15. Tamu
Saat Isvara mengumpulkan beberapa buku untuk dibawa ke kamarnya sendiri. Isvara terlalu sibuk dengan segala tebakan dan pikirannya. Jadi, saat dia berbalik ... dia terkejut karena Sumi tiba-tiba sudah berdiri di depannya.
Isvara hampir menjatuhkan semua buku di tangannya. Dia tercengang, mendongak dan menatap Sumi yang mengukir senyuman sopan. Isvara menggenggam buku lebih erat. Sejak kapan Sumi ada di belakangnya? Kenapa dia sama sekali tidak mendengar langkah suara?
Perasaan Isvara tidak enak. Namun dia mencoba mengontrol ekspresi wajahnya, terlihat lebih tenang tanpa curiga.
"Ada apa?"
"Non Isvara ada tamu." Sumi mengangguk kecil. "Ada beberapa orang di luar sekarang, mereka bilang adalah temannya Non Isvara."
"Teman saya?" Isvara mengerutkan kening. Tidak mungkin Deva. Pria itu bisa melengang datang dan pergi ke rumah ini sesuka hati. Pergerakannya tidak pernah dibatasi. Bahkan, Irman sebagai pemilik rumah saja memperlakukan Deva dengan sangat sopan.
Menumbuhkan lebih banyak bibit kecurigaan di benak Isvara.
"Ya." Sumi menjelaskan lagi. "ada 6 orang. Non Isvara mau pergi?"
"Saya akan pergi ke sana sekarang." Isvara menebak beberapa orang. Di pulau ini, dia nyaris tidak memiliki kenalan. Selain Deva, Galih, dan orang-orang yang bekerja di rumah Irman, Isvara sepenuhnya asing.
Dia juga belum terlalu beradaptasi.
"Rafel." Isvara bergumam pelan. Ya, hanya Rafel dan teman-temannya saja. Isvara tidak salah mengingat, mereka ada 6 orang. Untuk apa sekarang mereka datang?
Sambil mendorong tuas kursi rodanya, Isvara meninggalkan perpustakaan, dia melihat sekeliling, tidak menemukan Deva di sana. Isvara hanya meluruskan pandangan lagi dan pergi.
Rumah ini sangat luas. Membutuhkan waktu 10 menit dari perpustakaan ke ruang tamu. Isvara tidak lelah, Sumi berjalan selangkah demi selangkah di sisinya. Isvara mendongak dan bertanya, "Mbak Sumi sudah bekerja berapa lama di sini?"
Sumi menoleh, dia tersenyum dan menjawab, "Saya bekerja di sini sejak kecil. Kebetulan ... saya yatim piatu. Pak Irman memperlakukan saya dengan baik, mungkin ... lebih dari 30 tahun."
"Mbak Sumi nggak kepikiran ninggalin pulau? Pergi ke Ibukota misalnya."
Sumi tertawa kecil. "Saya orang udik, Non. Ninggalin pulau ... mana berani?" jari-jari Sumi di sisi tubuhnya meringkuk, Isvara meliriknya sebentar. Sesekali ... dia menemukan Sumi melakukan gestur yang aneh.
"Kalo Mbak Sumi udah lama tinggal di sini, Mbak Sumi juga udah punya aset terpisah dong?"
Sumi menggosok ibu jari dan telunjuknya. Dia mungkin berpikir Isvara tidak akan melihat perilaku diam-diamnya. Isvara mengamati jari-jari Sumi. Kulitnya sawo matang. Wajah Sumi memiliki beberapa kerutan dan flek hitam. Dia terlihat seperti usia 40 atau 50-an. Tapi kulit tangannya masih sangat kencang.
"Ada beberapa." Sumi menutup pembicaraan. Seolah tidak ingin lagi mengatakan apa-apa. Isvara berhenti bertanya, tahu dia tidak bisa mengorek informasi apa pun lagi darinya. Isvara hanya bisa menebak-nebak sendiri.
Mereka akhirnya sampai di ruang tamu.
Isvara tidak terkejut melihat Rafel dan yang lainnya benar-benar datang. Mungkin, Isvara sedikit menduganya. Entah kenapa ... Isvara merasa sedikit bosan? Dia bahkan sudah menebak drama apa yang akan mereka pentaskan.
Saat awal mereka bertemu lagi, Isvara sangat marah, sedih, dan kecewa. Dia benar-benar muak dan tidak mau lagi melihat sekelompok bajingan di depannya.
Tapi sekarang ... di saat Isvara bahkan harus lebih mengkhawatirkan hidup dan matinya, dia tidak memiliki ruang untuk membenci seseorang lagi. Dia justru merasa lucu dan geli.
'Keberuntungan' macam apa yang Rafel dan teman-temannya alami?
Mereka ... sebenarnya tanpa sengaja justru terlibat di pulau berhantu ini.
"Isvara." Rafel buru-buru berdiri. Dia mengukir senyuman hangat. Dia tampak sedikit gelisah, ragu ingin mengatakan lebih banyak.
Gesturnya sangat alami. Jika itu di masa lalu, Isvara akan tertipu. Berpikir kalau Rafel memiliki banyak hal di benaknya sekarang, penjelasan karena 'ketidakberdayaan' dan 'kesedihan'.
Tapi sekarang ...,
"Untuk apa kalian datang?"
Awalnya, orang-orang itu mengira Isvara akan langsung marah dan mengusir mereka. Masing-masing di antara mereka bahkan sudah menyiapkan skenario di benak mereka. Jadi ... saat melihat respons Isvara yang cukup tenang, mereka sedikit terpana.
"Mbak Sumi, tolong bawakan beberapa minuman dan camilan." Isvara melihat pada Sumi.
Sumi mengangguk, "Baik, Non." lalu wanita paruh baya itu pergi ke dapur.
"Isvara ... begini." Rafel menelan ludah. Dia ragu-ragu mendekati Isvara, berjongkok di depannya. Kedua manik gelap itu menyorot Isvara tulus dan sedih. Dia membuka mulut, menutup kembali. Pada akhirnya mereka sama-sama diam.
Suasananya begitu hening dan mencekik.
Isvara berkedip. Dia menghela napas dan bertanya tenang, "Ada apa?"
Orang-orang serakah ini ... mana mungkin Isvara tidak tahu tujuan mereka? Saat Isvara mengalami kecelakaan, Rafel memperlakukannya dengan lembut dan penuh sayang. Dia sangat memanjakan Isvara seolah Isvara lebih berharga dibanding hidupnya sendiri.
Lalu ... asuransi Isvara cair. Tiba-tiba saja Rafel sulit dihubungi, sebelum akhirnya dia menghilang tanpa kabar.
Baru Isvara mengerti ... dia ditipu. Dia sudah dikhianati.
Sosok yang paling dia andalkan justru yang memukul Isvara paling keji. Saat itu, Isvara merasa sangat putus asa. Dia bahkan berpikir untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Di dunia ini ... dia tidak memiliki siapa-siapa lagi.
Tapi, rasanya bodoh untuk mati gara-gara seorang bajingan. Jika kematiannya terungkap ... dia hanya akan ditertawakan banyak orang. Isvara mati langkah, pada akhirnya ... dia menerima undangan kakeknya, datang ke pulau berhantu dan bersiap untuk menjadi tumbal.
Melihat dari gerakan Irman, Isvara curiga ... bahkan walau Rafel tidak meninggalkannya, cepat atau lambat Isvara akan diseret ke pulau ini secara paksa.
Sekarang ... Isvara hanya harus mencari cara untuk tetap bertahan hidup. Akan lebih baik kalau dia bisa meninggalkan pulau sialan ini.
"Isvara ... sebenarnya, uang asuransi kamu, sampai sekarang masih utuh. Aku nggak pernah memakainya sama sekali." Rafel tersenyum pahit. Ekspresinya begitu tercekik dan sakit. Isvara memindai wajahnya. Kalau bukan karena pengalaman ditipu sebelumnya, Isvara pasti tidak akan meragukan perkataannya.
Ekspresi Rafel terlalu meyakinkan.
Dengan bakat aktingnya, sayang sekali dia tidak menempuh jalur seorang aktor.
"Saat itu, aku denger kabar kalau kamu selingkuh. Aku juga dapet banyak kiriman foto dari anonnymous kamu udah tidur sama cowok lain. Aku terlalu marah, jadi alih-alih bertanya sama kamu untuk memastikannya, aku milih perang dingin."
"Aku ambil uang asuransi kamu dan menyembunyikannya. Tapi tentunya aku nggak berani pakai. Aku mau menghukum kamu sebentar, buat kamu menderita beberapa saat sampai kamu menyesal. Supaya ... setelah kita balikan, kamu nggak akan mengulang kesalahan yang sama."
Oh.
Isvara menatapnya.
Skenario murahan macam apa ini?
Rafel menelan ludah, melihat ekspresi di wajah Isvara tidak banyak tergerak, dia melanjutkan, "Aku juga minta temen aku buat pura-pura jadi pacar aku. Bersikap mesra di depan kamu. Aku mau bikin kamu cemburu. Tapi sebenarnya ... di antara kami berdua nggak ada hubungan sama sekali. Kamu bisa tanya sama semua temen-temen aku. Mereka dari awal tahu rencana ini. Mereka bisa bersaksi."
Sudut bibir Isvara berkedut.
Kali ini dia benar-benar terkejut.
***
Rafel : Isvara, sumpah aku nggak selingkuh. Itu semua cuma akting biar kamu cemburu.
Isvara : Oh.
Deva : Oh.
Jikininki : Oh.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top