7

Ramalan Nona Mijoo sungguhan terjadi! erang Sujeong dalam hati. Sekilas ditengoknya Yein. Tudung bepergian dan pakaiannya yang terbuat dari kain bermutu dikotori tanah serta rerumputan. Wajah Yein bernoda debu, sembap lagi bengkak akibat menangis entah berapa lama. Merasa iba, akhirnya Sujeong mengusir kedua chaebi pembuat onar 'agar aku bisa segera mengurus Nona Yein'. Mereka langsung berterima kasih pada para mudang, meminta maaf pada korban mereka, lalu memacu pedati ke pasar.

"Perhatikan jalan kalian betul-betul!" Sujeong lantang memperingatkan, khawatir bocah-bocah binal itu melukai orang lagi gara-gara kecerobohan mereka. Seperginya para chaebi, ia kembali ke rumah dan menghampiri Yein. Belum-belum, si empunya mata rusa sudah menatapnya galak.

Ragu harus berbuat apa, Sujeong berpaling pada Mijoo, tetapi gurunya yang cuek menyelipkan telunjuk ke lubang telinga, tidak mau peduli. Kejam!

"Nona Yein," Sujeong mengulurkan tangan, menghaluskan suara supaya tidak dianggap ancaman, "bolehkah saya memeriksa luka Nona di kamar?"

Yein bungkam, tetapi tidak melawan ketika dituntun lebih jauh ke dalam rumah. Sujeong menyiapkan perlengkapan rawat luka seadanya sebelum membantu Yein melepaskan atasan. Ada tiga lecet selebar jari tangan di sana, jadi Sujeong membersihkannya, membubuhkan obat, dan membalutnya.

Urusan luka selesai bukan berarti segala urusan mengenai Yein tuntas. Selama dirawat, ia terus merengek; perih obat tidak akan menimbulkan tangis sepanjang itu. Mengingat bagaimana Yein bersikap tatkala kata 'pulang' disebut, jelas ini berhubungan dengan keluarganya. Mustahil Kepala Pelayan Seo dan Jiyeon bertindak macam-macam kepada majikan mereka, maka tersisalah satu tersangka yang memicu sakit kepala Sujeong.

Masalah macam apa yang bisa ditimbulkan orang sekalem Tabib Jung? pikirnya. Nanti saja, deh, tebak-tebakannya. Yang penting, aku harus menenangkan Nona Yein dulu.

Sujeong menawarkan pakaian baru dan teh untuk Yein agar remaja tirus itu merasa lebih baik. Tawaran ini dibalas anggukan, masih tanpa sepatah kata. Baru setelah berganti pakaian dan minum, Yein mengatakan sesuatu—yang mengejutkan Sujeong.

"Tolong izinkan saya tinggal di sini!"

"Ya?" Kontan alis Sujeong terangkat.

"Meskipun tidak punya uang, saya bisa membayar dengan mengerjakan tugas rumah tangga untuk Anda!" Mata Yein berlinang-linang. "Saya mohon .... Boleh, ya?"

"Tunggu dulu, Nona." Sujeong menangkup tangan Yein dan bertanya hati-hati. "Bolehkah saya mengetahui apa yang terjadi? Mengapa Anda meninggalkan rumah?"

Bukannya menjawab, bibir Yein mencebik. Sebentar kemudian, pecahlah sedu sedannya untuk kesekian kali. Ia menggelendot pada Sujeong dan memeluk si gadis tembam erat-erat. Maksud hati ingin mengabaikan Yein (dan—pada gilirannya—Yoonoh), ujungnya Sujeong malah merangkul balik seraya mengelus-elus punggung bungsu Jung tersebut. Ia bisa membayangkan Mijoo menertawakannya sekarang.

Omong-omong, kalau Nona Yein kabur, akankah Tabib Jung dilekati kegelapan sebesar waktu itu?

Sujeong menelan ludah, merasa terjebak, tetapi tangisan Yein mendorongnya untuk berhenti mengeluhkan apa yang belum terjadi. Lagi pula, gadis dalam dekapannya ini mungkin berada dalam keadaan yang lebih genting dibanding dirinya.

***

Guncangan jiwa Yein membatasi keleluasaannya bertutur. Sujeong memberinya waktu sendiri dengan harapan emosinya akan lebih tertata, tetapi gadis bangsawan itu malah meminta untuk membersihkan dapur 'buat meredam kekesalan'. Lantaran sibuk mondar-mandir untuk membantu Mijoo melaksanakan tugas mudang-nya, Sujeong mengiakan tanpa pikir panjang. Ketika Joochan dan Jibeom berkunjung pada sore hari pun, mereka hanya dimintanya untuk tutup mulut ('bahkan Donghyun, Jaehyun, dan tembok rumah kalian tidak boleh sampai tahu Nona Yein di sini!'). Kentara bahwa Sujeong sendiri masih belum tahu apa yang harus dilakukan terhadap si nona muda.

"Mengapa Anda belum pergi?" Mijoo memicing pada Yein yang baru selesai membereskan dapur, sementara Sujeong diam-diam mengagumi hasil kerja Yein. Ajaib bagaimana seseorang yang kelihatan kekanakan dan sering dimanjakan sepertinya membuat rumah terkesan longgar nan cemerlang.

Aku sampai sungkan mengizinkannya mengurus dapur ....

"Kata Nona Sujeong, saya boleh tinggal sementara." Jawaban Yein memindahkan tatapan nyalang Mijoo pada Sujeong. "Ada lagi yang bisa saya kerjakan?"

Sebelum Mijoo melontarkan sesuatu yang sengak, Sujeong segera menyela, "Makan malam! Saya akan segera memasak. Nona Mijoo tunggu saja di depan."

"Sujeong, kita tidak bisa membiarkan tuan putri itu di sini terlalu lama! Aku tidak mau berurusan dengan—"

"Tidak," sahut Yein. "Saya tidak ada hubungannya lagi dengan Keluarga Jung. Saya sekarang hanya 'Yein', seseorang yang sebatang kara dan ingin memulai kehidupan saya dari awal lagi."

Ekstremnya pernyataan ini entah mengapa menyakiti perasaan Sujeong. Sehebat apa pun prahara dalam keluarga, memutus pertalian darah secara sepihak begitu bukankah keterlaluan?

Nona Yein tidak tahu rasanya dipaksa berpisah dari keluarga.

Sementara itu, Mijoo membuang napas kasar, merendahkan Yein. "Masih bocah, tetapi omongannya selangit! Kelakuan Anda itu—"

"Sudah, Nona Mijoo, saya bilang tunggu saja di depan! Hari ini masak apa, ya? Ada kentang, ubi, kangkung—oh, kemarin kita membuat kimchi! Nona Yein, terima kasih banyak telah membersihkan dapur. Kalau lelah, silakan beristirahat dulu!"

Buru-buru Sujeong mendorong Mijoo ke ruang depan. Kalimat-kalimatnya sengaja diluncurkan keras-keras dan tanpa jeda agar tidak ada ucapan Mijoo yang kedengaran Yein. Krisis terlewati usai Mijoo masuk ruang depan dan Sujeong berjanji akan mengurusi Yein, jadi gadis yang baru dewasa itu tidak merepotkan sang guru.

"Kali ini, kau benar-benar bisa mati," kata Mijoo, seolah-olah maut bukan sesuatu yang menakutkan. "Jung Yoonoh dirasuki Nenek Miryeon 'hanya' karena kematian pasien yang tak sedarah dengannya. Jung Yein adik kandung laki-laki itu. Kalau Kepala Pelayan Seo dan Nyonya Jiyeon masih hidup besok, itu bisa dibilang mukjizat."

Sujeong hampir mendebat, tetapi segala pertengkaran dengan gurunya pasti berakhir tak menyenangkan, jadi ia mengalah dan kembali ke dapur.

***

Usai makan malam, Sujeong dan Mijoo meminggirkan meja rendah, menyediakan ruang untuk barang-barang keperluan ritual. Yein yang sudah lebih ceria langsung tertarik dengan boneka-boneka jerami berpakaian rapi yang tengah Sujeong buat. Nona muda Jung itu baru tahu ada ritual yang membutuhkan begitu banyak boneka.

"Bonekanya bagus sekali! Mereka terlihat seperti wanita istana!" Semua boneka memang berseragam biru langit dan bersanggul layaknya pelayan perempuan para raja. "Ah, tapi yang ini bajunya lain?"

"Terlihat lebih cantik, ya? Gaunnya berbeda karena saya sedang mendandani 'ratunya', Nona Yein," jelas Sujeong. "Dia adalah bintang honryeong-kut yang akan diselenggarakan lima hari lagi."

Yein mengerjap bingung. "Apa itu honryeong-kut?"

"Ritual pernikahan sesudah mati." Mijoo-lah yang menjawab pertanyaan Yein. Sujeong mengira perempuan muda mana pun akan antusias memperbincangkan segala yang berbau pernikahan, tetapi ganjilnya, mimik Yein malah berkerut tak senang.

"Bahkan orang meninggal pun dinikahkan? Mengapa, sih, yang diributkan orang-orang tua hanya merancang pernikahan?"

Tanggapan menggebu-gebu ini sontak menjeda kegiatan Mijoo dan Sujeong; beberapa dugaan bermunculan dalam otak mereka. Merasa telah mendedah rahasianya secara tak sengaja, Yein menjadi gugup dan mencoba membelokkan topik ke bunga-bunga kain dalam keranjang. Sujeong yang bingung harus berkata apa mengajari Yein merangkai hiasan tersebut, padahal sebuah pertanyaan besar sedang menggantungi lisannya.

"Si Yoonoh itu tega juga melemparkanmu pada lelaki asing."

"Nona Mijoo, jangan bicara seperti itu!" sergah Sujeong meskipun sepemikiran dengan gurunya. Ia lalu berpaling pada Yein. "Maaf jika saya menanyakan hal pribadi, tetapi apakah mungkin alasan Nona Yein pergi dari rumah adalah perjodohan?"

Beberapa saat Yein diam, menyerut kain menggunakan belati tipis untuk bahan bunga hiasan, tetapi gerakannya terus melambat hingga benar-benar berhenti. Untuk kesekian kalinya hari ini, air mata gadis itu menetes; diusapnya berulang-ulang sebelum kembali menyerut kain.

"Orang itu tidak memedulikan perasaan saya," gumam Yein lirih, tetapi amarahnya masih cukup kental untuk menggunakan kata ganti 'orang itu' pada Yoonoh. "Belakangan, kesibukannya bertambah, jadi dia jarang di rumah dan menghabiskan waktu dengan saya. Sekalinya kami berbincang panjang, dia langsung membahas pernikahan. Bagaimana saya tidak kesal?"

Dididik sebagai wanita mandiri oleh gurunya terdahulu, Sujeong menentang segala bentuk pemaksaan terhadap perempuan, salah satunya perjodohan. Mendengar Yoonoh melakukan ini pada Yein, nuraninya langsung berontak. Tak mungkin Yoonoh berbuat seperti itu kepada satu-satunya anggota keluarga kandung yang menyertainya ke Baekseonchon.

"Beliau mengatakan apa saja kepada Nona?" tanya Sujeong.

"Kakak bilang saya sudah cukup umur untuk menikah, jadi dia akan mengenalkan saya kepada seorang sahabatnya. Saya belum siap!" Telinga Sujeong pengang diserang jerit Yein yang tiba-tiba. Tak cukup sampai di situ, Yein juga menyebut bahwa Yoonoh membentaknya, menegaskan bahwa ia harus tunduk pada perintah kepala keluarga, dan bahwa pernikahan adalah satu-satunya jalan agar perempuan memperoleh kehidupan yang baik.

Betapa semena-mena! batin Sujeong, terguncang oleh pengungkapan ini. Apakah semua lelaki dari kalangan bangsawan berpikir demikian untuk memutuskan masa depan para perempuan?

Mendapati perubahan tekanan arwah muridnya, Mijoo jadi mengerti bahwa emosi gadis itu tersulut setelah menyimak kisah tadi.

"Jangan gampang termakan omongannya," ujar Mijoo kepada Sujeong, tanpa sadar memprovokasi Yein. "Palingan ini cuma salah paham."

"Apanya yang salah saya pahami?" timpal nona muda Jung. "Saya sudah tahu ke mana pembicaraan itu mengarah! Menyebut saya sudah cukup umur, lalu mengatakan soal perkenalan kepada pria, itu pasti petunjuk untuk perjodohan! Saya tidak mau menikah dengan orang yang tidak saya cintai!"

Tercenunglah Sujeong kemudian. Cara Yein bercerita malah menyiratkan bahwa penuturan sebelum ini sekadar terjemahan bebasnya atas kalimat Yoonoh—yang mungkin tidak persis bermaksud demikian. Mijoo terpingkal-pingkal ketika menunjukkan petunjuk-petunjuk itu.

"'Mengarah'? 'Pasti'? Jadi, pada dasarnya, Tabib Jung hanya bilang mau mengenalkan Anda ke seorang pria karena Anda sudah dewasa dan Anda langsung memikirkan pernikahan?" Tangan Mijoo menepuk-nepuk pahanya. "Betul-betul picik! Kalau seperti ini, jadi kelihatan bahwa Andalah sebenarnya yang kebelet menikah!"

Wajah Yein merah padam.

"Tidak! Anda merendahkan saya! Dia betul-betul membentak saya dan mengatakan, 'Yein, kau harus menikah dengan laki-laki pilihanku', begitu!" ucapnya terbata-bata, setiap suku kata kian ganjil di telinga pendengarnya. Sujeong menghela napas, tidak menduga hari di mana sikap blak-blakan Mijoo berguna datang juga; hampir saja ia berprasangka dan mengolok-olok Yoonoh tadi.

Sebelum situasi memanas, Sujeong mengusulkan agar ia dan Mijoo lanjut membuat pernak-pernik kelengkapan ritual. Mijoo melakukan itu, tetapi tawanya masih tersisa.

"Mengapa, sih, manusia harus menikah, bahkan mereka tidak bisa dibiarkan lajang sesudah mati?" gerutu Yein, mengempaskan bunga kain yang ia buat ke dalam keranjang bambu. Saat itu, Sujeong merasakan embusan angin yang aneh dan Mijoo berhenti terkikik. Jendela mereka terbuka, tetapi para mudang tahu persis asal semilir ini bukan dari sana. Tepat saat mereka menoleh, boneka pengantin perempuan jatuh telungkup ke miniatur singgasana kertas, padahal tidak ada gaya yang cukup kuat untuk mendorongnya.

Merasa bersalah karena bercanda di tengah mempersiapkan ritual, Mijoo menyandarkan si boneka ke seikat sisa jerami.

"Kebanyakan arwah yang sudah cukup umur tapi meninggal dalam keadaan membujang tidak dapat menyeberang ke akhirat. Mereka gelisah karena sebagian diri mereka hilang," paparnya. "Oleh karena itu, si arwah harus diikatkan, bisa dengan arwah lain atau pengantin yang hidup. Yang sering terjadi, mereka sudah menemukan calon pengantin di dunia sesudah mati dan memberitahu keluarga mereka lewat mimpi. Pengantin-pengantin hantu ini baru bisa menyeberang alam setelah honryeong-kut dilaksanakan."

Yein yang tak pernah mendengar kisah seperti ini menjadi sangat takjub. "Hati yang terikat?"

Sujeong mengangguk, diam-diam memuji sang guru yang kalimat bijaknya langka itu, lalu meneruskan. "Setiap jiwa ditakdirkan memiliki pasangan walaupun tidak bertemu ketika masih hidup. Apa Nona Yein sudah menemukannya?"

Pertanyaan Sujeong membuat Yein cemberut. "Bagaimana mau bertemu pasangan jika setiap hari, Kakak—orang itu menyuruh saya tinggal di rumah? Teman saya pun cuma Nyonya Jiyeon. Sesekali saja Kepala Pelayan Seo mengantar kami berkeliling desa jika beliau tidak sibuk."

"Begitu? Pasti membosankan tinggal di rumah sepanjang hari."

Nyaris seketika Yein menyetujui.

"Saya sepertinya akan sesedih Nona Yein jika dilarang keluar dan jarang bercengkerama dengan satu-satunya keluarga kandung, terlebih setelah itu, kami berdua terlibat cekcok." Sujeong memasukkan bunga kain terakhir ke keranjang bambu sebelum membersihkan alas menyerut mereka. "Namun, setelah direnungkan, Tabib Jung mungkin memiliki niat baik."

Kening Yein berkerut skeptis.

"Dari sudut pandang Tabib Jung, Nona jelas merupakan orang yang berharga, harus dilindungi bagaimanapun caranya. Meminta Anda tetap di rumah adalah cara yang menurut beliau paling baik. Masalahnya, Nona perempuan matang yang butuh jatuh cinta. Berhubung Nona Yein tidak diizinkan keluar, laki-lakilah yang diundang agar Nona bisa segera menemukan tambatan hati."

Sujeong kini membantu Mijoo membuat miniatur perabotan dari kertas, memberi waktu Yein untuk merenung. Cukup mengejutkan bagaimana segurat sesal mulai mewarnai wajah manis itu.

"T-Tapi, bukan begitu caranya! Saya sudah berharap kami akan mengobrol akrab, tetapi dia malah membicarakan orang asing yang akan masuk dalam kehidupan kami," keluh Yein. "Benar-benar tidak nyaman!"

"Kesimpulannya," Mijoo menukas, "Anda sebenarnya tertarik dengan ide bertemu orang baru, tetapi tak suka cara kakak Anda berbicara, benar?" []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top