45

"Sudah cukup. Duduklah di mana pun kau suka dan buat dirimu nyaman."

"Ba-Baik, Yang Mulia."

Betapa goyah dan tidak menarik cara Sujeong menjawab perintah. Apa boleh buat? Ia begitu gugup sampai tak mampu menengadah. Hingga duduk kembali di tepi ranjang, pandangan Sujeong cuma bertemu lantai dan telapak tangannya.

Sekonyong-konyong, seseorang berlutut di depan Sujeong. Jubah hitam bergambar ular naga keemasannya sedikit tersingkap di lengan, menampakkan kulit seputih pualam. Kelingking kanan orang itu terliliti benang merah keramat.

"Mengapa kau terus menunduk? Tataplah aku, Maengba."

Bukan perintah, ucapan Yeomra lebih mirip sebuah permohonan yang putus asa. Wajar saja; sama seperti Sujeong, sang dewa penghukum menahan kangen sekian lama demi menjalankan pengadilan Seowangmo. Bukankah jahat jika Sujeong enggan menatapnya setelah mereka berhasil melewati berlapis-lapis ujian?

Jadi, anak mata Sujeong bergerak naik. Sontak ia terkejut—sebab melihat wujud asli Yeomra Kesepuluh ternyata tidak menimbulkan reaksi yang diharapkannya.

Sosok di hadapan Sujeong bukanlah seorang tabib muda santun yang mengenakan gat dan rompi putih. Dalam wujud Yeomra-nya, Yoonoh bermata emas dan berambut panjang, sebagian digulung ke atas membentuk sangtu, sisanya menjuntai hingga punggung. Tegap bahunya menyerupai milik seorang prajurit alih-alih penyembuh. Lengannya kekar dengan relief urat nadi yang mengintimidasi. Daripada Yoonoh yang lama, sang dewa lebih mirip iblis peneror Baekseonchon, hanya tanpa sisik dan ekor ular.

Benar bahwa iblis ular adalah Yeomra yang bermain peran. Kejahatannya pada Sujeong juga tidak sungguhan, tetapi hati dan raga si pengantin wanita tidak peduli. Ketika menghadap sosok ini, Sujeong pikir dirinya akan dihajar oleh kegelapan atau cemoohan yang menyakitkan sewaktu-waktu. Menggigillah badannya yang mulai dititiki keringat dingin; anak matanya pun menghindari wajah Yeomra.

Kelihatannya, Yeomra dapat membaca ini dan mundur. "Kau takut padaku."

Sujeong memaksa bibirnya membuka, tetapi tak ada kata terucap. Duka menggantungi paras sang mempelai pria, tidak mungkin ditampakkan iblis ular bengis di Baekseonchon dulu. Meski sudah mengetahui kebenaran tentang suaminya, mengapa lidah Sujeong masih kelu?

"Jangan memaksakan diri. Aku telah melukaimu sebegitu dalamnya di dunia manusia, maka patutlah kau menakutiku." Yeomra mengambil salah satu wadah air di kaki dipan dan menengadah. "Boleh aku mencuci kakimu?"

"Tolong jangan." Bagi Sujeong, mengucapkan kalimat pendek begini saja menguras tenaga. "Tangan Yang Mulia akan kotor."

"Bukankah para dayang telah membersihkan tubuhmu?" tanya Yeomra hati-hati, penuh pengertian ... juga menyimpan luka. "Atau kau tidak ingin aku menyentuhmu?"

Sesungguhnya, ya. Sujeong selalu teringat sentuhan menyakitkan Yeomra dahulu. Ia khawatir tangan besar itu bakal memuntir pergelangannya atau melukai telapak kakinya dengan cara lain. Tentu saja, mengatakan ini akan mengacaukan malam pernikahannya lebih jauh.

"Jika kau tak menginginkannya, aku tak akan menyentuhmu." Walaupun mata emas Yeomra memancarkan sesal yang tulus, Sujeong tetap tak berani memandangnya. "Apakah ada hal lain yang bisa kulakukan?"

Iblis ular akan langsung marah dan mengejek Sujeong jika dilawan, tetapi Yeomra tidak demikian. Hal ini menyapu sedikit kengerian di hati si gadis. Sedikit—sisanya masih menggunung. Tangan Sujeong mengepal di atas rok.

"Yang Mulia, silakan lakukan apa saja yang Anda inginkan kepada saya. Perintahkan saya apa saja, akan saya kerjakan." Sujeong membungkuk dalam duduknya. "Beribu ampun."

"Tolong jangan memohon ampunanku." Yeomra menangkup lengan Sujeong yang tertutup gaun, waspada untuk tidak menyentuh kulitnya langsung. "Miryeon benar. Keegoisanku telah mengacaukanmu sampai sulit bagimu mencinta lagi, Maengba."

Ibu jari Yeomra mengusap pergelangan Sujeong dalam lingkaran-lingkaran kecil yang menenangkan. Sujeong tak akan pernah melupakan sentuhan ini sejak pertama kali mendapatkannya. Dicobanya menentang sekali lagi sepasang mata emas dan, ajaib, perasaannya ikut berubah.

"Maafkan aku, Sujeong."

Ujungnya, Yeomra menyebutkan nama asli sang istri. Nama itu masih seindah terakhir kali disebut, ketika Yoonoh berpamitan menuju Nagan. Seperti tersihir, Sujeong tak mendengar sang dewa meminta izin lagi untuk menyentuhnya. Kepala gadis yang bengong itu tahu-tahu terangguk, maka Yeomra membasahi kain dan membasuh kakinya. Sentuhan pertama menyalakan kuncup peraba Sujeong dengan tanda bahaya—yang sekejap kemudian hilang.

Yeomra bahkan lebih telaten dari para dayang yang menyiapkan Sujeong untuk upacara pernikahan.

Bahkan kebiasaannya mencuci tangan setelah menyentuh orang lain belum hilang, batin Sujeong saat Yeomra membasuh dan mengeringkan tangan. Dia memang Tuan Yoonoh ....

Menyadari tatapan Sujeong yang terus mengikutinya (kali ini dengan terpesona), Yeomra tersenyum untuk pertama kalinya malam itu.

"Ada lagi yang kaubutuhkan?"

"Tidak." Sujeong yang tergagap lekas-lekas menyembunyikan wajah. "Maaf, Yang Mulia."

Tak Sujeong ketahui, mahkota pengantin yang ia kenakan miring saking cepatnya ia menunduk. Yeomra yang melihat itu menyembunyikan senyum geli di balik kepalan tangan, tidak ingin membuat istrinya malu.

"Kalau begitu," katanya saat berpindah ke ranjang, menyebelahi Sujeong, "aku akan melepaskan hiasan rambutmu sekarang. Menghadaplah kemari."

Sujeong memutar badan, lalu Yeomra melepas mahkota bunganya, disusul jepit-jepit. Gadis itu amat takjub lantaran tak merasakan satu pun tarikan di rambutnya. Dengan otot-otot seliat itu, Yeomra bisa saja merenggut hiasan-hiasan rambut Sujeong, mungkin saja menjambak si gadis dalam prosesnya atau mematahkan satu-dua pernak-pernik. Lagi pula, Yeomra pernah mematahkan tusuk sanggul bunga kesemek Sujeong dalam wujud iblis ularnya, kan?

Setiap menit, Yeomra semakin berbeda dengan si iblis penyiksa dan menyerupai tabib yang Sujeong cintai.

Satu demi satu perhiasan rambut diletakkan di atas selimut, menyisakan satu tusuk sanggul paling bersejarah. Sujeong tak melewatkan bagaimana Yeomra melepas tusuk sanggul itu dengan lambat, mengamati syahdu ukiran bunga kesemek di sana sebelum menyisihkannya dan menggerai kepangan Sujeong.

"Terima kasih banyak, Yang Mulia Yeomra."

Sekali lagi, Yeomra tersenyum, lalu meringkas dan meletakkan hiasan-hiasan rambut ke kotak kayu berukir di meja rias. Punggungnya yang membayangi cahaya bulan membangkitkan sisi sentimental Sujeong. Dari sudut pandang si mempelai wanita, kegelapan mengerubung Yeomra dari segala penjuru, padahal itu hanya karena minimnya penyinaran di tempat sang dewa berdiri.

Saat menutup kotak perhiasan, Yeomra merasakan tarikan ringan pada lengan pakaiannya. Ia menoleh ke belakang.

"Ada apa, Maengba?"

"Jubah Anda," jawab Sujeong seraya menengadah. "Saya boleh membantu menanggalkannya?"

Alis Yeomra terangkat, bertanya apa gadis itu sungguh-sungguh, tetapi Sujeong membalas tatapan itu tanpa keraguan. Sang dewa pun membentangkan lengannya.

"Tolong."

Sujeong tak menyangka akan melaksanakan tugas seintim ini juga, seperti wanita-wanita lain. Jubah pria yang biasa terlihat dari luar menyembunyikan apa-apa yang hanya bisa disaksikan pasangannya, bukan? Tak sanggup Sujeong menahan debar menyenangkan yang sempat dirasakannya di ruang pengobatan Yoonoh itu, apalagi Yeomra masih tercium seperti embun pagi, teh, dan kamper. Aroma ruang pengobatan. Samar si gadis memperdalam helaan napas, memuji wangi kekasihnya.

Setelah beberapa lapis jubah yang rumit ditanggalkan, rupanya ikatan jubah terdalam Yeomra melonggar, sedemikian sehingga dadanya terdedah kepada sang istri. Sujeong memalingkan wajah jengah, merasa tak patut melihat. Ia menyusuri kerah Yeomra sebelum merapatkan jubah itu seperti semula.

"Jangan begitu." Telunjuk panjang Yeomra menyentuh pipi tembam Sujeong, membujuknya agar kembali memandang ke depan. Walau tenaga yang digunakan sang dewa kecil saja, Sujeong tak kuasa melawan. Terpaksa ia melihat lurus untuk memastikan ikatan jubahnya rapi, tetapi ia malah melihat sesuatu yang lain.

Sebuah jimat kerawang.

Setengah sadar, jemari Sujeong mendaki ke kalung jimat yang menggantungi dada Yeomra. Tekanan arwah dua pasien Yoonoh tiada lagi di sana, mungkin sudah dikembalikan ke tempat seharusnya, tetapi Sujeong tetap terenyuh.

Ternyata, benda ini masih mendampinginya di Dowonkyeong.

"Suka kalung itu? Kekasihku yang memberikannya." Yeomra menahan tangan Sujeong agar tetap memegang jimat. "Benda ini jugalah yang melindungiku sampai akhir kehidupan pertamaku."

Linangan air mata di pelupuk mata Sujeong terlalu tinggi untuk dibendung kelopak, maka jatuhlah mereka satu-satu sebagai tangis, melunturkan riasan. Ditutulnya pipi basahnya menggunakan lengan baju, dengan ceroboh menyaput sebagian bedak mutiaranya.

"Beribu ampun karena menampakkan wajah yang buruk ini, Yang Mulia ...."

Ibu jari Yeomra menghapus air mata Sujeong, lalu kedua tangannya menangkup pipi kekasihnya. "Tanpa riasan pun, putri kesemek kecilku yang tangguh masihlah yang tercantik."

Kejam. Segala rayuan ini tidak bermakna apa-apa, tetapi mengapa Sujeong mencebik dan merengek? Tergugu, dirangkulnya Yeomra erat-erat, tak peduli telah membasahi kulit dan jubah sang suami dengan air mata.

"Tuan Yoonoh," Sujeong memanggil nama asli Yeomra yang lebih akrab di telinga, "saya sangat rindu ...."

"Aku juga. Aku juga." Yeomra mendekap pengantinnya, seolah ingin menyimpannya dalam hati. Dibelai-belainya puncak kepala Sujeong dengan haru. "Menangislah yang kencang, Sujeong. Tumpahkan semua rasa sakitmu padaku."

***

Malam belum terlalu tua, tetapi riasan Sujeong terlanjur rusak, maka sekalian saja dihapus (tentunya atas seizin Yoonoh). Lapis demi lapis pakaian Sujeong pun tanggal, menyisakan selapis jubah sutra tipis putih yang terdalam. Mereka bersila berhadapan di dekat jendela, lalu membanjirlah kepedihan yang Sujeong pendam selama empat tahun, dari soal perpisahan mereka sampai—

"Karena harus menimba, saya berjalan 8 ri setiap hari, yang 4 ri-nya sambil membawa dua ember penuh air!" ujar Sujeong meledak-ledak. "Saya sampai yakin bisa mengangkat Tuan Yoonoh gara-gara pekerjaan itu!"

Yoonoh terkesiap ketika Sujeong tahu-tahu merangkak ke arahnya, melingkarkan kedua tangan ke pinggangnya, lalu mengejan sampai merah muka. Rupanya, gadis tembam itu serius akan mengangkatnya? Meski tak berpikir itu akan berhasil, Yoonoh membiarkan Sujeong mencoba, baru balik menggendong pada kegagalan percobaan Sujeong yang ketiga.

"Turunkan saya! Tuan Yoonoh benar-benar sombong, mentang-mentang kuat!" racau Sujeong, tetapi alih-alih menurunkannya, Yoonoh cuma mengangguk. Sorot matanya sendu, memelas.

"Ya, aku benar-benar sombong dan jahat. Aku kuat, tetapi tidak membantumu menimba sama sekali. Marahlah yang puas padaku."

Padahal, Sujeong tahu lelaki itu pasti punya kisah sedihnya sendiri, terutama di Nagan. Ia terisak keras sebelum mengalungkan lengan ke leher Yoonoh. Kepalanya juga terkulai lesu sehingga dahinya dan Yoonoh berimpitan.

"Saya letih, tak ada lagi yang mau dimarahkan. Sekarang, silakan Tuan Yoonoh memarahkan apa saja kepada saya."

Yoonoh menggeleng sebelum duduk kembali ke sisi jendela dan mengelus-elus kepala Sujeong. "Aku yang berdosa ini tak patut memarahimu."

"Saya pun berdosa," Sujeong mencebik lagi, "karena tidak menolong Tuan Yoonoh di Nagan, padahal Anda sedang sangat menderita ...."

Kelihatannya, kali ini Yoonoh tidak mampu mengelak. Kendati mimiknya memendung, ia masih sanggup memaksakan seulas senyum. "Itu sudah berlalu."

"Rasa sakit saya juga sudah lewat, tetapi baru lega setelah disampaikan." Sujeong bersikeras. "Benang di kelingking saya beberapa kali menyalurkan rindu dan duka Tuan Yoonoh. Anda boleh menceritakannya sekarang."

Semula bicara karena diminta, cerita sedih Yoonoh akhirnya mengalir sederas jeram. Nagan begitu muram dari sudut pandangnya yang terbaring sekarat tanpa orang-orang tercinta. Ia sering mengigaukan keluarga lamanya atau Jaemin yang lebih dulu meninggal, tetapi tokoh utama dalam mimpi-mimpi demamnya tetaplah sang calon istri. Yoonoh ingat menjadi optimis karena bayangan Sujeong—persis isi suratnya—tetapi setiap berusaha sembuh, kegelapan kembali merenggut semangatnya hingga Miryeon menjemput.

"Kasihan sekali ...." Tanpa malu-malu, Sujeong merengek mewakili Yoonoh yang tegar. Pipi pria itu diusap seolah ia makhluk tak berdaya. "Mulai sekarang, jangan ragu mengungkapkan apa pun kepada saya. Akan saya usahakan Anda selalu aman dan bahagia!"

Mata Yoonoh melebar. "Bahkan setelah semua yang kulakukan padamu selama menjadi 'Yeomra', kau masih menghendaki kebahagiaanku?"

Sujeong mengangguk mantap. "Anda cuma menjalankan tugas dan membantu saya membuktikan diri, bukan? Karena ujian yang berat itu, kita bisa bersama, jadi tolong jangan merasa bersalah."

Tangan Sujeong akan meninggalkan pipi Yoonoh jika sang dewa tidak melekatkan telapak itu ke pipinya, lalu menciumnya. Darah Sujeong menggelenyar saking tidak terduganya aksi ini.

"Kau terlalu baik, Sujeong, sungguh, maafkan aku .... Apa aku pantas memilikimu yang seperti ini?"

Suara Yoonoh berangsur goyah. Beberapa saat kemudian, setitik air mata menuruni pipinya, disusul satu dan satu lagi yang lama-kelamaan dibarengi sedu-sedan. Sujeong terbelalak kaget; sudah lama ia tak melihat kekasihnya menangis hingga lupa bahwa pria itu bisa menangis. Kini, Yoonoh membiarkan kerut-kerut yang jujur muncul. Menyaksikannya membuat Sujeong meneteskan air mata lagi, lalu terjebaklah mereka dalam situasi konyol di mana tiap air mata Yoonoh yang terhapus ditebus jatuhnya air mata Sujeong.

"Ya ampun, kamu benar." Merasa cukup, Yoonoh mengusap kasar jejak-jejak basah di parasnya dan terkekeh. "Lega sekali sudah mengungkapkan semuanya. Maaf wajahku buruk sekali."

"Tidak, kok." Sujeong membelai dada Yoonoh untuk menenangkan gemuruh di baliknya. "Kelak, mari lebih sering berbagi rahasia agar dapat saling menguatkan." []

sangtu: model sanggul kecil tradisional Korea khusus pria (zaman dahulu, pria dan wanita Korea tidak boleh memotong rambut mereka sehingga semua orang berambut panjang)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top