2

Seorang pria akan memasuki kamarku!

"Tunggu, Nona—uhuk, uhuk!" Sujeong kembali ambruk ke pembaringan, kali ini dalam posisi miring. Mijoo segera menghampirinya usai mengirim tatapan membunuh pada musisi-musisi muda yang masih saja bergerombol di depan pintu. Jaehyun-lah yang pertama kali bangkit, disusul Donghyun dan Jibeom; Joochan dicegat sebelum sempat berdiri.

"Ambilkan air dan sujeonggwa," perintah Mijoo pada Joochan sambil menyamankan Sujeong. Si sakit terengah, raganya remuk redam gara-gara digerakkan mendadak. Tanggap, Mijoo memijat beberapa titik sendi, mengulur waktu hingga sang penyembuh tiba. Joochan datang tak lama berselang, membawa nampan dengan secawan air dan teh di atasnya.

"Teguklah pelan-pelan." Mijoo memiringkan cawan air ke bibir Sujeong—yang saking hausnya tidak mampu mengendalikan diri. Biarpun nyaris tersedak beberapa kali, seluruh isi cawan dapat Sujeong habiskan, begitu pula sujeonggwa di cawan kedua. Kepalanya kemudian terkulai tanpa daya ke bahu Mijoo. Ia bersyukur sang guru bersedia disandari tanpa protes, bahkan membelai punggungnya lembut.

"Nona Mijoo, sebenarnya," batuk, "saya sudah pingsan berapa lama?"

"Jangan kaget, tetapi kau tidak sadar selama tiga hari penuh."

"Tiga hari?" Terlalu lemah untuk bereaksi, Sujeong akhirnya cuma mengembuskan napas panjang. "Bagaimana ritualnya? Nona mengambil alih semuanya?"

"Begitulah. Jowangshin tidak lagi berusaha membersihkan sumber kegelapan di Kediaman Jung. Ia hanya menitipkan kekuatan ke seluruh penjuru rumah. Dia juga memerintahkanku melalui mimpi untuk menyematkan jimat kepada semua penghuni, kecuali Jung Yoonoh." Mijoo menghentikan usapannya pada punggung Sujeong, tatapannya nanar. "Ada yang salah dengan laki-laki itu."

"Sesuatu yang salah?"

"Aku benci lelaki itu," tukas Mijoo tegas, membekukan Sujeong. "Ia menguarkan aura yang tidak menyenangkan. Apa pun yang terjadi, jangan terlibat dengannya lebih jauh dari ini."

Mengerutlah Sujeong dalam dekapan Mijoo. Yoonoh kelihatan seperti orang baik, tetapi apakah bisa seseorang yang benar-benar bersih hatinya dilekati kegelapan sepekat itu? Ditambah lagi, ia seorang tabib; pekerjaannya menuntut kemurnian pikir dan kalbu lebih dari yang lain-lain.

Masa sih Tabib Jung memiliki sifat jahat yang tersembunyi?

"Ryu Sujeong, kau dengar aku?"

"Y-Ya, Nona Mijoo! Saya tak akan mendekatinya lagi." Gadis berambut ikal tergerai itu teringat sesuatu, lalu mengerutkan kening. "Tunggu. Kalau memang Nona tidak menyukainya, mengapa masih memanggilnya kemari?"

"Karena kau, Bodoh!" Mijoo membaringkan Sujeong kembali dengan agak kasar. "Kau kehabisan tenaga gara-gara ritual kemarin dan jadi sakit, sedangkan di seantero Baekseonchon, cuma dia yang bisa kuandalkan untuk menyembuhkanmu."

"Begitu, ya." Wajah Sujeong merona, senang sekaligus terharu. "Nona Mijoo ternyata memperhatikan kesehatan saya ...."

"Tentu saja." Mijoo bersila di sebelah tempat tidur. "Kalau tidak ada kau, siapa yang memasak, membersihkan rumah, dan membantu persiapan ritual? Mengerjakan semuanya sendirian bikin pegal badanku, tahu! Kalau kau sudah sembuh, pijat aku sebagai gantinya!"

Sia-sia aku terharu. Bagaimanapun, ini kan Nona Mijoo, batin Sujeong sambil tertawa miris.

"Walaupun kubilang Jung Yoonoh diselimuti kegelapan, terpaksa kuakui dia jago mengobati orang. Banyak warga telah percaya pada kemampuannya biarpun masih muda dan kurang pengalaman." Mijoo berdecak kesal. "Dia yang membuatmu begini, jadi dia jugalah yang menawarkan untuk menyembuhkanmu. Melihat kondisimu sekarang, aku mengizinkannya. Itulah mengapa aku memasang perisai arwah di rumah hari ini: agar arwah yang mengekorinya tidak mengganas di dekatmu."

Sujeong menemukan beberapa lembar kertas kuning bertuliskan mantra di sudut-sudut kamarnya. Ia yakin ada lebih banyak lagi di luar. Memasang perisai sekuat ini untuk keselamatannya, meski dibarengi gerutuan, adalah sebentuk kebaikan yang Mijoo sekali sehingga Sujeong tak bisa menahan senyumnya terbit.

Terima kasih, Nona Mijoo ....

"Kita semua mengkhawatirkan Kak Sujeong, Nona Mijoo, jadi katakan saja kalau kau khawatir—ADUH! Ampun!" Joochan merengek karena telinganya dijewer si dukun galak.

"Sepertinya ada tamu di depan. Jemputlah dia daripada bicara yang tidak perlu, Jabrik!"

Yang disuruh lari tunggang langgang, sementara Sujeong mendelik.

"Tabib Jung telah tiba? Tapi, aku bau keringat begini, rambutku juga berantakan ...." gumamnya.

"Kau ini mau bertemu tabib, bukan kekasih," goda Mijoo. "Wajar kan berpenampilan kacau selayaknya pasien?"

Jahat! cemberut Sujeong, bergegas merapikan rambut sebisanya dan mengumpulkannya ke sesisi bahu supaya ringkas. Tepat setelah itu, seseorang mengetuk pintunya, bersuara berat dan ramah.

"Permisi, Nona Mijoo, Nona Sujeong. Saya Jung Yoonoh. Boleh saya masuk?"

Mijoo menggeser pintu. Pria muda berjubah putih yang bersimpuh di luar segera menunduk sopan sebagai salam, dibalas Mijoo demikian pula. Perempuan berkepang samping itu memberi jalan kepada Yoonoh dan mengibaskan tangan sebagai isyarat untuk para chaebi menyingkir. Sekali lagi Yoonoh memberi salam kepada Sujeong, yang dijawab dengan anggukan lemah dari tempat tidur. Arwah-arwah hitam berukuran kecil masih mengitari kepala keluarga Jung itu, tetapi barangkali karena pengaruh perisai Mijoo, kehadiran mereka tidak mengganggu sama sekali. Yoonoh juga kelihatannya tak merasakan perubahan apa pun; ia duduk cukup dekat sehingga Sujeong dapat mengamati senyumnya.

Ganjil. Mengapa senyum itu begitu mendamaikan, padahal roh-roh jahat masih melekatinya?

"Apa yang Anda rasakan saat ini? Ada bagian tubuh yang sakit?" tanya Yoonoh pada Sujeong.

"Hanya lemas dan nyeri sedikit di persendian, Tabib Jung."

"Tidak ada sakit kepala, batuk, atau mual?"

"Tidak, Tabib Jung."

"Baik. Bolehkah saya memeriksa Anda?"

Sejujurnya, ini pertama kali Sujeong diperiksa oleh tabib. Jika ia sakit, Mijoo akan mengobati dengan pengetahuan seadanya. Sebagai catatan, semua perempuan di zaman ini dijaga ketat hingga tangan penyembuh saja terlarang meraba mereka, tetapi Yoonoh tidak takut menabrak batas tersebut. Akibatnya, seorang lelaki sebentar lagi akan menyapa kulit Sujeong ... dan sang calon mudang berdebar gelisah. Terbata ia memberi Yoonoh izin untuk memeriksa, lalu matanya terpejam saat Yoonoh mengulurkan telapak ke keningnya. Suhu tubuh diukur dari sana, turun ke sisi leher, dan berakhir di pergelangan. Jemari Yoonoh menggenggam lembut daerah persendian itu, secara cermat mengecek laju dan keteraturan nadi.

Betapa sejuknya tangan ini. Tercium harum hujan pula dari tangannya, bukan, dedaunan berembun? Pastilah dari obat-obatan yang ditumbuknya sebelum bekerja ....

"Nadi dan napas Anda baik, tetapi badan sedikit demam, akan reda dengan kompres hangat kuku." Selesai memeriksa, Yoonoh memecah keheningan, membuyarkan lamunan Sujeong. "Nyeri sendi juga akan berkurang dengan latihan gerak bertahap. Mulailah kegiatan ringan dari tempat tidur, bersanggakan tumpukan dua atau tiga bantal."

Setelah mencontohkan beberapa gerakan peregangan sederhana, Yoonoh menyodorkan kantong kain berisi kertas-kertas perkamen yang dilipat kecil kepada Mijoo.

"Ini racikan obat demam dan nyeri, di antaranya ada daun dedalu, bubuk ginseng, serta teoripul," lanjutnya. "Minumlah tiga kali sehari bersama air putih, diselingi sujeonggwa bila tidak mual. Selain itu, semua makanan Nona Sujeong harus dihaluskan. Apa saja boleh selama tak terlalu asam atau pedas."

Banyaknya informasi baru yang ia terima, bukannya memusingkan, justru dianggap jaminan kesembuhan bagi Sujeong. Mijoo biasanya cuma menempelkan kain lembap ke kepalanya dan mencekokinya macam-macam teh herbal, tetapi Yoonoh lain cerita. Tutur katanya beledu, sentuhannya santun, dan ia memberikan petunjuk terperinci untuk pemulihan. Alangkah perhatiannya. Meskipun tahu ia tak lebih dari satu lagi pasien bagi Yoonoh, Sujeong rasa perlakuan ini begitu istimewa.

Pantas saja semua orang berobat padanya ....

Suara Sujeong gemetar tatkala mengucapkan terima kasih.

"Terima kasih kembali. Hanya begini saya bisa membalas pertolongan Anda tempo hari." Yoonoh menyilangkan tangan di depan pangkuan dan membungkuk takzim. "Maafkan saya telah membuat Anda kehabisan tenaga dalam ritual itu."

"Ah, tidak, tolong jangan dipikirkan." Sujeong menggeleng-geleng sungkan. "Saya juga minta maaf telah menyela waktu bekerja Anda hari ini."

"Tidak masalah." Di balik senyum Yoonoh, tersirat segores kemuraman. "Saya tidak dapat menghapus kegelapan yang menarik banyak roh berbahaya ke jiwa saya, lebih-lebih mengetahui sumbernya. Mungkin saya bahkan menyakiti Anda lagi dengan kegelapan ini tanpa saya sadari, maka setidaknya, saya harus meredakan rasa sakit yang dapat saya redakan."

Nona Mijoo pasti sudah memberitahunya, batin Sujeong begitu membaca raut mendung Yoonoh. Menimbang cara Mijoo berucap sehari-hari, bukan mustahil ia akan terkesan menyalahkan Yoonoh ketika menjelaskan soal kekuatan gaib yang aneh ini dan menimbulkan penyesalan yang tidak perlu.

"Anda tidak menyakiti saya sama sekali, kok. Malah berkat Anda, saya jadi mengerti bagaimana melegakannya dirawat seorang tabib," kata Sujeong setulus mungkin. "Mengenai kegelapan, itu kan di luar kuasa Anda. Kami bisa mencari tahu alasannya bila Anda berkenan."

"Tidak apa-apa, Nona Sujeong. Sejauh ini, saya dan keluarga baik-baik saja, jadi biarkanlah demikian. Toh jimat dari Jowangshin telah melindungi kami semua." Membenahi letak gat-nya, Yoonoh bersiap pergi. "Tugas saya telah selesai. Apakah ada pertanyaan seputar pengobatan Anda?"

"Saya rasa kami sudah cukup paham, terima kasih banyak." Mijoo menyela, padahal bibir Sujeong sudah membuka separuh. "Bolehkah kami memanggil Anda lagi kalau ada keluhan baru?"

"Silakan. Saya siap membantu kapan saja," jawab Yoonoh antusias, tidak menyadari usiran terselubung Mijoo. "Jika tidak ada yang ditanyakan lagi, saya mohon izin untuk kembali ke balai pengobatan."

"Terima kasih banyak atas bantuan Anda. Anak-anak, antarkan Tabib Jung sampai depan rumah."

Nona tidak mengantarkannya sendiri?! Sujeong tersentak, mengutuki keadaannya yang masih terlalu payah untuk berdiri. Dia itu tamu penting!

Seberlalunya Yoonoh bersama para chaebi, Mijoo menutup pintu kamar dan mendesah keras. Kedua lengannya menumpu tubuh yang dititiki peluh. Kertas-kertas perisai di kamar meredup nyalanya. Oh.

"Berengsek, kegelapan macam apa itu? Meredamnya sulit sekali!" Melihat Sujeong mencoba bangkit untuk menolong, segera Mijoo menghardik. "Tidur saja! Ah, sialan, aku tidak mau berurusan dengannya lagi!"

"Nona Mijoo, maafkan saya! Harusnya saya membantu—"

"Kau akan sangat membantu dengan beristirahat. Cepat sembuh, lalu kita berbagi tugas seperti biasa." Mijoo menghapus keringat di lehernya. "Satu lagi, Jowangshin ingin menemuimu."

"Jowangshin?"

"Ya. Kau tentu tidak melupakan kewajiban bersujud seribu kali untuk menebus kegagalan ritual kemarin, kan?" Sujeong mengerang—'astaga, benar!'—dan Mijoo menyentil dahinya. "Jangan mengeluh! Kesalahan dalam ritual ini kita tanggung bersama. Selain itu, Jowangshin hendak menyampaikan sebuah pesan langsung padamu."

"Pesan langsung padaku?" Sujeong berkedip cemas. Seorang dewi yang terhormat menyampaikan pesan kepada manusia biasa sepertinya? Apakah kesalahannya sebesar itu sampai Jowangshin murka?

"Bukan hukuman. Aku sudah memastikannya saat sujud seribu kali kemarin." Mijoo berdiri, menggeser pintu lebih lebar sebelum melangkah keluar. "Ini terkait dirimu dan Jung Yoonoh yang aku tak boleh tahu. Kurasa, itu sebuah peringatan keras untuk menjauh."

***

Tiga hari berlalu.

Di bagian atas perapian Mijoo, berjajar aneka rupa kue beras dan buah sebagai sesaji untuk Jowangshin. Sujeong mengisi mangkok dalam altar lempung dengan air bersih untuk sentuhan terakhir, lalu berjalan mundur, memastikan tatanan sesajinya cukup layak. Selanjutnya, dara berkepang satu itu melakukan sujud pertamanya, disusul yang kedua dan seterusnya. Dilantunkannya puja dan permohonan ampun lantaran telah mengacaukan ritual pemberkatan rumah Jung. Semula, Sujeong masih menghitung dalam hati berapa kali ia bersimpuh, tetapi semakin ia tenggelam dalam ekstase, semakin hilanglah suara-suara dalam pikirannya. Demikianlah seorang mudang memasrahkan tubuh dan jiwanya kepada para dewa.

Begitu memasuki keadaan trans, roh Sujeong berpindah ke alam antara. Fisiknya memang masih bersembahyang, tetapi benak dan kalbunya tidak lagi menghadap perapian. Alih-alih, ia kini berada di hadapan seorang wanita semampai berjubah sutra merah. Ujung gaun wanita ini dilingkari bola-bola api kecil yang mengambang dan terus bergerak menyerupai kunang-kunang dekat sumber cahaya.

Sujeong ambruk di atas lutut. Keagungan sang penguasa api seakan mencabut seluruh serabut saraf dan ototnya; ia tak pernah memperoleh visi seterang ini dalam sujud seribu kali yang terdahulu. Si gadis menyilangkan tangan di depan pangkuan, lalu membenamkan kening ke permadani emas.

"Segala puji bagi sang penguasa api dan pelindung tempat tinggal manusia, Yang Mulia Dewi Jowangshin." Terbata Sujeong memberi salam. Bunyi telapak kaki Jowangshin begitu dekat, tak berani ia menengadah.

"Ryu Sujeong, murid dari mudang Lee Mijoo. Kau juga menghadiri ritual saat itu, bukan?"

"Benar, Yang Mulia. Hamba melakukan sujud seribu kali untuk memohon ampunan dari nirwana. Hambalah," Sujeong menelan ludah gugup, tangannya gemetar, "yang mengacaukan ritual itu demi menyelamatkan seseorang. Beribu ampun, Yang Mulia. Hamba tidak bermaksud menyalahi kehendak langit ...."

Tepian gaun Jowangshin tepat berada di depan Sujeong.

"Angkat wajahmu."

Patuh, Sujeong mendongak. Dari dekat, kecantikan Jowangshin tampak begitu menenteramkan layaknya seorang ibu. Sayangnya, sang dewi tidak tersenyum karena ia hendak menyampaikan sebuah premonisi muram.

"Gurumu lebih dulu menemuiku. Telah kukabulkan permohonan maafnya atasmu, jadi jangan khawatir soal ritualnya. Kau mengatakan bahwa kau mengacaukan ritual untuk menolong seseorang. Karena dialah, aku memanggilmu."

Sujeong bungkam, tetapi isi kepalanya berputar bak badai. Jika Jowangshin sampai turut campur dalam masalah Yoonoh, maka kegelapan yang menempeli lelaki itu jelas bukan semata perkara perasaan buruk atau roh gentayangan.

"Jung Yoonoh adalah putra Miryeon." []


Sujeonggwa: teh herbal dari rebusan kayu manis, jahe, dan kesemek kering.

Teoripul: Fillipendula glaberima, tanaman obat khas Korea.

Gat: topi tinggi berwarna hitam dengan bagian bawah melebar, penutup kepala khas pria kelas menengah atas pada era Joseon. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top