34
Paceklik menghantam Baekseonchon dengan ganas. Seretnya panen, serangan hama, dan beberapa perangkat desa yang sok tuli bukan sebuah paduan cantik bagi wilayah dengan banyak petani. Tentu masih ada sedikit harapan dari para pejabat yang jujur, misalnya ayah dan suami Chaewon, tetapi tangan orang-orang baik ini tidak sanggup merengkuh seluruh warga desa.
Satu persatu, mereka yang kehilangan harapan di Baekseonchon jatuh ke dalam dosa.
Mengenakan jubah ritual serbaputih, Sujeong melantunkan doa selagi mengayunkan selendang, menari lambat lagi hormat. Para chaebi mengiringinya dengan musik yang syahdu, tetapi muram. Di belakang mereka, dua pasang suami-istri menangkupkan tangan mereka, berdoa dengan sungguh-sungguh demi ketenangan para roh penghuni rumah.
Saat ini, Sujeong sedang melaksanakan ritual pembersihan roh setelah mati, ssitkim-kut, dalam rumah seorang penjual ramuan. Keluarga kecil yang tinggal di sana terdiri dari si penjual ramuan sendiri, putranya, menantunya, dan seorang cucu yang masih bayi. Tiga hari sebelum ritual, mereka dibantai oleh seorang perampok yang hingga sekarang masih belum tertangkap. Sejak itu, tetangga-tetangga mereka—dua pasang suami-istri yang menghadiri ritual—sering diganggu oleh jeritan-jeritan menakutkan.
Meski Sujeong terbiasa dengan arwah jahat sejak terlibat dengan Yoonoh, menghadapi kegelapan sebesar itu lagi tetap membutuhkan persiapan ekstra. Bagaimana tidak? Setiap sudut rumah terselimuti energi buruk—dan bukan energi buruk biasa, tetapi yang cukup ganas. Hal ini dapat dimengerti, mengingat apa yang terjadi dalam rumah ini.
Kegelapan yang tertarik dari segala penjuru rumah berkumpul dekat altar, menggeliangkan lilin-lilin dan menggeser posisi sesaji sedikit. Lambat laun, kegelapan ini membentuk tiga tubuh manusia. Semula berwarna hitam, tiga sosok itu berangsur menyerupai manusia biasa, tetapi dengan kepala pecah dan dada berlubang—menggambarkan bagaimana mereka dulu terbunuh.
Bulu roma Sujeong tegak, tetapi ia tidak berhenti, bahkan ketika kegelapan para penghuni rumah mulai menyayat kulitnya. Musisi-musisi Sujeong berjuang mempertahankan konsentrasi di tengah tekanan arwah buruk, sedangkan kedua pasangan di belakang Sujeong makin kerap menggosok-gosokkan telapak tangan. Ssitkim-kut telah menjadi lebih intens sehingga mereka yang tidak memiliki kekuatan spiritual pun dapat merasakan perubahan.
Pasti berat didera ketakutan sekaligus kedukaan berpisah dengan orang tersayang malam itu. Aku sangat menghormati kalian yang berusaha hingga akhir untuk saling melindungi. Meski kehilangan beberapa hal setelah meninggalkan dunia ini, kalian masih memiliki satu sama lain, tetangga-tetangga yang baik, juga bayi Yirang.
Ajaib bagaimana sikap merusak arwah-arwah mengerikan ini langsung terkendali begitu ketulusan Sujeong mencapai mereka. Ikatan batin mencapai titik terkuat ketika nama anggota termuda keluarga itu—yang lebih dulu menyeberang alam karena longgarnya ikatan dengan dunia—disebut. Tidak sembarang mudang dapat menjangkau dalam ingatan para roh hingga menemukan sebuah nama berharga.
Kabut yang menutupi arwah hitam memudar. Luka-luka mereka ikut sirna. Mendiang penjual ramuan, anak, dan menantunya kini menunjukkan penyesalan berhias kesedihan. Mereka tak perlu mengatakan apa-apa; Sujeong dapat membaca keinginan mereka.
Terima kasih telah mengampuni orang yang telah menyakiti kalian. Anugerah Langit akan menyertai para pemaaf. Beristirahatlah dalam damai dan tolong sampaikan salamku kepada bayi Yirang.
Senyum haru terulas di wajah-wajah yang mengitari Sujeong. Sesuai alunan musik muram dari para chaebi, ketiga arwah menari bersama sang mudang untuk melepaskan beban terakhir. Selanjutnya, bersama menghilangnya mereka, energi baru mengaliri nadi Sujeong beriring potongan-potongan wangsit.
Rumah besar terbengkalai dengan gerbang lapuk. Ular besar. Pohon kesemek berbuah ranum yang diliputi kegelapan. Rupanya, Sujeong menghidupi kenangan seseorang yang membobol rumah tempatnya menjalankan ritual—dan menyerang keluarga penjual ramuan dengan brutal.
Lilin-lilin di altar menggeliang hebat, lalu padam. Sujeong menutup tariannya dengan peluh menitiki kening. Tak lama berselang, lilin-lilin tersebut menyala kembali; api mereka lurus menentang atap. Pasangan suami-istri berhenti berdoa ketika Sujeong berbalik.
"Ssitkim-kut-nya sudah selesai. Arwah Tuan Hyun dan anak-menantunya telah menyeberang, jadi seharusnya, kalian tak akan terganggu lagi."
Nyaris lega, wajah keempat orang itu berubah cemas begitu menemukan dua garis lecet di wajah dan robekan di jubah Sujeong.
"Nona, Anda terluka! Arwah-arwah itu menyerang Anda?" tanya salah satu perempuan yang bertubuh pendek.
"Hanya sedikit. Saya sudah memperhitungkan ini setelah mengetahui kisah Tuan Hyun, jadi saya juga sudah bersiap-siap." Sujeong tersenyum meyakinkan. "Jika Anda berempat hendak melakukan penghormatan terakhir sebelum pergi, silakan. Saya akan membalut luka di luar."
Pria tua dengan bercak gelap besar di pipi mengangguk. "Kami akan melakukannya, tetapi jika Nona Mudang butuh bantuan, tolong memanggillah."
"Baik. Terima kasih banyak."
"Justru kami yang harus berterima kasih kepada Anda, Nona," ujar pria satunya yang agak pincang. "Lega mengetahui arwah Tuan Hyun dan keluarganya telah disucikan sehingga dapat menyeberang alam."
Itu benar, tetapi Sujeong memiliki tugas baru setelah memperoleh pesan dari arwah penjual ramuan. Pembobol rumah ini belum tertangkap dan wangsit yang Sujeong dapat seolah mengarahkan kepada identitasnya. Tidak berhenti di sana, pesan Tuan Hyun sepertinya akan mengungkap masalah yang lebih serius jika diselidiki benar-benar.
Saat Yein dijemput paksa oleh si jenderal Hansong, Sujeong ingat memimpikan ular besar yang muncul di kediaman Jung. Makhluk yang mirip kembali hadir dalam wangsit kali ini—di tempat yang sama. Kebetulan-kebetulan ini tak dapat diabaikan begitu saja meskipun kediaman Jung telah terlantar cukup lama.
"Kak," panggil Jaehyun sambil menggulung sisa perban yang membalut lengan Sujeong, "jangan."
Walaupun Sujeong belum bilang apa-apa, para chaebi—apalagi Jaehyun—kelihatannya sudah hafal apa yang akan terjadi. Karena itulah, Jaehyun memohon agar Sujeong menghindari bahaya. Sayangnya, baik yang memperingatkan dan yang diperingatkan tahu bahwa 'jangan' yang satu ini mustahil dilaksanakan.
"Tidak usah khawatir. Tugas yang akan kuhadapi tampaknya berhubungan dengan seluruh Baekseonchon, jadi aku tidak akan bertindak sendirian."
Diucapkan dengan senyum pun, apa yang disiratkan Sujeong tidak meredam kegelisahan.
"Arwah macam apa yang mungkin berhubungan dengan seluruh Baekseonchon, Kak?" Joochan melotot.
"Desa kita terancam bahaya sebesar itu?" Jibeom ikut-ikutan panik.
"Aku jadi teringat soal 'takdir Kakak' yang pernah Nona Mijoo singgung," tukas Donghyun cemas. "Takdir yang menjadikan Kakak sebagai mudang Baekseonchon .... Jangan-jangan, wangsit ini berkaitan dengan 'peristiwa besar' yang akan Kakak saksikan?"
"Belum tentu. Bukankah wangsit hanya berisikan petunjuk tentang masa depan, bukan keseluruhannya?" jawab Sujeong kalem sembari beranjak dari serambi. "Itulah yang harus diselidiki, tetapi mari berpamitan dulu kepada Pasangan Yeo dan Bok."
Sujeong tidak pernah membentak atau menegur keras seperti Mijoo. Namun, sebagaimana gadis itu menghindari situasi kurang menyenangkan dengan orang lain, para chaebi juga belajar untuk mengenali perasaannya. Berkelit dari pertanyaan merupakan tanda bahwa bahasan mereka mengusik Sujeong, jadi mereka tidak meneruskannya lagi. Sesuai isyarat sang mudang, para chaebi pun berpamitan kepada tetangga-tetangga Tuan Hyun.
Sepanjang perjalanan pulang, Sujeong lebih banyak merenung. Dari semua tempat yang mungkin berkaitan dengan sebuah pembunuhan sadis, mengapa harus rumah Yoonoh? Mengapa harus kediaman yang dulunya begitu hangat dan sesak oleh kenangan?
Siapkah aku kembali ke tempat di mana cinta Tuan Yoonoh tertinggal?
***
Sujeong membicarakan pesan yang didapatnya dari keluarga Tuan Hyun kepada Mijoo. Mereka berdua sepakat untuk menyucikan energi dan bermeditasi sering-sering, sadar bahwa 'lawan' mereka berpeluang besar menghabisi mereka dalam sekali serang. Untuk apa terburu-buru?
Sayangnya, selagi para mudang bersiap-siap, kejahatan di Baekseonchon memarak. Orang-orang desa menghadapi teror yang kian beragam, memperburuk paceklik yang sudah lebih dulu ada. Beberapa pelaku kejahatan ini—kebanyakan adalah pencuri atau pembunuh—terlihat kurang waras. Mereka menganggap bahwa perbuatan-perbuatan buruk tersebut akan mendatangkan kebahagiaan pada masa penuh ujian ini, bahkan mengajak orang lain di pengadilan untuk melakukan hal yang sama agar terbebas dari penderitaan. Selain itu, mereka memuji rasa buah kesemek liar yang tumbuh di halaman mendiang Tabib Jung, juga menceritakan pertemuan dengan orang-orang kesayangan mereka—yang harusnya sudah tiada—di sana.
Misteri pohon kesemek merebak. Segelintir orang yang penasaran mengunjungi rumah tua itu dan kebanyakan mereka akan sangat ketakutan begitu pulang. Beberapa sampai jatuh sakit, lalu mengigaukan 'ular besar' di sekitar pohon kesemek. Sisanya menghilang—hanya untuk muncul lagi sebagai penjahat. Ini mendesak para dukun Baekseonchon, bukan Sujeong dan Mijoo saja, untuk memeriksa rumah Yoonoh langsung dan mengatasi kekacauan.
Seorang mudang baru-baru ini menyelidiki pohon kesemek tersebut, tetapi energinya langsung habis terkuras. Ia mengaku hampir mati dan mencegah siapa pun datang ke kediaman Jung sendirian, termasuk yang memiliki kekuatan spiritual besar. Selain bersaksi soal 'iblis ular', mudang ini menambahkan satu pernyataan mengejutkan: bahwa pohon kesemek dan setiap buahnya merupakan sumber kegelapan yang dahsyat. Bisa jadi, pohon itu juga adalah iblis.
"Roh jahat biasanya akan tampak sama di mata siapa pun, jadi yang ini pasti bukan roh jahat biasa." Sujeong berpendapat, pagi itu dalam perjalanan menuju kediaman Jung. "Orang biasa dapat melihat 'ular' yang dilihat Mudang Jang, tetapi beberapa malah melihat orang kesayangan mereka yang sudah meninggal."
"Aku tidak kaget, mengingat bagaimana mendiang Jung Yoonoh menarik kegelapan semasa hidupnya. Ingatan masa kecilnya penuh misteri, Jowangshin memanggilnya 'putra Miryeon', dan gugurnya dia di Nagan juga masih diliputi rahasia." Mijoo menengok, mencari ketidaknyaman di wajah Sujeong dan lega karena tak menemukannya. "Itu semua, ditambah kemarahan Jung Yein saat meninggalkan rumah, mungkin berkaitan sehingga menarik kekuatan lain yang lebih besar."
Sujeong menggigit bibir. Samar terngiang ucapan Donghyun di depan rumah penjual ramuan.
"Bagaimana dengan peluang kedatangan Miryeon ke sana, juga 'takdir' saya dan peristiwa besar yang akan saya saksikan?"
"Aku tak tahu," geleng Mijoo gusar. Atap rumah Yoonoh telah tampak di ujung mata. "Jangan memikirkan sesuatu yang jauh, Sujeong. Kita mesti paham batasan. Tujuan kita hari ini hanya untuk memastikan apa yang ada dalam rumah itu. Lebih bagus lagi kalau bisa menggali lebih banyak informasi. Melakukan yang lebih dari itu cuma akan membahayakan kita."
Sujeong mengangguk. Mijoo benar; sia-sia berpikir terlalu jauh. Ada tantangan lain yang lebih dekat yang harus mereka hadapi, bukan?
Empat tahun lalu, ketika gerbang kediaman Jung masih utuh berdiri, melihatnya selalu membuncahkan kebahagiaan Sujeong. Miris bagaimana susunan papan kayu lapuk itu kini justru menyiram cuka ke luka yang belum sembuh benar.
Jaga fokusmu, batin Sujeong sambil menepuk pipi. Mudang muda itu lantas memasuki pelataran kediaman Jung yang luas bersama Mijoo, tanpa sadar bergandengan untuk saling menguatkan.
Apa yang mereka temukan di dalam benar-benar tidak masuk akal.
Kediaman Jung dan nyaris seluruh pelatarannya tertutup api hitam tak berasap. Pohon kesemek yang diceritakan orang-orang hanya terlihat seperti bayang-bayang gelap, tegak berdiri di tengah pelataran. Mengelilingi batangnya, terdapat bayang-bayang lain yang panjang dan berpilin, menyerupai seekor ular. Bayang-bayang setebal gelondongan kayu itu lebih tinggi dari si pohon hingga sebagian tubuhnya menyembul di atas dahan rimbun.
Namun, jika itu memang ular, mengapa kepala bayang-bayang itu tidak tumpul, melainkan membentuk siluet tubuh manusia?
Sujeong terengah-engah, dadanya seakan ditindih. Ia belum pernah menghadapi kekuatan gelap sedemikian menyiksa sampai ingin pergi saja dari sana. Masalahnya, pengetahuan yang ia dapatkan dari kediaman Jung sejauh ini masih terlalu sedikit dibandingkan penderitaannya.
Aku akan mendekat. Hanya memastikan apa yang ada di pohon itu harusnya tidak berbahaya ....
Panggilan Mijoo mengurungkan niat Sujeong untuk mendekati pohon. Perempuan itu menumpukan sebelah tangannya ke lutut, sedangkan tangan lainnya mencegah sang adik melangkah. Mijoo memicing kesakitan; peluh yang mengaliri pelipis dan membasahi bajunya sederas peluh Sujeong.
"Ingat kataku. Jangan-bertindak-berlebihan."
Sujeong menggigit bibir, enggan berhenti, tetapi ujungnya mengiakan dengan setengah hati. Dibantunya Mijoo berjalan menuju gerbang lapuk. Sempat ia menoleh ke pohon kesemek, berusaha mencari petunjuk lain dalam singkatnya waktu sebelum benar-benar beranjak.
***
"Akhirnya kau datang!"
***
Tekanan arwah di dekat Sujeong menguat tanpa peringatan. Kedua mudang sama-sama tahu bahwa ini merupakan pertanda serangan arwah jahat, tetapi hanya Mijoo yang cukup tanggap untuk menarik Sujeong dan membentuk perisai api suci. Alhasil, Mijoo ambruk dengan tubuh memucat, tidak siap menggunakan kekuatan besar secara mendadak.
"Nona Mijoo!" Karena masih bergandengan, Sujeong terjatuh di sebelah Mijoo, tetapi ia cepat menguasai diri dan membantu Mijoo bangkit. Jantung Sujeong bergemuruh merasakan dinginnya tubuh sang guru.
Harus cepat keluar!
Sujeong mengalungkan kedua lengan lampai Mijoo ke leher. Gadis itu telah siap menggendong Mijoo di punggungnya, tetapi sesuatu yang amat dekat dengan perisai api suci membuat lehernya tercekat.
"Kita tidak bisa pergi," erang Mijoo di leher Sujeong. "Pilihannya hanya bertarung sekarang."
Setelah mengatakannya, Mijoo menurunkan tangan dari leher Sujeong dan terduduk kembali di tanah. Dengih napasnya makin jelas. Sujeong tahu ia harus menolong Mijoo, sayangnya wujud makhluk penjaga pohon mengakukannya. Dua jenis kesaksian warga kini terbukti di depan matanya.
Seekor ular—dan orang terkasih Sujeong—menjulang di luar lingkaran api suci. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top