24

"Beraninya menyalak padaku, anjing betina!"

Si bangsawan melayangkan tangan, tak peduli dirinya menjadi pusat perhatian pejalan kaki yang melintasi gerbang. Sujeong yang ketakutan langsung mundur dan memejam rapat-rapat. Jaehyun pasang badan, menangkap lengan bangsawan semena-mena itu, tetapi tenaganya tak cukup besar. Sang tuan rumah menolakkan lengan sehingga Jaehyun kehilangan kendali, tanpa sengaja menubruk Sujeong, dan keduanya terhuyung ke belakang.

Namun, tak ada yang jatuh. Baik Sujeong dan Jaehyun ditangkap oleh seseorang. Si bangsawan mengernyit, geramannya terdengar samar-samar.

"Datang lagi satu orang rendahan."

Sujeong dan Jaehyun segera beranjak dari sepasang lengan kokoh yang menahan mereka, hendak meminta maaf kepada siapa pun yang mereka tabrak. Niat tersebut terpaksa diurungkan begitu mengenali sang penolong.

"Tabib Jung!"

Yoonoh tersenyum kepada Sujeong dan Jaehyun, lantas memberi salam pada si bangsawan angkuh. Tatapannya hampa.

"Manusia bisa menilai baik-buruk manusia lain, tetapi tidak akan sanggup menilai dirinya sendiri. Saya harap Tuan berhati-hati bersikap pada kesempatan berikutnya," ujar Yoonoh, lalu berpaling kepada Sujeong dan kedua chaebi, mengisyaratkan ketiganya untuk tidak memperpanjang perdebatan. "Mari."

Meskipun kurang puas dengan cara Yoonoh menutup perdebatan, juga masih mencemaskan si nyonya rumah, Sujeong tahu sia-sia meladeni sang pejabat. Beberapa peristiwa belakangan telah cukup mencemari jiwanya, jangan ditambah lagi. Mengekori Yoonoh, ia bersama kedua musisi muda meninggalkan tempat.

"Aku belum selesai, orang-orang tak punya adat!" Amukan si bangsawan berlanjut, padahal Sujeong berjuang tidak menggubris. "Satunya dukun yang kasar, satu lagi pezina! Kalian memang cocok satu sama lain, pria berbudi buruk dengan wanita yang sama buruk!"

Berisik!

Kedua tangan Sujeong saling menggenggam, mencegah diri untuk membalas serangan sang bangsawan. Di luar dugaan, Yoonoh-lah yang berbalik. Dingin, ia lemparkan nasihat terakhir untuk si bangsawan.

"'Orang yang berpikiran mulia akan tenang dan mantap, sedangkan orang kecil senantiasa banyak bicara dan resah'. Kitab 'Analek'."

Langkah Yoonoh berikutnya lebih cepat, sepenuhnya mengabaikan pria yang mencak-mencak beberapa jauh darinya. Ia pasti makin sebal karena dianggap tidak mengerti dasar Konfusianisme pedoman para bangsawan. Rasakan. Sujeong menahan tawa geli sebelum mencuri pandang kagum pada sang tabib.

Rupanya, pada waktu bersamaan, Yoonoh juga melirik Sujeong. Keduanya buru-buru menengok jengah ke lain arah.

"Terima kasih banyak, Tabib Jung." Terbata-bata, Sujeong memecah keheningan lebih dulu. "Sekali lagi, saya tertolong ...."

"Siapa-siapa yang melihat Anda bertiga diperlakukan demikian harusnya bertindak sama." Yoonoh menanggapi. Emosinya lebih kentara dari biasa, tetapi telinga-telinga yang asing hanya akan menemukan ketenangan. "Seorang budak pun tak akan menemukan kehormatan dalam diri orang seperti itu."

Sujeong mengangguk, lalu melepas dan melipat jubah ritual. Jadi kotor, keluhnya. Ia menerka-nerka bagaimana putusnya ritual tadi berdampak kepada keluarga terkutuk itu. Semoga saja ada kesempatan lain untuk menuntaskannya; jika tidak, Sujeong masih ingin menolong si anak dengan cara lain, entah bagaimana.

"Apakah kotornya jubah Anda akan mengganggu para arwah yang Anda layani?"

Sujeong mendongak heran. Ini bukan kali pertama Yoonoh menggali kehidupan spiritualnya dengan perhatian lebih, bukan sepintas lalu. Jujur, rasanya lumayan menyanjung.

"Setelah dicuci, kami dapat menggunakannya kembali dalam ritual. Arwah dan dewa enggan berinteraksi dengan mudang yang bernoda pakaiannya, tetapi akan lebih enggan lagi mengunjungi mereka yang bernoda hatinya."

"Hati bernoda, ya?" Yoonoh menerawang jauh. Sadarlah Sujeong bahwa isu yang disinggungnya sensitif bagi Yoonoh. Pembicaraan pun dibelokkan.

"Tabib Jung hendak pergi ke mana? Tahu-tahu saja, kita sudah berjalan searah."

"Saya memang dalam perjalanan pulang dari belajar di desa sebelah."

"Tabib Jung masih seorang murid?" Jibeom melotot, mengira ilmu Yoonoh sudah sempurna berhubung sudah punya murid sendiri.

"Dunia pengobatan kan makin berkembang, tentu Tabib Jung wajib memperbarui ilmunya setiap waktu." Sujeong menjawab penuh percaya diri. "Kira-kira seperti mudang yang terus berlatih sehabis ditasbihkan, begitulah."

Terwakilkan, Yoonoh manggut-manggut membenarkan. Jibeom membulatkan bibir, selanjutnya memicing curiga sambil tersenyum iseng.

"Kakak paham benar soal pendidikan para tabib, ya?"

Seketika rona merah merambati muka Sujeong. Tergugup-gugup ia mencari pembenaran, beruntung Yoonoh lebih bijak menyikapi kelakar tadi.

"Belajar adalah tugas semua orang. Kita semua belajar dari hari ke hari, ilmunya saja yang berbeda."

"Tentu, tentu." Sayang sekali, kenakalan Jibeom tidak dapat dipatahkan semudah itu. "Selain banyak membaca buku, kita juga bisa membaca orang, bukan?"

Umpan Jibeom termakan. Yoonoh lugu mengiakan, padahal Sujeong sudah tahu apa maksud si kepala lonjong: 'apa Tabib Jung tidak ingin membaca Kak Sujeong?'. Nyaris Sujeong membungkam Jibeom kalau Jaehyun tidak menginjak kaki si penabuh janggoo.

"Aduh! Bongjae, apa yang kau—"

"Kak, maaf! Kami harus pulang segera untuk membantu Ayah!" Tanpa persetujuan, Jaehyun menautkan siku dengan Jibeom. "Tabib Jung, terima kasih banyak telah menolong kami. Tolong jaga Kak Sujeong sampai rumah!"

Usai memberi salam, Jaehyun tergesa-gesa menyeret Jibeom pergi hingga Yoonoh tidak sempat bertanya. Sementara itu, jantung Sujeong berjumpalitan dalam sangkar iga. Ia senang Jaehyun tidak lagi membenci Yoonoh, tetapi bukan seperti ini juga!

Curang! Apa yang harus kulakukan sekarang? Mengapa mereka pakai minta yang aneh-aneh pada Tabib Jung, sih?

"Yah, karena sudah dititipi," cuma khayalan Sujeong atau wajah Yoonoh memang lebih berseri? "mari kita pulang bersama. Nona tidak keberatan?"

"T-T-Tidak masalah!" Sujeong membungkuk hormat. "Terima kasih banyak!"

***

Kendati berpeluang bicara banyak, beberapa menit pertama perjalanan dihabiskan Sujeong dan Yoonoh dalam diam. Sujeong terlalu sibuk mencari topik obrolan apa yang pantas dan akan terus bersambung, tetapi tak kunjung menemukannya sampai Yoonoh mohon izin untuk meminggirkannya dari lalu lintas Baekseonchon. Posisi rawannya kemudian digantikan oleh Yoonoh.

"Saya penasaran apa yang kawan-kawan muda Anda pikirkan. Menyerahkan Anda kepada saya agar terlindung, padahal saya merupakan ancaman terbesar bagi Anda."

Serta-merta Sujeong menyangkal. "Saya tidak terancam—"

Astaga. Sepasang netra Yoonoh tak berubah warna, tetapi menatapnya sekarang memutar ingatan Sujeong pada hari 'pengadilan' semena-mena warga desa. Biasanya, jika Yoonoh mulai menyalahkan diri sendiri, kegelapannya akan mengganas menyakitkan. Kini, kegelapan itu seluruhnya digantikan keteguhan hati, bersumber dari sebuah niat suci yang tercermin di matanya.

"Mungkinkah menurut mereka, ancaman terbesar yang terkendali merupakan sebaik-baik perlindungan?"

Sujeong berdebar-debar. Betapapun enggannya ia menyimpulkan sembarangan, otaknya terus memutar momen memalukan tatkala ia menginginkan Yoonoh sebagai satu-satunya pelindungnya. Ucapan Yoonoh sebelum ini seakan menjawab pintanya itu.

"Maaf, saya kurang mengerti maksud Anda." Kembali Sujeong menekuri jalanan. Menghendaki pembicaraan menegangkan ini diakhiri, kalimatnya malah menjadi senjata makan tuan.

"Saya ingat secara terperinci peristiwa kemarin, termasuk bagaimana sebuah kekuatan tak kasatmata memasuki badan saya."

'Kekuatan' menjentikkan sebuah tuas di kepala Sujeong. Yoonoh mungkin inang bagi sejumlah kegelapan mistis, tetapi pria itu pada dasarnya hanya orang biasa. Mustahil indranya dapat mengetahui keberadaan kekuatan itu, apalagi mengendalikan—sebagaimana yang ia siratkan sebelum ini.

"Ketika Anda menerobos kerumunan, segala kegelisahan menyergap saya. Saya takut kegelapan menyakiti Anda karena saya, kecewa pada ketidakberdayaan sendiri untuk menjaga Anda, tetapi Anda menjaga saya tanpa ragu. Keluarlah segala gejolak dalam dada saya sebagai kekuatan tak kasatmata," sejenak Yoonoh meragu, "yang merengkuh Anda."

Sujeong menggigit bibir. Meski awalnya menyakitkan, sensasi terpeluk oleh kegelapan itu nyata adanya, sesuai dengan penuturan Yoonoh. Sulit dipercaya, energi penghancur dapat menjadi sesuatu yang mendamaikannya.

Tunggu. Bila Yoonoh mengetahui bagaimana kegelapan di sekelilingnya bergerak ...

"... Anda pulakah yang menghendaki kekuatan itu menyembuhkan luka saya?"

Senyum Yoonoh getir menjawabnya.

"Ya. Kekuatan yang mengerikan dan melukai banyak orang itu, saya kendalikan untuk mengobati dan membentengi diri Anda dari kemarahan warga desa. Dalam kepala saya cuma berdengung keinginan melindungi Anda. Keselamatan warga desa, robohnya bangunan di sekitar, saya tidak lagi memedulikan. Demi Anda." Memungkasi penjabarannya, Yoonoh tertawa pelan, gemetar. "Bahkan ketika sedang mengasihi, ada saja perasaan buruk yang tidak sanggup saya hilangkan."

Sujeong terpaku, membuat Yoonoh yang sudah mendahuluinya sekian langkah berpaling.

"Nona?"

"'Mengasihi', Anda bilang? Saya pasti sedang berangan-angan."

Yoonoh baru sadar sebuah rahasianya terbongkar, tetapi menghindar jadi menjemukan dan diputuskannya untuk mengaku saja. Setelah menghela napas sekali, selip lidah tadi ia pertegas dengan pernyataan yang disengaja.

"Anda tidak keliru. Saya memang mengasihi, mencintai Anda."

Bukan cuma wajah, seluruh tubuh Sujeong serasa terbakar, lalu kebas. Kelenjar air matanya berdenyut. Dengan segenap keberanian, ia mengangkat wajah, menentang paras Yoonoh yang samar memerah. Beragam warna berkelebat di sana: kesungguhan, waswas, rasa bersalah, dan tentu saja kasih sayang.

Indah sekali. Jiwa inang kegelapan mana bisa secantik ini?

Segan-segan, Sujeong meraih lengan baju Yoonoh, mengisyaratkan pengantarnya untuk bercakap di bawah atap serambinya.

"Mengapa saya? Perasaan serumit dan seberharga itu, mengapa Anda serahkan untuk saya?" Hidung Sujeong kembang-kempis. "Saya seorang mudang, perempuan yang dianggap 'sesat' dan 'tidak berpendidikan' di masyarakat. Laki-laki terhormat lagi berilmu seperti Tabib Jung tidak seharusnya melirik saya, lebih-lebih mencintai. Masih banyak perempuan lain yang lebih pantas bagi Anda di mata orang-orang ...."

"Untuk apa mengacuhkan pendapat orang yang tidak akan terlibat dalam ikatan ini? Barangsiapa mendampingi seseorang di titik nadir, ia tak akan beranjak dari sisi orang itu sampai ajal menjemput sekalipun. Saya telah jatuh berkali-kali, tetapi Anda tidak pernah pergi, jadi Anda lebih dari layak memperoleh perasaan yang berharga itu dari saya."

Kaki Sujeong melemas. Pandangannya berputar, hanya Yoonoh yang diam.

"Saya sedang bermimpi, ya? Benar. Saya harus segera bangun."

Sigap, Yoonoh menangkap Sujeong yang nyaris terjatuh dan mendudukkan gadis itu di serambi.

"Begitu tidak berkenankah perasaan saya ini sampai Anda menolak memercayainya?"

"Bukan begitu!" Suara Sujeong mendadak sumbang bersama tangis yang tidak bisa ditahan. "Dari dulu, saya berusaha mencegah perasaan ini berkembang. Terlalu banyak halangan yang harus dihadapi untuk mencintai Anda, bukan sebatas menamengi Anda dari kegelapan. Nyatanya, Anda memang telah mengisi satu relung yang tak saya tahu ada."

Sujeong mencoba tersenyum, tetapi bibirnya terus melengkung menjadi cebikan. Sial. Padahal, ia sedang bahagia sekali.

"Anda membuat saya merasa disayangi sebagai perempuan ...."

Kedua tangan Sujeong membekap pemiliknya. Mengapa justru pada waktu sepenting ini, wajahnya menjadi kusut masai di hadapan Yoonoh? Memalukan; jatuh cinta pada laki-laki ini membenturkan nurani daranya yang rapuh ke batu karang, berkali-kali.

Bukan berarti Sujeong tidak mau mencintai dan dicintai.

Tak tega membiarkan Sujeong terus terisak kacau, Yoonoh mengulurkan kotak berukuran sedang.

"Maaf menunda mengembalikannya. Ini saputangan Anda, sudah dicuci sebersih mungkin," katanya. "Susutlah air mata Anda, tarik napas perlahan, baru kita dapat kembali berbicara dengan lancar."

Sujeong mengangguk, mempersilakan Yoonoh duduk di serambinya, dan membuka kotak. Manakala saputangan ditarik, sebatang tusuk sanggul perak berukir dua bunga kesemek putih berguling ke pangkuannya. Batal menghapus air mata, tangan basah sang syaman menyisihkan saputangan serta kotak untuk mengambil tusuk sanggul itu.

Kewarasan Sujeong terjun bebas ke ambang.

"Tabib Jung, tusuk sanggul ini tergelincir dari lipatan saputangan saya. Pemiliknya pasti mencari."

Yoonoh terkekeh, menggenggamkan lagi tusuk sanggul yang diangsurkan kepadanya ke telapak mungil Sujeong.

"Itu milik Anda, dari saya."

Walaupun tahu apa makna tusuk sanggul yang pria hadiahkan kepada wanita, Sujeong masih menanyakan apa maksud Yoonoh. Ingin didengarnya langsung dari bibir yang dibingkai lesung pipi itu, sebuah penawaran yang bisa diterimanya lebih dini. Sebuah penawaran yang akan diajukan kepadanya andai tidak disibukkan pengabdian kepada dewa dan tidak dilaknat oleh sebagian besar keluarga berputra lajang.

"Anda pasti mengerti," deham Yoonoh, senyumnya ditipiskan tekad tak terpatahkan. "Nona Sujeong, bersediakah menjadi istri saya?"

Kepala Sujeong berdenyut-denyut. Apa ia baru saja dipinang? Tabib pertama yang mengobatinya, lelaki yang tak sungkan merapuh di hadapannya, yang memiliki sentuhan menenangkan itu—meminangnya?

Air mata Sujeong menderas, wajahnya berkerut-kerut buruk, dan napasnya berdengih mirip penderita batuk lama. Reaksi ini jauh lebih hebat dari yang Yoonoh perkirakan, membuatnya cemas. Segera diambilnya saputangan untuk mengeringkan air mata Sujeong.

"Saya minta maaf jika ini sangat mengusik Anda. Kita bisa bicarakan perlahan-lahan .... Tidak apa-apa, tidak apa-apa."

Daripada wanita yang barusan dilamar, Sujeong lebih mirip anak bandel yang maunya tak dituruti, sedangkan Yoonoh sang ayah sibuk membujuknya supaya diam. Setelah energinya terkuras, kepala Sujeong terkulai ke bahu yang Yoonoh sigap tawarkan. Tangan sang tabib ragu menggiring helai-helai rambut gadisnya yang terlepas dari kepangan ke belakang telinga.

Konyol, batin Sujeong. Buat apa bersembahyang setiap hari kalau aku masih meledak-ledak begini?

"Nona sudah lebih baik?"

"Gadis mana tidak lebih baik setelah bersandar di bahu Anda, Tabib Jung?"

Pasangan di serambi terlonjak mendengar teguran tersamar ini. Sujeong kontan menarik diri, sementara Yoonoh spontan membungkuk kepada pemilik rumah yang tengah berkacak pinggang.

"Jangan berbasa-basi. Perkara begini mesti lekas dibahas. Silakan masuk." Mijoo tersenyum miring. "Cengeng, seduhkan teh." []

think they will get a happy ending?

me, in hades voice: guys, guys, relax~ it's only halftime

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top