29
"Selamat pagi, Tuan Yoonoh. Semoga hari ini menjadi hari baik untuk kita. Jagalah tubuh Anda tetap hangat dan selamat bekerja."
Tugas Yoonoh dan Jaemin menjadi agak ringan setelah enam tabib dan sepuluh tenaga bantuan dari provinsi tiba. Metode pengobatan efektif berangsur terungkap walaupun mereka juga masih berjuang menghentikan laju kematian. Setiap tidak bertugas, Yoonoh dibantu Jaemin akan merawat tanaman-tanaman obat, mempelajari gabungan metode terapi yang sekiranya manjur, atau pergi ke kuil untuk mendoakan para korban wabah. Karena itulah, meski tugasnya selalu dimulai sore hari, Yoonoh tetap bangun pagi-pagi buta.
Suara Sujeong setia menemani Yoonoh sesaat setelah fajar. Suara manis penuh harapan yang dirindukannya itu menyambangi dalam beberapa mimpi. Isi kalimat Sujeong dalam masing-masing mimpi itu tak persis, tetapi terkesan nyata, menguatkan jiwa sang pendengar tak peduli sebesar apa tekanan pekerjaan.
"Jaemin, tolong segenggam sabju," pinta Yoonoh, sore itu di teras samping asrama para tabib. Ia sedang menumbuk bahan-bahan 'bubuk tirai giok', ramuan penting untuk menangani radang paru-paru. Hanya sesekali ia berhenti untuk merenggangkan badan atau menarik napas dalam. Ia kadang terlalu fokus meracik obat hingga kadang merasa sesak, seolah lupa mengambil cukup udara untuk paru-parunya.
Jaemin tidak segera memasukkan bahan yang diminta, jadi Yoonoh menengok kepadanya. Pemuda itu ternyata tengah melamun sambil memandangi salju yang menebal di halaman. Paham bahwa Jaemin mungkin merindukan rumah, Yoonoh mengambil segenggam sabju sendiri, lalu memasukkannya ke lumpang dan kembali menumbuk. Barulah Jaemin sadar telah mengabaikan perintah.
"Maafkan saya, Guru! Apa lagi yang Guru butuhkan?"
Yoonoh tersenyum tulus. "Untuk racikan sudah semua. Tolong kemaskan obatnya."
Sebagai kompensasi atas kelengahannya tadi, Jaemin menimbang dan membungkus setiap paket obat dengan saksama. Itu cukup bagi Yoonoh untuk membuktikan kesungguhan sang murid untuk mengabdi kendati dilanda kangen.
"Sebentar lagi dongji," ucap Yoonoh. Jaemin membenarkan. Dongji—titik balik matahari musim dingin—merupakan hari dengan malam terpanjang musim ini. Sudah menjadi tradisi untuk berkumpul bersama keluarga saat itu, melakukan ritual penghormatan leluhur di rumah, dan menyantap segala olahan kacang merah.
"Tahun ini, kelihatannya Nagan akan melewatkannya," kata Jaemin.
"Tidak," tukas Yoonoh. "Ritual besar memang dibatalkan, tetapi mereka masih akan menata altar kecil dan menyajikan bubur kacang merah di kediaman masing-masing, termasuk di sini."
Mengetahuinya, paras Jaemin kontan berbinar. "Apakah akan ada roti kukus kacang merah juga?"
"Tentu saja." Yoonoh tersenyum riang. "Kue manis merupakan sumber tenaga besar. Para pelayan kiriman desa sudah tahu kita membutuhkannya untuk jadwal yang panjang."
"Wah, saya kira dalam keadaan begini, kita benar-benar tidak akan merayakannya. Ada bubur dan roti kukus saja, saya sudah senang sekali!"
Yoonoh terkekeh. "Kebanyakan tabib adalah orang luar Nagan yang pasti sebenarnya ingin merayakan dongji di rumah. Jamuan ini diadakan agar kita merasakan suasana yang akrab tanpa perlu pulang."
"Rumah kita di desa sebelah, jadi saya tidak serindu itu," ujar Jaemin sok tangguh, padahal kesedihan sempat berkelebat di matanya.
"Masa? Meskipun tidak berkirim surat untuk mencegah penularan ke Baekseonchon, kamu tidak kangen siapa pun?" Alis Yoonoh terangkat. "Kalau aku, tentu saja merindukan Yein juga pasangan Seo."
"Mereka saja? Nona Su—"
"Kau tidak perlu memperjelasnya." Yoonoh menyahut; telinganya yang memerah jadi bulan-bulanan Jaemin. "Toh, rinduku pada Sujeong tidak terlalu besar. Aku mendengar suaranya setiap pagi."
Setiap malam. Setiap waktu.
Napas Yoonoh mengembun, menirai di awang-awang. Pertanyaan Jaemin ('bagaimana bisa mendengar suaranya jika dia bahkan tidak di sini?') malah dijawabnya dengan perintah untuk meneruskan pekerjaan, lantas dia merenung. Dari semua kerinduannya, yang ditujukan kepada Sujeong merupakan yang terbesar, tetapi mengapa itu juga yang paling ringan ditanggung?
Apakah karena aku merasa dia selalu mendampingiku?
Sekadar membayangkan Sujeong berada bersamanya menghangatkan hati Yoonoh. Mengherankan bagaimana Sujeong membantunya bahkan ketika mereka sedang berjauhan. Segala tentang gadis berpipi kenyal itu sepertinya senantiasa mendatangkan kebaikan. Hebat benar, padahal Yoonoh kerap menganggap dirinya beban tambahan bagi sang mudang.
"Saya tidak menginginkan apa-apa selain Anda! Semua air mata, luka, kegelapan Anda, saya juga mau itu! Selama bersama-sama, kita pasti bisa berbahagia!"
Ah, bisa gila Yoonoh kalau mengingat wajah sembap Sujeong tatkala mengucapkan ini. Si pria lekas menengok ke lain arah, tak mau senyum kasmarannya ketahuan Jaemin. Waktu menghadap lumpang sekali lagi, rautnya berubah seperti semula. Tekadnya kini telah terbarui.
Aku harus bisa pulang dan menjadi laki-laki yang dibanggakannya.
Beberapa paket obat kemudian, Yoonoh mendengar desahan yang makin berat dari samping. Jaemin tahu-tahu berhenti menakar bahan. Pandangannya tak awas dan napasnya terputus-putus. Segeralah Yoonoh menyisihkan lumpang.
"Kurasa paket-paket ini cukup sampai besok. Jaemin, beristirahatlah di ruang uap; nanti kususul."
Ruang uap dibuat khusus oleh para tabib tamu di asrama untuk mengobati gejala mereka sendiri yang menyerupai wabah Nagan. Di dalamnya, ada tungku untuk mendidihkan larutan obat, bantal khusus berisi herba, dan perangkat-perangkat terapi lain untuk memperbaiki pernapasan. Mengetahui apa yang disiratkan sang guru dengan menyuruhnya ke sana, Jaemin menanggapi dengan wajah dicerah-cerahkan.
"Guru, saya tidak sakit! Mari kita kemas habis obat di lumpang supaya tidak menyisakan pekerjaan!"
"Ini salahku; seharusnya kita tidak bekerja di teras ketika kondisimu sedang lemah. Kalau kau kuat berjalan, tolong segeralah pergi ke ruang uap."
Tak ingin dicap pembangkang, Jaemin berhenti bekerja, mohon izin, dan melangkah lesu ke ruang uap. Aslinya, Yoonoh tak enak hati telah 'mengerasi' bocah yang dianggapnya adik kedua itu, tetapi apa boleh buat? Sedini apa pun penyakit dapat merugikan lebih banyak orang jika para tabib yang mengidapnya.
***
Selesai mengemasi perangkat meracik obat dan paket-paket herba, Yoonoh membawa nampannya dan masuk rumah. Bisik-bisik panik dari para pelayan yang tengah berlutut beberapa depa darinya langsung menyita perhatian, maka ia mendekati mereka. Tersentaklah ia begitu menemukan muridnya memegangi dada dengan napas berdengih, berusaha bangkit dengan bantuan seorang pelayan wanita, tetapi ambruk lagi nyaris seketika.
"Jaemin!"
Yoonoh menyisihkan nampan obat untuk memapah Jaemin, juga meminta tolong kepada para pelayan untuk menyeduh paket obat hirup dan menggelarkan alas tidur di kamar uap. Walaupun kelihatan cepat menguasai diri, rasa kebas menggigit kedua tangan Yoonoh, jelas bukan karena dingin.
Jaemin didudukkan di salah satu alas tidur dan diselimuti hingga pinggang. Pakaiannya dilonggarkan, lalu semangkok seduhan herbal hirup yang masih beruap diletakkan di bawah hidungnya. Tak lama berselang, ia batuk; dahaknya terdengar bergulung dalam tenggorok. Yoonoh membimbing muridnya mengatur napas dan mengeluarkan dahak, kemudian terperciklah segumpal cairan lengket kehijauan ke dalam sebuah baskom logam.
Terapi berlangsung sekitar setengah jam. Setiap seduhan herbal tidak lagi beruap, Yoonoh menggantinya hingga gejala Jaemin mereda. Setelah itu, ia menengkurapkan sang murid dan mengetuk-ngetuk punggungnya lembut untuk membantu mengencerkan dahak. Peluh menitiki kening sang tabib. Orang lain mungkin mengira itu karena suhu ruang uap yang lebih tinggi, tetapi kenyataannya berbeda.
"Matahari akan terbenam," adalah yang Jaemin ucapkan pertama kali setelah napasnya lega. "Sebentar lagi, kita akan berjaga, Guru."
"Tidak usah ikut. Beristirahatlah dulu sampai pulih. Nanti aku akan menitipkanmu pada Tabib Kang atau Tabib Woo."
"Tapi, Guru, kalau saya tidak pergi, bukankah cuma dua orang yang berjaga malam ini?" tanya Jaemin penuh sesal. Ia tak bisa membayangkan bertugas berdua saja untuk memeriksa keadaan pasien dalam rumah-rumah karantina itu, sayangnya mustahil pula baginya ikut berjaga.
"Jangan pikirkan apa-apa. Utamakan kesehatanmu."
Begitu Yoonoh berhenti menepuk-nepuk punggungnya, Jaemin berbaring telentang. Ini pertama kalinya Yoonoh menemukan kecemasan sebesar itu di mata sang murid.
"Saya minta maaf, Guru."
Tidak ada yang perlu dimaafkan. Sejak memutuskan membantu Nagan, Yoonoh siap untuk seberat-berat misi, jadi tidak ikut sertanya Jaemin berjaga telah termasuk hal-hal yang diantisipasi. Nyaris semua tabib pembantu pernah sakit, tetapi sering cepat pulih. Ia harap Jaemin pun begitu.
"Orang tuamu memercayaiku untuk menjadikanmu tabib, bukan menyuruhmu kerja rodi." Yoonoh menyimpul pita pakaian Jaemin. "Selain itu, kau satu-satunya keluarga yang kupunya di sini, jadi aku harus menjagamu dengan baik."
Jaemin melotot. Tidak biasanya kata-kata Yoonoh semenghanyutkan itu, apalagi dalam situasi sesulit sekarang. Mata si pemuda berlinang-linang dan Yoonoh yang canggung melihatnya berdeham dua kali. Apa perasaannya terlalu jelas tertangkap? Namun, pada masa-masa seberat sekarang, Yoonoh kira mengakui perasaan adalah salah satu jalan terbaik untuk meringankan dada.
"Aku akan bersiap-siap ke rumah karantina sekarang. Nyonya Noh di depan kamar, akan kupesankan untuk menjagamu sampai ada tabib yang pulang." Kembali Yoonoh memasang topeng kaku yang sering dipakainya di depan para murid. Jaemin menanggapi ini dengan kekehan lemah yang kontras dengan anggukan antusiasnya.
"Siap, Guru! Na Jaemin akan tidur sepulas-pulasnya! Semoga berjaga hari ini lancar!"
Senyum Yoonoh cukup lebar untuk memunculkan lesung pipinya, tidak sanggup berpura-pura tegas lagi. Ia pun menemui pelayan yang tadi dipanggilnya 'Nyonya Noh', menitipkan Jaemin pada wanita tambun itu, dan pergi ke kamarnya sendiri untuk berganti jubah.
Begitu sendirian, Yoonoh bersandar ke dinding kamar dan mengelus-elus dadanya yang tiba-tiba sakit. Melihat dahak kehijauan yang dibatukkan Jaemin secara misterius menjentikkan bayang-bayang tikar jerami yang ditutupkan ke seluruh tubuh, hal yang kerap dijumpainya selama bertugas. Tangan yang digunakannya mengelus dada menggigil halus, jadi ia cepat-cepat menggenggam jimat kerawang pemberian Sujeong.
Aku dan Jaemin berangkat berdua, maka kami juga akan pulang berdua. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, dengus Yoonoh, mencoba mengamati cermin karena siapa tahu, ia bisa melihat kegelapan tumbuh menyelimuti bayangannya. Aku tidak akan kehilangan siapa-siapa lagi.
***
Titik balik matahari musim dingin telah tiba.
Di Baekseonchon, Sujeong dan Mijoo bangun lebih awal. Mereka bersembahyang dan memberikan sesaji bubur kacang merah kepada para arwah, lalu memercikkan bubur itu sedikit-sedikit ke sekitar rumah sebelum memakan sisanya untuk sarapan. Turunnya salju mendinginkan udara Baekseonchon sedemikian sehingga Sujeong dan Mijoo mesti makan dekat tungku.
Perayaan-perayaan semacam ini selalu mengingatkan Sujeong kepada masa kecilnya bersama Mudang Lee, juga keluarga lamanya di tepian Jeolla. Ia dapat bercerita tentang ini, tetapi Sujeong tak yakin Mijoo mau menyimak cerita tentang Yoonoh. Ujungnya, ia bermonolog sambil mengumpulkan gumpal-gumpal terakhir bubur dengan sendok.
Meskipun Nagan tengah dilanda musibah, kuharap Tuan Yoonoh masih dapat menikmati makanan hangat dan suasana kekeluargaan .... Semoga Tuan sehat-sehat.
Sebenarnya, masih panjang doa yang hendak dipanjatkan Sujeong untuk kekasihnya nun jauh di Nagan sana, tetapi pertanyaan Mijoo serta-merta mengalihkannya.
"Kau siap untuk dongji gosa di lapangan nanti?"
"Ya, Nona Mijoo. Tahapan dongji gosa cukup sederhana, jadi tak masalah biarpun saya baru melakukannya dua kali." jawab Sujeong mantap sebelum memasukkan suapan terakhir bubur kacang merah ke mulut. Ia resapi betul-betul rasa bubur itu seakan Yoonoh bisa menikmati rasa yang sama melalui lidahnya."
Mijoo menghabiskan air dalam cangkir, lalu meringkas peralatan makan mereka yang telah kosong. "Aku percaya kemampuanmu. Yang kuragukan adalah kesiapan jiwamu."
Sujeong menyingkirkan meja rendah dan membawa perkakas masak kotor ke belakang. "Apa maksud Nona?" tanyanya sambil mencuci cepat-cepat agar tidak kedinginan.
"Arwah-arwah yang mengelilingimu berenergi baik, tetapi aku masih sulit memercayai keteguhan perasaanmu ketika tidak ada kabar pasti mengenai Jung Yoonoh."
Ngilu yang sekilas menyerang Sujeong kontan memengaruhi tekanan arwahnya, tetapi dugaan-dugaan baik memulihkannya segera.
"Penantian ini akan ada akhirnya, Nona Mijoo. Selama menunggu, saya yakin beliau akan senantiasa sehat dan gembira," senyum Sujeong tatkala mengeringkan panci. "Memang menyakitkan tak dapat bertemu dengan beliau, tetapi bersedih berlarut-larut pun tidak akan membawanya kemari, kan?"
Pandangan Mijoo tidak beralih dari muridnya selama beberapa waktu, maka dapat dibayangkan betapa leganya Sujeong ketika wanita itu beranjak.
"Kalau begitu, segera kenakan jubahmu dan kita berangkat ke lapangan."
***
"Kak Sujeong cantik sekali!"
Banyak orang sudah berkumpul di lapangan. Beberapa berdagang bubur kacang merah dan roti kukus isi kacang, lainnya hanya bercengkerama dengan keluarga sambil mengagumi kemewahan altar tiga tingkat untuk ritual besar dongji. Menyenangkan bagi Sujeong mengetahui Yein—yang tadi memujinya—dan Chaewon hadir buat menyaksikan ritualnya, didampingi pasangan Seo serta Nyonya Kwon. Ramai sekali ketika mereka berkumpul bersama: jika dihitung dengan para chaebi, maka kelompok itu berjumlah sebelas orang semuanya.
Omong-omong, Sujeong mengenakan jubah putih dengan sentuhan merah dan hijau. Lengan jubahnya panjang melampaui telapak tangan, terus sampai ke paha. Ia juga membawa topeng yang akan digunakan untuk cheoyongmu—tarian pengusir arwah. Kerumitan detail jubahnya menunjukkan posisi istimewanya sebagai pemimpin para mudang Baekseonchon dalam ritual ini. Mijoo saja memakai jubah cheoyongmu yang sama dengan beberapa mudang lain.
"Terima kasih, Nona Yein. Anda semua terlihat bugar dan bersemangat meski harus melawan salju, syukurlah," kata Sujeong semringah sebelum memberi salam kepada anak-beranak Kim. "Saya akan menampilkan yang terbaik!" []
Sabju: Atractylodes sp., tanaman obat khas Asia Timur yang berakar putih.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top