3

"Jung Yoonoh adalah putra Miryeon."

Darah Sujeong berdesir. Satu sisi dirinya menyangkal keras fakta ini, tetapi sisi yang lain memaksanya untuk diam dan menerima. Orang baik yang merawatnya semasa sakit ternyata keturunan dewi kegelapan yang keji, kedengarannya gila.

Apalagi dengan sentuhan yang penuh kasih dan senyum sedamai itu ....

"Kau menolak memercayaiku."

Kontan dahi Sujeong tertanam kembali ke permadani emas. "Beribu ampun, Yang Mulia Jowangshin! Hamba tidak berpikir demikian. Bagaimana mungkin hamba meragukan ucapan Yang Mahabenar? Guru hamba pun menyampaikan hal yang senada, maka pastilah demikian kenyataannya."

Namun, Sujeong terisak, takut akan akibat membohongi penghuni nirwana.

"Kalian baru bertemu, tetapi kau telah begitu memuliakannya karena caranya merawatmu. Tampaknya benang takdir akan mengikat kalian sangat erat di masa depan."

Sujeong mengerjap. "Benang takdir?"

Jowangshin membenarkan. "Masalahnya, jika kau berjalan menuju Jung Yoonoh, maka kau akan disambut begitu banyak nestapa. Kau harus berpisah dengan orang-orang yang kaucintai dan melukai dirimu sendiri berulang kali. Kematian-kematian mengenaskan bisa jadi akan benar-benar mengeringkan jiwamu dari cinta. Bukan mustahil kau akan hilang akal dan tenggelam dalam neraka Miryeon untuk selamanya."

Gigil merambati sekujur tubuh Sujeong, tak sanggup membayangkan hidupnya berujung kegilaan dan siksa abadi.

Semua itu akan terjadi jika aku terikat dengan Tabib Jung?

"Tapi," tanpa sadar Sujeong bergumam, "Tabib Jung adalah malaikat .... Bagaimana bisa menuntun ke dasar kegelapan?"

"Garis kehidupan yang Langit lukis tak akan berbelok mengikuti mereka yang dinaunginya," Jowangshin sejenak menjeda ucapan, "walaupun selalu ada cara bagi yang berusaha sangat keras."

Jantung Sujeong berdebar-debar gelisah. "Jalan apakah yang mesti hamba tempuh untuk menghindari takdir pilu tersebut, Yang Mulia Jowangshin? Mohon berikanlah petunjuk."

"Sesuatu yang mudah kuucapkan, tetapi akan sulit kaukerjakan."

Mendadak, api melingkari tempat di mana Sujeong bersimpuh. Gadis itu termegap, kewalahan diserbu panas. Tangannya terulur kepada Jowangshin yang terus melangkah mundur. Tak lama berselang, leher Sujeong tercekik. Tumbanglah ia dalam lingkaran api; kesadarannya hilang bersama pudarnya peringatan terakhir Jowangshin.

"Jauhi Jung Yoonoh—atau kau akan terseret dalam pusaran duka yang Miryeon ciptakan."

Jauhi Jung Yoonoh. Ini merupakan kata kunci sederhana menuju kebahagiaan Sujeong selama hidup. Sedikit ia mengetahui bahwa 'garis' yang Jowangshin sebut menghalanginya dari memenuhi kata kunci sederhana itu.

***

Matahari nyaris terbenam. Kepala Pelayan Seo dan murid muda Yoonoh berjalan menuju balai pengobatan di bagian terdepan kediaman Jung. Mereka membawa nampan dengan isi yang berbeda: seteko teh dan cangkir tanah liat di nampan Kepala Pelayan Seo, mortar dan alu kosong di nampan Jaemin, siswa sang tabib. Yoonoh berencana menikmati teh setelah satu lagi hari panjang. Usai istirahat, barulah ia akan mengajari Jaemin meracik obat, karenanya ada mortar dan alu pada acara minum teh kali ini.

Kepala Pelayan Seo dan Jaemin sedang membicarakan susahnya berburu tanaman obat di gunung manakala suara lirih perempuan menyambangi rungu mereka. Suara itu berasal dari ruang pengobatan yang mestinya hanya ditempati Yoonoh, berhubung semua pasien sudah pulang. Tidak mungkin juga Yein ke sana sebab suara itu terlalu dalam, dingin, dan menakutkan untuk ukuran si nona muda.

"Anakku ...."

Jaemin lebih dahulu berhenti. Kendati sedikit pucat, ia tetap tersenyum saat bertanya pada Kepala Pelayan Seo, "Apa Anda mendengar suara aneh dari ruang pengobatan?"

"Jika yang Tuan Muda maksud adalah suara seorang wanita, ya, hamba mendengarnya. Hamba kira itu khayalan hamba semata, rupanya bukan."

Jaemin buru-buru merapat pada Kepala Pelayan Seo. Senyumnya menipis. "Aneh. Manusia harusnya tidak terdengar seperti itu."

"Mari kita pastikan dulu."

Kepala Pelayan Seo mendahului Jaemin. Ia meletakkan baki teh di lantai, menggeser pintu perlahan, dan masuk ke ruangan Yoonoh. Tempat itu masih sama keadaannya seperti waktu ditinggalkan: di atas meja tertumpuk rapi buku-buku pengobatan, kotak jarum akupunktur menyebelahinya, dan Yoonoh duduk memunggungi mereka, seorang diri. Siapa wanita yang tadi berbicara?

Namun, sesuatu di sekeliling Yoonoh terasa ganjil. Biasanya, pria itu akan menoleh jika menyadari keberadaan orang baru di ruangannya. Kali ini, ia bergeming, kepalanya meneleng sedikit. Bahunya yang tegap sedikit melungsur, seolah-olah raganya yang lemas dipaksa untuk duduk. Kening Kepala Pelayan Seo langsung berkerut, sementara Jaemin menggigil. Sejak kapan suhu ruangan turun sedemikian rendah?

"Tuan?" panggil Kepala Pelayan Seo. Tak ada jawaban. Sehabis menyisihkan baki, Kepala Pelayan Seo berjalan mengitari meja, hendak menghampiri tuannya ketika kepala Yoonoh berputar menghadapnya. Seringai membunuh itu pasti bukan milik Yoonoh sekalipun terulas di bibirnya.

"Mengapa kalian manusia selalu mengganggu waktuku dengan putraku?!"

Meja terbalik, nampan beserta gerabah-gerabah di atasnya terlempar hingga pecah berhamburan, dan dua orang yang baru masuk tadi tahu-tahu terempas keras ke pintu. Mereka terdorong oleh sesuatu yang tak kasatmata. Seringai Yoonoh berubah jadi tawa puas, tawa yang kelewat nyaring dan tajam ....

"Guru!"

Kepala Pelayan Seo mencegah Jaemin mendekati Yoonoh. Pria itu tahu tuannya sedang dirasuki makhluk dari dunia seberang. Cuma ada satu cara untuk memastikan makhluk apa itu dan membasminya.

"Tuan Muda Jaemin, tolong panggilkan Nona Lee Mijoo. Hamba akan tinggal untuk memastikan keamanan Nona Yein."

Jaemin mengiyakan. Tertatih ia berlari keluar rumah; punggungnya nyeri gara-gara membentur kerangka kayu pintu geser, tetapi tidak ada waktu! Yoonoh dan penghuni rumah lainnya tengah terancam bahaya!

***

"Sore yang hangat memang paling asyik dihabiskan dengan pijat!" Seusai mandi, Mijoo tak repot-repot menutupkan atasan ke pakaian dalamnya. Ia langsung menelungkup di tempat tidur yang awalnya hendak Sujeong duduki, membuat gadis bermuka bulat itu menggembungkan pipi.

"Apa-apaan wajahmu? Bukankah kau yang menjanjikan pijat untukku setelah kau sembuh?"

"Itu keputusan sepihak Nona Mijoo saja. Saya tidak pernah setuju, kok." Sujeong memalingkan muka sambil menekuk lutut di lantai. Seharian ini, ia bekerja rodi gara-gara Mijoo menyuruhnya memimpin banyak ritual, meramal beberapa bangsawan, sampai membereskan rumah. Yang paling menyebalkan, setelah meremukkan badannya, perempuan liar itu malah meniduri satu-satunya tempat Sujeong berbaring!

Menggunakan ibu jari, Mijoo menunjuk punggungnya. "Ayo, cepat oleskan minyaknya. Rasa capekku sudah menumpuk sampai tidak bisa tidur!"

"Nona Mijoo!" Sujeong memekik. "Saya sangat lelah!"

"Ingat, aku gurumu sekarang walaupun kita dulu sempat berguru pada orang yang sama. Mana rasa hormatmu?" Mijoo memainkan nada bicaranya. Wanita itu kembali memejam, rautnya santai. "Pakai minyak krisan, ya! Aku sudah lama tidak pakai itu."

Penolakan Sujeong tak terungkap karena Mijoo keburu mengibaskan tangannya, menyuruhnya pergi. Sang murid mendesis jengkel di balik punggung Mijoo sampai taring gingsulnya terlihat, tetapi masih berdiri untuk mengambil minyak. Sialnya, botol yang dimaksud kosong; yang setengah penuh adalah minyak rempah di sebelahnya.

"Tidak mau pakai itu! Bau badanku pedas nanti! Aku mau minyak krisan!"

Pakai merengek, lagi! Sujeong semakin dongkol. "Minyak krisannya habis seperti yang Nona lihat, jadi jika Nona masih ingin dipijat, kita pakai saja minyak yang ada."

"Kalau aku ingin pijat," senyum Mijoo iseng, "berarti kau harus beli minyaknya!"

"HAH?!"

Bersemangat memperberat hari Sujeong, Mijoo meraih kantong uang dan melemparkan seikat koin. "Tuh, bawa ke Tuan Hong. Cepatlah sebelum kehabisan!"

"T-Tapi, Nona—"

"Se-ka-rang."

Sekali lagi, Sujeong tersudutkan oleh posisinya sebagai murid. Ia cuma bisa tersenyum dibuat-buat sebelum mohon diri, tetapi begitu keluar rumah, dia berteriak.

"Dasar nenek sihir!"

Ya, Sujeong berteriak—dalam hati. Si kepang satu takut dihukum menghapal doa pujian sehari semalam, sebagaimana biasa kalau membangkang. Ia sedikit mengentakkan kaki ketika beranjak menuju selatan desa, tempat di mana penjual minyak pijat tinggal. Mengapa dia begitu tidak beruntung, dipertemukan dengan saudara tak sedarah yang sangat tengil? Baiklah, Mijoo memang bertingkah seperti kakak sungguhan dalam beberapa kesempatan, misalnya pada saat Sujeong sakit, tetapi pada sebagian besar waktu, dia hobi sekali mengerjai orang.

Ah, andai saja pelatihku bukan dia, melainkan seseorang yang lebih halus budinya. Seseorang yang halus budi ....

Wajah Sujeong sontak terbakar. Mengapa di kepalanya terlintas sosok Yoonoh?

Tidak boleh! geleng Sujeong berulang-ulang. Jowangshin sudah memperingatkanku untuk menjauh walaupun dia orang yang ramah, pandai, dan baik .... Tidak! Ryu Sujeong, dia akan membahayakanmu! Kali ini, Sujeong menepuk-nepuk pipi penuhnya. Lupakan dia! Beli saja minyak buat Nona Mijoo supaya hari sialmu cepat selesai!

"Dewa, betapa beruntungnya aku! Nona Mudang!"

Hari sial Sujeong kelihatannya tidak akan berakhir mudah. Panggilan panik ini memaksa Sujeong menoleh ke sumber suara. Denyut jantungnya berubah ngilu ketika mendapati calon tabib muda asuhan Yoonoh berlari menujunya. Membungkuk untuk memberi salam, Sujeong sudah menerka-nerka apa tujuan sang pelajar.

"Nona," Jaemin tersengal, kedua lengannya bertumpu ke lutut untuk menyangga badan, "tolong, Guru, makhluk aneh .... Balai rusak! Nona Mudang ikutlah bersama saya!"

Samar Sujeong menggigit bagian dalam bibirnya. Sesuai dugaan, Yoonoh-lah yang menyebabkan sang pelajar muda berlarian menujunya. Mengapa pula harus berlari kepadanya, bukan Mijoo atau dukun lain di desa?

"Maaf, Tuan Muda, Nona Mijoo pasti akan lebih mengerti masalah ini. Saya akan pulang dan memanggilnya untuk Tuan Muda."

Berbalik ke arah rumah untuk menemui Mijoo, alangkah kagetnya Sujeong kemudian karena tubuhnya terentak ke belakang. Jaemin menarik lengan bajunya! Sujeong mendelik; orang-orang di jalan kini memperhatikan mereka.

"Tuan Muda, tolong lepaskan saya."

"Tidak akan!" Jaemin bersikeras, wajahnya kian pucat. "Bukankah Nona juga seorang mudang yang mendampingi ritual pembersihan rumah Guru? Nona pasti mengerti apa yang merasuki Guru saat ini!"

"Merasuki?"

Jaemin mengangguk. "Guru menghancurkan balai pengobatannya bahkan tanpa menyentuh apa pun. Saya juga sempat mendengar suara mengerikan dari ruangannya. Itu pasti arwah yang membakarnya saat ritual, bukan?"

Itu berbeda. Sujeong mengernyit. Jowangshin tak akan merasuki seseorang dan memberinya kekuatan perusak. Jangan-jangan ....

"Jauhi Jung Yoonoh—atau kau akan terseret dalam pusaran duka yang Miryeon ciptakan."

Ancaman Jowangshin menang atas permohonan Jaemin, maka dengan mengerahkan seluruh tenaga, Sujeong meloloskan lengannya dari cengkeraman erat sang pelajar.

"Maaf, saya benar-benar tidak bisa membantu," ucapnya lirih. "Tuan Muda bisa mencari orang lain untuk menyelesaikannya. Saya permisi."

Baru berapa langkah Sujeong menjauh, Jaemin sudah menyerangnya lantang.

"Jadi seperti ini sikap Nona kepada Guru yang pernah menolong Anda tanpa ragu?!"

Dada Sujeong mendadak nyeri. Jaemin benar; dia pasti tahu soal kunjungan Yoonoh ketika Sujeong sakit. Seorang tabib pria di zaman ini sangat rawan dihujat jika mengobati seorang wanita, tetapi Yoonoh paham tanggung jawabnya dan tetap datang untuk memeriksa Sujeong. Sekarang, pantaskah Sujeong mengabaikan penderitaan Yoonoh meskipun demi mematuhi imbauan Jowangshin?

Yang Mulia Jowangshin, hamba berterima kasih karena sudah diperingatkan, tetapi beribu ampun, sekali ini saja!

Berputarlah tumit Sujeong ke arah Jaemin, melawan instingnya untuk menyelamatkan diri.

***

"Pelayan Seo!"

Sesampainya di Kediaman Jung, Jaemin berlari menghampiri Kepala Pelayan Seo yang babak belur, sementara Sujeong tertegun. Halaman rumah itu lebih kacau dari perkiraannya. Pintu ruang pengobatan jebol, isinya berserakan. Yoonoh muncul dari ruangan yang rusak tanpa segaris pun kerut di pakaian. Jaemin dan Kepala Pelayan Seo hanya dapat melihat sang tabib, tetapi di mata Sujeong, ada dua makhluk di sana. Menatap hampa ke depan, tubuh lesu Yoonoh dicengkeram seorang perempuan raksasa yang diselimuti kabut hitam pekat. Makhluk itulah yang kini menyeringai menantang Sujeong.

"Kau bisa melihatku?"

Aku tidak boleh takut.

Meskipun hatinya membisikkan ini berkali-kali, Sujeong ternyata tetap menggigil. Makhluk yang menempeli Yoonoh jelas jauh lebih kuat dari roh kegelapan biasa. Mungkinkah dia yang membuat sang tabib senantiasa dikelilingi arwah-arwah negatif?

"Tuan Muda, tolong amankan Kepala Pelayan Seo dan penghuni rumah lainnya," pinta Sujeong pada Jaemin. "Jangan keluar hingga saya memanggil."

Jaemin mengiakan. Segera ia tuntun Kepala Pelayan Seo yang terhuyung masuk ke rumah. Sementara itu, pandangan Sujeong terkunci pada roh raksasa wanita di hadapannya, memastikan agar sang makhluk kegelapan memusatkan perhatian kepadanya saja, bukan pada Kepala Pelayan Seo atau Jaemin.

"Hanya karena dirimu seorang mudang, kau merasa sanggup melawanku? Kau meremehkanku?"

Bulu roma Sujeong meremang, tetapi rautnya masih sangat tenang.

"Hamba tidak meremehkan keberadaan Anda," mulai Sujeong dengan hormat agar si arwah hitam tidak meradang. "Hamba justru ingin mengenal Anda. Siapakah Anda dan mengapa Anda mendatangi Tabib Jung?"

"Kau bahkan tidak memperkenalkan dirimu lebih dahulu."

"Beribu ampun." Sujeong, yang semula membungkukkan tubuh, perlahan tegak kembali. "Nama hamba Ryu Sujeong, seorang calon mudang, murid Lee Mijoo dari Desa Baekseonchon."

"Sejak beberapa hari ini, aku penasaran, bocah seperti apa yang sanggup menghentikan pemberkatan Jowangshin, bahkan sampai mampu menyeberang istana dewi di alam antara. Penampilanmu ternyata tak istimewa."

Setelah menelusuri raga Sujeong dari ujung kepala hingga kaki, pandangan sang wanita kegelapan terhenti di sisi tubuh sang dara. Yang dipandang ikut menoleh ke arah sana, tetapi tidak menemukan apa pun selain tangan kanannya yang berkeringat dingin. Anak mata merah darah si iblis lantas bergeser ke badan Yoonoh—dan meledaklah tawanya, memaku Sujeong di tempat.

"Kakek Wolha, yang benar saja! Putraku yang hebat dengan gadis kumal ini? Bercandanya keterlaluan, tahu! Tidak lucu!" []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top