10. Berbagai Keanehan

Isvara tidak ingat bagaimana dia kembali ke rumah Irman, begitu dia sadar, dia sudah tiba di rumah dan Deva pamit untuk pergi mengajar. Baru Isvara ingat, kalau Deva adalah seorang guru.

Isvara tidak begitu nyaman saat bertemu Deva, hanya saja dia mendapat firasat kalau Deva merupakan salah satu sosok kunci di pulau ini, jadi sebisa mungkin ... walau beberapa perilaku Deva membuat Isvara tidak nyaman, dia masih mencoba menjalin hubungan akrab.

"Non Isvara kembali." 

Suara dewasa seorang pria menyapanya dengan ramah. Begitu Isvara berbalik, dia bertemu dengan seorang pria paruh baya. Tingginya mungkin sekitar 165 cm, perawakannya agak gemuk dan berkulit gelap. Pria itu memakai pakaian kumal yang sedikit kotor, celana pendek, dan memegangi gunting besar.

Tukang kebun.

"Saya Dayat, kalau Mbak Isvara nggak ingat."

"Maaf." Isvara tersenyum kecil. "Saya baru tinggal beberapa hari, jadi belum bisa ingat banyak orang, Pak Dayat." 

"Nggak apa-apa, nggak apa-apa, saya hanya tukang kebun, bahkan walau Mbak Isvara nggak ingat saya, saya masih akan selalu mengingat Mbak Isvara." Dayat menatap Isvara dengan sorot aneh. Cenderung ... obsesif?

Dia terlihat sedikit gila. Dia jelas bersusah payah untuk tetap terlihat ramah, kedua tangannya memegangi gunting besar itu erat, seolah mencoba menahan diri.

Isvara bersikap normal, seolah tidak melihat apa-apa, dia justru melihat sekelilingnya, "Kebun ini ... semua diurus Pak Dayat sendiri?"

"Ya, ya." Dayat buru-buru mengangguk. "Halaman rumah Pak Irman luas, semuanya saya urus sendiri. Nggak ada yang ikut campur, nggak boleh ada yang ikut campur." Dayat bergumam di akhir kalimat. Dia tampak ceria saat menjelaskan, "Lihat? Setiap bagian di kebun ini sangat rapi dan cantik, taman bunga di halaman setiap warnanya berada di garis yang sama."

"Saya baru melihat dari kejauhan, nanti ... saya akan lihat sekitar taman lebih dekat." Isvara setuju. 

Tidak bisa dipungkiri, kalau taman rumah Irman memang benar-benar ditata cantik. Bahkan tinggi pohon dan tumbuhan sejajar, seolah seorang yang bertugas merawatnya mengalami OCD yang parah saja.

Hanya ... melihat Dayat yang cukup kotor dan tampaknya tidak memedulikan penampilannya sendiri, seharusnya pria ini tidak mengalami masalah mental tersebut. Mungkin hanya terlalu perfeksionis?

"Ada banyak bunga, setiap wanita suka bunga." Dayat mulai bicara dengan antusias. "Mbak Isvara suka bunga jenis apa? Ada mawar, anggrek, lavender, dan masih banyak lagi. Saya akan mengirim pada Sumi, biar Sumi letakkan bunga-bunga itu di vas, untuk menghiasi kamar Mbak Isvara."

"Pak Dayat sangat menyukai pekerjaan sebagai tukang kebun?"

"Karena hanya saya yang bisa melakukannya." sorot mata Dayat agak mendung, terlihat aneh. Dia menundukkan pandangan, bergumam, "hanya saya yang mampu."

Satu demi satu, orang-orang yang Isvara temui di Pulau ini terlalu aneh. Ada terlalu banyak pertanyaan di benaknya, tapi Isvara lebih memilih menelan setiap keraguannya. Dia tahu ... dia tidak bisa mendapatkan informasi apa-apa dari Dayat.

Juga ... tatapan penuh kegilaan dan pemujaan di mata Dayat agak menakutkan. Isvara tidak tahu apa yang pria ini pikirkan saat melihatnya? Tapi seluruh tubuh Isvara terasa dingin, bulu kuduknya berdiri. Dia benar-benar merinding.

"Untuk saat ini, saya belum ada rencana memetik bunga." karena Isvara tidak tahu apa yang ada di bunga itu, sementara waktu ... sebaiknya dia lebih mewaspadai banyak hal. Terutama saat berurusan dengan orang-orang yang aneh. "Tapi kalo nanti saya menginginkannya, saya akan meminta tolong langsung pada Pak Dayat."

"Tentu, tentu." Dayat buru-buru mengangguk. Tampak tersanjung. "Mbak Isvara boleh memintanya kapan pun. Saya selalu siap. Saya akan selalu luang untuk Mbak Isvara."

Isvara hanya tersenyum dan pamit.

Dia memutar kursi rodanya, mendorong tuas dan naik ke lantai miring di teras, disiapkan agar Isvara mudah mengendalikan kursi rodanya, bisa masuk dan keluar rumah ini dengan bebas.

Pupil Isvara menyusut. Dia harus lebih berhati-hati. Isvara merasa saat ini dia sedang bertaruh dengan hidupnya sendiri, jika dia tidak berhati-hati, dia akan mati.

---

Dayat terus melihat kepergian Isvara. Senyumannya semakin lebar dan gila, dia tertawa kecil, "Pengantinnya ...."

Dayat menjatuhkan guntingnya, mengatupkan tangan di depan dada, menggosok-gosoknya dengan khusyuk. 

"Aku bicara dengan pengantinnya." mata Dayat terpejam, dia terkekeh mengerikan, "Aku ... bicara dengan Pengantin Tuan."

***

"Mbak Isvara kembali, mau makan siang apa?" Sumi melihat Isvara masuk. Isvara berhenti di ruang tamu, dia melihat Sumi yang tampak lembut, memakai celemek biru tua dan memegang kemoceng. "Saya sudah masak, tapi saya nggak yakin dengan makanan yang disukai Mbak Isvara."

"Saya bukan pemilih makanan. Saya mau mandi dulu, baru turun dan makan siang."

"Oke, kalo ada makanan yang Mbak Isvara inginkan, Mbak Isvara bisa bilang, nanti saya akan masak."

Isvara mengangguk ramah, lalu dia pergi menuju kamarnya.

Dia menghirup napas dalam-dalam, mengembuskannya perlahan. Bibirnya mengukir senyuman mengejek, "Aku pikir bakalan jadi satu-satunya, Rafel ... takdir itu aneh."

Isvara tidak tahu apa Rafel dan teman-temannya sudah menyadari ada yang salah? Ada aturan di pulau ini, yang Isvara bahkan tidak berani melanggar walau awal-awal dia meragukannya.

Rafel dan beberapa temannya itu adalah pelanggar aturan. Mereka mungkin hanya berpikir kalau aturan ini untuk menakut-nakuti mereka. Walau bagaimanapun, mereka tidak percaya dengan hal-hal berbau mistis.

"Tapi aku lega." Isvara bergumam, dia meletakkan tangan di dadanya. "Artinya ... aku bukan satu-satunya."

Terlepas dari kebenciannya, Isvara, Rafel, dan yang lainnya saat ini sudah seperti belalang yang berada di tali yang sama. Isvara selalu memiliki beberapa keraguan tentang semua warga penghuni pulau, menemukan Rafel ... walau awalnya membuat dia sedih dan sakit hati, setidaknya dia tahu ada manusia dari luar pulau selain dirinya sendiri.

Isvara tentu saja tidak bermaksud bekerjasama. Dia berpikir untuk melihat apa yang dilakukan Rafel dan teman-temannya. Ada begitu banyak orang yang bisa digunakan untuk 'mencoba', dia tidak harus repot-repot melompat ke dalam jebakan seorang diri.

"Rasanya ... kepribadian aku sendiri jadi lebih aneh dan kejam." Isvara tersenyum kecut. Dia menutup matanya rapat, menghirup napas dalam sebelum menghibur diri, "aku pikir ... ini wajar."

Ya, wajar.

Isvara hanya ingin hidup.

Dia juga manusia yang egois, mengutamakan kepentingannya sendiri dibanding kehidupan orang lain.

Lagipula, Rafel dan beberapa orang itu sudah menipu uangnya.

Tidak ada yang salah ... kalau Isvara menggunakan mereka sebagai balas dendamnya bukan?

***

Yoooooo. Hahahaha

Vote dulu.

Komen dulu.

Isvara sebenernya nggak senaif yang digambarin di awal chapter kok. Manusia emang sering jauh lebih kejam kalo udah berurusan sama hidup mereka. #fiuh

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top