39
Sujeong duduk di ruang depan rumahnya dan menekuk lutut ke dada. Dari sudut ini, terlihatlah seikat rambut panjang yang menyelipi jemari lecet sang gadis. Ternyata, jika gelungannya digerai bisa menyapu lantai gubuk begini.
Sujeong menarik keluar seikat rambut itu dari jemarinya. Helai-helai panjang ini langsung patah setelah terbebas dari sela jari. Rapuh benar. Apakah mengurai rambut dapat melemahkan setiap helainya?
Namun, tusuk sanggul kesukaan Sujeong—satu yang Yoonoh berikan ketika mempersuntingnya—telah dicabut paksa oleh Yeomra. Mungkin kedengarannya kekanakan, tetapi kehilangan tusuk sanggul itu membuat Sujeong malas mengenakan—bahkan merasa tak pantas untuk sekadar melirik—tusuk sanggul cantik lain dalam peti Yoonoh. Bukankah tusuk sanggul yang diberikan pria saat melamar akan jadi tanda kesetiaan seorang wanita kepada pasangannya? Walaupun hati Sujeong setelah perhiasan itu direbut masih untuk Yoonoh, kehilangannya membuat Sujeong merasa bodoh dan tidak bertanggung jawab.
Sujeong memegangi kepalanya yang pening. Nama Yoonoh senantiasa berdengung menyakitkan setiap kali dikenang. Andai pria itu masih hidup, kehilangan Mijoo tak akan begitu berat.
Percuma. Kenyataannya tidak demikian.
Kenangan tentang Yoonoh mencetuskan sebuah gagasan gelap yang memicu Sujeong bangkit. Kegelapan yang perlahan tumbuh dalam dirinya menjadi semakin merusak karena diberi makan duka, amarah, dan kesendirian. Sekonyong-konyong, dirinya dihadapkan pada satu pemecahan.
Terhuyung Sujeong berdiri. Para chaebi mengurungnya demi keselamatan, tetapi pintu dapur tak akan mereka kunci karena bilik mandi ada di belakang. Dari sanalah Sujeong keluar. Didorongnya pintu dapur membuka tanpa menutupnya kembali; toh tak ada yang bisa dicuri dari rumahnya. Kemudian, sang dara bertelanjang kaki melintasi halaman, menuju sebuah tempat yang terus menguji kesabarannya.
Pelataran kediaman Jung.
Pertama kali memasuki halaman itu sejak pembunuhan brutal Mijoo, Sujeong muntah. Bukan karena tekanan kegelapan, melainkan karena intensnya kenangan buruk yang menyambangi benak.
"Lihat siapa yang datang!"
Ekor ular Yeomra melilit pohon kesemek hitam, membuat tubuhnya dan pohon itu seolah menyatu. Sujeong mengusap mulut kasar, membersihkan sisa liur dan empedu sebelum berjalan cepat ke arah pohon itu. Yeomra juga turun dari sana, memegang sesisi wajah Sujeong, dan mendesiskan lidah panjang bercabangnya.
"Kau kelihatan kacau."
Kendati wajah Yoonoh tidak buruk, sebenarnya Sujeong kemari karena berharap Yeomra menampakkan diri sebagai Mijoo. Kasih sayangnya untuk Yoonoh dan Mijoo tidak bisa dibandingkan, tetapi sekarang, yang lebih berkuasa adalah kerinduan kepada Mijoo. Mengapa Yeomra masih memasang wajah 'orang terkasih Sujeong' yang itu-itu juga? Mungkinkah Yoonoh merajai kalbu Sujeong sedemikian besar?
"Tolong berikan kesemeknya," pinta Sujeong tanpa tedeng aling-aling. Yeomra yang mendengar ini sampai meninggikan alis, menuntut pengulangan. Saat Sujeong benar-benar mengulang, barulah dewa iblis itu mengulas seringai mimpi buruknya.
"Tahu begini, seharusnya kubunuh Lee Mijoo dari dulu!" serunya sambil memetik sebuah kesemek besar. "Akhirnya, kau mengerti maksudku dan menyerah!"
Sujeong memicing. Salah satu sudut bibirnya tahu-tahu mengalirkan darah, sementara kegelapan yang semula tak kasatmata kini mulai menembusi pakaiannya, menguar gila-gilaan dari dadanya. Cara Yeomra meremehkan kematian Mijoo membuat Sujeong marah, tetapi ia terlalu lemah untuk mengungkapkan. Yang ganjil, dia tak ambruk karena kegelapan itu.
Mata emas Yeomra berkilatan bengis.
"Pengantinku sebentar lagi akan pantas menduduki takhtanya di neraka. Tunggu apa lagi? Makan kesemek ini, maka segala dukamu akan langsung terangkat!"
Menggiurkan. Terlepas dari tampilannya yang sewarna arang, buah itu masih berharum kesemek, bahkan lebih baik. Manis yang menyembuhkan ini membuat tangan Sujeong terulur. Nuraninya boleh menolak, tetapi tangannya pasrah didorong hasrat. Ia pun meraih suguhan Yeomra.
Seketika pucuk telunjuk Sujeong yang menyentuh kesemek tersayat. Ngilunya tak seberapa dibanding nyeri menumpulkan yang memerangkapnya setelah kehilangan dua orang tersayang. Jadi, ia bersikeras menggenggam seluruh badan buah, mengesampingkan tangannya yang jadi berlumur darah.
Makhluk ini sungguhan Yang Mulia Yeomra. Dia mengatakan takdirku adalah menjadi pengantinnya. Menyalahi takdir berarti tetap menjaga Baekseonchon sebagai mudang, padahal aku tahu bagaimana desa akan berakhir .... Mengapa tidak buang saja omong kosong ini? Satu gigitan, cuma satu, dan aku tak akan lagi menderita.
Apa yang menantiku di neraka sebagai ratu iblis, kira-kira?
Terengah-engah, Sujeong mendekatkan kesemek ke mulut, mengabaikan bibirnya yang teriris membujur oleh kegelapan—hingga kelingkingnya mendadak terjerat oleh benang Wolha.
"Berhenti! Jangan makan itu, Ryu Sujeong!"
Meluncurlah kesemek yang urung dimakan dari telapak tangan bersimbah luka. Buah itu pun pecah dan lenyap begitu menyentuh bumi. Sujeong terisak, awalnya lirih, lama-lama melantang. Saat benang takdir melukainya tadi, bayang-bayang ketakutan Yoonoh hadir tanpa peringatan, mencegahnya menggigit buah terkutuk itu sekaligus menyadarkannya tentang kebenaran yang ia pegang.
"Aku adalah mudang Baekseonchon ... dan istri Tuan Yoonoh!"
Yeomra mendelik, sesaat kemudian mengerang jengkel. Dililitkannya ekornya ke sekeliling kaki Sujeong. Sebatang tusuk sanggul muncul di satu tangan sang dewa (yang kelingkingnya juga berdarah), tak salah lagi adalah tusuk sanggul bunga kesemek pemberian Yoonoh. Dengan sekali cengkeram, patahlah hiasan rambut itu menjadi dua—di hadapan pemilik yang sangat mencintainya.
"Jung Yoonoh sialan itu sudah mati! Mati! Kau adalah milikku, Ryu Sujeong!"
"JANGAN SENTUH AKU!!!"
Lazimnya, api sucilah yang akan menolak dan menyerang Yeomra. Alih-alih, kali ini, sebuah perisai janggal yang terbuat dari api suci dan kegelapan tahu-tahu tegak untuk melindungi Sujeong. Mau tidak mau, Yeomra membebaskan calon pengantinnya, membuka celah bagi sang dara untuk melarikan diri.
Apa yang kulakukan? Apa yang kulakukan?! Mengapa aku sampai terbujuk?!
Setiba di dapurnya, Sujeong membanting pintu menutup dan meraung-raung. Terduduk beralaskan tanah, ia menjejak-jejakkan kaki panjangnya acak, tak sengaja menendang meja pendek sampai menjatuhkan beberapa cepuk kosong secara beruntun. Keluhannya pun tumpah bak air bah, tak jelas ditujukan kepada siapa.
"Sakit sekali! Rasanya mau mati! Mengapa aku harus menjadi satu-satunya mudang yang hidup?! Mengapa aku harus mengabdi pada desa?! Mengapa suamiku harus meninggalkanku?! Aku benci takdirku! Persetan dengan dewa dan roh. Mengapa kalian semua menyakitiku, Bajingan?! Demi Langit, aku sudah melayani kalian dan mengorbankan segalanya!!!"
Sujeong menutup amukan dengan satu teriakan panjang yang menumbangkan. Setiap helaan napasnya meleleh menjadi sedu sedan. Sujeong membiarkan tubuhnya dientak-entak oleh setiap isak. Barulah ia jatuh tertidur di depan tungku usai seluruh tenaganya terkuras.
Sebelum kehilangan kesadaran, Sujeong kembali dibayangi patahan tusuk sanggulnya. Patahan itu dilempar Yeomra ke akar pohon kesemek—hanya untuk diambil lagi oleh seorang pria berjubah putih. Rambutnya disanggul kecil ke atas dan dirapikan dengan manggeon. Pria yang tak terlihat parasnya itu lantas berlutut dan meletakkan di tangan Sujeong, sebatang tusuk sanggul bunga kesemek yang utuh seperti sediakala.
"Benar, Kekasihku. Menangislah sekerasnya dan kutuklah Jung Yoonoh yang mengingkari janjinya. Tak ada yang memaksamu maju terus, maka menyerahlah jika kau ingin."
Pria itu memungkasi ucapannya dengan senyum pedih serta satu belaian di pipi sembap Sujeong, dan demikianlah malam sang mudang diakhiri.
***
Sebelum fajar menyingsing, Sujeong terlonjak bangun karena jantungnya didebarkan asa sisa mimpi. Segera disambarnya pakaian bersih, lengkap dengan masing-masing satu tusuk sanggul dan norigae dari peti hadiah. Ia juga membawa lilin, dupa, dan timba. Pada waktu harimau, dengan mengenakan sandal jerami yang hampir putus talinya, Sujeong berjalan terseok ke Sungai Yeong-am.
Ketika ia tiba, belum ada satu orang pun yang mengangsu di hilir.
Aku tidak pernah sendirian. Bahkan setelah semua ini, aku ternyata tidak sendirian.
Keberadaan arwah-arwah penjaga sungai amat tipis bagi Sujeong yang energi rohaniahnya sekarat, tetapi ia tetap berdoa kepada mereka sebagai tamu yang beradab. Memastikan tak ada yang melihat, ia menanggalkan pakaian dan mencelupkan badan ke dalam air sampai ubun-ubun. Tatkala napasnya habis, ia mengemuka dan memercikkan air ke wajah.
Luar biasa; rasanya seperti terlahir kembali!
Sejak kemunculan Yeomra, Sujeong hampir tidak pernah memimpikan Yoonoh, apalagi setelah Mijoo meninggal. Itu membuatnya kesepian di tengah banyak orang yang menyayanginya. Pengaruh mereka berdua memang kuat; sesingkat apa jua sapaan mereka, termasuk yang sebatas mimpi, masih sanggup menyembuhkan.
Air bekas basuhan Sujeong berangsur mengeruh, melarutkan noda dan beban. Sujeong akui semalam dia sudah di ambang kehancuran, bisa saja patah seperti tusuk sanggulnya yang Yeomra renggut. Jika itu terjadi, selamanya ia tak akan pulih, tetapi rupanya keterdesakan ini telah memancing kemunculan mendiang calon suaminya.
Apakah Tuan tidak ingin saya menyerah? Karena itukah, Anda datang dan—sekali lagi—menyelamatkan saya?
Ketika riak sungai tempatnya mandi mulai tenang dan matahari meninggi, Sujeong akhirnya dapat bercermin. Pipi cekung dan kerut di sekitar mulut masih membuatnya tampak beberapa tahun lebih tua, tetapi setidaknya, ada harapan baru dalam sorot matanya. Buncah kebahagiaan bagaikan berkah, membumbungkan haru yang menyangkuti tenggorokan.
Jangan menangis! Sujeong menepuk pipi. Takdirku memang sulit, tetapi bukankah Langit selalu memihakku? Berhenti berputus asa. Berikutnya, aku harus mengerahkan seluruh kemampuanku!
Aku tangguh. Aku akan membuat Tuan Yoonoh bangga sebagaimana ia juga membuatku bangga!
Air sungai langsung terganti oleh arus baru sementasnya Sujeong, selaras dengan semangat yang terbarukan. Gemericik damai dari sana memutar ulang mimpi indah tentang Yoonoh pada malam sebelumnya.
"Saya tidak ingin mengutuk kepergian Anda atau takdir, Tuan," senyum Sujeong, "karena kebahagiaan saya sesungguhnya berada di tangan saya sendiri."
***
Selama beberapa waktu, Sujeong bolak-balik pergi ke bukit untuk menyucikan energinya, memadamkan sementara segala hasrat duniawi agar dapat memperbaiki ikatan antara dirinya dengan alam gaib. Selanjutnya, ia menata hidup: bersembahyang, menjalankan ritual atas permintaan, mengangsu ke Sungai Yeong-am, dan mencegahi orang-orang yang tergoda untuk mendatangi pohon kesemek terkutuk. Semangatnya melakukan semua hal ini, sayangnya, tidak sejalan dengan badannya yang makin enggan bekerja sama.
"Kakak baik-baik saja?" tanya Donghyun begitu Sujeong duduk di serambi rumah dan mengesah keras. Dua ember kayu yang terisi penuh ada di dekat kakinya. Wajah gadis itu pucat lagi berkeringat dingin, tetapi seperti dirinya sebelum kehilangan Mijoo, Sujeong mengulas sebuah senyum aku-baik-baik.
"Setelah istirahat, aku pasti kuat berjalan lagi," ujarnya.
Para chaebi berpandangan sejenak sebelum masing-masing mengeluarkan dua butir kurma merah dari saku. Joochan, Jibeom, dan Donghyun mengumpulkan kurma di tangan Jaehyun, padahal pemuda bermata bulat itu belum menyatakan persetujuan. Jaehyun melotot jengah, lalu karena tak punya pilihan, ia mengangsurkan delapan butir kurma merah kepada Sujeong.
"Eh?" Alis Sujeong terangkat. "Untuk apa ini?"
"Untuk memulihkan tenaga Kakak," jawab Jaehyun malu-malu. "Kami biasa mengambil buah ini dari pohon-pohon liar di jalan untuk bekal mengangsu."
"Kecil-kecil begini, kurma merah sangat ampuh menambah energi, Kak!" Joochan mengacungkan jempol. "Kelihatannya, Kak Sujeong membutuhkan itu, jadi kami berikan buatmu."
"Di saku kami masih banyak, jadi Kakak tidak perlu khawatir!" Jibeom merogoh kantong baju dan mengeluarkan segenggam kurma merah liar. Dia segera menyesali itu: tiga butir menggelinding ke tanah saking penuhnya tangannya. Joochan dengan cuek mengambil dan membersihkan buah-buahan itu sebelum memasukkannya ke saku Jibeom kembali.
Mata Sujeong berbinar. Para chaebi telah menjadi pemuda-pemuda yang hebat. Baru-baru ini, dengan meningkatnya orang yang sakit hingga tidak sanggup menimba, keempatnya menawarkan jasa mengambil air ke Yeong-am, tetapi untuk yang tak kuat membayar, mereka tak akan meminta upah. Sekarang, mereka bahkan membagi bekal mengangsu yang sebenarnya masih terlalu sedikit untuk mereka sendiri.
Empat butir kurma Sujeong sodorkan balik kepada Jaehyun. "Kalian butuh lebih banyak bekal buat mengangkut air bolak-balik. Semangatlah!"
Andai tidak diingatkan soal matahari yang makin terik, para chaebi pasti akan ribut menyurukkan empat butir kurma lagi pada Sujeong. Mengangsu akan makin berat di bawah gelombang panas tengah hari, maka mereka segera undur diri dengan membawa pikulan timba masing-masing.
Begitu keempat pemuda menghilang dari pandangan, Sujeong mengembuskan napas letih dan bersandar ke salah satu pilar rapuh serambi.
Lemas sekali ....
Empat butir kurma merah Sujeong lahap sekaligus karena lapar. Segera setelah itu, tangannya melampai ke sisi badan, tetapi beruntung, Joochan tidak berbohong. Sebentar kemudian, Sujeong sudah sanggup berdiri dan mengangkat dua timba penuh air. Ia akan melangkah ke dapur untuk meletakkan timba-timba itu jika seseorang tidak memanggil nama lengkapnya.
"Nona Ryu Sujeong?"
Pemuda yang memanggil Sujeong tersebut terlihat sedikit lebih tua dari para chaebi. Pakaiannya rapi dan sederhana, tetapi warnanya sekusam pakaian kebanyakan orang desa. Ia menuntun seekor kuda tua dengan sedikit muatan. Sesekali, ia menoleh ke kanan-kiri dengan gelisah, seolah ingin segera meninggalkan tempat itu.
Meski tak pernah mengenalnya, Sujeong bisa menebak siapa pemuda ini.
"Apakah Anda utusan Nyonya Jung Yein?"
Si pemuda membenarkan, tanpa membuang waktu mengangsurkan surat sang majikan. Diturunkannya muatan dari punggung kuda, lalu berbisik sangat lirih kepada Sujeong.
"Nyonya menghadiahkan beras dan beberapa lembar kain untuk Anda. Di mana saya bisa meletakkannya?" []
Manggeon: ikat kepala khas lelaki Joseon
Waktu harimau: sekitar jam 3-5 pagi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top