31

"Lagi?! Aku sudah bilang kan, jangan paksa dirimu muntah atau kau akan terluka!"

"Maaf, Nona," kata Sujeong, tak beranjak kendati tangan dan mulutnya telah bersih. Dadanya mengembang dan mengempis lambat saat ia menatap langit-langit kamar yang dikotori sarang laba-laba. Dalam hati, ia menghitung sampai tiga, lalu bangun dan dengan sangat malu menutup wadah muntahannya.

"Akan saya bersihkan ini."

"Tidak perlu." Mijoo mengambil alih benda menjijikkan itu dari tangan Sujeong dengan santai saja—lembut bahkan. "Mandilah. Aku sudah buatkan bubur labu."

"Terima kasih, Nona."

Orang mati tak akan bicara, tetapi dalam suara Sujeong, tidak ada kehidupan. Gadis itu melangkah gontai ke bilik mandi. Menyeberangi pelataran belakang pondoknya, ia menyadari beberapa mahkota bunga kuning yang terserak di tanah. Rupanya, pohon penaung bilik mandi telah berwarna keemasan oleh bunga lonceng kuning, pembuka musim semi. Bunga yang ceria itu seakan mengejek Sujeong yang kehilangan.

Sujeong masuk bilik dan membasuh badannya lekas-lekas dengan air sejuk, membiarkan beberapa guguran mahkota bunga menjatuhinya, membelai kulitnya. Kemakmuran benar-benar pilih kasih; seluruh Baekseonchon akan menerima kemakmuran itu, tetapi tidak dirinya, padahal ia yang paling keras berdoa untuk banyak orang. Mengapa?

"Pengorbanan apa saja tak akan pernah cukup kalau untukmu, tetapi maaf. Aku ingin menolong orang-orang Nagan ...."

Ah, betapa senasib Sujeong dan Yoonoh. Pria itu mematahkan hatinya sendiri demi menyelamatkan orang-orang dari desa lain, tetapi tak bisa ikut menikmati hasil kerja kerasnya. Takdir macam apa yang telah mengikuti mereka ini?

Semuanya salahku, batin Sujeong setelah mengeringkan tubuh dan mengenakan pakaian ganti. Segala 'mengapa' yang ia keluhkan terang-terang muncul akibat pengabaiannya terhadap peringatan Jowangshin; buat apa bertanya lagi?

***

Dua mangkuk bubur labu dan cawan air telah tersedia di meja rendah begitu Sujeong masuk ruang depan. Mijoo telah belajar bahwa Sujeong tidak makan sebanyak dulu, jadi bubur labu di mangkok Sujeong hanya sedikit. Daripada mubazir, kan? Kurangnya sarapan dapat ditambal potongan ubi atau buah yang akan Mijoo suapkan nanti di sela bekerja. Yang sedikit itu saja, Sujeong menghabiskannya lambat benar, tanpa selera.

Selesai sarapan, Sujeong sebenarnya ingin langsung menyiapkan altar, tetapi suara Kepala Pelayan Seo membuatnya berbalik. Meski belum selesai makan, Mijoo yang waspada langsung bangkit dan menahan lengan Sujeong.

"Aku saja."

"Pasti ada berita dari Tuan Yoonoh. Saya harus mendengarnya langsung, Nona."

"Tidak," tegas Mijoo. "Kau tahu apa berita yang akan kauterima, kan? Tetaplah di sini."

Sujeong menggigit bibir bawah kuat-kuat, ingin rasa sakit yang timbul mengalahkan ngilu dalam dadanya. Dia calon istri Yoonoh; mengapa tidak boleh mendengar langsung kabar tentang kekasihnya? Kesal, ia mencincing rok dan berlari keluar.

Mijoo tergesa menyusul sambil meneriakkan nama Sujeong.

"Ah, Kepala Pelayan Seo, mari masuk!" Tanpa menggubris panggilan gurunya, Sujeong mengulas seindah-indahnya senyum palsu kepada sang tamu. "Itu kotak yang besar."

Kepala Pelayan Seo hanya meringis, tetapi dustanya tidak rapi. Pelayan kediaman Jung ini belum berlatih selama Sujeong untuk menyamarkan perasaannya. Sekali lihat pun, orang akan tahu betapa sembap dan berkerut wajah itu oleh bekas-bekas duka.

Kotak 'besar' yang dibawa Kepala Pelayan Seo berbentuk bujur sangkar berusuk sehasta dan terkesan ringan. Si pelayan meletakkannya di bawah serambi, lalu dengan santun mundur ke bayang-bayang atap Sujeong. Ia menolak tawaran untuk duduk.

"Saya hanya ingin menyampaikan sebuah berita penting terkait kotak itu, jadi saya tak akan lama."

"Berita apa, Kepala Pelayan Seo?"

Sontak senyum Kepala Pelayan Seo lenyap, seolah beban yang amat berat tahu-tahu tersampir ke pundak. Menyaksikan itu saja, Sujeong tahu wangsitnya tidak akan dipatahkan.

"Wabah Nagan," mulai Kepala Pelayan Seo, "telah tertangani. Selama dua minggu terakhir, tidak ada warga lagi yang menderita penyakit paru-paru, jadi para tabib dan perangkat desa Nagan telah menyatakan desa mereka bersih."

"Begitu? Syukurlah."

Sujeong gagal menunjukkan kegembiraan dan rindu yang terlipur, reaksi yang semestinya muncul jika tidak memperoleh wangsit. Ia terlalu sering menipu diri hingga tak sanggup lagi melakukannya pada saat-saat terpenting.

"Ya, syukurlah. Tuan Yoonoh dan Tuan Muda Jaemin telah melaksanakan tugas mereka dengan amat baik, tetapi ... mereka tidak akan pulang, Nona Sujeong." Kepala Pelayan Seo menelan ludahnya sulit, sementara Sujeong memucat di seberangnya. "Mereka berdua wafat karena tertular wabah Nagan."

Aku sudah tahu.

Namun, tungkai Sujeong tetap melemah. Mengebas. Kalau bukan karena berpegangan pada bingkai pintu (dan genggaman Mijoo pada bahunya), Sujeong pasti akan ambruk.

"Anda bicara apa?"

"Nona Sujeong, saya minta maaf." Kepala Pelayan Seo membungkuk sedalam-dalamnya. "Tuan kami, Jung Yoonoh, calon suami Anda, telah berpulang pada hari pertama bulan kerbau karena tertular wabah. Jasad beliau, Tuan Muda Jaemin, dan semua barang mereka disemayamkan di pemakaman khusus agar tidak menyebarkan penyakit, jadi tidak ada peninggalan beliau yang dapat dibawa pulang ke Baekseonchon."

Mijoo mendudukkan Sujeong yang lesu ke serambi. Sang mudang senior dan pelayan Yoonoh sejenak membicarakan sesuatu, tetapi Sujeong tak dapat menangkapnya. Pikirannya mendadak kosong, lalu kekecewaan menguasai. Mengapa kabar ini masih menyakitkan berapa kali juga diperdengarkan? Biarpun jatuh cinta menjadi titik awal penderitaannya sekarang, anehnya ia tidak mau melepaskan perasaan itu dan jadi semakin menderita.

Tuan Yoonoh sangat baik. Beliau tidak pernah mendahulukan dirinya di atas kepentingan orang lain sepanjang hidup. Mengapa Langit mengganjarnya dengan memisahkannya dari kebahagiaan? Dariku?

Mungkinkah bukan aku kebahagiaannya? Mungkinkah ambang mautnya—yang mana tak ada aku di sana—begitu menyiksa sehingga ia lebih baik mati ketimbang melanjutkan hidup?

"Nona Sujeong?"

Sebelum pilinan pikirannya lebih jauh meracuni, Sujeong dipanggil oleh Kepala Pelayan Seo. Ini merupakan panggilan yang ketiga, satu-satunya yang disertai tepukan Mijoo pada bahunya. Sujeong tersentak dari lamunan, terlebih ketika menyaksikan Kepala Pelayan Seo berlutut dan mendorong kotak kayu ke dekat kakinya.

"Astaga, Kepala Pelayan Seo, tolong bangunlah." Layaknya orang linglung, Sujeong tidak menunjukkan respons yang semestinya. Ia turun dari tempat duduk di serambi dan ikut berjongkok karena merasa tak sopan. Kepala Pelayan Seo dibuat heran; gadis di hadapannya tidak menangis barang sedikit. Tak tahu ia bahwa Sujeong telah mencucurkan air mata setiap hari sejak setengah musim lalu.

"Saya tidak apa-apa, Nona, silakan duduk kembali." Kepala Pelayan Seo mengeluarkan kunci dari sela pakaiannya untuk membuka kotak. "Ini merupakan salah satu pesan Tuan kepada saya sebelum berangkat. Andai beliau tidak kembali, maka saya harus menyerahkan peti ini kepada Nona Sujeong."

Yang pertama kali Sujeong lihat ketika peti terbuka adalah angsa kayu, sebuah simbol yang memicunya mencebik. Isaknya masih ditahan di belakang tangan. Angsa kayu itu lantas dikeluarkan, menampakkan selembar surat yang dilipat rapi dan diikat dengan tali hasis, tiga kotak kecil memanjang, mahkota bunga, dan beberapa lapis kain yang memenuhi peti.

Kepala Pelayan Seo sempat membelalak, membuktikan bahwa dia tidak memeriksa isi peti sebelumnya, sedangkan Mijoo mengutarakan kesimpulannya sembari mendesah pelan.

"Ini hadiah pernikahan."

"Tampaknya ... tampaknya demikian." Kepala Pelayan Seo menelan ludah lagi, suaranya sedikit goyah. "Sesuai pesan Tuan Yoonoh, semua ini adalah milik Nona Sujeong. Tuan juga ingin Nona membaca suratnya dan menjaga semua benda pemberiannya baik-baik."

Dengan kepala terasa ringan, Sujeong memungut surat dari kotak.

"Jangan baca itu sekarang," perintah Mijoo, tetapi Sujeong mengabaikan apa-apa yang bukan pesan terakhir Yoonoh. Pesan yang sungguh terakhir, yang menggambarkan betapa berat perasaan pria itu saat meninggalkannya.

***

Untuk kekasihku, Ryu Sujeong.

Pertama, aku sangat berterima kasih padamu karena telah hadir dalam hidupku. Segala hal tentangmu merupakan hal yang kusyukuri, termasuk restumu untukku berangkat ke Nagan. Konyol bagaimana aku diam-diam mengharapkanmu menahanku, padahal kau adalah perempuan pengabdi yang tak pernah menahan kebaikan untuk dirimu sendiri.

Aku hanya takut menjadi satu-satunya orang yang akan merindu.

Kedua, jika kau membaca surat ini, aku minta maaf karena tidak dapat pulang kepadamu.

Pada pertemuan terakhir kita, aku sebenarnya ingin menyampaikan kemungkinan terburuk dari membantu Nagan—bahwa aku mungkin saja akan mati. Namun, bahkan dalam tangisanmu, aku menemukan asa. Keberanian. Di tanah orang, bayangan dirimu yang cantik inilah yang kuyakin mampu menguatkanku langkahku.

Terakhir, tolong tengoklah isi petimu. Pakaian-pakaian baru, gaun pengantin dan mahkotanya, tusuk sanggul, dan norigae ini milikmu semuanya. Aku pernah bilang ingin membahagiakanmu, bukan? Maaf jika hadiah-hadiahku terkesan dangkal, tetapi lewat mereka semua, aku ingin membuatmu mengingat cerita kita selamanya.

Aku sungguh mencintaimu, Ryu Sujeong, putri kesemek kecilku yang manis. Jaga kesehatanmu senantiasa dan berbahagialah. Sekali lagi, kuharap aku dapat merobek surat ini ketika pulang dan menyampaikan semua isinya kepadamu secara langsung.

Jung Yoonoh.

***

Parut di kelingking Sujeong berdenyut. Kelenjar di sudut matanya berdenyut. Nyeri dalam dadanya berdenyut bersama jantung. Titik-titik tangisnya jatuh ke kertas, jadi buru-buru gadis itu melipat surat agar tulisan Yoonoh tidak meluntur.

Kemudian, Sujeong menghapus air matanya kasar. Sekali. Dua kali. Air mata itu tak berhenti, malah menderas bersama isakannya. Lama-lama, ia menutup muka dengan telapak tangan dan terdengarlah sedu sedannya.

"Tuan Yoonoh .... Hu .... Saya juga, saya juga mencintai Anda .... Saya juga merindukan Anda ...."

Baik Mijoo dan Kepala Pelayan Seo terbungkam, membiarkan Sujeong menyampaikan seluruh perasaannya. Diberi kesempatan demikian, Sujeong sebenarnya ingin meraung, marah kepada Nirwana, atau menolak kenyataan dan mengatakan bahwa Yoonoh akan tetap pulang sesuai janji. Dia tidak sanggup melakukan satu pun. Tidak ketika Yoonoh bilang wajahnya yang memancarkan harapan tampak cantik. Tidak ketika penutup surat Yoonoh memintanya berbahagia. Tidak di depan semua hadiah yang Yoonoh rencanakan untuk memancing senyumannya.

Pohon lonceng kuning menggugurkan sekuntum bunga, tetapi kuntum lain tidak mau tahu. Mereka yang menggelantung dari ranting-ranting musim semi tidak pernah hidup cukup lama untuk memahami arti ikatan dan kenangan. Jadi, mereka hanya sanggup mewarnai musim tanpa menghiraukan segala kehilangan yang bergulir bersamanya.

***

Selama beberapa hari setelah Kepala Pelayan Seo mengantarkan hadiah pernikahan dari Yoonoh, Sujeong menjadi sosok yang egois. Ia abaikan duka yang seakan menuakan Mijoo. Ia lupakan Yein dan Chaewon yang mungkin sama kehilangan dengannya. Ia bahkan jarang bersembahyang hingga Mijoo mesti melecut kakinya dengan rotan. Karena indranya menumpul, ia tidak merasa terhukum oleh rasa sakit, jadi dia tidak beranjak dari tempat tidur untuk menjalankan tugas.

Hari-hari Sujeong yang lambat hanya diisi selembar surat dari peti hadiah. Tak bosan-bosannya ia membaca tulisan Yoonoh sambil berkhayal bahwa lelaki itu memang berada di depannya, bukan tulisannya belaka. Pikiran ini kadang membuatnya menangis atau tertawa sendiri, tetapi jauh dari menyembuhkan. Kenyataan dan khayalan mengabur dalam benak Sujeong—hingga satu mimpi demam menyadarkannya dengan keras.

"Ular! Ular!"

Dalam mimpi tersebut, seekor ular hitam raksasa melahap kediaman Jung dan seluruh penghuninya yang masih tersisa. Sujeong yang ketakutan sontak terlonjak bangun dengan keringat bercucuran. Mengira dirinya memperoleh wangsit, gadis itu langsung berlari ke rumah Yoonoh hanya dengan selapis baju tidur, padahal udara awal musim semi belum menghangat.

Pagi masih belia, Mijoo bahkan belum menyelesaikan sembahyangnya ketika Sujeong pergi tanpa pamit. Seperti orang sinting, urat malunya putus dan tenaganya tak terbatas. Ditabrakinya para pejalan. Diabaikannya helai-helai liar yang mencuat dari kepangan. Kepala berdenyut-denyut dan memberatnya demam akibat berlari tidak sanggup menghentikannya; ia hanya tahu penghuni kediaman Jung sedang terancam.

Tidak boleh terlambat menolong lagi!

Setibanya di depan rumah Yoonoh, Sujeong menggedor-gedor cepat gerbang kayu.

"Kepala Pelayan Seo! Nyonya Jiyeon! Nona Yein! Tolong buka pintunya! Ini saya, Sujeong!"

Meski tenggorokan dan telapak tangannya jadi sakit, Sujeong tidak menyerah sampai gerbang itu dibuka oleh Kepala Pelayan Seo beberapa menit kemudian.

"Nona Sujeong!" seru sang pelayan, terkejut sekaligus iba. Calon istri mantan majikannya tampak amat kacau. Sayang, sebelum ia sempat melakukan sesuatu untuk Sujeong, gadis itu sudah merangsek masuk. Kepala Pelayan Seo segera menahan mudang muda itu, tercengang merasakan demam Sujeong yang menembus pakaiannya.

"Ada hal buruk yang akan terjadi di rumah ini, dipicu oleh kegelapan." Sujeong membelalak dengan anak mata bergetar. "Saya akan membersihkan energi buruk itu untuk Anda bertiga."

"Maaf, saat ini, Nona tidak bisa masuk."

"Mengapa?" Tatapan Sujeong lantas terarah ke beberapa kuda dan sebuah kereta yang tidak lazim berada di halaman kediaman Jung. "Ada tamu?"

"Itu—"

"Pelayan Seo, ada apa?" tanya seorang pria paruh baya di serambi. Suaranya mirip Yoonoh, tetapi lebih parau, layaknya orang yang sering mengisap pipa. Ketika ia melangkah ke halaman, tampaklah sosoknya yang merupakan salinan sempurna Yoonoh; yang membedakan keduanya hanya kerut-kerut usia.

Seseorang mengikuti si pria paruh baya turun ke pelataran. Itu sahabat Yoonoh sekaligus tunangan Yein, Jungwoo. Entah mengapa, tabib Hansong itu tampak lebih mungil dari yang Sujeong ingat.

"Kak Sujeong!" []

Pada zaman Joseon, angsa kayu dipersembahkan pengantin pria kepada keluarga pengantin wanita dalam upacara pernikahan sebagai lambang kesetiaan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top