28
Di halaman Yoonoh, Kepala Pelayan Seo tengah mempersiapkan dua ekor kuda. Rupanya, Jaemin menyertai sang guru ke Nagan walaupun belum menyelesaikan pendidikannya. Sah-sah saja, mengingat Nagan saat ini sedang kekurangan tenaga. Yang janggal adalah kehadiran Chaewon; gadis itu diizinkan pergi?
"Saya cuma ingin mengantarkan Guru dan Tuan Muda Jaemin. Selain itu," Chaewon melirik ke arah pintu rumah yang tertutup, "Nona Yein kelihatannya butuh pendamping."
Bagian dalam rumah memang sedikit ribut. Sujeong—yang mendengar dengung tangis perempuan di balik sekat pintu—ingin melongok, tetapi sungkan.
"Tidak apa-apa jika Anda berdua ingin masuk," ujar Kepala Pelayan Seo. "Saya akan mengabarkan kedatangan Anda kepada Tuan Yoonoh dan Tuan Muda Jaemin."
"Tidak perlu, Kepala Pelayan Seo, terima kasih. Saya akan menunggu bersama Nona Chaewon," tolak Sujeong, paham posisinya dalam keluarga itu. Yoonoh dan Yein kakak-beradik, tentu butuh waktu tersendiri untuk mengucapkan perpisahan, sedangkan dia belum resmi menjadi pendamping Yoonoh. Sujeong masih orang asing sekarang.
Uniknya, begitu mengamati raut Chaewon, Sujeong merasa bahwa dia tidak 'seasing' itu. Kendati murung, gadis mungil di sebelah Sujeong terlihat segar, berbeda dengannya yang berhias seperti apa juga masih tampak kusut masai, apalagi di daerah mata dan hidung. Orang yang betul-betul disiksa pedihnya ditinggalkan mestinya tak akan terlihat demikian terkendali—dan Sujeong sadar bahwa dibanding Chaewon, ia masih lebih dekat dengan keluarga Jung.
"Kak Sujeong!"
Yein tahu-tahu memeluk Sujeong sambil terisak-isak. Chaewon sejenak melotot kaget, tetapi gadis itu cukup peka untuk mengusap lembut punggung Yein. Sentuhan itu membuat Yein berpindah sasaran; ujungnya, ketiga gadis ini saling memeluk. Jiyeon keluar dengan wajah sesembap nonanya, sementara Jaemin cukup kuat untuk menjahili Chaewon ('Nona tidak ingin memeluk saya saja?') kendati rautnya lebih kuyu dari biasa.
Yoonoh—
"Kau sangat pucat dan kantong matamu menebal. Apa kau kurang tidur?"
Mustahil Sujeong bercerita mengenai perasaannya yang tak tertahankan sebagai jawaban, terlebih Yoonoh merupakan cerminannya pagi ini: lesu, bermata bengkak, dan bersuara lemah.
Senyum termanis Sujeong ulas untuk menyamar. "Saya bersembahyang agak lama dini hari tadi, jadi tidur saya sedikit."
"Aduh, kau ini." Yoonoh merapatkan tudung bepergian Sujeong untuk menghalau angin dingin. "Istirahatlah yang cukup. Sering-sering minum minuman hangat untuk meningkatkan kekebalanmu. Kau butuh lebih banyak selimut atau pakaian tebal?"
"Semuanya sudah siap, Tuan," kekeh Sujeong, menyentuh sayang tangan yang membenahi tudung bepergiannya. "Selain itu, mana bisa saya beristirahat bila Anda justru baru bekerja di Nagan? Kita harus sama-sama berjuang."
"Padahal kau biasanya menasihatiku untuk bekerja sewajarnya," desah Yoonoh pelan. "Beberapa waktu ke depan, kita tidak akan saling menegur, mesti menjaga diri masing-masing. Jangan sakit."
Sujeong berjanji, lalu mengatakan bahwa ia telah menitipkan bekal buatannya pada Kepala Pelayan Seo.
"Cuma sedikit, tetapi saya ingin masakan saya bisa mendampingi Tuan barang sebentar selama bertugas."
Untuk pertama kali pagi ini, senyum Yoonoh terbit. Dielusnya wajah sang kekasih dari luar tudung bepergian untuk mengungkapkan terima kasih. "Aku akan makan dengan lahap. Kau juga harus makan teratur."
Tak bosan-bosan Sujeong menyetujui permintaan Yoonoh, berharap lakinya akan menyambung dengan perintah atau permintaan lain supaya tidak segera berangkat, tetapi Yoonoh terbungkam, memandanginya haru, dan menurunkan tangan.
Sebuah genangan mulai terbentuk di dasar kelopak mata Sujeong. Ia menghitung sampai tiga untuk menikmati raut teduh pria kesayangannya, lantas berbalik.
"Mari, Tuan. Kalau menunggu terlalu lama, nanti Anda dan Tuan Muda Jaemin bisa kesorean sampai Nagan."
"Tidak! Kak Yoonoh!"
Butuh sedikit waktu menenangkan Yein yang kembali histeris, itu pun dengan segala bujuk rayu para perempuan, sedangkan Yoonoh mengirit bicaranya. Sujeong tahu laki-laki itu takut hancur sendiri ketika mencoba membujuk sang adik. Diam-diam, Sujeong membisikkan mantra pengokoh roh dalam jimat kerawang Yoonoh demi menangkal kabut hitam yang mulai membumbung.
Biarpun sakit kami sama, aku tidak boleh menangis seperti Nona Yein, batin Sujeong yang menghapus air matanya sebelum menitik. Lihat saja Nona Chaewon yang tangguh.
Salah. Chaewon yang tenang ternyata menitikkan air mata pula. Entah apa yang memengaruhinya: luapan emosi Yein pada sang kakak atau sesuatu di balik tatapan sendunya kepada Jaemin. Semua orang seakan-akan serasa dan Sujeong tak tahu harus ke mana mencari penghiburan, apalagi usai kedua tabib muda menunggangi kuda masing-masing.
"Semoga berkah Langit selalu menyertai Tuan."
Yoonoh mengangguk, senyumnya menyejukkan. "Terima kasih. Maafkan aku—dan sekali lagi, tolong tunggu aku." Ia melepaskan genggaman Sujeong dan memegang tali kekang. "Sampai jumpa, Sujeong."
Menjadi yang terakhir bicara dengan Yoonoh, Sujeong merasa degup jantungnya meredup mengikuti bunyi ladam. Tak seperti Yein yang mohon izin masuk rumah paling awal maupun Chaewon yang bertahan sedikit lebih lama, Sujeong bergeming hingga sosok Yoonoh dan muridnya menghilang dari penglihatan. Ditolaknya sementara penawaran Kepala Pelayan Seo untuk menikmati secangkir teh dalam rumah.
"Baik, Nona. Jangan terburu-buru, tetapi jangan terlalu lama juga terkena udara dingin." Kepala Pelayan Seo tersenyum pengertian. "Tuan akan menegur saya kalau calon istrinya jatuh sakit, jadi tolong singgahlah sebentar untuk minum."
"Terima kasih banyak, Kepala Pelayan Seo." Sujeong membungkuk dalam. "Saya masih ingin di sini sebentar lagi. Maaf sudah bertindak konyol."
Kepala Pelayan Seo terkekeh. "Tidak ada yang terlalu konyol bagi seorang pecinta."
Namun, mengetahui pelayan setia Yoonoh menungguinya di luar sambil mengerjakan apa pun yang bisa dikerjakan, Sujeong akhirnya berpaling dari satu titik yang tak lagi berpenghuni di ujung jalan. Demi menghibur sahabatnya dalam rumah, Sujeong lekas-lekas menguasai diri dan mengisi benaknya dengan hal-hal positif.
Setiap 'sampai jumpa' Yoonoh selalu disusul pertemuan yang lebih membuncahkan rasa dari sebelumnya. Sujeong percaya kali ini bukanlah pengecualian.
***
Semakin ke utara, jarak rumah di Baekseonchon semakin jarang, maka wilayah yang Yoonoh dan Jaemin lalui menuju Nagan juga semakin sepi. Angin seakan mendingin dan lebih kencang menerpa tubuh kedua penyembuh. Napas Yoonoh mengembun di udara, padahal belum ada salju.
"Tidak ada yang lebih gila dari wabah di musim dingin." Jaemin melajukan kuda agar dapat menyejajari gurunya. "Suplai obat bisa-bisa awet lebih lama dibanding kita."
"Jangan bicara yang buruk-buruk. Nanti akan menjadi doa yang dikabulkan." Yoonoh memperingatkan sembari menggosok kedua telapak tangan. Jaemin segera meminta maaf, tetapi kemudian menyadari sesuatu dan tersenyum tengil.
"Guru bicaranya mirip Nona Sujeong, ya."
Terbelalak, Yoonoh mencoba meraih Jaemin untuk menyentilnya, sayang kuda mereka tak cukup mepet.
"Diam kau," desis Yoonoh dengan senyum tertahan dan pipi merah. "Aku mengatakannya karena memang begitu adanya, bukan karena Sujeong."
"Baik, baik," tapi nada jahil Jaemin belum enyah. "Iri sekali dengan yang punya calon istri. Kalau saya, sih, tidak ada yang menunggu pulang, kecuali orang tua."
"Penantian dan doa orang tua merupakan anugerah terbesar bagi seorang putra. Memangnya siapa lagi yang kauinginkan menunggu?"
Bukannya menjawab, Jaemin malah cengengesan. Yoonoh menggeleng-geleng perlahan, tidak punya tebakan sebab Jaemin mengenal akrab banyak perempuan. Mana Yoonoh peduli yang mana dari gadis-gadis itu yang memiliki tempat istimewa di hati muridnya?
"Walaupun mungkin gadis ini," ah, Guru bisa saja!, sahut Jaemin sok malu-malu tatkala Yoonoh menyebut 'gadis', "tidak menunggumu, bayangkan seolah-olah dia menunggu. Itu akan mendorongmu melakukan yang terbaik."
Jaemin menggesek-gesek dagu dengan telunjuk tertekuk. "Menarik. Apa Guru menjadikan pernikahan dengan Nona Sujeong sebagai pendorong juga?"
"Tadi hanya contoh untukmu yang sering teledor gara-gara memikirkan gadis," skak Yoonoh, membuat muridnya pura-pura merajuk dengan melajukan kuda lebih cepat. Tak Jaemin ketahui kata-katanya memanaskan muka Yoonoh sampai telinga. Cintanya pada Sujeong kadang melemahkan niat mengabdi ke Nagan, beruntung restu si gadis malah memotivasinya.
"Berangkatlah, Tuan, agar saya dapat menyambut Anda kembali dengan kebanggaan dan rasa cinta yang lebih besar dari sebelumnya."
Yoonoh diam-diam tersenyum. Betapa gembiranya ia andai bisa menjadi lelaki kebanggaan Sujeong. Bukan masalah kebanggaannya saja, melainkan kebahagiaan gadis itu ketika menyambut dirinya kelak. Digenggamnya dari balik jubah, jimat kerawang yang kehangatannya menyusupi relung jiwa.
Aku dan Jaemin bisa melakukan ini.
***
Beberapa jam kemudian, Yoonoh dan Jaemin tiba di depan sebuah gerbang bambu beratap jerami. Gerbang ini diapit dinding bata setinggi pria dewasa. Tanpa penanda nama pun, kedua penyembuh muda yang bolak-balik melewati gerbang ini tahu mereka telah sampai di Nagan. Seorang penjaga mengecek identitas dan barang bawaan Yoonoh serta Jaemin, lalu mengizinkan mereka melewati gerbang. Belum jauh, sebuah pemandangan yang kurang menyenangkan membuka misi mereka.
Dari sebuah gubuk, sekelompok orang yang mengenakan cadar keluar. Mereka menggotong pria tua kurus yang diletakkan dengan hati-hati di atas sebuah pedati. Mengira orang itu salah satu pasien yang terlalu lemah untuk berobat sendiri, Yoonoh terenyak menyaksikan tikar jerami ditutupkan ke seluruh tubuh si pria tua.
Dingin merambati punggung Yoonoh seketika. Tanpa sengaja, tangannya mengerat ke tali kekang. Ia menghela napas dalam, memejam, dan mengembuskan napas panjang sebelum melajukan kudanya kembali ke pusat pengobatan Nagan.
Bukan awal yang baik, tetapi kami masih punya banyak waktu, hiburnya pada diri sendiri. Lagi pula, kebanggaan Sujeong tidak pernah datang bersama sesuatu yang mudah.
***
Selain dari Baekseonchon, Nagan memperoleh tambahan dua orang tabib lagi, empat jika murid-murid seperti Jaemin dihitung. Provinsi baru membalas surat Tabib Yeo—guru tteum Yoonoh—dan bantuan diperkirakan tiba tiga hari setelahnya. Salah satu tabib yang sakit karena menangani wabah ini juga kelihatannya membaik cepat. Demikianlah murid Tabib Yeo menuturkan hal-hal yang membangkitkan asa hingga Yoonoh dihadapkan pada sebuah ironi: sebaris rumah yang dipenuhi penderita wabah.
Hari pertama, Yoonoh dan Jaemin bersama seorang tabib Nagan langsung memeriksa berpuluh-puluh pasien. Selama bertugas, mereka dibantu para petani muda yang sama sekali buta soal pengobatan dan pedagang-pedagang obat tua yang tak dapat banyak bergerak kendati cukup berilmu tentang penyakit. Tugas mereka yang amat berat selesai sore berikutnya, digantikan tabib-tabib yang tampak belum cukup rehat untuk bisa bekerja kembali.
Kehabisan tenaga, Yoonoh dan Jaemin berkuda menuju penginapan khusus para tabib pembantu. Sampai sana, mereka diwajibkan mandi dahulu demi menghilangkan bibit-bibit penyakit di badan, padahal dengan air hangat pun, udara masih menimbulkan gigil. Barulah Yoonoh bisa menyantap separuh nasi kepal terakhirnya. Bekal yang dimasakkan Jiyeon dan Yein sudah habis dibagi-bagi dengan para petugas; tinggal nasi kepal hampir berumur sehari dari Sujeong yang tersisa. Yoonoh sedikit menyesal tak bisa menikmati masakan calon istrinya itu sebagaimana harusnya.
Sehabis berkumur dengan air garam dan mencuci kaki, Yoonoh mengguncang-guncang tubuh muridnya yang nyaris tak bergerak di alas tidur.
"Jaemin, bersihkan mulutmu dulu."
Yang dipanggil menggumam dengan mata terpejam, mendentangkan tanda bahaya dalam benak gurunya. Yoonoh segera memeriksa suhu tubuh dan nadi Jaemin, tetapi tiba-tiba pemuda itu terbangun dan tertawa lemah.
"Guru sesayang itu pada saya? Padahal saya baik-baik saja, lho."
Jaemin perlahan duduk dan menyibak anak-anak rambut yang lepas dari ikatan, tetapi benak gurunya tidak semudah itu ditenangkan. Yoonoh menyuruhnya menunggu sebentar di tempat tidur, lalu keluar. Sang tabib kembali dengan secangkir minuman harum yang tadi mereka nikmati sebagai peneman makan sore, jadi Jaemin bingung mengapa ia harus minum lagi.
"Teh krisan ini kutambah dua sendok madu, Jaemin. Kau membutuhkannya."
Madu sedemikian banyak biasanya hanya untuk orang-orang yang sangat lemas, makanya Jaemin kaget Yoonoh menyuguhkan racikan teh tersebut kepadanya. "Saya tidak sesakit itu!"
"Nadimu cepat dan tanganmu lembap. Itu tandanya energimu terkuras lebih banyak dari apa yang kaumakan," tegas Yoonoh. "Jangan sampai tumbang ketika tenaga kita masih sangat dibutuhkan. Kau harus jujur akan batasanmu, tidak cuma padaku, tetapi juga kepada semua petugas di sini. Mengerti?"
Yang dinasihati mengiakan dengan patuh, sedikit takut. Menyadari bahwa dirinya terlalu kaku barusan, Yoonoh tersenyum dan menepuk bahu Jaemin dua kali.
"Maaf. Aku hanya tidak ingin murid kesayanganku mengecewakan seseorang yang menunggunya," katanya, lalu membantu Jaemin berdiri. "Setelah menghabiskan tehnya, bersihkankan mulutmu dan segera tidur. Jangan terburu-buru."
Alih-alih berkelakar pada waktu yang lumayan longgar ini, Jaemin mengulas senyum letih sebelum menandaskan tehnya dan mohon izin membersihkan mulut. Sekembalinya ia ke alas tidur, Yoonoh yang sudah lebih dulu berbaring membelai ubun-ubun Jaemin tanpa berpaling.
"Kerja bagus hari ini. Kalau Chaewon tahu, dia pasti akan langsung jatuh hati."
"Aing, saya jadi malu!"
Yoonoh tertawa pelan. Sosok Jaemin yang memalukan, tetapi penuh semangat, ternyata bisa dihadirkan lagi semata dengan menyebut nama seorang gadis. Lihatlah bagaimana pemuda itu menggeliat-geliat kesenangan sampai Yoonoh memperingatkannya untuk tidak berisik. Begitu Jaemin memejam, Yoonoh melepas dan meletakkan jimat kerawang di bawah bantal.
Walaupun hari pertamaku dan Jaemin cukup berat, syukurlah kami masih mampu melaluinya. Memang betul, cinta dapat menjadi obat.
Saat kelopak mata Yoonoh menutup, paras cerah sang calon istri terbayang jelas hingga seakan terjangkau.
Kuharap harimu lebih mudah dan juga menyenangkan, Sujeong. Selamat tidur.
Sejak itu, waktu bergulir amat kencang di sisi Yoonoh dan Jaemin, berkejaran dengan penyakit yang kian hari kian bertambah penderitanya. []
buku ini ada playlistnya lho di spotify. search aja 'the bride's eating persimmon'.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top