji mahal yang melingkari tangan kirinya, memastikan waktu agar tidak terlambat bersembunyi di kamar sebelum malam.
Baru pukul setengah lima sore.
Sangat sepi.
Irman tidak mempekerjakan banyak orang di rumah ini.
Hanya ada Dayat dan Sumi. Jadi Isvara lebih banyak menghabiskan waktu sendirian, merenung dan memikirkan banyak hal diam-diam.
Deva adalah jikininki. Dia bukan manusia. Itu pasti. Tapi Isvara tidak tahu bagaimana dengan penduduk pulau yang lain? Terlepas mereka manusia atau hantu, Isvara yakin mereka tidak akan membantunya, mereka bahkan memiliki niat jahat padanya.
Jikininki adalah iblis pemakan daging manusia. Jika benar yang dikatakan Deva, kalau jikininki itu adalah pulau ini sendiri ... Isvara tidak bisa membayangkan seberapa kuat Deva dibanding iblis jikininki yang tertulis di dalam buku. Walau bagaimanapun, di sana hanya tertulis kalau mereka akan menguasai suatu wilayah ... tapi tidak disebutkan wilayahnya seluas apa?
"Seluruh warga desa harusnya tahu kalau Deva itu iblisnya," Isvara bergumam pelan, hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri. "tapi mereka justru hidup damai di pulau ini. Masuk akal kalo mereka bukan manusia, tapi kalau mereka itu sebenernya masih hidup ... apa alasannya?"
"Patuh, takluk, seolah menerima takdir sebagai ternak." Kelopak mata Isvara turun. Dia tertegun, "ternak?"
Ya.
Jikininki adalah pemilik pulau. Mereka suka memakan daging manusia. Ada begitu banyak orang hidup di pulau ini dan bisa hidup dengan bebas kecuali di malam hari. Kenapa dia tidak tergesa-gesa memakan mereka?
Alasan yang dipikirkan Isvara hanya satu.
Ternak.
Orang-orang itu dibiarkan berkembang biak di desa ini, untuk menjadi stok makanan iblis seumur hidup. Sesekali dia akan mengundang manusia dari pulau lain untuk bermain.
Bagi iblis, manusia tidak ada bedanya dengan ayam atau sapi.
Tangan Isvara mengepal kuat. Tubuhnya gemetar karena cemas dengan tebakannya sendiri.
Tiba-tiba dia menoleh ke sisi kanan saat mendengar suara aneh di semak-semak.
Isvara menegang. Sepasang manik cokelat itu menyempit. Napasnya tersendat. Isvara bertanya serak, "Siapa?"
***
Isvara : butuh 18 chapter buat tahu kamu emang bener-bener iblisnya. Kenapa kamu nggak mau ngaku dari awal?
Deva : Kalo aku jujur, aku melanggar UUP.
Isvara : Apa itu UUP?
Deva : Undang-Undang Periblisan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top