1. Desa Pengantin

Isvara melihat secarik kertas kecil di tangannya, nama Desa tempat kakeknya tinggal agak unik. 

Desa ini disebut sebagai Desa Pengantin. Untuk mencapai Desa ini, bukan hanya harus menggunakan kapal laut, aksesnya juga bisa disebut tidak terlalu mudah. Sebelum sepenuhnya memutuskan pergi, Isvara sudah memeriksanya di internet.

Informasi tentang Desa Pengantin tidak begitu banyak. Selain terletak di sebuah pulau terpencil, memiliki pemandangan asri entah itu tentang sawah atau lautnya yang jernih, tapi pulau ini juga dimiliki secara pribadi.

Turis-turis atau orang luar pulau tidak diiizinkan memasuki wilayah pulau terlalu sering.

Populasi di pulau ini hanya mencapai 5000-an orang. 

Melihat beberapa foto di internet, Isvara semakin yakin kalau dia harus pergi.

"Terima kasih." Isvara mengangguk ramah dan tersenyum kecil pada supir taksi yang membantunya memasukkan koper ke bagasi. Dia turun dari kursi roda, melangkah tertatih memasuki mobil.

Kursi rodanya dilipat dan dimasukkan ke dalam mobil.

"Ke pelabuhan, Mbak?"

"Iya."

Isvara sudah berkomunikasi dengan kakeknya. Ternyata kakeknya memiliki sebuah speedboat dan beberapa perahu pribadi. Biasanya, benda-benda itu digunakan oleh penduduk Desa jika ingin menyeberang untuk membeli berbagai kebutuhan pokok yang tidak tersedia di pulau.

Isvara merasa uangnya bahkan sudah mepet untuk menggunakan taksi, jadi dia bersyukur begitu mendengar kalau dirinya akan dijemput menggunakan speed boat pribadi.

Di sisi lain, Isvara juga tidak bisa membayangkan seberapa kaya kakeknya itu. Hidup Isvara dengan kedua orang tuanya bisa dikatakan tidak kaya, mereka sering berpindah dari satu kota ke kota lain.

Isvara tidak mengerti awalnya. Apa yang membuat orang tuanya begitu cemas?

Tapi setiap kali orang tua Isvara akan mengatakan sesuatu, seolah ada hal yang mencekik leher mereka, keduanya selalu panik dan pucat. Tampak kesakitan luar biasa.

Pada akhirnya, Isvara tidak berani bertanya lagi.

Sesampainya di pelabuhan, Isvara dibantu untuk turun dari taksi. Supirnya bersikap ramah, mungkin ... merasa kasihan pada Isvara yang cacat, dia membantu Isvara membawakan kopernya.

"Di mana nunggunya, Mbak?" tanya supir taksi paruh baya itu.

"Mbak ... Isvara?" 

Isvara juga sedikit linglung. Kakeknya hanya meminta Isvara untuk menunggu di pelabuhan. Tapi begitu luas dan ramai, Isvara tidak tahu bagaimana cara mereka menemukannya? Isvara mengirimkan foto dua hari lalu, kakeknya bilang orang suruhannya akan mengenalinya dan menjemputnya.

Isvara perlahan menoleh. Dia melihat seorang pria jangkung dengan kulit putih pucat. Bibirnya terlihat merah dengan matanya yang sayu lembut. Hidungnya mancung dengan rambut sedikit gondrong. Pria itu hanya memakai kemeja hitam dan celana jeans, juga menenteng sebuah tas besar.

"Ya?" Isvara untuk sesaat agak linglung. 

Tidak perlu diragukan. Sosok di depannya sangat tampan.

"Saya Deva." Pria bernama Deva mengulurkan tangannya ramah, mengajak bersalaman. 

Isvara dengan ragu menyambut uluran itu. 

"Kakek Irman bilang hari ini saya bisa pergi ke Desa sekalian dengan cucunya. Jadi saya diminta mengenali Mbak Isvara."

Irman adalah nama kakeknya. Mendengar itu, Isvara agak lega. Dia mengangguk dan bertanya, "Kapalnya udah datang?"

"Udah." Deva mengangguk. "Ayo, kita berangkat." Deva akan pergi saat melihat seorang pria paruh baya yang membawa koper Isvara, dia mengulurkan tangannya, "Biar saya yang bawakan kopernya, Pak. Terima kasih."

Supir taksi lega melihat wanita menyedihkan itu akhirnya menemui kerabat di tempat ramai. Dia tersenyum, "Hati-hati, Mbak. Mas, jagain Mbaknya."

"Makasih, Pak." Isvara juga menunjukkan rasa syukurnya. Bapak ini bisa pergi dan mencari penumpang lain sejak tadi, tapi justru memilih membantu Isvara sampai selesai.

Bapak itu pergi. Isvara melihat Deva yang menenteng kopernya dengan mudah, dia merasa tidak enak, "Kamu ... tasnya nggak begitu besar. Bisa aku bawain."

Deva terkekeh, "Ini ringan. Ayo."

Isvara melihat Deva yang berusaha menyejajarkan langkahnya dengan kursi rodanya yang lambat. Namun tidak ada keluhan. Sikapnya sangat welcome.

Sejujurnya, Isvara tidak menyangka kalau ada pria setampan ini yang tinggal di pulau terpencil. Jika Deva tinggal di Ibukota, jelas pria ini bahkan cocok untuk menjadi aktor atau model.

Tingginya Isvara duga mungkin kurang lebih 185.

"Mas Deva-"

"Panggil Deva cukup." Deva terkekeh. "Biar lebih akrab."

Isvara mengangguk, "Kamu penduduk asli pulau?"

"Oh, bukan." Deva menggeleng. "Saya tahun lalu ditugaskan sebagai Guru di Desa Pengantin."

"Guru?"

"Guru SD." Deva tidak menyangkal. "Saya suka anak-anak."

Jika orang lain yang mengatakan, Isvara mungkin akan menuduh mereka 'cabul' dengan nada semacam itu. Tapi Deva tampak memiliki ekspresi tulus, jadi dia hanya menganggap Deva sebagai orang yang mencintai anak-anak.

"Gimana kondisi di Desa?" Isvara bertanya ragu. "Internet, bisa masuk?"

Deva tidak bisa menahan tawanya, "Itu pulau kecil, tapi akses komunikasinya sangat bagus." Deva menjelaskan, "Kakek Irman sosok yang peduli pada lingkungan, jadi teknologi sebenarnya enggak begitu ketinggalan dari kecamatan-kecamatan di kota kecil."

Mendengar itu, Isvara lega. Setidaknya desa itu tidak terlalu terbelakang. Dia juga memuji, "Kakek ternyata memiliki jiwa sosial yang tinggi."

Deva tersenyum namun tidak mengatakan apa-apa.

Begitu mereka sampai di depan sebuah speed boat, Isvara terkejut karena ukurannya cukup besar. Ini hampir menyerupai yacht. 

Sangat kaya.

Beberapa orang di atas speed boat turun. Ternyata, bukan hanya Isvara.

Ada juga beberapa wanita dan laki-laki muda yang sudah bertengger di sana. Satu orang melompat turun menghampiri Deva, "Ini Mbak Isvara?"

"Iya." Deva mengangguk. "Mbak Isvara, ini Galih. Dia penduduk Desa Pengantin. Membeli beberapa kebutuhan yang nggak ada di desa." 

Galih mengulurkan tangan mengajak bersalaman, Isvara menyambutnya, "Saya Isvara."

"Kamu tolong bawa koper sama tas saya ke atas, biar saya yang bawa Mbak Isvara." Deva menyerahkan tas dan koper di tangannya, Galih tidak menolak. Pria itu membawa kedua benda di tangannya kembali naik ke speed boat.

Isvara awalnya agak bingung sebelum akhirnya Deva mendekat, berbisik, "Permisi, ya." Lalu dia mengangkat tubuh Isvara. Dan membawanya masuk ke dalam speed boat.

Galih turun kembali, membawa kursi roda wanita itu.

Isvara diturunkan hati-hati di sebuah kursi. Dia masih agak bingung dan berbisik, "Maaf merepotkan."

"Ringan kok." Deva terkekeh. 

Isvara agak malu. Dia mendapati tatapan beberapa wanita di dalam, ada yang tertarik, ada yang penasaran, ada juga yang tampaknya tidak terlalu menyukainya.

Isvara tidak peduli.

Dia hanya menunduk, dan menoleh saat Deva berdiri di sisinya, mengintruksikan tentang mereka yang sudah bisa pergi menuju pulau.

Isvara melihat pelabuhan yang semakin kecil dan kecil. Rambut panjangnya yang terurai berkibar tertiup angin.

Dia perlahan menoleh dan mendongak saat menyadari tatapan yang tidak beralih darinya.

Deva tersenyum. Pupilnya melengkung saat dia berbisik, "Senang bisa bertemu dengan Mbak Isvara."

***

Absen~

Vote dan komen dulu. Biar rame.

Jawab beberapa komentar pembaca yaaaa.

Apakah ada romance? Kurang lebih keknya macem The Bride aja sih.

Tulisannya lebih kalem dibanding dulu. Ini sebenernya baru awal ya. Kalem atau enggak itu gimana nanti. HAHAHAHA. Tapi, emang lebih formal sih diksinya.

Kenapa bukan tentang Askara dan Kayana? Saya ga minat nulisnya euy. Keknya Askara-Kayana ini terlalu dark. Saya mau nulis yang ringan aja. #uhuk

Gaya nulis Queen Nakey vibe-nya kek beda tiap platform? Yess, gaya nulis saya di wattpad sama novelme keknya emang beda banget sih.  

Karena saya mutusin buat nggak pernah bukuin Freindscream, saya pengin namatin THE BRIDE ; SCHADENFREUDE ini maksimal lebaran biar langsung open PO. Tahun ini saya belum nerbitin novel euy. Mudah2an updatenya lancar biar bisa jadi buku 3 bulan lagi. Hehehe

Ada yang tau gak artinya Schadenfreude? hayoooo

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top