43
"Terima kasih sekali lagi, Nona ... uh ...." Sujeong bingung harus bagaimana memanggil sang dayang berhubung mungkin, roh itu bukan kakaknya sama sekali. "Bolehkah saya panggil Anda Nona Mijoo saja? Saya tidak lancang, kan, menamai Anda seperti ini?"
"Tidak," jawab Mijoo setelah sejenak terdiam. "Anda setelah ini akan menjadi salah satu ratu Dowonkyeong. Anda berhak memanggil saya apa saja."
"Benarkah?" Mata Sujeong melebar riang. "Kalau begitu, panggil saya Sujeong!"
Mijoo melotot, lantas menggeleng-geleng cepat. "Memanggil nama pengantin Yang Mulia Yeomra secara langsung .... Itu tidak sopan bagi para dayang!"
"Jadi, permintaan sederhana saya tidak bisa dipenuhi? Sekalipun saya pengantin Yang Mulia Yeomra?" Meski terkesan kurang ajar, Sujeong tidak mau melewatkan kesenangan kecil ini dalam keterjebakannya sebagai pengantin dewa. Sukses; Mijoo dibuatnya tak berkutik. "Tolong panggil nama saya."
"Ya, Nona Sujeong," desah Mijoo jengah. Sujeong jadi geli; peran mereka telah terbalik sekarang. "Jika saya boleh tahu, bisakah Nona Sujeong menjelaskan siapa 'Nona Mijoo' ini? Dia sepertinya orang yang sangat berharga."
Sujeong buru-buru mengangguk.
"Dia kakak, guru, sahabat—dunia saya." Mengaku demikian di depan orang yang mirip Mijoo mungkin konyol, tetapi Sujeong sudah pernah kehilangan Mijoo; ia tidak ingin membuang kesempatan menyatakan kasih lagi. "Selama hidup, beliau memberikan segalanya untuk saya, tetapi kami berpisah sebelum saya sempat membalasnya dengan setimpal."
Setelah mentas dari kolam pemandian, tubuh Sujeong segera dikeringkan oleh Mijoo. Namun, begitu kalimat terakhir pengantin Yeomra terlontar, tangan sang dayang berhenti mengusap.
"Itu kisah yang pahit-manis." Mijoo melanjutkan tugasnya sambil menunduk. "Apakah saya begitu mirip dengannya?"
Sujeong membenarkan.
"Saya hanya arwah rendah yang entah mengapa terpilih meninggali Dowonkyeong. Kami yang tidak istimewa ini akan melupakan kehidupan lama kami, tetapi jujur ... ketika Anda dekap, saya seakan menemukan sesuatu yang hilang." Mijoo kini mengulas senyum mahalnya yang pernah menjadi satu-satunya lentera hidup Sujeong. "Bisa jadi, saya adalah 'Nona Mijoo' Anda. Jika bukan pun, Anda bisa menganggap saya sebagai dia."
Ah, sial. Kelenjar air mata Sujeong berdenyut-denyut, padahal wajahnya barusan dibersihkan agar siap dirias. Lekas gadis berpipi tembam itu memeluk Mijoo, merasai kehangatannya agar yakin ini bukan mimpi. Jatuhlah tangis Sujeong tanpa terkendali; ia begitu terbiasa tanpa Mijoo hingga pertemuan dengan sang guru jadi semelumpuhkan sekarang.
"Hue .... Aku menyayangimu, Kak ...."
***
Usai mandi, Sujeong dipakaikan gaun serbamerah bercorak keemasan. Modelnya mungkin sudah lewat seabad lalu, sebagaimana pakaian para dayang, tetapi pakaian itu cantik sehingga Sujeong senang saja mengenakannya. Wajahnya lantas dibedaki bubuk mutiara, alisnya digambar dengan abu biru, dan pipi serta bibirnya dimerahkan tumbukan bunga kesumba. Hiasan-hiasan di sanggulnya, meski agak berat, membuatnya makin mengagumi pantulan dirinya di cermin.
"Betapa jelita!" puji Mijoo tulus, memancing terima kasih Sujeong yang kesekian kali. "Nah, sebelum prosesi dimulai, kami akan membawa Anda untuk menemui ibu Yang Mulia Yeomra Kesepuluh, yaitu Yang Mulia Miryeon."
Tersentak, Sujeong berdiri dari kursi riasnya, lalu melimbung hingga tak sengaja menumpu ke tepian meja dan menggeser cepuk-cepuk riasan. Miryeon. Nama terlaknat itu tidak akan pernah musnah dari benaknya.
"B-Bisakah saya tidak menemuinya?"
Mijoo menggeleng. "Beliau ingin menemui Anda karena keistimewaan Anda. Arwah manusia bisa masuk Dowonkyeong dengan tingkat amalan tertentu, tetapi dipilih untuk dijadikan pasangan dewa, itu sangat jarang terjadi."
"Saya tidak mengerti," sahut Sujeong panik.
"Tolong jangan cemas dan penuhilah panggilan Yang Mulia Miryeon. Beliau memang penguasa kegelapan, tetapi kekuatannya telah dikekang sedemikian rupa oleh Yang Mulia Yeomra Kesepuluh agar tidak menyakiti Anda."
Menakjubkan, tetapi—seperti hal-hal lain di Dowonkyeong—sulit dipercaya. Masa Yeomra si kejam bisa berbalik melindungi Sujeong ketika dewa penghukum itu mungkin atau mungkin tidak terlibat dalam penumbalan sang pengantin?
***
Sujeong menapaki taman depan menara tempatnya bersiap-siap. Rupanya, dalam awan yang menyelimuti bagian bawah menara tadi, terdapat taman sejuk yang ditumbuhi pohon-pohon persik. Usai berpesan padanya untuk menanti kedatangan Miryeon, Mijoo undur diri bersama dayang-dayang lain. Duduklah Sujeong sendirian di batu besar tepat di tengah-tengah lingkaran pepohonan.
Tidak apa-apa. Nona Mijoo akan datang menjemputku lagi nanti. Sujeong menangkupkan kedua tangan yang melembap waswas di atas pangkuan. Segala kenangannya tentang penampakan Miryeon selalu buruk. Mana mungkin sang dewi muncul 'baik-baik' setelah ini kendati kekuatannya telah dikekang?
"Sudah lama menungguku?"
Sujeong mengeratkan genggamannya pada satu sama lain. Darahnya berdesiran. Kegelapan besar tertarik ke depannya bagai sebuah pusaran, lama-lama memampat seukuran manusia biasa. Tak lama kemudian, kegelapan ini menjelma seorang perempuan yang pernah Sujeong temui di kamar kawannya. Wanita ini mirip Yein, sedikit menyerupai Yoonoh pula, tetapi begitu sepasang netranya terbuka, sang mudang langsung mengenali siapa dia sebenarnya.
Walaupun jengkel pada dewi kegelapan yang mengambil wujud mendiang Nyonya Jung, Sujeong tetap bersujud untuk memberi hormat.
"Segala puji bagi Yang Mulia Dewi Miryeon."
"Kau tidak pernah memujiku sekalipun dalam hidupmu," tawa Miryeon meremehkan. "Kembalilah duduk. Hari ini, kita bukan lagi musuh, melainkan ibu mertua dan menantunya."
Menjijikkan. Siapa bersedia menjadi menantumu? batin Sujeong sebelum duduk di tempatnya semula sesuai perintah.
"Anak yang berani. Aku juga jijik padamu." Astaga, Sujeong lupa; Miryeon pasti dapat membaca pikirannya! "Jika bukan karena kemarahan putraku, hal sejanggal ini tidak akan terjadi. Dia mengekang kekuatanku sampai kujelaskan segala kebenaran tentangnya padamu, padahal Seowangmo saja tidak pernah melakukan itu." Ada kejengkelan terpendam dalam suara rendah Miryeon yang baru menyilangkan kaki. "Langsung saja. Kau sudah tahu mengapa dibawa ke Dowonkyeong, bukan?"
"Ya. Saya akan dijadikan pengantin Yang Mulia Yeomra Kesepuluh—di luar kehendak saya." Sujeong memelankan bagian akhir kalimatnya. "Beliau mengatakan ini berkali-kali selama di desa kami, tetapi saya tidak menggubris. Bukankah Anda mengatakan bahwa benang takdir saya terikat dengan Tuan Yoonoh?"
"Memang, makanya kau melihat luka di kelingking Yeomra Kesepuluh waktu itu."
Sujeong terperanjat. Jowangshin dulu menyebut Yoonoh sebagai putra Miryeon, lalu sekarang, Miryeon menyebut Yeomra sebagai putranya, maka Yoonoh dan Yeomra jelas orang yang sama. Tetap saja, apa-apaan? Tidakkah sifat keduanya terlalu bertolak belakang?
"Jangankan kau. Saat pertama kali kudatangkan ke Dowonkyeong setelah kematiannya, aku pun tak percaya dia anakku. Begitu tahu ia kubawa paksa untuk bereinkarnasi sebagai seorang Yeomra, Yoonoh sangat marah dan hampir membunuhku dengan kekuatan yang sangat besar. Kalau Seowangmo tidak mencegah, aku pasti tak akan ada di sini." Daripada ngeri, Miryeon menceritakan pengalamannya dengan bangga. "Tapi, memang seharusnya begitulah putraku."
Tangan Sujeong mengepal di atas pangkuan. "Tuan Yoonoh putra manusia biasa. Ibunya wanita bangsawan dan ayahnya seorang jenderal Hansong."
Miryeon tampak terganggu. Warna merah darah di selaput pelanginya menggelap, tetapi ia lantas menyeringai seolah tak terpengaruh. "Laki-laki tak tahu diri itu, ya? Bahkan setelah ditendangnya, kau masih menganggapnya ayah dari suamimu?"
Inilah yang mengawali cerita Miryeon tentang asal-usul Yoonoh yang sepanjang hidup Sujeong menjadi misteri.
Dahulu, seorang jenderal di Hansong dan istrinya putus asa karena tidak juga memperoleh keturunan. Takut istrinya diperlakukan semena-mena oleh keluarga besar akibat mandul, sang jenderal diam-diam membuat perjanjian dengan Miryeon, diperantarai seorang mudang. Ia setuju anak pertamanya dimiliki sang dewi—dan bisa dijemput 'sewaktu-waktu'—agar memiliki banyak putra-putri pada masa depan. Yoonoh-lah si sulung yang dikorbankan itu.
Pada usia 5 tahun, Yoonoh dijemput oleh Miryeon. Sebelumnya tidak pernah mengalami kejadian gaib, ternyata Nyonya Jung masih dapat melihat Miryeon dan menganggapnya sebagai ancaman bagi sang putra. Karena itulah, Nyonya Jung melawan, tetapi kekuatannya jauh di bawah Miryeon sehingga ia tewas. Kemarahan dan kesedihan Yoonoh setelahnya memicu kegelapan yang sangat besar dari dalam dirinya. Dengan kekuatan yang tidak disadarinya itulah, Yoonoh melepaskan diri dari cekaman 'ibu'-nya.
Sujeong terpegun, teringat cerita yang Yoonoh sampaikan setelah mempersuntingnya. Keduanya selaras, maka Miryeon memang tidak mengada-ada. "Beliau harusnya bisa hidup dengan wajar tanpa titipan kekuatan Anda," ujarnya menahan marah.
"Jangan bercanda! Dengan kekuatan sedahsyat itu, bukan takdirnya menjadi manusia biasa. Semakin dia mencoba membunuhku, semakin memesona dirinya di mataku. Detik itu, kuputuskan untuk tidak membawanya. Kegelapannya bisa lebih matang lagi setelah dewasa—dan rupanya, dugaanku terbukti!"
Jika demikian, berarti kedatangan Miryeon setelah kematian pasien Yoonoh adalah karena kegelapan itu sudah matang? Berarti pula, Miryeon membawa paksa Yoonoh yang tersiksa kegelapan untuk dijadikan dewa penghukum di luar kemauan lelaki itu? Bukannya menolong, Miryeon malah memperberat derita Yoonoh!
Tak tahan, Sujeong akhirnya berdiri dan menyembur Miryeon.
"Mengapa Anda bermain-main dengan hidup Tuan Yoonoh seperti itu? Anda dewi berkuasa yang mengaku-aku ibunya, tetapi mengapa membiarkannya melalui berbagai macam kesengsaraan hanya agar kegelapannya terus tumbuh? Terkutuk!"
Buku-buku jari Sujeong memutih, ditahan mati-matian dari merenggut kerah baju 'Nyonya Jung'. Miryeon mengangkat alisnya terhibur.
"Dengar, Gadis Kecil. Karena kubunuh ibunya, ayahnya jadi menganggapnya pembunuh. Saking bencinya, sang jenderal menganulir ujian pegawai negeri Yoonoh agar dia tak kembali ke Hansong. Setelahnya, tebak ke mana Yoonoh pergi."
Baekseonchon. Titik mula bergulirnya gulungan benang merah takdir. Usai mengatupkan rahang beberapa jenak, Sujeong jadi cukup bernyali untuk menyalak balik.
"Daripada menjalani takdir yang kejam agar kami bisa bersama, lebih baik saya tidak pernah bertemu Tuan Yoonoh sama sekali."
"Sayang sekali, dia tidak berpikir begitu," sahut Miryeon. "Sebelum mati, dia kehilangan murid kesayangannya, jatuh sakit sendiri, dan disiksa kerinduan kepadamu. Itulah yang mematangkan kegelapannya, maka ketika terlahir kembali, ia pastikan dirinya tak akan kehilangan sesuatu yang berharga lagi. Kesulitan-kesulitanmu di bumi disebabkan oleh keegoisan itu, Ryu Sujeong."
"Tuan Yoonoh tidak pernah egois," sanggah Sujeong gemetar. "Dia tetap pergi ke Nagan dan menunda pernikahan kami karena ingin menyelamatkan banyak orang."
"Dewi Penghukum Seowangmo, pemimpin para Yeomra, menilai Baekseonchon terlalu bernoda untuk tetap tegak. Sebagai perpanjangan tangan Seowangmo, seorang Yeomra harusnya tidak melawan dan menjalankan pengadilan sesuai kebijaksanaan pemimpinnya semata." Miryeon kini berdiri, tak suka bicara dalam posisi rendah. "Karena kau ada di Baekseonchon, Yeomra Kesepuluh menjadi yang pertama melawan perintah Seowangmo. Dia mencoba menyelamatkanmu dari pengadilan buta itu."
Lazimnya, melalui para Yeomra, Seowangmo akan menghancurkan wilayah yang dipekati dosa dengan bencana besar. Bencana itu akan mencabut banyak nyawa sekaligus. Jiwa-jiwa yang masih suci akan diangkat ke Dowonkyeong, sementara yang kotor akan diadili.
Namun, Yeomra Kesepuluh—yang menghendaki Sujeong menjadi pendampingnya—memiliki rencana lain. Semula, ia akan mengangkat Sujeong langsung ke Dowonkyeong, baru menyapu bersih Baekseonchon sesuai mau Seowangmo. Sama seperti Miryeon, Seowangmo tidak melihat keistimewaan Sujeong untuk menjadi seorang pengantin dewa, maka Yeomra Kesepuluh mengajukan sebuah pengadilan yang berfungsi ganda—dalam bentuk pohon kesemek terkutuk.
Buah-buah dari pohon di pelataran Jung adalah perpanjangan kekuatan Seowangmo. Kesemek-kesemek itu hanya 'memanggil' mereka yang harus dihakimi. Karenanya, di hadapan para penjahat, buah tersebut dan penjaganya—Yeomra Kesepuluh—mewujud sebagai kesemek menggiurkan yang dipegang orang kesayangan. Di lain pihak, orang-orang berhati murni melihat pohon kegelapan yang dijaga ular raksasa, jadi bukannya tergoda memetik, mereka malah ketakutan. Sujeong, sebagai calon penghuni baru Dowonkyeong yang diuji, dihadapkan kepada perpaduan keduanya agar keyakinannya terus terombang-ambing.
"Itu baru lapis pertama permainan kotornya," tutup Miryeon. "Tahukah kau siapa yang memperdengarkan suara Yoonoh hingga kau berhasil menolak godaan Yeomra malam itu? Siapa yang menjawab tangis putus asamu dengan mimpi tentang Yoonoh? Kau tidak lulus ujian ini atas kemampuanmu sendiri, melainkan karena kecurangan Yeomra!"
Memori kabur malam kelam itu terputar satu per satu di kepala Sujeong. Ya, dia memang mendengar suara dan memimpikan Yoonoh, tetapi keduanya seperti kebetulan saja berkelebat. Apakah Miryeon barusan menyiratkan bahwa bantuan-bantuan itu berasal dari Yeomra? Jika benar, berarti dia tidak sepenuhnya layak menjadi pengantin sang hakim.
Anehnya, Sujeong justru tersenyum dan balik mengejutkan Miryeon.
"Ternyata, takdir memang tidak untuk dilawan, apalagi jika diikatkan oleh Yang Mulia Wolha." Sujeong mengacungkan kelingkingnya yang terliliti benang merah dengan bangga. "Biar saya benahi ucapan saya sebelumnya: sepahit apa pun takdir itu, kami akan melaluinya dengan saling melindungi. Tuan Yoonoh dihantui kegelapan sepanjang hayat, maka saya melindunginya. Sebaliknya, setelah menjadi dewa, Yang Mulia Yeomra-lah yang menjaga saya. Pertukarannya impas—dan kami akan terus melakukannya pada masa depan, dengan atau tanpa kegelapan."
Sedari tadi angkuh, paras 'Nyonya Jung' berubah datar karena kepercayaan diri Sujeong. "Kau mengingatkanku pada putusan Seowangmo setelah Yeomra mengaku telah membantumu. Apakah pemikiran soal cinta ini yang membuat Seowangmo mengabaikan pelanggaran Yeomra terhadap perjanjian mereka? Sungguh memuakkan."
Suara Miryeon memberat. Sosok Nyonya Jung melebur dalam kabut hitam raksasa, menyisakan warna merah darah dari selaput pelanginya yang terus melebar. Sekembalinya ke wujud asli sebagai ratu kegelapan, Miryeon melengkingkan tawa sembari melingkupi tubuh Sujeong. Tergeragaplah sang calon pengantin yang tak siap diserbu sedemikian banyak kabut hitam. Memegangi dadanya yang sesak, ia pun ambruk di atas lutut.
"Sama-sama memuakkan, kalian itu!" amuk Miryeon. "KEKUATAN KALIAN TELAH MELEMAHKANKU!" []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top