40

"Nyonya menghadiahkan beras dan beberapa lembar kain untuk Anda. Di mana saya bisa meletakkannya?"

Sejak empat tahun lalu, Yein tidak pernah absen mengirim surat serta hadiah untuk Sujeong dari ibukota. Kali ini pun, kendati Sujeong belum sempat menulis lagi untuk sang sahabat, keadaan Baekseonchon pasti sudah tersiar jauh. Wajar kalau utusan yang Yein kirim sendirian ini khawatir; daerah yang mengalami masa sulit, penduduknya pasti jadi beringas dan rawan menjarah pendatang.

Dengan santai, Sujeong meminta tamunya mengikat tali kuda ke pagar dan memasukkan barang-barang pemberian Yein ke rumahnya. Bahkan dengan pemberian Yein, Sujeong masih tak memiliki banyak persediaan. Bila ada yang mencurinya pun, dia tak akan merasa kehilangan; ia toh telah melalui kehilangan-kehilangan yang lebih besar.

"Silakan duduk, Tuan," kata Sujeong. "Saya akan hidangkan kentang panggang dan air."

"Maaf, Nona, Anda tidak perlu repot-repot." Si pemuda buru-buru menolak, paham situasi Sujeong. Namun, akhirnya ia menerima karena sang mudang mendesak. Berdirilah sang utusan dengan canggung dekat pagar, berdalih ingin menunggui kudanya saja agar tak dicuri.

Usai menyuguhkan jamuan yang terlampau sederhana kepada utusan Yein, Sujeong membaca suratnya. Sekali lagi, senyumnya terbit: Yein rupanya tengah mengandung anak kedua. Sayangnya, berita baik itu hanya secuil di depan; sebagian besar isi perkamen adalah kecemasan Yein terhadap Sujeong dan Baekseonchon.

Sujeong mengemas sebuah jimat kayu untuk keselamatan persalinan dalam sebuah kotak kecil. Menyertai jimat tersebut adalah balasan yang diusahakannya optimis tanpa berbohong soal buruknya kondisi desa. Tidak lupa Sujeong menutup surat dengan peringatan 'keras'.

Hingga paceklik berakhir, tolong jangan mengunjungi Baekseonchon demi keselamatan keluarga Anda, Nyonya Yein.

Membawa surat dan jimat untuk majikannya, utusan Yein langsung bertolak ke Hansong tanpa berniat istirahat lebih lama. Mungkinkah roh berenergi buruk yang tercecer di segala penjuru desa ini mulai menakutkan pendatang pula? Sujeong mendengus sedih membayangkannya.

"Aih, apa yang kaupikirkan, Ryu Sujeong? Harimu baru saja dimulai," gumam sang mudang, menyemangati diri sendiri. Lekas-lekas ia menanak nasi dari beras yang Yein berikan. Sambil menunggu nasi matang, ia menata altar, menyiapkan sesi pelayanan rohaniah yang dibuka lagi setelah sekian lama. Di altar itu, hanya ada lilin menyala dan sepiring kentang sebagai sesaji; sangat tidak memadai, tetapi lebih baik daripada tanpa persembahan sama sekali.

Setelah sarapan, Sujeong melanjutkan persiapannya. Ia mengambil sedikit beras dari karung Yein, juga mangkok dan koin, lalu meletakkan itu semua di atas tikar. Terakhir, dia berdoa di depan altar. Syukurlah ia bisa makan nasi hari ini, jadi cadangan tenaganya penuh dan ia bisa berdoa dengan lebih khidmat. Ketika awal-awal pulih, Sujeong begitu lambat bergerak; perutnya yang sering kosong menjerit-jerit nyeri, maka sulit baginya berkonsentrasi sampai mencapai trans.

Semoga kemudahan ini bertahan selamanya ....

Selesai berdoa, Sujeong tak langsung berbalik menghadap tikar peralatannya. Ada sesuatu yang salah. Pagarnya tak berderit, engsel pintunya tak berkeriut, tetapi mengapa ia merasakan kehadiran seseorang di belakangnya?

Bukan. Tamu ini bukan 'orang'. Tekanan arwahnya saja jauh lebih kuat dari yang bisa ditimbulkan kalbu manusia biasa. Sekujur tubuh Sujeong melembap; arwah macam apa yang akan ia hadapi, padahal ia sudah tak sekuat sebelumnya?

"Jangan takut, Ryu Sujeong. Berbaliklah."

Demi mendengar suara ini, hilanglah semua ketakutan Sujeong. Bukan hanya karena isi kalimat dan nadanya yang menenangkan meski dingin, melainkan juga karena suara ini akrab di telinga. Saat berbalik, gadis itu terkejut.

Rupanya, Sujeong tak sedang menghadapi arwah atau iblis, melainkan dewa. Pakaian serba hitam, pedang panjang yang tersarung di pinggang, tatapan yang mati .... Selain dewa, sosok ini juga merupakan penanda akhir umur manusia. Kini terangkat seluruh ketakutannya, Sujeong tersenyum lembut sebelum bersujud dan menghaturkan salam.

"Yang Mulia Joseung Saja."

Sosok dewa pencabut nyawa, Joseung Saja, ternyata tak seperti yang Sujeong bayangkan selama ini. Joseung Saja merupakan arwah-arwah manusia yang naik derajat karena keistimewaan mereka, jadi Sujeong mengira sang dewa akan berwujud pria tua bijak lagi tegas. Dari bayangan ini, cuma 'tegas'-nya yang akurat; Joseung Saja di hadapan Sujeong justru berwujud pemuda belia berkulit bersih.

"Kau tampaknya sudah menunggu kematianmu," ucap Joseung Saja. "Sekarang belum waktunya. Lagi pula, pengadilan Yang Mulia Yeomra belum tentu dapat mempertemukanmu kembali dengan orang-orang kesayanganmu."

Sujeong jadi malu. Joseung Saja tentu dapat membaca pikirannya. Sudah begitu, teguran tadi menyiratkan betapa percaya dirinya Sujeong akan amalnya. Gadis itu segera memperdalam sujud.

"Saya minta maaf, Yang Mulia."

"Bangkitlah."

Sujeong beralih ke posisi duduk. Kedua telapaknya masih bersilang di depan pangkuan dengan santun dan pandangannya terarah ke lantai.

"Aku kemari hanya untuk memperingatkan tentang akhir usiamu yang sudah dekat."

Sujeong patut berbangga; tidak semua orang diperingatkan Joseung Saja akan kematiannya. Di sisi lain, kematian tidak lagi terdengar menjanjikan atau menyenangkan baginya. Bagaimana jika dia mati sebelum orang-orang Baekseonchon terselamatkan dari 'hukuman' Yeomra?

"Sebelum purnama berikutnya, kau akan kehilangan nyawamu di tangan orang-orang Baekseonchon," lanjut Joseung Saja. Darah Sujeong berdesir; purnama berikutnya akan muncul dua minggu lagi. 'Sebelum purnama berikutnya' itu bisa besok atau tiga belas hari kemudian, tetapi kapan tepatnya, Joseung Saja tampaknya akan merahasiakan.

Satu lagi pernyataan Joseung Saja yang menggigilkan adalah ....

"Apakah yang Yang Mulia maksud dengan 'di tangan orang-orang Baekseonchon'?"

"Artinya, tak hanya satu orang yang akan merenggut nyawamu."

Bukan lagi desir, darah Sujeong berdeburan sekarang. Apakah orang-orang desa ini akan beramai-ramai membunuhnya atau bagaimana? Mengapa? Kurang cukupkah usahanya buat menjaga siapa-siapa yang bisa ia jaga ketika dirinya sendiri juga membutuhkan bantuan?

Kurang, mungkin. Sejauh ini, bukankah Sujeong lebih banyak merengek dan marah ketimbang berkorban?

"Terima kasih banyak telah menyampaikan hal-hal ini kepada saya, Yang Mulia." Sekali lagi, Sujeong hanya bisa menghormat kepada sang pencabut nyawa. Apa lagi yang boleh dikatakannya untuk membalas? Setidaknya, dengan mengetahui keterbatasan waktunya, ia bisa bergerak lebih cepat untuk melindungi orang-orang terkasihnya.

Joseung Saja diam dan Sujeong jadi menerka-nerka, apa lagi pesan yang hendak sang dewa sampaikan?

"Kesepuluh Yeomra merupakan sebaik-baik hakim. Mereka tidak pernah menjatuhkan putusan yang salah."

Entah apa tujuan asli Joseung Saja mengatakan ini, tetapi Sujeong tetap tersindir. Walaupun sudah sering berhubungan dengan hal gaib, masih banyak rahasia alam arwah yang ia tak ketahui. Misalnya, baru sekarang ia tahu bahwa Yeomra dapat mengadili dengan cara yang amat keras seperti Yeomra Kesepuluh. Bahkan apa yang Joseung Saja sebut 'pengadilan' itu masih tampak menyerupai iblis dengan godaannya bagi Sujeong.

"Kata-kata Anda menyiratkan bahwa saya harus berhenti mencampuri urusan Yang Mulia Yeomra Kesepuluh." Sesuai yang ia minta selama ini, sambung Sujeong dalam hati, sulit percaya bahwa apa yang sebelumnya dianggapnya salah merupakan kebenaran sejati. "Jika memang demikian, saya akan berhenti."

"Bukan berarti kau tidak bisa melakukan apa-apa selama menanti takdir," sahut Joseung Saja. "Orang-orang yang 'lolos' dari 'pengadilan' Yang Mulia Yeomra akan tertolong melaluimu."

Sujeong mengerjap bingung. "Apa yang harus saya lakukan untuk menyelamatkan mereka?"

Lagi-lagi, Joseung Saja diam; memberi petunjuk satu saja tidak. Kontan Sujeong paham bahwa ia harus mencari tahu sendiri jalannya.

Tekanan arwah Joseung Saja memudar. Mendadak Sujeong teringat sesuatu yang muncul di benak ketika pertama kali melihat sang dewa maut. Nadanya genting ketika meminta Joseung Saja untuk menunggu sebentar.

"Seorang perempuan bernama Kim Chaewon mengirim pesan kepada Anda setiap tahun," sembur Sujeong tergesa. "Beliau tidak pernah melupakan Anda walaupun arwah Anda belum ditemukan sesudah musibah Nagan. Sudahkah Anda membaca pesan-pesannya?"

Serangkaian kalimat ini tampaknya tidak menggerakkan sang dewa kematian dan Sujeong terpegun. Ia lupa bahwa sekalipun Joseung Saja mengambil sosok murid muda Yoonoh, mereka bisa jadi tidak benar-benar sama. Mungkinkah arwah-arwah terpilih akan terhapus ingatannya setelah naik ke Nirwana agar dapat menjalankan kewajiban mereka?

Jika demikian, Sujeong telah mengalami satu lagi kegagalan. Gadis itu tersenyum getir. Sayang sekali, padahal Sujeong sangat yakin telah menemukan satu dari dua arwah yang ia cari-cari keberadaannya. Pesan Sujeong yang harusnya menggetarkan itu pun ditanggapi dengan kebungkaman.

"Aku tidak mengerti apa yang kaubicarakan," Joseung Saja—yang dikenal sebagai Jaemin semasa hidup—menghilang sepenuhnya ke dalam udara tipis, "tetapi katakan terima kasih kepadanya untuk mengenangku. Semoga dia terberkati."

***

Satu hari yang berat akhirnya lewat. Tulang-tulang Sujeong seakan bisa lepas dari persendian saking lelahnya. Berjalan ke dapur untuk minum sebelum tidur, Sujeong nyaris kecewa karena dua timbanya, yang tadi pagi penuh, kini telah kosong.

"Masih ada sedikit." Sujeong memeriksa. Ditegakkannya sebuah cangkir di tanah, lalu membalik timba pertama di atasnya. Tiga tetes air meluncur ke cangkir. Timba kedua bahkan mengisi cangkir hingga seperempatnya. Perempuan itu meneguk air terakhir dengan penuh syukur dan beranjak ke kamar, tidur sendiri dalam kegelapan.

Hal berikutnya yang ia tahu, Sujeong terbangun di sebuah tempat asing. Dalam keadaan berdiri, pula. Ia mengenakan pakaian berlapis yang digantungi pernak-pernik berat. Sesuai perintah seorang pendeta—pendeta?—Sujeong membungkuk kepada seseorang yang hanya bisa ia lihat ujung jubahnya. Ia pun membungkuk dengan bantuan dua orang yang memegangi sikunya di sisi kiri dan kanan.

Mengapa aku di sini? Dan, ini ... seperti upacara pernikahan?

Ketika Sujeong membungkuk, matanya menangkap seutas benang merah panjang. Salah satu ujung benang itu terikat pada kelingkingnya, sedangkan ujung lain terikat ke orang di seberangnya. Ini mengingatkan Sujeong kepada benang Wolha yang selama ini tidak pernah dilihatnya, tetapi selalu berdampak kepadanya. Yang aneh, saat menjadi kasatmata seperti sekarang, benang tersebut tidak melukainya.

Pendeta yang tak dapat Sujeong lihat wajahnya membacakan rangkaian janji dan doa bagi sepasang suami-istri, mendebarkan pendengarnya. Apa-apaan; tiada angin tiada hujan, Sujeong menikah dengan orang asing? Ini mengingatkannya kepada ancaman Yeomra Kesepuluh, bahwa ia—alih-alih milik Yoonoh—adalah milik sang dewa.

Tidak boleh! Bagaimanapun, aku istri Tuan Yoonoh! Aku harus menghentikan—

"Jangan takut kepadaku."

Sujeong tak berani menengadah atau bicara karena takut mengganggu upacara, tetapi ia kenal betul suara yang ada di seberangnya itu. Ngilu menyebar cepat ke dadanya, merambat naik ke kelenjar air matanya. Genangan tipis mengaburkan pandangan Sujeong; ia sampai menahan kedipan karena takut ada tangis yang menitiki lantai.

Betapa rindu Sujeong kepada si empunya suara.

"Inilah akhir kisahmu di dunia. Berikutnya adalah Dowonkyeong."

Tunggu, mengapa pengantin pria mengatakan sesuatu yang janggal? 'Akhir kisah'? 'Dowonkyeong'? Apa maksudnya?

Belum sempat mencerna ucapan pengantin pria, tiba-tiba Sujeong merasakan getaran samar di lantai. Sebenarnya, getaran itu kuat, tetapi jauh, maka yang tercerap oleh telapak kakinya lemah saja. Kecemasan memaksa Sujeong melirik ke luar jendela, mencari tahu apa yang memicu getaran ini.

Seketika, gadis itu mendelik.

Seakan berbeda dunia dari ruangan yang damai, apa yang ditunjukkan jendela itu merupakan sebuah kekacauan besar. Sujeong bisa melihat rumah-rumah roboh, pohon-pohon tumbang, dan orang-orang berlarian. Tanah di luar jendela berderak membentuk celah yang terus melebar. Sujeong tak dapat mengenali di mana bencana itu terjadi—dan di mana dia sesungguhnya—saking berantakannya situasi di sana.

"Angkat cawanmu, istriku."

Sujeong tersentak. Lazimnya, ia akan mendahulukan keselamatan orang-orang di luar jendela, tetapi dia sekarang malah melaksanakan perintah sang pengantin pria demi melanjutkan prosesi. Gemuruh dalam dadanya lebih tenang daripada yang seharusnya, seakan-akan bencana yang tampak dari jendela sudah seharusnya terjadi. Mengapa bisa begitu?

Dua orang di sisi Sujeong membantunya duduk dekat sang pengantin pria. Untuk pertama kali, wajah pengantin pria tertangkap netra Sujeong, menciptakan ketimpangan yang indah. Lantai ruangan masih berderak pelan, musibah di luar jendela masih berlangsung, tetapi pengantin pria justru menyuguhkan senyum berbingkai lesung pipi dalam.

"Mari kita rayakan selesainya pengadilan ini. Jangan khawatir; orang-orang kesayanganmu telah pergi dari sana."

***

Kelopak mata Sujeong tersentak membuka. Tubuh dinginnya menggigil hebat dan ia tersengal-sengal di atas alas tidur. Tekanan arwahnya beriak-riak bagai air yang dipecah kerikil.

Mimpi yang sangat nyata! Pasti ini wangsit!

Meski badannya diam, kepala Sujeong dibanjiri berbagai pikiran. Ia tidak dapat mengingat secara terperinci mimpi tersebut, tetapi bagian-bagian pentingnya tak akan terlupakan. Gempa besar. Desa yang hancur. Pernikahannya. Juga suara Yoonoh.

"Mimpi sekacau itu sulit diterjemahkan," gumam Sujeong, "tetapi mengapa sepertinya itu dapat menjawab pertanyaan-pertanyaanku selama ini?"

Sayup-sayup, Sujeong mendengar keciap burung pipit. Kamarnya masih gelap, berarti ini masih fajar, waktu yang tepat untuk memohon petunjuk kepada dewata. Bangkitlah ia untuk berganti pakaian, menyanggul rambut, dan mengelap muka. Setelah altar dipersiapkan, Sujeong pun bersembahyang.

Satu demi satu, pesan-pesan roh mendatangi Sujeong. Inti dari beberapa wangsit tersebut memuat petunjuk yang selaras dengan ucapan terakhir si pengantin pria.

"Jangan khawatir; orang-orang kesayanganmu telah pergi dari sana."

Matahari meninggi. Usai sembahyang, Sujeong masih bersila di depan altar dan memejam. Tak diragukan lagi, Baekseonchon akan segera musnah; ia bahkan sudah mengetahui bencana macam apa yang akan meluluhlantakkan desanya. Manusia biasa tidak bakal sanggup melawan kekuatan alam yang demikian besar, maka pemecahannya cuma satu.

"Orang-orang Baekseonchon harus diungsikan segera." []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top