5
"Saya mohon berkabunglah, Tabib Jung."
"Ya?" Yoonoh mengerjap, tak menyangka akan beroleh saran seperti ini.
"Mengabaikan perasaan-perasaan yang buruk hanya akan mengubah mereka dari satu bentuk ke bentuk lain, dalam kasus Anda menjadi arwah kegelapan. Namun, bahkan perasaan buruk pun harus dihargai. Duka Anda merupakan bukti eratnya pertalian antara penyembuh dan si sakit. Ini berarti pula bahwa setiap hari, Anda mendatangi rumah Tuan Han dan Tuan Shim bukan sekadar menggugurkan kewajiban, tetapi untuk menyayangi." Sujeong tersenyum kagum. "Bukankah itu ikatan yang indah?"
Butuh waktu bagi Yoonoh menarik kesimpulan dari kata-kata Sujeong, bukan karena sulit dimengerti inti pembicaraannya, tetapi karena prinsip hidupnya enggan menerima gagasan sang mudang. Bagaimana perasaan yang gelap ini menjadi sesuatu yang indah? Kendati demikian, Yoonoh menyepakati satu hal: sebagian besar interaksinya dengan pasien dan keluarga memang menyenangkan, apalagi jika si sakit bisa pulih.
"Berduka dan kecewa adalah reaksi wajar dari seorang penyembuh yang mengalami peristiwa seperti Anda. Mengakuinya tidak lantas membuat Anda tampak lembek di mata orang-orang. Saya sendiri tersentuh dengan betapa dalamnya Anda peduli kepada para pasien." Jemari Sujeong bertaut di atas pangkuan. "Kami para mudang berurusan dengan roh sepanjang waktu sehingga kematian kadang kehilangan makna. Tidak menghormati kematian seperti itu merupakan sikap yang amat hina."
Sujeong mendengus benci di penghujung kalimat. Ia teringat beberapa roh yang kesulitan menyeberang alam karena kematian mendadak dengan sebab yang 'konyol', hal mana sering dijadikan guyonan olehnya dan Mijoo ketika tak ada yang mendengar.
Alangkah rendahnya menjadikan kematian bahan candaan, bahkan saat dilanda kelelahan akibat ritual yang panjang.
"Tuan Han dan Tuan Shim begitu sabar," ucap Yoonoh. "Mereka tak pernah menolak saran saya sedikit pun dan rajin minum obat. Banyak hal yang ingin mereka lakukan setelah sembuh karena mereka percaya bisa sehat kembali. Kegagalan saya mematahkan asa itu."
Yoonoh mendesah lemah, matanya berkilapan ditimpa cahaya lilin. "Saya tidak tahu harus sedih atau marah, juga kepada siapa perasaan ini dialamatkan. Sesak sekali ...."
Telapak Sujeong hampir terangkat dari pahanya untuk menangkup tangan Yoonoh, tetapi ia tahan diri dari bersikap tidak pantas. Orang yang terbiasa memendam lara akan berkali-kali lipat lebih menyedihkan ketika akhirnya jujur; Yoonoh salah satunya. Darah Sujeong berdesir, ingin mengatakan bahwa tidak masalah bagi sang tabib untuk menangis seperti orang-orang sakit yang biasa ia tangani. Sujeong akan merahasiakannya sehingga Yoonoh tidak perlu malu.
Tentu saja ketahuan mencucurkan air mata di depan wanita dapat mencederai harga diri pria. Sujeong sadar betul bahwa dirinya masih 'asing', belum berhak menjadi sandaran Yoonoh.
"Semenyesakkan itukah bagi Anda?" bisik Sujeong hati-hati. "Tidak apa-apa, Tabib Jung. Tuan Han dan Tuan Shim baru meninggal, maka luka di hati Anda pastilah masih basah. Terimalah rasa marah dan sedih ini, tetapi tolong tetap ingat untuk memaafkan diri sendiri. Kematian adalah takdir, bukan 'kegagalan' seorang penyembuh."
Napas Yoonoh terembus gemetar. "Kedua mendiang akan membenci saya."
"Mereka justru akan senang menerima kasih Anda yang tiada putus, bahkan setelah meninggal. Selain itu, tanpa penghiburan pun, keluarga yang ditinggalkan akan belajar untuk merelakan dan mengenang mendiang dengan gembira. Saya yakin Tabib Jung akan sembuh dengan cara yang sama, perlahan-lahan, dibantu keluarga dan orang-orang yang telah Anda obati."
Mata Yoonoh berbinar, memandang sang calon mudang dengan penuh syukur. Satu ganjalan seakan terangkat dari dadanya. Arwah-arwah gelap juga hilang sepenuhnya dan Sujeong sejenak takjub.
Rupanya, kegelapan itu bisa dilenyapkan? Hanya dengan membuka hati? Hebat!
"Sekarang ini, saya," Yoonoh tertawa lemah, "dilanda perasaan yang aneh sekali. Saya memang sedih, tetapi kesedihan itu menghangatkan jiwa saya."
"Apakah itu berarti Anda merasa lebih baik?" tanya Sujeong, yang dijawab Yoonoh dengan anggukan dan ucapan terima kasih berulang-ulang. Sampai sungkan Sujeong menerimanya; ia merasa tidak melakukan hal yang luar biasa.
"Tetap saja, saya merasa begitu tertolong." Pipi Yoonoh yang biasanya pucat merona cerah, selugu anak-anak yang baru menerima siraman cinta orang tuanya. "Berkat Nona, saya jadi tidak takut lagi mengakui perasaan-perasaan yang 'buruk'. Sungguh, tak akan cukup rasa terima kasih saya, Nona Sujeong."
Giliran wajah Sujeong yang memanas, tetapi ia menutupinya dengan ketenangan palsu. "Tolong berjanjilah untuk kembali bergembira setelah setiap duka dan amarah itu."
"Ya, saya berjanji," ucap Yoonoh bersemangat. Senyumnya riang, bukan jenis yang pernah ditunjukkannya saat mengobati Sujeong. Semu merah di pipi sang dara menjadi semakin kentara.
Syukurlah Tabib Jung bisa tersenyum manis lagi .... Tunggu, apa-apaan aku bilang Tabib Jung manis?! Betul-betul tidak sopan!
Suasana di luar kamar mendadak ricuh. Sayup menggema suara Jiyeon yang mencoba menghentikan seseorang untuk masuk rumah. Tamu serampangan ini tak mengacuhkan, terbukti dari mendekatnya bunyi langkah kaki menuju kamar. Kata-kata si tamu kurang jelas, tetapi Sujeong seperti kenal dengan suaranya.
Pintu kamar digeser tanpa izin. Sujeong nyaris terlonjak, refleks merapatkan selimut ketika berpaling ke arah pintu, sedangkan Yoonoh bergegas menarik diri menjauhi sang mudang. Jiyeon meminta maaf telah menyela pembicaraan.
"Nona Mijoo datang untuk menjemput Nona Sujeong, Tuan."
Namun, Mijoo, si tamu tak diundang, berlama-lama berdiri di ambang pintu seraya menyeringai tengil.
"Wah, lihat ini. Seorang gadis yang mengenakan pakaian dalam saja berduaan dengan pria muda tampan, saling menatap. Apa aku menghalangi sesuatu yang akan terjadi?"
"Nona Mijoo tidak menghalangi apa pun." Yoonoh bangkit dan membungkuk hormat; telinganya menomat. "Saya meminta Nona Sujeong melepaskan atasan agar bisa membubuhkan obat luka ke punggungnya, tidak lebih."
"Benar, Nona Mijoo, dan kami sedang membicarakan sesuatu yang penting, makanya saling menatap," tambah Sujeong, mengenakan atasan baru yang telah disiapkan Jiyeon di sampingnya entah berapa saat yang lalu. Demi langit, ia bahkan tidak menyadari pelayan itu mondar-mandir sedari tadi gara-gara terlarut dalam percakapan!
Pita pada bagian depan atasan Sujeong baru saja dikencangkan ketika sesuatu terjentik dalam benaknya.
"Apakah Nona Mijoo tidak merasakan apa-apa sejak tadi?"
"Kalau maksudmu kehadiran kegelapan, ya, jelas, tetapi aku tahu kau bisa menanganinya."
Kau tahu aku dalam bahaya, tetapi tidak menolongku? Menjengkelkan! gerutu Sujeong, makin sebal lagi waktu dikatai 'genit' dan disuruh pamit pada Yoonoh oleh sang guru.
"Hei, mau sampai kapan kau memelototiku?" Mijoo berkacak pinggang. "Kau sudah tahu, kan, apa akibat jika terlalu lama berada di dekatnya?"
'Dia' yang Mijoo maksud kembali murung, menyesali kesalahannya. "Saya akan menjaga jarak dari Nona Sujeong sebisa mungkin setelah ini."
Ah, senyumnya jadi hilang! "Nona Mijoo, berhenti menyalahkan Tabib Jung!" desis Sujeong. "Kejadian hari ini bukan salahnya!"
Mijoo memandang Sujeong skeptis. "Jowangshin sudah memperingatkanmu. Makhluk kegelapan yang melukai punggungmu juga sama. Kau masih bilang itu bukan salahnya?" tanyanya sebelum berbalik. "Jangan lama-lama, aku dan Joochan menunggu di depan."
***
Suatu pagi, Sujeong ditemani Jaehyun dan Donghyun berbelanja untuk keperluan ritual. Gadis berkepang itu menggumam beberapa kali seraya menunjuk barang-barang di keranjang belanjanya.
"Persik, kesemek, jeruk, kertas, dupa, lilin ... ah, arang dan jeraminya?"
"Di sini," Donghyun mengangkat keranjangnya, "dan, sebelum Kakak tanya lagi, berasnya dipanggul Jaehyun."
"Yang begitu, sih, kelihatan." Sujeong bersungut-sungut, tetapi sesaat kemudian mengerang. "Maaf merepotkan kalian dengan mengulang-ulang daftar belanjaan! Nona Mijoo tidak mengizinkanku menulis dan akan menghukumku kalau sampai terlewat satu barang pun!" Hukuman ini dijatuhkan lantaran Sujeong berduaan bersama Yoonoh tanpa pakaian lengkap, padahal mereka tidak berbuat cabul. Mata mereka saling mengunci sepanjang percakapan, tidak ke lain-lain ... tetapi berdosakah Sujeong kalau jadi berdebar-debar mengenang perbincangan mereka?
"Bagaimana dengan salep dan pembalut luka?" Seperti biasa, Jaehyun mendahulukan sang kakak kesayangan di atas segalanya.
"Tabib Jung memberikan secepuk penuh salep dan segulung perban saat aku pulang. Tenang saja." Sujeong mengetuk dagu. "Berarti semuanya sudah?"
"Sudah, Kak," jawab Donghyun, yang langsung disambut tepuk tangan ceria oleh sang mudang muda.
"Baiklah, mari kita makan roti kukus dan minum teh!"
Jaehyun dan Donghyun ternganga. "Nanti kita dimarahi Nona Mijoo kalau tidak segera pulang ...."
"Selama tidak dicari dan diseret pulang, kita jajan saja!" ajak Sujeong bandel, telunjuknya menyilang di depan bibir. "Aku yang traktir, tidak pakai uang si galak, kok. Ayo!"
Meskipun takut, ujungnya Jaehyun dan Donghyun tergiur juga dengan ide Sujeong. Berbeloklah ketiganya ke kedai sederhana dalam pasar, memesan kue, dan berbincang selagi menunggu. Awalnya mengenai topik ringan, Jaehyun tahu-tahu mengangkat permasalahan yang lebih serius.
"Apakah Kakak sungguh-sungguh akan menjauhi Tabib Jung?"
Sujeong berkedip-kedip cepat, selalu kehabisan kata-kata terkait Yoonoh. Sejujurnya, beberapa hari terakhir, ia tak mampu membulatkan tekad untuk menghindar. Harapan di wajah Yoonoh senantiasa menghantui tidurnya. Ucapan terima kasih Yoonoh yang santun terngiang terus-terusan setiap Sujeong menyelesaikan ritual. Sang penyembuh menjejak terlalu dalam di kepalanya!
Menghindari bohong, Sujeong memberikan jawaban bermakna ganda.
"Tidak ada alasan bagiku mendekatinya lagi, kan?"
Namun, gagasan untuk menjauh saja sudah meresahkan Sujeong. Tanpanya, akankah kegelapan menyiksa Yoonoh lagi? Adakah yang cukup mengerti rasa sakitnya? Bahagiakah ia?
Seperti kau satu-satunya sumber kebahagiaannya saja, ejek Sujeong pada diri sendiri sebelum menyeruput teh.
"Aku tidak mau Kakak terluka."
"Aku pun tidak ingin, Bongjae." Sujeong tertawa kecil.
"Kak Sujeong kelewat baik!" tukas Jaehyun. "Kakak selalu menolong orang walaupun itu membahayakanmu! Andai Tabib Jung diserang kegelapan lagi, Kakak pasti akan tetap menolongnya, kan?"
Donghyun manggut-manggut, tumben tidak bersikap netral. "Kecuali kau jatuh cinta pada Tabib Jung, memang lebih baik kau menjauhinya, Kak."
Sujeong tersedak, sedangkan mata Jaehyun yang sudah lebar makin membola.
"Kau ngomong apa barusan?!"
Donghyun terjajar mundur. "Bongjae, mengapa kau yang sewot?" Pemuda keriting itu lantas mengedikkan bahu. "Aku juga tidak mau Kak Sujeong terluka, tetapi kalau ternyata Kakak menaruh perasaan pada Tabib Jung, mana mungkin kuputus benang takdir mereka? Aku tidak sekejam itu, tahu."
"Tabib Jung lelaki yang berbahaya!" Jaehyun bersikeras.
"Jika kita kesampingkan kenyataan bahwa dia mengundang arwah jahat, kau akan mendapatkan seorang tabib berdarah bangsawan yang ramah, tampan, cerdas, dan kaya! Kak Sujeong kemungkinan besar akan menyukainya, apalagi usia mereka sepertinya tidak terpaut jauh. Ya, kan—Kak Sujeong, mengapa menutup muka?"
Kau, kan, bisa tidak usah mempertegas mutu baiknya sebagai lelaki?!, dumel Sujeong dalam hati. Donghyun memainkan alis.
"Kepikiran orangnya, ya, Kak?"
"S-S-Siapa yang kepikiran?!" Serta-merta Sujeong menurunkan tangan. "Aku cuma mengelap keringat!"
"Berhenti menggodai Kakak!" sergah Jaehyun. "Abaikan dia, Kak. Donghyun keseringan bermain dengan Joochan dan Jibeom, jadi ceplas-ceplos begini. Pokoknya, Kakak harus menuruti saran Nona Mijoo untuk menjauhi Tabib Jung!"
Sujeong tersenyum tipis sambil membuang napas pelan. "Doakan saja aku. Kehendak langit kadang tidak sepenuhnya dapat kubaca, lebih-lebih kuhindari."
Jaehyun tertunduk, bungkam. Ia tahu Sujeong benar, tetapi tidak mampu membendung kekhawatiran hingga mukanya tertekuk. Donghyun menyikutnya, menyuruhnya ceria sedikit.
"Aku bisa mencium isian daging. Itu kan kesukaanmu, Bongjae!"
Seakan menjawab panggilan Donghyun, sepiring roti kukus yang mengepulkan uap dihidangkan di meja. Sujeong sedikit kaget karena si penyaji meletakkan piring dengan agak keras, tetapi harum roti mengalihkannya. Berseri-seri, ia menyumpit roti yang seempuk dan sebulat pipinya itu, lalu meletakkannya ke piring Jaehyun.
"Kelihatannya lezat sekali! Ayo, segera makan selagi hangat!" Sujeong menjepit satu lagi roti. "Ini buatmu, Donghyun. Wah, kira-kira rotiku isinya apa, ya?"
Para chaebi yang kelaparan langsung melupakan pembicaraan mereka begitu roti terbelah. Jaehyun beruntung mendapatkan daging kesukaannya sebagai isian; ia pun menyantap roti dengan lahap. Roti kacang merah Donghyun tampaknya sama nikmat. Meskipun perutnya bergemuruh, Sujeong tak langsung memotong penganan yang menggugah seleranya ini karena sempat merasakan tekanan energi yang aneh dari si penyaji. Demi menyingkirkan persangkaannya, sang mudang menoleh ke arah dari mana si penyaji datang.
Mata Sujeong melebar. Ia tadi sibuk membelokkan perhatian Jaehyun agar tak membahas Yoonoh sehingga melewatkan hantu lelaki bungkuk yang menempeli pelayan tadi.
Aku harus bicara dengan Paman Goo saat membayar!
Selesai jajan, kedua chaebi diminta menjagakan belanjaan selagi Sujeong membayar. Lelaki yang tadi menghidangkan roti kukus kelihatan suntuk, jadi Sujeong bermurah hati dengan melebihkan bayaran.
"Wah, kau memang beda dengan gurumu yang hobi berutang!" Paman Goo langsung memasukkan kelebihan pembayaran Sujeong ke sakunya. "Akhirnya, aku punya cukup uang untuk berobat!"
"Paman sakit?" Sujeong berpura-pura terkejut. Sebenarnya, ia malah sudah tahu apa penyebab sakit lelaki paruh baya ini.
"Punggungku belakangan ini gampang pegal! Mihwa masih belum selesai berkabung, jadi aku bertugas berdua saja di kedai dengan anakku, tetapi tulang tua ini rasanya tak sanggup lagi ...."
Sudah berkali-kali mengunjungi kedai sepanjang masa magangnya, Sujeong mengenal cukup baik keluarga Paman Goo, pemilik tempat ini. Mihwa adalah istri pria itu dan mereka punya satu anak perempuan. Kedai ini sendiri diwariskan ayah mertua Paman Goo yang baru saja meninggal. Biarpun sudah sakit-sakitan, si ayah mertua kadang berkunjung ke kedai sekadar untuk memantau jalannya bisnis, jadi Sujeong tahu bahwa pria mungil itulah yang sedang menumpangi punggung sang pemilik kedai.
"Paman, sebelum kau pergi berobat, aku mungkin bisa meringankan nyeri punggungmu." []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top