21

Kamar di mana Sujeong terbangun menjelang fajar terkesan asing. Dalam gelap, ia mencoba menerka-nerka ada di mana dia sekarang. Ia beroleh jawaban begitu mendapati Yein bergolek di sampingnya. Segera dibenahinya selimut gadis itu yang tersibak.

Benar, ini rumah Tabib Jung.

Bertemu kembali dalam situasi kurang menyenangkan membuat Sujeong dan Yein tidak segembira seharusnya. Seisi rumah beristirahat lebih awal semalam karena Yoonoh membutuhkan itu, jadi Sujeong dan Yein tak bisa bercengkerama lama-lama di kamar mereka. Inti percakapan mereka pun cukup muram.

"Ternyata, aku memang terlalu pengecut untuk melindungi Kak Yoonoh .... Bagaimana kalau, kalau dia pergi? Seperti Ibu?"

Takut darah membuat Yein tidak mampu merawat Yoonoh kemarin, pada gilirannya menimbulkan perasaan gagal sebagai saudara kandung Yoonoh satu-satunya. Malam itu, Sujeong memeluk sang kawan sebelum melirik arwah kotak menyulam; Nyonya Jung pasti kecewa kepadanya atas kejadian yang memurungkan dua bersaudara itu.

Rupanya, alih-alih menyalahkan Sujeong, roh Nyonya Jung justru mendekap kedua gadis untuk menenangkan mereka. Sebagai ucapan terima kasih, Sujeong dan Yein pun bersembahyang di depan altar sederhana dekat kotak menyulam. Doa-doa pun dipanjatkan demi Yoonoh yang sama-sama mereka sayangi.

Sujeong membuka jendela sesunyi mungkin. Udara sejuk pagi buta menyisipi kamar, menandakan sudah waktunya sang mudang melakukan ritual harian lagi. Sujeong menghampiri altar kecil yang tatanannya tidak berubah sejak semalam. Roh mendiang ibu Jung bersaudara tersenyum kepadanya, sedangkan Sujeong mencebik.

Saya tahu saya telah berjanji untuk menjaga kedua anak Anda sampai akhir, tetapi kapankah akhir itu—dan sanggupkah saya bertahan?

Beruntung, ketika Sujeong meragu dalam sujudnya, tangan-tangan mendiang Nyonya Jung yang tak kasatmata membelai dan mengokohkan tekadnya sekali lagi.

***

Matahari baru mengintip dari balik bukit, tetapi penghuni kediaman Jung—kecuali Yein yang kelelahan akibat menangis semalaman—sudah sibuk sendiri-sendiri. Berencana akan pulang setelah mencuci muka dan menyisir rambut ala kadarnya, Sujeong berpikir apa sebaiknya ia membantu Jiyeon di dapur dulu sebelum pergi.

"Tidak apa-apa, Nona. Saya sudah terbiasa memasak banyak, kok." Jiyeon menanggapi sungkan ketika Sujeong menawarkan bantuan. Bangsawan atau bukan, Sujeong tetaplah tamu dan tamu tak seharusnya ikut bekerja di dapur pejamunya. "Apakah Nona hendak pamit?"

"Tadinya, tetapi saya tidak enak hati kalau cuma menumpang tanpa membantu apa-apa." Kedua belah tangan Sujeong saling menggosok, tanda memohon. "Boleh, ya, saya merecoki Anda sebentar, Nyonya Jiyeon?"

Luluh oleh raut Sujeong yang disedih-sedihkan itu, Jiyeon mengizinkannya membantu di dapur. Begitu beroleh izin, Sujeong langsung menyiapkan banchan (hidangan sampingan) dengan cekatan selagi Jiyeon memasak sup ayam ginseng, rebusan ikan pedas, dan nasi kecambah. Rasanya sudah lama sekali Sujeong tidak mengolah bahan seberagam ini, berhubung hasil panen dari kebun Mijoo tidak seberapa jumlahnya.

"Tuan Yoonoh pasti senang menyantap sarapan yang disiapkan dengan semangat," kata Jiyeon, membuat Sujeong gugup hingga tak sengaja Sujeong menumpahkan sesendok semur akar teratai ke meja rendah. Benar juga; dia sekarang sedang memasak untuk Yoonoh. Tidakkah itu membuatnya mirip seorang istri?

"S-Saya berharap be-beliau menikmati sarapannya!" ujar Sujeong sembari mengelap meja rendah yang terkena tumpahan semur. Apa-apaan pikirannya tadi itu? Siapa yang 'istri'?

Jiyeon terkikik. Cinta yang sedang panas-panasnya memang lebih jujur dibanding permukaan cermin terjernih. "Tidak masalah, Nona Sujeong. Anda mau ikut mengantarkan makanan ini nanti?"

Karena harus pamit pada tuan rumah, Sujeong mengiakan. "Omong-omong, saya lihat tadi Tabib Jung membawa beberapa buku dan sebuah boneka kayu. Untuk apa semua itu?"

"Persiapan kelas akupunktur Tuan Muda Jaemin. Beliau akan memulai kelas setelah sarapan, baru mereka akan melanjutkan kegiatan pengobatan di luar Baekseonchon."

Tabib Jung benar-benar tidak kenal lelah, padahal lukanya saja belum dijahit. Sujeong menata piring dan mangkok di meja-meja rendah. Semoga makanan-makanan ini dapat menjaga kesehatan beliau.

***

Yoonoh tak bisa menahan senyum begitu sarapan tersaji dan diberitahu Jiyeon soal 'asisten dapur sementaranya'. Selesai mandi dan berhias, Yein yang bergabung dengan sang kakak memberikan reaksi serupa. Gadis mata rusa itu sepintas memandang Yoonoh, bertukar senyum penuh makna dengan Jiyeon, lalu menggoda Sujeong.

"Saya sudah mengajari Kak Sujeong menyulam, jadi giliran Kakak mengajari saya memasak. Kak Yoonoh kelihatannya akan lebih menikmati masakan Kakak daripada masakan saya."

"Jangan bicara macam-macam, Yein." Yoonoh tersipu-sipu. Ia rela dijadikan bulan-bulanan adiknya jika itu berarti Yein dapat kembali tersenyum tengil. "Ikutlah bersantap bersama kami, Nona Sujeong."

Tawaran ini dengan berat hati ditolak Sujeong. "Nona Mijoo bisa menghukum saya jika pulang terlalu siang," ringisnya.

Sebagaimana biasa, nama Mijoo akan membungkam Yoonoh dan mengguratkan kecemasan di wajahnya. Ia mengangguk pengertian, dengan berat hati pula menyilakan Sujeong pulang, tak lupa berpesan pada Kepala Pelayan Seo untuk mendampingi Sujeong sampai tujuan. Namun, Sujeong dan Kepala Pelayan Seo terpaksa menyudahi perjalanan sebelum dimulai.

"Kami hendak menjemput Kak Sujeong atas perintah Nona Mijoo ...."

Di ambang gerbang kediaman Jung, telah berdiri Donghyun—yang tergagap-gagap menyampaikan maksud kunjungan mendadaknya—juga Jaehyun. Pemuda yang bermata lebar menatap Sujeong intens, menuntut penjelasan.

"Nona Mijoo tahu Nona Sujeong di sini?" Kepala Pelayan Seo sedikit terkejut; semalam, Sujeong mengatakan ia pergi tanpa izin. "Kalau begitu, tolong sampaikan permintaan maaf tuan kami—"

"Tabib Jung tidak bersalah, maka tidak ada yang perlu dimaafkan." Jaehyun berucap dingin sembari menarik Sujeong ke sisinya. "Terima kasih telah mengizinkan Kak Sujeong menginap kemarin. Kami permisi."

Tanpa menunggu balasan Kepala Pelayan Seo, Jaehyun sudah menyeret Sujeong hingga Donghyun mesti meminta maaf untuknya. Reaksi Sujeong mudah ditebak: ia langsung mencereweti Jaehyun yang tak menggubris sama sekali.

"Jaehyun, kembali dan minta maaf yang sopan pada Kepala Pelayan Seo!" Sujeong memperingatkan, tetapi Jaehyun terus berjalan sampai ia beberapa kali tersandung. "Akh, sakit! Jaehyun, kuku tanganmu menancapiku!"

Jaehyun baru melepaskan genggaman dan menjawab Sujeong sesampainya di halaman rumah Mijoo.

"Berapa kali lagi Kakak akan mengabaikan nasihat Nona Mijoo?" Alis Jaehyun bertemu dan binar manis yang biasa muncul di mata bulatnya menghilang. "Ancaman yang dibawa Tabib Jung bukan lagi soal kegelapan. Kakak sudah mendengar rumor buruk tentangnya, kan? Bagaimana kalau Kakak menjadi korban dari sikap buruknya pula? Untuk terakhir kalinya, tolong berhenti mendekati orang itu, Kak Sujeong."

Jaehyun tidak membentak atau bahkan meninggikan nada bicaranya, tetapi isi pinta itu sendiri sudah membuat ngilu, mengebaskan sekujur tubuh. Sujeong tahu harusnya dia meninggalkan Yoonoh tanpa menunggu peringatan berulang, tetapi setelah semua kelemahan, kelebihan, dan perhatian yang Yoonoh tunjukkan kepadanya, Sujeong tidak bisa. Terlalu besar kecemasan dan tanggung jawab yang membebaninya jika meninggalkan Yoonoh. Terlalu banyak kenangan yang sayang dimusnahkan. Terlalu berat rindu yang mesti ditanggung jika ia melangkah pergi.

Mijoo dan Jaehyun tidak akan mengerti.

"Terima kasih, Jaehyun, Donghyun. Kalian adik-adik yang baik, tidak pernah meninggalkanku bahkan ketika aku terus bandel," kekeh Sujeong pahit, "tetapi mulai sekarang, kurasa ... kalian harus menjauhiku."

"MENGAPA?!" Jaehyun nyaris maju dan mengguncang bahu Sujeong andai Donghyun tidak menghalangi. "Apa Kakak berniat terus membahayakan diri demi menolong Tabib Jung? Jika begitu, aku akan melakukan segala cara untuk menghentikanmu!"

Sujeong menggeleng lemah. "Aku berada di sisinya bukan cuma karena ingin menolongnya, tetapi karena aku sudah menjadi bagian darinya."

Bukan cuma Jaehyun, Donghyun ikut terkesiap mendengar ini.

"Apa maksud Kakak?" tanya Donghyun.

"Kekuatanku mengimbangi kegelapan Tabib Jung agar tidak menghancurkan dirinya. Bisa dibilang, kami sekarang tidak terpisahkan," jelas Sujeong. "Takdir kami adalah satu. Jika dia berarti bahaya bagi kalian, aku juga. Karena aku tidak ingin kalian menderita, tidak apa-apa kan aku meminta kalian menjauh?"

Jaehyun sontak memucat; Sujeong barusan membalikkan kata-katanya. Tentu saja ia tak akan sanggup memenuhi permohonan itu sekalipun Sujeong melakukannya untuk mengamankannya. Inilah yang akhirnya memahamkan Jaehyun akan perasaan si gadis terhadap Yoonoh.

"Kak," tangan Jaehyun melampai di sisi tubuhnya, "kau mencintai Tabib Jung."

Senyum yang Sujeong paksakan lenyap juga. Terlintaslah ingatan demi ingatan indah yang dibangunnya bersama Yoonoh. Pertemuan pertama mereka sebagai penyembuh dan pasien. Terima kasih yang diterimanya setelah mengusir Miryeon. Keputusasaan pria itu ketika kehilangan Yein. Semangat dan kelihaian Yoonoh mengobati Chaewon atas permintaannya. Permintaannya agar Sujeong lebih menyayangi diri sendiri.

"Jangan mengucapkan kata-kata atau menunjukkan raut yang berbahaya seperti tadi."

Sentuhan Yoonoh yang senantiasa nyaman dan hangat.

"Saya memang laki-laki yang mengerikan."

Juga keinginannya untuk melindungi Sujeong, bahkan dari dirinya sendiri.

"Ya, aku mencintainya," aku Sujeong dengan bibir gemetar. "Sangat mencintainya sampai jadi bodoh, lupa akan tempatku dan tempatnya di mata orang-orang. Aku tidak peduli apakah kami bisa bersatu. Aku hanya ingin terus membahagiakannya ...."

Kedua chaebi, terutama Jaehyun, kini mengerti betapa tak terkendalinya perasaan Sujeong kepada Yoonoh. Betapa sulit perasaan itu dienyahkan. Meskipun dianggap keluarga, pada akhirnya mereka tidak dapat menentukan ke mana hati Sujeong menghadap. Jaehyun pun mematung karena terpukul, sedangkan Donghyun membimbing Sujeong untuk duduk di serambi dan menenangkannya.

"Jelek sekali muka murungmu, Sujeong."

Mijoo berdiri bersilang lengan dekat pintu rumah. Begitu Sujeong berpaling padanya, ia segera memiringkan kepala, isyarat agar murid dan kedua chaebi-nya masuk. Donghyun membantu Sujeong bangkit dan ketiganya melangkah melewati pintu.

"Buka tanganmu."

Melaksanakan perintah sang guru, Sujeong tersentak manakala Mijoo meletakkan jimat kerawang berukirkan sepasang ikan di tangannya.

"I-Ini kan—" Lekas Sujeong menengadah pada Mijoo. "Nona, ini jimat pernikahan?"

"Apa lagi? Pria dan wanita yang sedang jatuh cinta menghendaki sebuah ikatan abadi. Seperti yang kautahu, tidak ada ikatan yang lebih kekal selain pernikahan. Benang merah Wolha sudah mengikatmu dan Yoonoh, jadi keliru besar kalau aku terus menghalangi kehendak Langit. Aku hanya bisa berdoa untuk kalian berdua, mencari dukungan dari arwah leluhur," Mijoo mengedikkan bahu, "dan mereka mendukung kalian."

Serentetan kalimat ini sungguh sulit diterima. Tidakkah Mijoo memegang teguh peringatan Jowangshin?

"Aku yakin kau sudah paham bahwa mencintai Jung Yoonoh bukan hal mudah. Kau bisa saja kehilangan kewarasanmu di masa depan saking sulitnya perjalananmu, seperti yang telah Jowangshin sampaikan." Mijoo menatap Sujeong lurus-lurus. "Namun, kau berkali-kali menerjang kabut hitam demi lelaki itu. Apa susahnya menghadapi beberapa ratus tantangan lagi? Oh, dan aku mendengar keinginanmu untuk menjauhkan kami darimu. Aku tidak mau."

"Bukankah Nona Mijoo enggan berurusan dengan Tabib Jung serta seluruh kegelapannya?"

"Ya, itu memang urusanmu, tetapi kau adalah urusanku. Seandainya kau menemui kesulitan," raut Mijoo tidak berubah, tetapi sorot matanya melembut, "setidaknya, ada aku yang akan mendampingimu."

Sejenak pikiran Sujeong dikuasai gema potongan kalimat Mijoo di akhir. Mijoo yang tidak bertele-tele, sering galak, dan suka menyuruh-nyuruh itu baru saja mengatakan sesuatu yang membuatnya melebur? Bagaimana mungkin? Apakah dia sedang kerasukan arwah-arwah baik dari altar di gunung?

Tidak. Ini Mijoo, putri Mudang Lee, teman seperjuangan Sujeong di jalan syaman, pengisi posisi saudari kandung Sujeong yang tak akan pernah ditemui lagi.

Mijoo adalah kakak perempuan Sujeong; itu fakta yang tak terbantahkan.

Tanpa aba-aba, Sujeong mendekap Mijoo erat sampai gurunya itu mengeluh tercekik, tetapi ia tidak lagi mengeluh begitu Sujeong menyebut namanya.

"Terima kasih, Kak Mijoo .... Terima kasih banyak telah mendukungku ...."

Setelah resmi menjadi mudang, Mijoo tidak pernah mendengar panggilan itu lagi, jadi ketika panggilan itu memasuki rungunya, ia tidak bisa tidak tersenyum lembut. Dibelainya belakang kepala Sujeong dengan sayang, lalu menatap Donghyun dan Jaehyun bergantian. Pada Jaehyun, tatapan Mijoo berhenti cukup lama.

"Kakak kalian akan menjalani sesuatu yang sulit di depan dan dia tidak memiliki banyak orang untuk menolongnya. Tidak ada, selain kita," tegas Mijoo pada kedua chaebi. "Aku tidak ingin kalian—para lelaki bugar ini—jadi pengecut dan lari ketika Sujeong menghadapi masalah. Tanyakan juga ini nanti pada si jabrik dan si jangkung: sanggupkah kalian menjaganya sepertiku?"

"Selalu sanggup, Nona, dan aku percaya Joochan-Jibeom juga!" Donghyun mengacungkan satu kepalan tangan, ekspresinya penuh keyakinan dan kegembiraan, sementara Jaehyun cuma mengangguk lemah. Sujeong takut pemuda itu sebenarnya sakit hati akan keputusan sepihak Mijoo ini.

"Aku," Sujeong tersenyum bahagia setulus-tulusnya, "tidak pernah memaksa seorang pun untuk melindungiku. Karena aku juga menyayangi kalian, aku membebaskan kalian menempuh jalan yang kalian mau."

"Jalan yang kuinginkan hanya satu." Jaehyun menengadah. Ada kilap di pelupuk matanya, tetapi lengkung tipis di bibirnya tidak goyah sedikit pun. "Sama seperti Kak Mijoo, jalan yang kuinginkan hanyalah melindungi Kakak."

***

Putra tunggal Keluarga Kim pulang setelah memperoleh libur dari studinya di Hansong. Keluarganya menyambut dengan sukacita, apalagi putri bungsu Tuan Kim yang sempat dikira shinbyeong telah sembuh sepenuhnya. Untuk pertama kali setelah sekian lama, mereka berkumpul berempat dalam suasana sehangat sajian malam itu, dilanjut bercengkerama mengenai keseharian mereka, sesekali diselingi senda-gurau.

"Syukurlah obat salah satu tabib wanita yang Ayah panggil manjur," ungkap sulung Kim lega. "Surat-surat Ibu makin lama terkesan makin putus asa hingga aku gelisah, tetapi ternyata masih ada jalan."

"Seperti yang diharapkan dari tabib-tabib Hansong. Bahkan para wanita penyembuh pun memiliki kemampuan yang luar biasa." Tuan Kim manggut-manggut, sementara Chaewon dan Nyonya Kwon bertukar pandang penuh rahasia. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top