8

"Kesimpulannya, Anda sebenarnya tertarik dengan ide bertemu orang baru, tetapi tak suka cara kakak Anda berbicara, benar?"

Skakmat. Bila Yein membenarkan Mijoo, terbongkarlah bahwa perseteruan kakak beradik itu bukan berakar pada isi pembicaraan, hanya cara komunikasi yang salah, dan menunjukkan betapa pendeknya sumbu Yein. Tentu saja Yein tidak mengaku.

"SAYA SUNGGUH TIDAK MAU BERTEMU!"

Arwah sepasang sejoli yang sedari tadi mengitari para mudang kini menghampiri Yein. Mereka mengetuk pelipis si mata rusa di kedua sisi, membuatnya memekik kesakitan. Pelipis biasanya menjadi tempat para roh menitipkan pesan terkait asmara dan Yein baru saja memperoleh tanda kehitaman di sana.

"Apa yang terjadi? Kulit di sebelah sini terasa pedih ...." Yein memegangi tempat yang ditandai para arwah. Ia terperangah begitu Sujeong menjelaskan apa yang terjadi. "Saya membuat roh-roh pengantin itu marah?!"

"Tidak. Mereka hanya memperingatkan Anda agar jujur pada diri sendiri," Mijoo menggaruk-garuk pipinya yang baru digigit nyamuk dengan cuek, "atau benaran marah, ya?"

Nona Mijoo malah menakut-nakuti, ringis Sujeong. Yein kontan meminta tolong Mijoo agar 'hantu-hantu' tidak mengejarnya. Alih-alih menjawab, Mijoo beranjak dari ruang depan, bilang ingin buang air.

"Nona tidak perlu khawatir." Sujeong mengusap-usap punggung Yein yang memeluknya ketakutan. "Kami akan melakukan doa harian menjelang tengah malam. Nona bisa ikut untuk berdoa kepada roh para pengantin."

***

Gara-gara ketengilan Mijoo, Yein yang lazimnya sudah mengantuk satu jam setelah makan malam terus terjaga di samping Sujeong hingga selesai menyiapkan honryeong-kut. Ia bahkan membantu menata altar dan dengan khusyuk meniru kedua mudang bersembahyang. Ketiga perempuan baru masuk kamar tidur pada dini hari.

"Hantu-hantu tadi sudah tidak mengikuti saya, kan?" Saat menggelar alas tidur di kamar Sujeong, Yein celingak-celinguk khawatir biarpun tanda hitam di pelipisnya sudah menghilang. Sujeong jadi merasa berdosa karena geli. Bukankah mau menengok ke mana pun, Yein tetap tidak mampu melihat para penghuni alam gaib?

"Mereka tidak marah, cuma menasihati. Kedua arwah malang itu sebetulnya ingin memiliki kesempatan seperti Nona, bertemu jodoh ketika masih bernyawa, jadi mereka berpesan agar Nona tidak menyia-nyiakan peluang," jelas Sujeong sebelum meniup lentera hingga padam dan menaikkan selimut. Kelopak mata Sujeong yang berat akan tertutup andai Yein tidak menggenggam pergelangannya sambil merengek.

"N-Nona Sujeong, jangan tidur dulu ...."

Dada Sujeong mendadak berdenyut ngilu. Cara Yein memohon mengingatkannya pada sepotong masa lalu hingga ia sanggup melawan kantuk.

"Ada apa, Nona Yein?"

"Boleh tidak," Yein bertanya gugup, "saya memanggil Nona Sujeong 'Kakak'? Setidaknya semalam ini ...."

Sujeong terkesiap. Kenangan yang dipicu Yein menguat dalam benak dan segumpal rindu menyangkut di dadanya. Ia bersyukur kegelapan kamar menyembunyikan getir senyumnya.

"Boleh saja. Malah saya sangat senang kalau Nona Yein memanggil saya Kakak untuk seterusnya, tetapi mengapa?"

Yang ditanya menangkup tangan Sujeong makin erat.

"Saya harus berpegangan pada seseorang jika ketakutan. Setiap saya bermimpi buruk hingga terbangun dan menangis, Ka—" Yein berdeham dan meralat, "seseorang akan selalu menghampiri agar saya bisa berpegang padanya, barulah saya akan kembali tenang. Orang itu sedang tidak di sini, tetapi dengan memanggil Nona Sujeong 'Kakak', saya akan merasakan ketenangan yang sama."

Sayang sekali, padahal Nona Yein sudah hampir menyebut seseorang ini dengan 'Kakak', batin Sujeong, tidak tahu harus iri pada siapa: Yein—karena memiliki kakak yang bisa dijadikan sandaran—atau Yoonoh—karena memiliki adik semanis ini.

"Omong-omong, bagaimana Kak Sujeong bisa bertahan dengan kakak perempuan seperti Nona Mijoo? Orangnya galak, bicaranya keras, jahil pula. Kalau punya kakak seperti itu, saya sudah minggat duluan."

Celah bibir Sujeong merapat, membendung tawa karena kamar Mijoo dekat dengannya. Perempuan itu bisa marah besar kalau ada yang mengganggu istirahatnya.

"Memangnya saya terlihat tahan, ya? Kami sering sekali berselisih, lo. Dari soal arwah sampai urusan sehari-hari seperti memasak, semua dipermasalahkan. Apa boleh buat, Nona Mijoo kan guru saya." Sujeong lantas tersenyum lebar meski Yein tidak dapat melihatnya. "Namun, dia bukan sejahat-jahat orang, juga satu-satunya keluarga yang saya punya. Kadang, dia bersikap seperti seorang kakak sungguhan, padahal tidak ada pertalian darah di antara kami."

Tak ada tanggapan. Sujeong mengira Yein sudah terlelap, jadi ia pun memejam, tetapi suara Yein kembali terdengar beberapa menit kemudian.

"Kak Sujeong pandai sekali menemukan kebaikan dari diri orang lain."

Dipuji begini, Sujeong menidakkan dengan jengah. "Menurut saya, kalau memang sesuatu harus dijalani, pasti ada hal baik yang bisa membuat kita mencintainya. Jalan sebagai mudang menghadapkan saya kepada berbagai kesulitan sejak kecil. Menjadi 'saudara' Nona Mijoo pun sama. Membenci keadaan itu hanya akan menguras energi, saya rasa, jadi saya mencoba untuk menyukai masing-masingnya."

Terdengar embusan napas panjang dari Yein. "Apa seharusnya saya tidak pergi? Orang-orang di sekitar saya jauh lebih baik kalau dibandingkan Nona Mijoo, sekalipun ... yang paling kejam di antara mereka."

Aduh, lagi-lagi ragu menyebut nama, Sujeong berucap gemas dalam hati. "Nona Mijoo berada di sisi saya selama saya sakit saja, tetapi orang 'yang paling kejam' di rumah Anda selalu menenangkan Anda jika bermimpi buruk, bukan?"

"Dia, dia memang bersikap seperti pengganti Ayahanda sejak Ibunda meninggal dan Ayahanda menikah lagi, tetapi itu tidak berarti dia berhak membelok-belokkan perasaan saya! Saya yang akan menjalani pernikahan itu, bukan dia, jadi mengapa pendapat saya dikesampingkan begitu saja?"

Nah, pembicaraan ini jangan sampai menjadi panas lagi. Ibu jari Sujeong mengelus tangan yang menggenggamnya supaya amarah si empunya tangan teredam.

"Ketika memperbincangkan topik serentan pernikahan, kedua pihak harus sama-sama berpikir jernih. Mungkin ini tidak terjadi dalam kasus Anda berdua sehingga terpiculah pertengkaran. Maka dari itu, penting untuk membangkitkan emosi-emosi baik sebelum Anda berdua bertemu kembali."

"Ya, saya rasa saya harus," tetapi suara Yein digelayuti kantuk sehingga niatnya terdengar rancu. Apakah ia betul-betul ingin menata perasaan atau semata mengigau?

Kali ini, kamar betul-betul hening. Sujeong melepaskan tangannya dari genggaman Yein yang melonggar dan membenahi selimut gadis itu.

'Ibu meninggal'. 'Ayah menikah lagi'. Darah bangsawan dan kekayaan tak sanggup menjamin kebahagiaan, rupanya, apalagi ikatan yang menguatkan mereka berdua kini terancam putus pula. Sujeong mendengus. Tidak! Nona Yein tidak boleh sampai tahu sakitnya kehilangan keluarga sepertiku! Apa pun yang terjadi, hubungan ini harus dipulihkan!

***

Lain dari kebanyakan rumah ketika penghuninya menikah, kediaman Keluarga Oh pagi itu hening. Alih-alih bakung dan anggrek berwarna cerah, bunga iris kuning pucat menghias segala penjuru ruang upacara. Boneka-boneka jerami yang didandani layaknya raja, ratu, dan dayang dijejerkan di tengah; putri sulung Keluarga Oh diwakilkan boneka yang bergaun paling megah.

Honryeong-kut tidak lebih rumit dibanding ritual pemberkatan rumah baru, tetapi menghapal tahapannya penting karena setiap jenjang ritual adalah simbol untuk mengikat dua jiwa. Sejauh ini, Sujeong melakukannya dengan lancar, tidak mengalami selip lidah sedikit pun ketika menuntun kedua orang tua mempelai menggerakkan boneka sesuai tahapan upacara. Kedua arwah baru saja bertukar janji pernikahan, disimbolkan meresapnya tetesan arak beras ke dalam boneka, sepadan dengan acara minum sopi oleh sepasang pengantin hidup. Lihatlah betapa tenteram raut roh-roh di belakang raja dan ratu jerami, saling menghormat sebagai isyarat persetujuan untuk menjalin kehidupan kedua bersama-sama.

Upacara ini hampir selesai, tinggal menyeberangkan mereka ke alam lain.

Sujeong mendencingkan lonceng seirama musik chaebi dan melantunkan doa pemungkas, sedangkan Mijoo membakar boneka-boneka jerami serta perabot kertas. Roh lajang pemuda Seok dan gadis Oh kini telah resmi menikah, maka mereka bisa bergandengan untuk berangkat ke dunia baru. Iri sekali Sujeong pada suami-istri baru itu. Mengapa ia bisa mengikat dua arwah asing, tetapi tak kunjung menemukan pasangannya sendiri?

Selamat jalan, jiwa-jiwa yang bahagia. Semoga kalian menemukan kedamaian bersama.

Sekian menit kemudian, kertas, jerami, dan gaun boneka telah berubah menjadi abu. Mijoo dan Sujeong keluar dari lingkaran pemberkatan, menyaksikan api yang terus mengecil menjadi bara. Sebelum kedua arwah menyeberang alam, mereka menatap Sujeong dalam-dalam, lebih tepatnya ke kelingking kanan sang dara. Ketika para pengantin menghilang, jari Sujeong disengat nyeri yang sangat, seperti terjerat. Memicing, Sujeong secara sembunyi-sembunyi menggenggam tangan kanannya, tetapi telapak kirinya langsung basah setelah menyentuh yang kanan.

"Tolong!!!"

Seiring dengan makin perihnya luka di kelingking, benak Sujeong dipenuhi awan hitam pekat yang bergumpal-gumpal. Seseorang di tengah awan hitam mengulurkan tangan kepadanya, memohon untuk diselamatkan, tetapi Sujeong tak sanggup menggapai dan menjadi gelisah.

"Kak, jarimu berdarah!" bisik Jaehyun. Ketiga chaebi lain melihat luka yang disembunyikan itu dan ikut mengerubungi Sujeong dengan panik. Mijoo mengembuskan napas panjang; perbuatan pemuda-pemuda ini menimbulkan kecemasan keluarga pengantin arwah yang sesungguhnya tidak perlu.

"Kami permisi sebentar."

Sujeong, Mijoo, dan para chaebi duduk di beranda rumah, menjauhi ruang ritual di mana energi para arwah paling pekat. Donghyun memotongkan kain sisa dari keranjang yang berisi perlengkapan kut, lalu memberikannya pada Mijoo yang menggunakan itu untuk membalut luka Sujeong.

"Apa arwah para pengantin itu mengamuk tadi, Kak?" tanya Donghyun takut-takut.

"Tidak," jawab Sujeong. "Mereka cuma menyampaikan pesan."

"Pesan apa?" kejar Joochan.

"Mengapa menyampaikan pesan saja sampai harus melukaimu?" Jaehyun tampak tak senang.

Mana mungkin Sujeong berterus terang bahwa peringatan para arwah itu menyangkut keadaan Yoonoh? Otaknya pun berputar mencari jawaban yang aman.

"Arwah-arwah itu berterima kasih, kok, cuma caranya sedikit ... unik. Santai saja; keduanya sudah menyeberang alam, tidak akan mengganggu yang hidup lagi."

Lega karena rasa penasaran para chaebi terpuaskan, Sujeong terkesiap begitu menghadapi tatapan menyelidik Mijoo. Tentu saja. Apa yang bisa disembunyikannya dari perempuan itu?

"Tugas kita sudah selesai." Untung saja, Mijoo tidak mencecarnya di hadapan para chaebi. "Ganti jubah ritualmu agar kita bisa segera pulang untuk mencuci itu. Kau tidak berencana pergi ke mana-mana, kan?"

Sujeong terpaksa mengiakan walaupun dalam hati berkata tidak. Seraya membereskan ruang ritual, digali-galinya alasan untuknya menemui Yoonoh—yang baru ia temukan justru sesudah pamit.

"Hei, Jibeom," panggil Sujeong pada chaebi yang berjalan menyebelahinya. "Aku boleh minta tolong?"

"Ada apa, Kak?"

Keringat dingin menitiki kening Sujeong. Dalam bayangannya, suara dan raga Yoonoh telah sepenuhnya tertelan oleh kegelapan. "Bisa bawakan jubah ini, tidak?" tanyanya saat mengangsurkan keranjang berpenutup yang berisi jubah ritualnya. "Ada barangku yang tertinggal di rumah Tuan Oh. Aku akan mengambilnya dan segera kembali."

"Baiklah, tapi—"

"Terima kasih!" Sujeong tidak menunggu Jibeom menyelesaikan kalimat. Begitu pemuda itu menerima keranjangnya, si kepang satu melesat ke arah yang berlawanan dari kelompok. Marabahaya di ujung lain benang merah menggema sampai nuraninya, semakin lama semakin hebat, bukan tidak mungkin akan memancing Miryeon seperti dulu.

Bertahanlah, Tabib Jung!

***

Balai pengobatan tutup hari ini. Yoonoh dan muridnya, Jaemin, harus mengisi ulang persediaan herba mereka sebelum kembali melayani warga. Sesuai jadwal, mereka memanen rimpang-rimpangan di pekarangan, merawat benih-benih baru, dan berbelanja ke pasar. Memang menguras tenaga, tetapi harusnya tak sampai membuat Yoonoh sempoyongan. Laki-laki itu akan terjerembap andai Jaemin terlambat menahan tubuhnya.

"Guru, demam Anda bertambah tinggi!"

Tersengal-sengal, Yoonoh bersandar pada sebatang pohon kayu merah. Ia mengerti bahwa kesehatannya menurun drastis, tetapi ada alasan baginya untuk tidak lekas beristirahat.

"Air, Jaemin."

Sang murid menyodorkan kantong kulit. Yoonoh menenggak isinya dengan rakus, masih juga tidak merasa lebih baik. Pusing, ia menumpukan dahi ke punggung tangan dan mendesah letih.

"Apakah Guru makan dan tidur teratur belakangan ini?"

"Sampai Yein ditemukan, rasanya aku tidak akan sanggup makan dan tidur teratur." Mata Yoonoh menekuri tanah berkerikil. "Di mana dia, bagaimana keadaannya, aku harus memastikan semua itu dulu agar bisa tenang."

Sekali lagi, Jaemin meyakinkan sang guru bahwa Yein tak akan tertimpa masalah dan mengajaknya berdoa. Lantaran tak ingin mengecewakan muridnya yang perhatian itu, Yoonoh tak mengaku bahwa kata-kata Jaemin mulai kehilangan makna. Yoonoh hanya ingin Yein, bahkan jika itu berarti harus mengempaskan harga diri dan menjilat ludahnya kembali.

Sebenarnya, ada satu orang lagi yang Yoonoh harapkan kehadirannya saat ini, tetapi orang tersebut sudah diusirnya secara halus terakhir kali mereka bertemu.

Ngilu mendadak menyerang kelingking Yoonoh. Ujung jari itu mendingin dan memucat. Ia tidak menemukan apa-apa yang mungkin melukai, ganjilnya di pangkal jari itu, terbentuk sayatan melingkar yang mengucurkan darah segar. Dalam sekejap, sisi terluar telapak tangan Yoonoh menjadi basah dan anyir, begitu pula tangan yang menutupinya.

"Mengapa kelingking Anda, Guru?!"

Yoonoh menggeleng tak mengerti. "Tolong cucikan saja ini dan balutlah," perintahnya singkat di sela desis nyeri. Jaemin tergopoh-gopoh mengambil pembalut luka dari kotak darurat, merobeknya sedikit dan membasahinya dengan air untuk membasuh luka Yoonoh yang kemudian dibebatnya.

"Apa sebaiknya kita kembali saja ke balai?"

"Tidak." Yoonoh berdiri dan meluruskan jubah. "Hari ini, kita sudah harus memenuhi persediaan obat supaya balai bisa dibuka besok. Semakin cepat balai dibuka, semakin baik bagi orang-orang."

Memang benar, tetapi Jaemin tidak yakin hal itu akan baik bagi Yoonoh. Menggaruk kepalanya yang tidak gatal, bangkitlah Jaemin dalam diam untuk menyusul gurunya. Baru beberapa jengkal melangkah, Yoonoh sudah berhenti lagi.

"Nona Sujeong?" []

the first half got all italicized gatau kenapa T.T klo klian nemu yg serupa di bab2 sebelumnya kasih tau ya >< btw di sini kyk kebalik ga sih, sujeong tuh kan yg paling penakut di lovelyz tapi dia malah nenangin yein XD

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top